Oleh: Eko Kuntadhi
“Mamaku sudah di surga. Di tempat yang tinggi. Kalau naik pesawat, tidak ketemu. Karena mama lebih tinggi lagi,” ujarnya. Suaranya mantap, meski tidak dapat disembunyikan kepedihan dengan sempurna. Dia menyeruput air mineral dalam gelas menggunakan pipet.
“Saya tidak boleh nangis. Kalau saya nangis, nanti mama nangis juga di sana,” suara Izrael, bocah enam tahun itu lagi. Tatapan matanya syahdu. Giginya sedikit rompal mungkin akibat terlalu banyak makan gula-gula. Memakai kaos bergaris biru, bibir bagian bawahnya ada luka yang belum mengering. Mamanya adalah korban gempa di Palu. Wafat di tengah reruntuhan gedung.
Kita yang menyaksikan potongan video itu hanya bisa menggigit bibir dengan kerongkongan tercekat. Seorang anak, enam tahun, betapa tegar batinnya. Dia tahu, setelah ini semua dia akan melewati hari-hari yang sunyi. Tanpa pelukan hangat mamanya. Tanpa senyum yang indah itu.
Ketika Jokowi meninjau lokasi gempa, Izrael dengan berani menghampiri Presiden di mobilnya. Mengadukan mamanya yang meninggal. Memgadukan keadaanya keluarganya.
“Boleh saya ikut Bapak?,” katanya kepada Jokowi. Presiden hanya menatapnya. Tatapan mata seorang ayah dan seorang kakek. Matanya berkaca-kaca. Diambilnya makanan kecil dari kantung plastik, diserahkan ke Izrael.
“Besok kamu harus sekolah lagi,” jawab Jokowi, pelan. Tanganya mengelus punggung Izrael. Dari suaranya ada keharuan yang tertahan. Ingin didekapnya sekadar melepas keharuan. Menangkap penderitaan bocah malang itu.
“Tidak bisa, bapak. Sekolahku sudah hancur.”
“Iya, nanti kita perbaiki. Kita bangun lagi sekolahmu. Agar kamu secepatnya bisa sekolah.”
Di Palu, di Donggala, di Sigi ada banyak anak bernasib seperti Izrael. Anak yang tetiba menjadi yatim atau piatu. Gempa dan tsunami meluluh lantakkan kehidupan.
Ini kali kedua Jokowi mengunjungi lokasi bencana dalam seminggu. Dia ingin memastikan seluruh proses evakuasi berjalan. Dia hadir di tengah-tengah rakyatnya yang menderita. Dia berusaha memantau bagaimana pemerintah bisa menangani penderitaan ini. Jokowi tahu, sebagai pemimpin dia harus tegar. Hatinya memang hancur melihat dampak gempa. Jiwanya menangis. Tapi hidup harus terus berlanjut.
“Saya ingin semua kantor pemerintahan secepatnya dibuka untuk melayani masyarakat,” ujarnya. Dia juga berharap roda ekonomi untuk segera berjalan kembali. “Toko-toko yang masih memungkinkan buka, silakan dibuka. Pasar dan aktifitas ekonomi harus secepatnya berputar kembali.”
Bencana memang menghasilkan kesedihan dan penderitaan. Tapi hidup harus terus berlanjut. Hanya dengan itulah suasana bisa dipulihkan.
Ribuan orang telah berpulang bersama mamanya Izrael. Kita berdoa untuk mereka. Tapi kehidupan masih menyisakan bocah kecil itu. Juga adik-adiknya. Mereka punya masa depan. Kepada mereka dan semua masyarakat di lokasi gempa, Jokowi ingin memastikan pemerintah bisa bergandengan bersama masyarakat memulihkan kondisi.
Lelaki kurus asal Solo itu, hadir untuk memastikan aparatnya tidak abai pada nasib rakyat. Empati saja tidak cukup. Dibutuhkan kerja yang amat keras untuk mengembalikan keadaan. Semua energi dan biaya dikerahkan.
Dan Jokowi hadir di sana. Bukan sekadar untuk membelai kepala Izrael. Dia hadir untuk memastikan rakyatnya tidak sendirian menghadapi kesedihan.
Di tempat lain. Dalam keadaan yang lain.
Seorang Prabowo berdiri di depan microphone. Dia didampingi Amien Rais, Djoko Santoso, Fuad Bawazier dan serombongan yang lainnya. Isinya adalah mengutuk pengeroyokan terhadap Ratna Sarumpaet.
Nenek 70 tahun itu, kata Prabowo, diperlakukan dengan biadab. Dikeroyok tiga orang sampai menderita trauma berat. Wajahnya memar dan lebam. Tahi lalatnya tumbuh akibat keroyokan itu. Tidak lupa, dia melakukan tudingan insuniatif kepada pemerintah.
Saat itu, bagi Prabowo, lebamnya wajah Ratna jauh lebih menyedihkan ketimbang ribuan nyawa korban gempa. Untuk Ratnalah dia ingin tampil sebagai pahlawan.
Bukan hanya Prabowo. Fahri Hamzah malah berpidato berapi-api untuk melawan Jokowi demi membela seorang Ratna Sarumpaet. Dia menggunakan Ratna sebagai pahlawan untuk menjatuhkan Jokowi.
Kita tahu, Prabowo adalah orang yang paling diuntungkan dengan isu Ratna Sarumpaet dikeroyok. Dengan cara itu dia bisa pamer bahwa empatinya pada nenek 70 tahun itu begitu tinggi. Dia ingin mencuri perhatian dengan membela seorang nenek renta yang katanya digebuki orang.
Bahkan Prabowo yang dipecat dari militer karena kasus penculikan sempat berkata soal pelanggaran HAM berat. Mungkin sekalian sebagai usaha menghapus stigma sebagai jenderal penculik.
Iya. Prabowo tampil membela seorang nenek. Dia ingin rakyat melihat dirinya sebagai pahlawan. Di tengah jeritan korban gempa Palu dan Donggala, Prabowo memilih sibuk membela Ratna Sarumpaet. Sibuk menampar-nampar pemerintahan Jokowi yang harus bertanggungjawab atas wajah Ratna yang berubah.
Tapi, akhirnya kita tahu. Kebohongan yang tidak disertai kecerdasan itu akhirnya gampang terbongkar. Sekali kibas, orang bisa membuktikan semua yang disampaikan Prabowo itu adalah bohong. Ratna bukan korban pengeroyokan. Dia hanya korban usia renta, tapi mau tetap terlihat menarik. Ratna hanya korban hasrat perempuannya melawan penuaan. Karena itulah dia memilih dokter bedah plastik untuk memperbaiki wajahnya.
Prabowo seperti hendak menipu publik dengan empati palsu.
Tapi begitu Ratna bicara jujur mengenai kondisinya, Prabowo ngamuk. Empati palsunya terbongkar. Dia langsung memecat Ratna dari tim kampanyenya. Bahkan Sandiaga Uno meminta Ratna diproses, untuk dijebloskan ke penjara.
Lihatlah. Orang yang tadinya bermaksud bersandiwara menunjukan empati pada seorang nenek 70 tahun. Kini berbalik. Justru merekalah yang ramai-ramai mau memenjarakan Ratna. Memenjarakan seorang nenek renta 70 tahun.
Kenapa mereka kini begitu bengis kepada Ratna? Karena Ratna telah berani berkata jujur, bahwa semua itu hanya sandiwara. Semua empati itu adalah palsu.
Kini dunia melihat. Jokowi sedang berjibaku memikul penderitaan Izrael dan seluruh korban gempa. Dia sedang berusaha menyeka air mata rakyat Palu dan Donggala.
Sementara Prabowo dan timnya sedang berusaha memasukkan seorang nenek ke penjara. Hanya karena nenek itu sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi.
(Eko-Kuntadhi/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email