Habib Umar
Gus Najih Ramadan, putra Mbah Maimoen Zubair, adalah satu dari 30 ulama yang menghadiri dialog ulama nasional bersama Habib Umar, seorang ulama dari Hadramaut. Pada kesempatan yang berlangsung kurang lebih selama tiga jam itu, Gus Najih mencatat setidaknya ada beberapa problematika islam kontemporer yang disorot oleh Habib Umar dalam dialog ulama terbatas bersama 30 tokoh nasional, pada malam itu (7/10) di sebuah hotel di Pancoran.
Gus Najih mencatat bahwa problematika umat islam dewasa ini menurut Habib Umar karena ada masalah dari sanad keilmuan orang-orang yang berlaku demikian sehingga menimbulkan mispersepsi. Oleh sebab itu, beliau menggarisbawahi pentingnya memahami pokok-pokok yang merupakan substansi daripada terpaku pada hal-hal yang bersifat kulit. Berikut pesan Habib Umar terkait problematika umat islam kontemporer:
1. Menjaga hak-hak non muslim ketika minoritas, apalagi ketika kaum muslimin menjadi mayoritas.
Pesan tersebut Habib Umar sampaikan di sela menjawab pertanyaan TGB Zainul Majdi tentang perspektif agama terhadap kebangsaan (muwatanah). Menurut beliau jika yang dimaksud dengan kebangsaan adalah rasa aman, keadilan, dan penghargaan terhadap sesama, maka itu lah Islam, apa pun istilah yang digunakan. Dengan demikian maka kaum muslimin harus menjaga hak-hak non muslim ketika minoritas, apalagi ketika kaum muslimin menjadi mayoritas. Lalu Prof. Dr. Quraish Shihab yang juga hadir di forum ini menambahkan satu kata tentang kebangsaan, yaitu musawah (persamaan hak) antar semua warga negara.
2. Menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Islam amat menghormati semua makhluk, hewan sekalipun, apalagi manusia. Menyakiti hewan saja berarti sudah melanggar salah satu prinsip ajaran Nabi, bagaimana dengan menyakiti manusia?!
Beliau kemudian menceritakan fragmen-fragmen sejarah Nabi, misalnya bagaimana Nabi memberikan hidangan yang sangat layak kepada para tawanan-tawanannya, lebih dari yang beliau makan. Hal yang tidak kita jumpai bahkan di zaman ini yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kenapa bisa demikian? Karena Nabi melakukan semuanya dengan rahmah.
3. Politik adalah untuk tertibnya kehidupan masyarakat dan alat mencapai tujuan-tujuan bersama
Habib Umar mengingatkan akan bahaya kejahatan-kegaduhan yang mungkin motivasinya adalah agama, termasuk dalam politik. Beliau menyatakan pasti ada yang salah dari sanad keilmuan orang-orang yang berlaku demikian, yang juga mempunyai mispersepsi tentang politik. Karena pada dasarnya politik adalah untuk tertibnya kehidupan masyarakat dan alat mencapai tujuan-tujuan bersama. Celakanya politik dalam kenyataan banyak dipraktekkan hanya untuk meraih kekuasaan. Dengan kata lain menjadikan kekuasaan dalam politik untuk tujuan utama, bukan perantara.
4. Ulama boleh berpolitik, Politiknya ulama adalah mengayomi
Beliau mengatakan tidak mengharamkan ulama berpolitik, namun semua harus bekerja sesuai kapasitas dan kompetensinya. Ulama bisa berperan tanpa harus berpolitik praktis, tanpa harus menjadi milik kelompok tertentu. Ulama harus menjadi penghubung antara umat Islam dan ajaran-ajaran Rasulullah. Ulama harus menjadi duta moral-akhlak Islam. Karena itu jika ada ulama berpolitik praktis kemudian berdusta, mencela, apalagi berkata kasar, itu berarti dia sudah keluar dari garis-garis keilmuan/keulamaannya. Politik ulama adalah mengayomi.
5. Bahaya menyebarkan ujaran kebencian
Beliau menegaskan bahwa itu semua bisa terrealisasi jika masing-masing melakukannya dengan ikhlas dan atas fondasi kemaslahatan, bukan kepentingan tertentu. Tentang bahaya ujaran-ujaran tercela, beliau mengutip suatu hadis bahwa, “Pada zaman fitnah, sebuah kalimat bisa lebih tajam daripada pedang”.
6. Beragama tanpa hawa nafsu dan tanpa memaksa
Beliau mengajak ulama untuk kembali kepada amanah ilmiah dengan meneladani Imam Malik yang berilmu tanpa hawa nafsu dan tanpa memaksa, contoh saja beliau mau mempertahankan keberagaman dengan menolak menjadikan Muwatta-nya sebagai satu-satunya rujukan hukum negara, ketika diinisiasi oleh seorang khalifah.
Dalam penutupnya, menanggapi sebuah pertanyaan Prof. Jimly Assidiqi, beliau habib Umar sempat bercerita peristiwa enam puluh tahun lalu, ketika ada seseorang dari Hadlramaut yang hidup di Jakarta akan kembali ke negaranya, para tetangganya menangisi, dan yang terlihat amat keras tangisannya adalah tetangganya yang Tionghoa-non muslim, ditanyalah orang tersebut, kenapa Anda begitu sedih kehilangan seorang Hadlramaut itu, dijawab, “Ya selama 20 tahun saya berinteraksi dengannya, saya melihat pada dirinya akhlak, tidak pernah mengganggu kehidupan saya, dengan mengintip sekali pun, saya jatuh hati dengan akhlaknya, saya mempercayainya lebih dari saudara-saudara saya sendiri!”
Demikianlah catatan-catatan penting dalam dialog ulama yang sampaikan oleh Habib Umar pada malam itu.
(Bincang-Syariah/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email