Bush Seorang Presiden yang Hobi Perang
Mingguan Der
Spiegel menulis, George Bush, Presiden AS, meski selalu berbicara tentang
demokrasi, tapi juga senantiasa menciptakan suasa perang. Kantor berita
MEHR melaporkan, majalah Der Spiegel, dalam analisanya. Seraya menyinggung
pembunuhan Benazir Bhutto dan kondisi krisis di Irak, Afganistan dan
Pakistan, menegaskan, campur tangan militer yang disebut oleh Bush sebagai
usaha pemberantasan terorisme, tidak pernah mendatangkan hasil.
Di bagian lain
dalam analisanya, penulis mengatakan, kegagalan-kegagalan demokrasi di
tahun 2007 memberikan pelajaran kepada pendukung dna penentang
strategi-strategi AS. Salah satunya ialah bahwa perlawanan terhadap
kelompok-kelompok ekstrim tidak boleh menjadi semacam hiburan bagi seorang
presiden tak berakal di AS.
Majalah Jerman
ini menambahkan, Bush tidak lagi dapat membantu untuk menghapus ketegangan
dan berbagai kerusuhan di Timur Tengah, karena ia adalah seorang presiden
hobi perang, tapi hanya mengobarkan perang-perang yang tak membawa hasil.
Di akhir analisa
mingguan Jerman ini disebutkan, jika Bush tidak mengobarkan perang di Irak,
mungin saat kondisi saat ini akan lebih baik.
*****
Trik-Trik Arab Saudi dan Setan Besar AS Untuk Menghancurkan Islam
Akhir-akhir
ini, kekuatan Setan Besar dengan menggunakan pemerintahan yang
menyeleweng dari ajaran Islam, yang selalu berbohong atas nama Islam,
terus-menerus berupaya untuk menyingkirkan Al-Qur’an. Untuk mengokohkan tujuan syaitaniah ini,
negara adidaya dunia turut membantu pula mencetak Al-Qur’an dengan
indah dan mengirimkannya ke bebagai penjuru dunia. Dengan tipuan seperti
ini, sebenarnya mereka telah mencampakkan Al-Qur’an
keluar dari kehidupan. Kita semua melihat betapa Al-Qur’an yang
dicetak oleh Muhammad Reza Pahlevi telah menipu sebagian orang.
[2] Sebagian ulama yang tidak memahami maksud Pahlevi itu bahkan memuji-mujinya. Kita juga melihat bahwa Raja Fahd
[3]
setiap tahun menggunakan dana besar yang tak terbatas, yang diambil
dari rakyatnya, untuk mencetak Al-Qur’an dalam rangka mendirikan
pusat-pusat propaganda madzhab yang anti Al-Qur’an, sekaligus
menyebarluaskan faham Wahabi
[4] (Salafi), yaitu sebuah madzhab yang tidak memiliki asas kuat sekaligus penuh dengan pandangan khurafat.
Al-Qur’an yang mulia ini dijadikan alat untuk mendorong masyarakat
yang lalai dari berbagai bangsa untuk berpihak kepada adidaya.
Orang-orang inilah yang menggunakan Islam yang mulia dan Al-Qur’an al
Karim justru untuk menghancurkan Islam dan Al-Qur’an itu sendiri.
Kita
dan bangsa kita yang mulia juga merasa bangga, karena bangsa ini
bersama seluruh wujudnya, bersatu dengan Islam dan Al-Qur’an. Kita
bangga karena menjadi pengikut madzhab yang ingin membebaskan Al-Qur’an
dari kuburan, sekaligus menjadikan kitab ini sebagai buku petunjuk
untuk membebaskan manusia dari berbagi ikatan yang membelenggu kaki,
tangan, hati, dan akal mereka; ikatan yang membawa manusia ke arah
kefanaan, kenisbian, perbudakan, dan penghambaan pada penguasa zalim.
Kita
merasa bangga bahwa kita adalah pengikut madzhab yang didirikan oleh
Rasulullah atas perintah langsung dari Allah, dan madzhab ini juga
ditumbuh kembangkan oleh Imam Ali As, hamba yang telah membebaskan diri
dari segala ikatan sekaligus menjadi petugas bagi pembebasan umat
manusia dari segala rantai besi dan perbudakan.
Kita merasa bangga bahwa kitab Nahjul Balaghah
[5],
setelah Al-Qur’an, merupakan kitab teragung yang berisi aturan
kehidupan duniawi dan maknawi, kitab tertinggi yang membebaskan manusia,
serta kitab yang memuat aturan maknawi dan pemerintahan, yang
merupakan jalan pembebasan terbesar; ternyata berasal dari Imam suci
kita.
Kita merasa bangga bahwa para Imam Maksum kita, mulai dari Imam Ali As hingga Imam Mahdi As, semua adalah imam kita. Imam Mahdi As
adalah penyelamat manusia dan pemilik zaman, yang dengan kekuasaan
Allah yang Mahakuasa, masih hidup di tengah kita dan menjadi pengawas
segala urusan.
Kita
merasa bangga memiliki berbagai kitab bernilai tiada tara, yang
berasal dari para Imam Maksum kita, seperti doa-doa yang memberikan
kehidupan yang disebut sebagai Qur’an Sha’id (kitab-kitab doa). Kita juga punya Munajat Sya’baniah
[6] para imam, Doa Arafah
[7] dari Husain bin Ali as., Shahifah Sajjadiah
[8] dari Imam Ali bin Husain dan Shahifah Fathimiah
[9]yang merupakan kitab yang diilhamkan Allah Swt kepada Fathimah Az-Zahra Sa.
Kita merasa bangga bahwa kita memiliki seorang Baqir al Ulum
[10],
sebagai pribadi yang tertinggi dalam sejarah, dan tidak ada yang
bisa memahami ketinggian posisinya itu selain Allah, Rasulullah Saw
dan para Imam Maksum As.
Kita
merasa bangga bahwa madzhab kita adalah madzhab Ja’fari, yang
meletakkan dasar-dasar sistematika fiqih kita; yang keilmuannya bagaikan
sebuah lautan tanpa batas. Fiqih kita merupakan hasil karyanya
[11] dan kita merasa bangga telah menjadi pengikut seluruh Imam Maksum a.s.
Kita
merasa bangga bahwa para Imam Maksum kita adalah pejuang di jalan
Allah dan Islam. Mereka juga pejuang di jalan penegakan Al-Qur’an yang
menyuruh umat manusia untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang adil.
Kita bangga karena dalam usaha mereka untuk menentang pemerintahan
yang zalim, mereka telah dipenjara, diasingkan, dan akhirnya gugur
sebagai syahid. Dan kita hari ini merasa bangga bahwa kita ingin
menegakkan tujuan Al-Qur’an dan sunnah. Kita juga bangga karena
berbagai lapisan masyarakat dari bangsa kita telah menyatakan
kesiapannya untuk berkorban, baik jiwa maupun raga, di jalan yang
besar dan menentukan nasib ini.
Bangsa
kita, bahkan jutaan bangsa-bangsa muslim dan kaum tertindas di dunia,
merasa bangga karena musuh mereka adalah juga musuh Allah yang
Mahabesar, musuh Al-Qur’an al-Karim, dan musuh Islam yang mulia. Kita
bangga karena musuh mereka adalah hewan-hewan yang tidak pernah berhenti
dalam melakukan kejahatan dan pengkhianatan demi mencapai tujuan
jahat mereka. Untuk mencapai posisi kepemimpinan dan keserakahan,
orang-orang jahat itu tidak mengenal kawan atau lawan.
Ketahuilah,
bahwa panglima tertinggi mereka adalah Amerika Serikat, sebuah negara
yang esensinya adalah terorisme yang telah membakar seluruh penjuru
dunia. Sementara itu, sekutu AS adalah gerakan Zionisme Internasional
[12]
yang selalu melakukan kejahatan dalam mencapai tujua tamaknya. Inilah
rezim yang wataknya sangat memalukan, bahkan bila esensinya itu hanya
diungkapkan lewat tulisan pena atau ucapan lidah sekalipun. Demi
mencapai impian bodoh mereka, yaitu Israel Raya
13], mereka telah melakukan segala bentuk kejahatan.
Negara-negara Islam dan kaum tertindas dunia merasa bangga bahwa musuh mereka adalah Husein dari Yordania
[14] , Hasan dari Maroko
[15], dan Husni Mubarak dari Mesir
[16],
yang bekerja sama dengan Isrel dalam berbagai kejahatan demi mengabdi
kepada AS dan Israel. Mereka adalah musuh-musuh Islam yang tidak
pernah berhenti melakukan kejahatan, bahkan kepada bangsa mereka
sendiri. Dan kita merasa bangga bahwa musuh kita adalah Saddam yang
mengabdi kepada paham Aflack.
[17]
Ia diktator yang oleh kawan ataupun lawannya, dikenal sebagai pelaku
kejahatan dan pelanggar hak-hak internasional, sekaligus pelanggar
hak-hak asasi manusia. Semua mengetahui bahwa kejahatan yang ia lakukan
kepada bangsa tertindas Irak dan negara-negara Syeikh di Teluk, tidak
kurang dari kejahatan yang dia lakukan terhadap Iran
[18]Kita
dan negara-negara tertindas di dunia juga merasa bangga bahwa setiap
tuduhan kejahatan dan pengkhianatan yang ditimpakan kepada kita dan
semua kaum tertindas dunia, selalu datang dari media massa dan badan
propaganda dunia, yang melakukan semua itu atas perintah negara adidaya.
Adakah
hal yang lebih membanggakan dari kenyataan bahwa AS ternyata tidak
berkutik menghadapi bangsa Iran dan negeri Imam Mahdi ini? Padahal, AS
selama ini merasa menjadi penguasa dunia karena memiliki klaim,
fasilitas militer, serta kekuasaan atas sejumlah pemerintahan bonekanya
dan juga kekuasaan atas kekayaan milik bangsa-bangsa tertindas,
padahal negeri adidaya ini memiliki segala jaringan media massa.
Tetapi, kini AS terus dipermalukan dan terjebak untuk terus melakukan
berbagai skandal.
Adakah
hal lain yang lebih membanggakan kita dibandingkan dengan fakta bahwa
AS sampai tidak tahu kepada siapa harus melobi ketika wajahnya
dipalingkan ke berbagai arah, ia menerima jawaban penolakan?
[19]
Hal ini semua bisa terjadi tidak lain karena adanya pertolongan gaib
dari Allah Swt yang telah membangunkan bangsa-bangsa, terutama bangsa
Iran , sekaligus membimbingnya keluar dari kegelapan akibat
pemerintahan yang keji, ke arah cahaya Islam.[]
[2] . Shah
pernah membuat proyek percetakan Al-Qur’an dengan maksud untuk menipu
rakyat Iran. Al-Qur’an tersebut dibuat dalam edisi luks yang sangat
indah. Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh Mirza Ahmad Neirizi (abad
ke-10 Hijriah) tersebut termasuk cetakan kitab suci terindah abad itu.
Setelah berhasil dicetak, Al-Qur’an itu diberi nama Arya Mehr dan
disimpan di perpustakaan pribadi Shah.
[3] . Raja
Fahd dari Arab Saudi adalah salah seorang pemimpin Arab yang cukup
dekat dengan Zionis Israel. Pada Konferensi Thaif, ia mengajukan
rancangan damai dengan Israel, yang salah satu butir rancangannya adalah
pengakuan secara resmi atas eksistensi negara Israel di kawasan
pendudukan Palestina. Rancangan Fahd ini tentu saja mendapatkan sambutan
hangat dari AS, Rezim Zionis, dan sejumlah negara Arab sekutu AS.
Tetapi, proposal itu mendapatkan penentangan luar biasa keras dari Imam
Khomeini. Dalam sebuah pidatonya, Imam menyebut rancangan Raja Fahd
itu sebagai pengkhianatan terhadap Islam dan rakyat Palestina. Dalam
menutupi tindakan pengkhianatannya itu, Raja Arab Saudi setiap tahunnya
menganggarkan jutaan dolar untuk mencetak Al-Qur’an dan membagikannya
kepada umat Islam di seluruh dunia.
[4] . Wahabi atau Salafi adalah
sebuah fenomena aliran yang memiliki akar budaya dan pada saat yang
sama, juga memiliki akar politik. Aliran ini memiliki prinsip-prinsip
keagamaan yang bermula dari pandangan Ibnu Taimiyyah, seorang pengikut
madzhab Hanbali. Ibnu Taimiyyah hidup pada abad kedelapan Hijriah. Ia
-yang menjalani hidup dengan keprihatinan dan kemiskinan- sangat
tertarik kepada ajaran Ahmad bin Hanbal, Imam Madzhab Hanbali (241
Hijriah). Ibnu Taimiyyah sebagaimana Ahmad bin Hanbal, dalam hal tauhid
meyakini apa yang tersurat dalam Al-Qur’an mengenai sifat-sifat Allah.
Karena itu, ia yakin bahwa Allah itu berjisim, memiliki tangan, kaki,
mata, lidah, dan lain-lain, sebagaimana manusia berjisim dan memiliki anggota. Keyakinan
semacam ini merupakan syirik yang nyata. Akidah Wahabi atau Salafi
jauh berbeda dengan akidah Ahli Sunah Wal jamaah dan Syi’ah Imamiyah.
Selain
keyakinannya yang kontroversial tentang zat Allah itu, Ibnu Taimiyyah
juga memiliki fatwa-fatwa baru yang aneh tentang keharaman menziarahi
kuburan Rasulullah Saw dan bertawasul atau mohon syafa’at dari Rasulullah Saw dan para awliya lainnya.
Hingga kini sudah banyak sekali ulama dari kalangan Sunni ataupun
Syiah yang telah menyampaikan bantahannya atas pemikiran aneh Ibnu
Taimiyyah itu. Tapi para pengikut Wahabi tetap saja keras kepala
mempertahankan akidahnya yang tidak logis dan merusak persatuan umat
tersebut. Dan mereka tidak mempunyai argumen yang kuat atas keyakinannya tersebut : (قل هاتوا برهانكم إن كنتم صادقين ).
[5] . Nahjul
Balaghah adalah sebuah kitab agung yang penuh dengan nilai dan makna.
Kitab ini diyakini sebagai yang terbaik dan terkenal setelah
Al-Qur’an. Ketinggian nilai sastra serta kehebatan isinya membuat
banyak ilmuwan tertarik untuk mempelajarinya. Banyak ilmuwan
non-muslim juga diberitakan secara tekun menelaah kitab ini. Nahjul
Balaghah berisikan khutbah, surat, dan kata-kata mutiara yang
diucapkan oleh Imam Ali As Penyusun kitab ini adalah Muhammad bin Abi
Ahmad atau yang lebih dikenal dengan nama Sayyid Radhi, seorang ulama
dan penyair terkenal (359 – 404 Hijriah). Makamnya berada di kawasan
Karukh, Baghdad, dan hingga kini termasuk tempat peziarahan yang
terkenal.
[6] . Terkait
dengan “Munajat Sya’baniah” ini, Ali bin Thawus, seorang ulama
ternama madzhab Syiah mengutip kata-kata Husein bin Muhammad yang
menulis bahwa Imam Ali a.s. dan semua imam dari keturunan beliau
selalu membaca doa ini di bulan Sya’ban (“Iqbal Al A’mal”, halaman 685
dan juga kitab “Mafatihul Jinan” pada bagian amalan bulan Sya’ban).
Imam Khomeini sendiri dalam kesempatan terpisah menjelaskan keagungan
doa ini sebagai berikut.
[7] . Doa
Arafah adalah catatan munajat yang dilakukan oleh Imam Husein a.s.
pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), sebelum beliau beserta keluarga dan
sahabat setianya pergi menuju Karbala. Di bawah teriknya mentari dan
sengatan padang pasir Arafah, Imam Husein menyampaikan munajat
historisnya sambil berurai air mata cinta. Isi doa ini adalah lambang
harapan dan cinta dari penghulu para syuhada kepada Kekasih dan
Sembahannya, yaitu Allah Sang Pencipta. Konsep yang terkandung dalam
doa ini sangat bernilai tinggi (“Iqbal Al A’mal”, Bab Amalan di Hari
Arafah halaman 339; “Zaad Al Ma’ad” halaman 265; “Mafatihul Jinan”,
bagian Amalan Hari Arafah).
[8] . Shahifah
Sajjadiah adalah kumpulan doa dari Imam Ali bin Husein Zainal Abidin
a.s. Kitab ini ada dua jenis. Yang pertama adalah “Shahifah Shaghirah”
yang diakui oleh sekte Syiah Zaidiah. Syiah Imamiah menyebut kitab
ini sebagai “Shahifah Naaqishah (tidak lengkap)”. Yang diakui oleh
kelompok Imamiyah adalah “Shahifah Kaamilah Sajjadiyah” yang sampai
kepada kita lewat periwayatan Najmuddin Baha’ Al Syaraf ‘Alawi. Kitab
ini ini juga mengandung konsep dan ajaran yang sangat tinggi. Untuk
menggali maknanya, kitab Shahifah Sajjadiah ini telah ditelaah dan
dijelaskan oleh para ulama. Di antara para ulama yang telah menulis
kitab syarah (penjelasan) atas kumpulan doa ini adalah Kaf’ami,
Syaikh Baha’i (kitab penjelasannya diberi judul “Hada’iq Al
Shalihin”), Mulla Hadi (dalam bahasa Persia dan kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa daerah Mazandarani), Syeikh Thuraihi, Mulla Muhammad
Baqir Al Majlisi, dan yang paling terkenal adalah Sayid Ali Khan
(diberi judul “Riyadh Al Salikin”).
[9].
Shahifah Fathimah adalah catatan percakapan Fathimah Az-Zahra a.s.
dengan malaikat Jibril dan rahasia yang disampaikan oleh Jibril dari
Allah Swt kepada Fathimah a.s. Kitab yang mulia ini tidak bisa ditemukan
karena berada di tangan para Imam Maksum a.s. yang diwariskan di
antara mereka secara turun-temurun. Saat ini, kitab tersebut diyakini berada di tangan Imam Mahdi a.f.
[10] . Baqirul
Ulum adalah nama julukan bagi Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin. Ia
adalah Imam Kelima madzhab Ahlul Bait a.s. Panggilan yang biasa
diucapkan oleh para pengikut madzhab Ahlul Bait kepadanya adalah Imam
Baqir. Nama julukan Baqir menurut riwayat diberikan oleh Rasulullah Saw.
Nama panggilan lain dari Imam Baqir adalah Abu Ja’far, karena ia
adalah ayah dari Imam Keenam, yaitu Imam Ja’far Shadiq a.s.
[11]
. Fiqih Ja’fari adalah prinsip dan dasar-dasar fiqih Syiah yang
diajarkan oleh Imam Keenam dari madzhab Ahlul Bait, yaitu Imam Ja’far
Shadiq a.s. (hidup antara tahun 80-83 hingga 148 hijriah). Dia gugur
Syahid di Madinah dan dimakamkan di Pekuburan Baqi’, Madinah.
[12] . Zionisme
Internasional adalah pemikiran fanatis yang dimiliki oleh para
kapitalis Yahudi yang pada akhir abad lalu muncul di Eropa dan sekarang
menjadi ideologi resmi rezim penjajah Baitul Maqdis. Nama ini diambil
dari Gunung Zion di dekat Baitul Maqdis. Pemikiran rasialis ini
menyatakan bahwa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan yang memiliki posisi
istimewa di dunia. Berdasarkan pemikiran ini, pada tahun 1898,
didirikanlah Organisasi Zionis Internasional yang bertujuan untuk
memindahkan kaum Yahudi dari berbagai penjuru dunia ke Palestina.
Organisasi
tersebut kini memiliki kekuatan dana yang tidak terbatas, yang setara
dengan kekayaan perusahaan-perusahaan monopoli terbesar di dunia.
Pusat organisasi ini di AS dan aktivitas komunitas Zionis mengontrol
lebih dari 60 negara dunia. Dewasa ini, ada sekitar 18 organisasi
Zionis yang beraktivitas di dunia. Sementara itu di AS, negara yang
merupakan pendukung utama Zionisme Internasional, ada 281 organisasi
nasional Yahudi, 251 federasi lokal Yahudi, serta berbagai organisasi
dan lembaga keuangan Yahudi lainnya, yang semuanya terkait dengan
Zionisme.
Organisasi
Zionisme Internasional juga memiliki lembaga intelijen dan mata-mata
di sebagian besar negara dunia yang terkait dengan agen rahasia
Israel, MOSSAD dan agen rahasia AS, CIA. Senjata terpenting dan
terampuh yang dimiliki oleh Zionisme Internasional adalah media massa
yang dikuasai oleh kaum Yahudi di seluruh dunia. Secara keseluruhan,
ada 1.036 koran dan majalah yang dikuasai Yahudi, dan yang paling
terkenal di antaranya adalah koran New York Times.
[13]
. Israel Raya adalah sebuah pemerintahan yang dicita-citakan kaum
Yahudi, yaitu pemerintahan dunia yang berada di bawah kekuasaan kaum
Yahudi. Ini adalah tujuan utama yang ingin dicapai oleh para pendiri
gerakan Zionisme. Berdasarkan cita-cita pendirian Israel Raya ini,
setelah dibentuknya pemerintahan Israel pada tahun 1948 di atas tanah
milik bangsa Palestina, orang-orang Zionis berupaya merealisasikan
cita-cita tersebut. Untuk menjustifikasi hal ini, mereka menggunakan
dalil-dalil yang ada di kitab Taurat. Daerah-daerah yang diklaim sebagai
wilayah dari Israel Raya sebagian besar adalah kawasan negara-negara
muslim atau sebagian wilayah dari sebuah negara yang dihuni oleh umat
Islam. Dalam peta Israel Raya yang dimuat dalam laporan penelitian
Benyamin Mazar yang diterbitkan di bawah pengawasan pemerintahan Israel,
kawasan Israel Raya membentang luas dari Sungai Nil hingga Sungai
Eufrat, dan melingkupi Teluk Persia, Irak utara, Muscat, Oman, Nejd,
Turki, Suriah, Libanon selatan, Palestina utara, Jordania barat,
sebagian Mesir, dan bagian selatan Sudan. Selain itu, ada pula peta
Israel yang lebih besar lagi, yang akan direalisasikan setelah
terwujudnya Israel Raya, yaitu meliputi Kurdistan, daerah tenggara Iran,
barat daya Afghanistan, dan sebagian dari barat laut Pakistan.
Pada
akhir abad ke-19, seorang wartawan Yahudi keturunan Austria bernama
Theodore Hertzel, dengan menulis sebuah makalah, mengundang seluruh
kaum Yahudi yang hidup terpencar-pencar di berbagai penjuru dunia
untuk membentuk sebuah negara. Ia juga mengundang seluruh umat Yahudi
untuk kembali kawasan yang disebutnya sebagai tanah air asli mereka,
yaitu Palestina. Dengan demikian, Hertzel telah memperbaharui isu
“kembali ke tanah yang dijanjikan” dalam pikiran kaum Yahudi sedunia.
Organisasi
Zionisme Internasional yang mengumumkan bahwa tujuan didirikannya
lembaga itu adalah untuk memindahkan kaum Yahudi dunia ke Palestina,
kemudian melakukan usaha meluas dalam merealisasikan tujuan ini. Atas
lobi dan infiltrasi yang kuat dari kaum Yahudi, pemerintah Inggris pada
tahun 1917 mengeluarkan Deklarasi Balfour (Balfour adalah nama Menlu
Inggris saat itu) yang isinya mengakui bahwa Palestina adalah tanah
milik Bani Israel. Deklarasi Balfour kemudian juga disepakati oleh
pemerintah Perancis, Italia, dan AS.
Pada
tanggal 29 November 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang
membagi Palestina menjadi dua bagian, yaitu wilayah Arab yang luasnya
4.500 mil persegi dan wilayah Israel yang meliputi 289 mil persegi.
Akhirnya, pada tanggal 4 Mei 1948, pemerintahan Israel secara resmi
didirikan. Uni Soviet adalah negara pertama di dunia yang mengakui
pendirian negara Israel.
[14] . Husain
Yordania adalah Raja Yordania (kini sudah meninggal, pen.). Nama
lengkapnya adalah Husain bin Thalal. Lahir tanggal 4 November tahun 1935
di Amman. Pendidikannya dimulai di TK Inggris di Amman, lalu
dilanjutkan ke sekolah Victoria di Mesir, dan akhirnya dilanjutkan ke
Universitas Harvard. Pada tahun 1951, kakeknya, Raja Abdullah, tewas di
tangan seorang pemuda revolusioner Palestina. Atas dukungan Inggris,
anak Abdullah, yaitu Thalal diangkat sebagai raja dan Husain bin Thalal
pun menjadi putra mahkota. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 11
Agustus 1951, parlemen Yordania menurunkan Raja Thalal dari jabatannya
dan Husain bin Thalal dinobatkan sebagai raja. Selama masa
pemerintahannya, Raja Husain selalu mendapatkan dukungan dari Inggris.
Menyusul keluarnya Inggris dari Terusan Suez dan masuknya AS secara
bertahap ke kawasan tersebut, Raja Husain juga memperoleh dukungan dari
AS.
Politik
luar negeri di kawasan Timur Tengah yang dijalankan oleh pemerintahan
Husain bin Thalal selalu mengikuti kebijakan AS dan Inggris di
kawasan tersebut. Pada tahun 1967, ketika Perang Arab dan Israel
dimulai, Raja Husain melakukan pengkhianatan dengan menjalin
perjanjian dengan Rezim Zionis, sehingga kekuatan Arab menjadi
terpecah dan Rezim Zionis berhasil menduduki Tepi Barat Sungai Jordan
yang meliputi Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha, lalu menggabungkannya
dengan wilayah Palestina yang sebelumnya sudah diduduki Israel.
Akibatnya 400 ribu warga Palestina menjadi pengungsi ke Jordania.
Dalam menghadapi banjir pengungsi ini, Raja Husain bersikap keras
sehingga terjadilah tragedi yang disebut sebagai September Hitam pada
tahun 1970, yaitu pembunuhan massal terhadap para pengungsi Palestina.
[15] . Hasan
Maroko adalah Raja Maroko. Dia lahir pada tahun 1929 dan merupakan
anak dari Raja Muhammad V. Pendidikannya dilalui di Perancis dan
setelah ayahnya meninggal, dia diangkat sebagai raja dengan nama Raja
Hasan II. Sejak Raja Hasan II naik tahta, hubungan Maroko-Perancis
mengalami perluasan dan negara muslim ini semakin menjadi korban
serangan budaya dari Barat. Pemerintah Maroko secara umum mengadakan
kerjasama di bidang budaya, ekonomi, dan politik dengan Perancis.
Disebutkan pula bahwa Anwar Sadat, Presiden Mesir saat itu, berkenalan
dengan Rezim Zionis melalui Raja Hasan II karena Maroko memang
memiliki hubungan tradisional dengan Zionis, bahkan setiap tahunnya
selalu diadakan konferensi Yahudi di Maroko.
Maroko
bisa dikatakan satu-satunya negara muslim tempat orang-orang Zionis
bisa melakukan segala aktivitasnya dengan bebas. Bahkan pada tahun
1991, Raja Hasan mengangkat seorang Yahudi bernama Andre Azoulay
sebagai penasehat tinggi.
[16] . Husni
Mubarak diangkat sebagai Presiden Mesir sejak tahun 1981 setelah
pendahulunya, Anwar Sadat, tewas di tangan tentara pengawalnya sendiri,
Khaled Islambuli. Kebijakan politik luar negeri, khususnya Timur
Tengah, yang diambil Husni Mubarak tidak jauh berbeda dengan kebijakan
pendahulunya. Pada tahun 1982, dalam wawancara dengan stasiun CNN,
Husni Mubarak berkata, “Pintu kami terbuka bagi teman-teman bangsa
Arab, selama tidak mengorbankan hubungan kami dengan Israel. Kami mampu
memainkan peran yang penting untuk menghilangkan segala ketegangan
yang selalu muncul di antara teman-teman Arab dengan Israel.”
[17] . Michael
Aflack adalah pendiri Partai Ba’ats yang beraliran sosialis. Setelah
Partai Ba’ats meraih kekuasaan di Irak, Saddam Husain menjadi orang
nomor dua di Irak, yaitu sebagai wakil presiden. Presiden Irak saat itu
adalah Hasan Al Bakr yang juga menjabat Ketua Dewan Revolusi Irak.
Namun, pada prakteknya, kontrol atas negara berada di tangan Saddam.
Pada tahun 1979, Dewan Revolusi Irak menyepakati pengunduran diri Hasan
Al Bakr dan Saddam diangkat sebagai presiden.
Salah
satu kejahatan terbesar yang dilakukan Saddam adalah invasinya ke
Iran yang dilakukan satu setengah tahun pasca kemenangan Revolusi
Islam di bawah pimpinan Imam Khomeini. Invasi Irak yang dilakukan atas
dukungan AS itu semula diperkirakan akan berlangsung singkat dan
Republik Islam Iran yang baru lahir itu akan segera jatuh ke tangan
Irak. Namun, perlawanan bangsa Iran yang gigih membuat perang
berlanjut hingga delapan tahun.
Kejahatan
Saddam lainnya—yang awalnya juga mendapat lampu hijau dari AS dan
Inggris—adalah serangan terhadap Kuwait. Saddam dalam waktu singkat
berhasil menduduki Kuwait dan menyebabkan para Amir dan Syekh Kuwait
melarikan diri dari Kuwait. AS dan negara-negara Barat kemudian
mengirimkan pasukan ke Teluk Persia dalam jumlah yang sangat besar.
Serangan dari berbagai arah yang dilancarkan oleh pasukan multinasional
berhasil mengusir keluar pasukan Irak dari Kuwait. Para Amir dan
Syeikh Kuwait pun kembali ke negara mereka.
Perang
Teluk ini selain mengakibatkan kesengsaraan atas rakyat Irak akibat
embargo yang ditetapkan PBB, juga menyebabkan Arab Saudi dan Kuwait
harus menanggung biaya perang yang sangat besar. Sebaliknya, perang ini
memberi kentungan besar kepada pabrik-pabrik senjata Barat, terutama
AS, yang menjual senjata-senjata mereka dengan harga berkali-kali lipat
kepada Arab Saudi dan Kuwait. Berbagai media massa melaporkan, invasi
Irak ke Kuwait dan meletusnya Perang Teluk yang melibatkan pasukan
multinasional telah menyebabkan naiknya angka penjualan senjata dan
peralatan perang secara drastis, sehingga berhasil menyelamatkan
sebagian besar perusahaan-perusahaan senjata Barat dari kebangkrutkan.
[18] . Kejahatan
dan pengkhianatan Saddam terhadap bangsa Irak tidak bisa dijelaskan
secara sederhana. Diktator Irak ini dengan menerapkan politik despotik
telah membelenggu kebebasan individu dan masyarakat Irak sekaligus
menciptakan atmosfer yang mencekik rakyat. Untuk mencapai ambisinya,
Saddam tidak segan-segan mengorbankan rakyatnya sendiri, misalnya
pengeboman kimia terhadap kota Halabche di Irak yang menewaskan ribuan
warga kota itu. Saddam juga selalu mengobarkan isu-isu fanatisme Arab
dan “Perlindungan atas Bangsa Arab”. Namun, dalam invasinya terhadap
Republik Islam Iran, korban terbesarnya justru warga Iran yang beretnis
Arab di wilayah Khuzestan.
Arab
Saudi dan para penguasa negara-negara Teluk yang dalam agresi Irak
ke Iran tidak pernah menunda-nunda pemberian bantuannya kepada tentara
Saddam, juga tidak luput dari sengatan api keserakahan Saddam. Hanya
sekitar dua tahun setelah berakhirnya perang Irak-Iran, Saddam
membalas kebaikan negara-negara Arab tetangganya itu dengan cara
menganeksasi Kuwait. Jika saja tentara multinasional tidak turun
tangan, niscaya Kuwait, Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya
akan menjadi korban keganasan Saddam. Keganasan Saddam bahkan merambah
hingga ke keluarga terdekatnya, sampai-sampai mereka sendiri tidak
tahan dengan hal itu. Kita pernah menyaksikan larinya dua anak
perempuan Saddam beserta kedua suaminya ke luar negeri untuk
menjauhkan diri dari keganasan ayah mereka sendiri.
[19] . Maksud
dari kalimat Imam “jawaban penolakan terhadap AS” adalah terkait
dengan prediksi Imam Khomeini yang di kemudian hari terbukti
kebenarannya. Salah satu contoh dari masalah ini adalah embargo ekonomi
yang diterapkan AS terhadap Iran. Selain tidak memberikan hasil
apapun bagi AS, usaha AS untuk mempengaruhi bangsa-bangsa lain agar
ikut serta dalam program embargo ini juga tidak membuahkan hasil. Data
ekonomi justru menunjukkan bahwa tingkat kerjasama ekonomi antara
Iran dan negara-negara Eropa malah semakin meningkat. Tekanan AS untuk
membuat Rusia menghentikan kerjasamanya dengan Iran di bidang nuklir
bertujuan damai juga mengalami kegagalan.
Pidato Mantan Presiden Bush Tentang Indonesia (Menakutkan).
Pidato
Mantan Presiden bush.
Sifat : Rahasia
Waktu : Rahasia
Tempat : Rahasia
Sifat : Rahasia
Waktu : Rahasia
Tempat : Rahasia
Kepada yang terhormat Direktut CIA, FBI, Direktur Bank Dunia, ADB, IMF, CEO Haliburton, Exxon Mobil, freeport, Bangkir2 Internasional, Dan semua yang telah membantu kami membiayai perang irak, Afganistan, serta menyebarluaskan kakuasaan Imperium global, Direktur media dan televisi CNN, ABC, NBC, yang telah membantu propaganda kita, kami ucapkan terima kasih.
Hari ini adalah hari yang sangat penting karena pada hari ini saya akan melaporkan keadaan indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya islam, yang dulu kita takuti itu, sekarang sama sekali tak berdaya di hadapan kita.
Karena kini tak ada satupun yang perlu kita takutkan dari negeri itu, laporan Intelejen mengatakan bahwa tak ada satupun bahaya potensial yang akan menggangu kepentingan kita di negeri itu.
Kita tidak perlu takut kepada angkatan bersenjata mereka, karena senjata yang mereka gunakan adalah kiriman dari negeri kita, lihatlah ketika kita jatuhkan embargo senjata, tentara-tentara mereka seperti maung ompong ha ha ha ha (penonton tertawa), yang lebih lucu lagi kemarin presidennya sendiri yang memelas pada kita untuk menghentikan embargo itu ha haha. (penonton tertawa).. kasihan-kasihan.
Tak perlu takut pada generasi mudanya, rupanya faham materialisme, budaya konsumtif, hedonisme, individualisme, yang kita ajarkan itu lewat iklan-iklan kita, tayangan-tanyangan televisi kita, film-film kita, propaganda-propaganda kita, sudah tertanam pada hati dan pikiran sebagian besar dari mereka, jangankan memikirkan negeri atau umatnya lebih-lebih agamanya, kini mereka hanya memikirkan kesenangan diri mereka sendiri, bayangkan saja Negara semiskin itu penduduknya menempati urutan tertinggi dalam urusan berbelanja baju ke Singapura, mengalahkan jepang, australia, dan cina sekalipun. ha ha ha (penonton tertawa).
Tak perlu takut tentang pelajar-pelajarnya, karena mahasiswa-mahasiswa terbaiknya selalu kita rekrut dan kita pekerjakan di perusahaan-perusahaan minyak atau tambang kita, dan kita menyuap mereka dengan gaji yang besarnya sama dengan loper koran di negeri kita ha ha ha. ( penonton tertawa ).
Bayangkan orang-orang terbaiknya hadirin.
Tak perlu takut kepada pemimpin politik dan pejabatnya, karena sebagian besar dari mereka adalah orang yang gila jabatan dan sangat mudah untuk di suap, untuk uang dan jabatan, mereka bisa kita minta untuk melakukan apa saja sesuai keinginan kita. ha ha ha ha ( penonton tertawa ).
Tunggu,tunggu, Ada kabar yang lebih menggembirakan lagi, menurut laporan Intelejen yang saya terima, bahwa umat islam di sana telah terkotak-kotak menjadi banyak kelompok dan golongan. Tiap-tiap kelompok menjatuhkan yang lain dan mengganggap kelompoknya yang lebih baik dari yang lain, ada bibit kebencian yang besar di antara mereka yang dapat kita manfaatkan. sangat mudah bagi Intelejen kita yang berpengalaman untuk mengadu domba diantara mereka.
Hutang mereka sudah sangat besar dan hampir mustahil bisa mereka bayar, 22% APBN mereka habis untuk membayar hutang kepada kita, sehingga mengurangi anggaran pendidikan mereka, kesehatan mereka, dan pelayanan sosial mereka. Sehingga di negeri itu banyak penduduknya yang kelaparan, miskin, sakit dan tak mampu berobat, ini merupakan keuntungan bagi kita. Karena semakin lama jika kondisi tidak berubah, maka akan tercipta generasi yang lemah dari negeri itu. Yang tidak akan mampu melawan kita, seperti yang selama ini kita harapkan.
Kekayaan negeri mereka hampir semuanya kita kuasai, lebih dari 96 % ladang minyak mereka telah kita miliki, tambang batu-bara, tembaga, emas, yang beroperasi di negeri itu hampir semuanya adalah milik kita. Lebih dari itu mimuman-minuman, makanan-makanan, buku-buku, walau banyak yang ngopi, komputer-komputer, software-soffware mereka, walau banyak yang ngebajak, bahkan odol dan sabun yang mereka gunakan adalah produksi perusahaan2 kita. ha ha ha (penonton tertawa),
....Indonesia merupakan ladang dollar kita yang harus tetap kita pertahankan
bagaimanapun caranya, 200 juta lebih penduduk negari itu merupakan konsumen bagi produk-produk perusahaan kita.
Singkat kata Indonesia telah kalah dari kita baik dari segi Ekonomi, militer, politik, budaya,Teknologi, dan lain-lain dan lain-lain
Untuk menjaga agar kondisi ini tetap berlangsung, maka saya sarankan agar lebih mengefektifkan promosi budaya konsumtif dan hedonisme kepada mereka, kepada agen-agen CIA agar memecah belah umat islamnya, tebarkan kecurigaan dan fitnah di antara mereka,biar mereka terus berkelahi dan tidak punya waktu untuk melawan Imperialisme kita, terus rekrut generasi muda terbaiknya agar bekerja untuk perusahaan-perusahaan kita, sehingga tidak akan banyak gerakan yang menentang kita.
Sebelum mengakhiri pidato ini, saya ucapkan terima kasih atas kerja sama yang luar biasa ini, kepada seluruh pihak yang telah ikut serta membantu usaha kita, perusahaan-perusahaan Multinasional, Televisi dan Media masa, Bank Dunia, IMF, CGI, Negara-Negara sekutu, Economic Hit Man, Mafia Berkeley, yang terhormat pejabat korup indonesia. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Sekian dan terima kasih.
President USA
George W. Bush
Sumber dirahsiakan.......
Terungkapnya Daftar Kebusukan Pemerintahan Bush!
AMERIKA (Berita SuaraMedia) - Bagaimana nasib mantan Presiden AS George W Bush paska meninggalkan kursi kekuasaan?
Seperti diberitakan sebelumnya, Senator Patrick Leavy dari Partai Demokrat yang juga mengepalai Komite Yuridis di Senat AS menyerukan pembentukan "Komisi Kebenaran" untuk menyelidiki dugaan adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan mantan presiden George W. Bush selama masa pemerintahannya.
Dan sejauh ini telah ditemukan beberapa bukti kuat yang menyatakan Bush telah melakukan kejahatan perang selama masa pemerintahannya.
Tuduhan Pertama: Bush Bantai Nelayan Jepang.
Bush, ayah dari mantan presiden George W. Bush, dituduh terlibat dalam aksi terorisme, mafia, dan penjualan obat bius, baik selama menjabat sebagai sebagai pimpinan CIA (1976-1977) maupun ketika menjabat sebagai Wakil Presiden (1980-1988) hingga ketika menjadi Presiden (1989-1992). Selain terbukti terlibat dalam pembunuhan Presiden Kennedy, dia juga dituduh telah melanggar konvensi Jenewa ketika sedang bertugas sebagai pilot pesawat AS selama masa perang. dia dituduh menyerang nelayan yang sedang berada dalam sekoci penyelamat pada saat perang dunia II. Orang terakhir yang menyatakan tuduhan ini adalah mantan diktator Panama dan antek CIA, Jenderal Manuel Noriega, yang pada saat ini sedang menjalani hukuman 40 tahun penjara di Amerika Serikat. "Pembunuh berdarah dingin" adalah julukan yang dia berikan pada Bush ketika dia menceritakan kejadian pembantaian nelayan Jepang yang sedang terapung di sekoci penyelamat. Bush masih tetap menembak mereka semua meskipun mereka sudah mengangkat tangan dan menyerah, hal tersebut terjadi pada 1944. Menurut The Observer, Bush menolak tuduhan tersebut.
Dalam wawancaranya dengan The Observer, Noriega juga menyatakan bahwa Bush bertanggung jawab atas beberapa peledakan di Palestina ketika dia menjabat sebagai pimpinan CIA pada 1976. Peledakan tersebut menghancurkan mobil milik William Drummond, seorang penduduk AS terkemuka yang menghuni Zona Canal. Dia adalah seorang yang cukup tegas dalam menyuarakan kritik dari perundingan AS dan Panama, dan ledakan tersebut konon telah diatur oleh CIA sebagai upaya menekan penduduk AS untuk mengakhiri perlawanan terhadap perjanjian tersebut.
Noriega Berkata, "Kedutaan AS di Panama tidak mengetahui rencana tersebut dan merasa panik. http://www.suaramedia.com/
Saddam dan Kebiadaban Bush.
- Oleh Chusnan Maghribi
AKHIRNYA Presiden Irak terguling, Saddam Hussein menjalani eksekusi
mati dengan cara digantung di Bagdad, Sabtu 30 Desember 2006. Sungguh,
eksekusi mati atas mantan orang nomor wahid Irak itu menyayat hati siapa
pun yang peduli dengan substansi etika demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan
universal. Mengapa demikian ?
Logis, vonis gantung yang dijatuhkannya pada diri Saddam (5/11/06) yang dianggap terbukti bersalah melakukan kejahatan kemanusiaan di Kota Dujad tahun 1982 ditentang serta dikecam oleh banyak lembaga hukum dari banyak negara. Bahkan Vatikan bersama sejumlah pemerintah dari negara Eropa turut serta menentang vonis gantung tersebut. Tapi tentangan dan kecaman mereka tak sanggup mendorong IHT ataupun Washington mau mengubah vonis gantung itu menjadi hukuman seumur hidup misalnya.
Kedua, tidak fairnya proses pengadilan atas diri Saddam menjadi semakin lebih kasat mata, terang-terangan, lantaran Saddam sejak ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat Desember 2003 sampai dijemput untuk digantung tidak ditempatkan di penjara, melainkan ditahan di kamp militer AS di Bagdad yang dikenal dengan green lines (jalur hijau) yang senantiasa dijaga ekstra-ketat oleh militer AS.
Dipaksa Tanda Tangan.
Tak lama setelah upaya naik bandingnya ditolak, Saddam Hussein dipaksa menandatangani berita acara mengenai pelaksanaan eksekusi matinya tanpa didampingi seorang pun pengacaranya, meski Saddam menolak menandatanganinya.
Ketiga, pelaksanaan hukuman gantung sejatinya tidak manusiawi, tidak beradab. Sungguh ironis, di tengah kemajuan pesat peradaban umat manusia di milenium ketiga ini masih ada praktik hukuman mati dengan cara digantung. Lebih-lebih pihak yang berdiri di balik pelaksanaan hukuman gantung itu adalah AS, sebuah negara besar yang serba maju di bidang apa pun, yang senantiasa mengklaim sebagai kampiun demokrasi dan penegak hak asasi manusia (HAM) di dunia.
Keempat, hukuman gantung atas Saddam dilaksanakan bertepatan dengan sebagian umat Islam di dunia merayakan hari besar Idul Adha. Sungguh sebuah pelecehan memuakkan. Saat sebagian umat Islam khusuk menjalani ritual suci hari raya kurban dengan memuji keagungan Tuhan serta menyembelih hewan kurban bagi mereka yang berkemampuan, justru ada anak Adam yang bertindak kejam /biadab dengan mengeksekusi anak Adam yang lain di tiang gantungan. Mereka laksana malaikat Izroil yang diberi mandat Tuhan untuk mencabut nyawa Saddam Hussein.
Wajar ada sebagian umat Islam tersinggung atas pelaksanaan eksekusi gantung itu. Momentum sakral Idul Adha yang mengandung pesan nilai kemanusiaan nan tinggi dan luhur dinodai oleh pemerintahan PM Nuri Al-Maliki dan Presiden Jalal Talabani yang didikte George W Bush dengan menggantung Saddam Hussein. Sungguh biadab, tak bermoral.
Kebiadaban George Bush bersama pemerintah bonekanya di Irak itu kian menjadi-jadi karena mereka membiarkan publik bebas mengambil gambar pelaksanaan eksekusi gantung itu.
Apakah lembeknya sikap pemerintah Indonesia karena takut pada AS dan demi terjaganya hubungan "baik" Jakarta - Washington? Jika demikian, sungguh naif, pemerintah Indonesia tak berani berkata "tidak" kepada pihak yang nyata-nyata melecehkan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, demi hubungan bilateral RI - AS yang belum tentu akan menguntungkan
Bahkan masyarakat di Baghdad dengan menggunakan ponsel mereka masing-masing saling tukar-menukar gambar pelaksanaan hukuman gantung mantan Presiden Irak tersebut. Fakta ini memperkuat anggapan, betapa mantan Presiden Saddam Hussein yang pernah berhasil menyatukan segenap masyarakat Irak yang plural itu di akhir hayatnya tidak diperlakukan secara manusiawi, bahkan diperlakukan seperti hewan kurban. Inikah tujuan sesungguhnya Saddam dieksekusi mati bertepatan dengan sebagian umat Islam merayakan hari raya kurban?
Yang pasti, dengan kenyataan seperti itu, betapa tragis dan memilukan nasib akhir hayat Saddam Hussein. Mantan orang kuat Irak itu diperlakukan kejam oleh lawan-lawan politiknya yang sepertinya sudah tidak bernurani dan berperikemanusiaan lagi itu.
Memang betul, sewaktu berkuasa (Juli 1979 sampai Maret 2003), Saddam yang menganut Islam Sunni itu dikenal sebagai pemimpin diktator dan bengis. Ia acap kali bertindak kejam terhadap kaum Syiah, etnis Kurdi maupun siapa saja yang beroposisi dan menentang kekuasaannya. Tapi, haruskah ia dibalas dengan perlakuan kejam dan keji seperti itu ?
Bukankah Presiden AS George W Bush sesungguhnya jauh lebih kejam dan keji ketimbang Saddam Hussein? Keputusannya menginvasi Irak 20 Maret 2003 dan berlanjut sampai sekarang telah menewaskan sekitar 625.000 penduduk sipil Irak. Hanya dalam tempo 3 -4 tahun terakhir "keputusan salah" George Walker Bush mengakibatkan lebih dari setengah juta nyawa warga Irak terenggut paksa.
Karena itu, Bush lah yang sejatinya pantas ditetapkan sebagai penjahat perang dan layak dihukum mati, bukan Saddam Hussein yang sampai hembusan nafas terakhirnya tetap gentleman dan konsisten berkata "tidak" terhadap Bush dengan AS-nya yang notabene sang diktator global yang hipokrit dan licik .
Di tengah kontroversi eksekusi hukuman gantung Saddam Hussein tersebut kita patut menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang lembek, tak mau (kalau bukan dikatakan tidak berani) mengecam pelaksanaan hukuman gantung Saddam yang jelas-jelas bernuansa politik: demi pemenuhan dendam kesumat khususnya Presiden AS George Walker Bush .
Apakah lembeknya sikap pemerintah Indonesia karena takut pada AS dan demi terjaganya hubungan "baik" Jakarta - Washington? Jika demikian, sungguh naif, pemerintah Indonesia tak berani berkata "tidak" kepada pihak yang nyata-nyata melecehkan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, demi hubungan bilateral RI - AS yang belum tentu akan menguntungkan kita. (11)
- Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, pegiat Sanggar Inspirasi di Yogyakarta.
Perang Teluk I : Arab Saudi Undang Pasukan Asing Ke Tanah Suci !! Biadab
Pesawat tempur AS melintasi kilang minyak yang terbakar. | |||||||||
|
|||||||||
Pihak yang terlibat | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Koalisi PBB |
Irak |
||||||||
Komandan | |||||||||
Norman Schwarzkopf | Saddam Hussein | ||||||||
Kekuatan | |||||||||
660.000 | 360.000 | ||||||||
Jumlah korban | |||||||||
378 tewas, 1.000 terluka |
25.000 tewas, 75.000 terluka |
|
Perang Teluk Persia I atau Gulf War disebabkan atas Invasi Irak atas Kuwait 2 Agustus 1990 dengan strategi gerak cepat yang langsung menguasai Kuwait. Emir Kuwait Syeikh Jaber Al Ahmed Al Sabah segera meninggalkan negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak dengan nama Saddamiyat Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990, sekalipun Kuwait membalasnya dengan serangan udara kecil terhadap posisi posisi Irak pada tanggal 3 Agustus 1991 dari pangkalan yang dirahasiakan (kemungkinan berada di Arab Saudi.
Latar belakang.
Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam Perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Irak juga terjerat utang luar negeri dengan beberapa negara, termasuk Kuwait dan Arab Saudi. Irak berusaha meyakinkan kedua negara tersebut untuk menghapuskan utangnya, namun ditolak. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki.Tengah malam tanggal 2 Agustus 1990 Irak secara resmi menginvasi Kuwait, dengan membombardir ibu kota Kuwait City dari udara. Meskipun Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun udara berusaha mempertahankan negara, mereka dengan cepat kewalahan. Namun, mereka berhasil memperlambat gerak Irak untuk memaksa keluarga kerajaan Kuwait untuk meloloskan diri ke Arab Saudi, beserta sebagian besar tentara yang masih tersisa. Akibat invasi ini, Kuwait meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990.
Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab dan AfrikaUtara kecuali Syria, Libya dan Yordania serta Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat, ditambah negara-negara Eropa Utara dan Eropa Timur), serta 2 negara Asia – Bangladesh dan Korea Selatan. Sementara, dari Afrika, Niger turut bergabung dalam koalisi. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen. Khalid bin Sultan.
Misi diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal (9 Januari 1991). Irak menolak permintaan PBB agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Akhirnya Presiden Amerika Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Operasi Badai Gurun dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara masif atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.
Target utama koalisi adalah untuk menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Irak dan pertahanan udara, yang diluncurkan dari Arab Saudi dan kekuatan kapal induk koalisi di Laut Merah dan Teluk Persia. Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Saddam Hussein merupakan titik sentral komando Irak, dan inisiatif di level bawah tidak diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat komando rusak, semangat dan koordinasi tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap. Target ketiga dan yang paling utama adalah instalasi rudal jelajah, terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal ini juga didukung oleh pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di daratan untuk mencari, dan bila perlu, menghancurkan instalasi rudal tersebut. serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.
Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Sovyet rakitan Irak, yang bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud, koalisi memasang rudal penangkis, Patriot, serta memaksimalkan sorti udara untuk memburu rudal-rudal tersebut sebelum diluncurkan. Irak juga melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Sovyet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Sovyet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto, meskipun Uni Sovyet pada saat itu dikenal sebagai sekutu Irak, terutama dalam hal suplai persenjataan. Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan.
Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai
.
Perang Teluk Persia I atau Gulf War disebabkan atas
Invasi Irak atas Kuwait 2 Agustus 1990 dengan strategi gerak cepat yang
langsung menguasai Kuwait. Emir Kuwait Syeikh Jaber Al Ahmed Al Sabah
segera meninggalkan negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak
dengan nama Saddamiyat Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990, sekalipun
Kuwait membalasnya dengan serangan udara kecil terhadap posisi posisi
Irak pada tanggal 3 Agustus 1991 dari pangkalan yang dirahasiakan.
Invasi Irak ke Kuwait menjadi pukulan keras bagi
Amerika Serikat yang merupakan ancaman serius bagi kepentingannya di
Teluk Persia guna menjamin terus mengalirnya minyak dunia dan mencegah
hegemoni musuh di region Teluk Persia. Amerika Serikat memprediksikan
jika Irak berhasil menguasai Kuwait maka 9% minyak dunia di kuasai Irak
dengan saingannya Arab Saudi yang berhasil menguasai 11% produksi minyak
global.
Faktor – Faktor Penyebab terjadinya Perang :
Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990.
Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab kecuali Syria, Libya dan Yordania serta Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat), serta beberapa negara di kawasan Asia. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen. Khalid bin Sultan.
Misi diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal (9 Januari 1991). Irak menolak permintaan PBB agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Akhirnya Presiden Amerika Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Operasi Badai Gurun dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.
Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Sovyet rakitan Irak, serta melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia.
Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Sovyet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Sovyet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto. Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan.
Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai.
Akibat Perang Kuwait :
- Ladang minyak kuwait mengalami kerusakan berat
- Perekonomian Irak mengalami kehancuran serta terkena blokade ekonomi dan sanksi embargo dari PBB
- Amerika semakin kuat pengaruhnya di Timur Tengah
- Perpecahan di negara Arab
- Adanya sikap anti USA
.
kuburan massal di Najaf diziarahi.
Sebuah kuburan masal yang ditemukan di markas organisasi Mujahedin-e Khalq (Mujahedin-e Khalq Organization – MKO) di Irak mengungkapkan teka-teki Perang Teluk tahun 1991.Petugas polisi di propinsi Diyalah mengatakan bahwa kuburan masal itu berisi jenazah warga Kuwait yang menjadi korban invasi rezim Baath selama tujuh bulan di Kuwait.
“Kami telah mendapat informasi bahwa sebuah kuburan masal telah ditemukan di Kamp Ashraf. Tentu saja kami tahu ada kuburan di markas MKO, tapi selama ini kami kira itu kuburan anggota MKO sendiri,” ujar Abdulhussein al-Shemri, seorang komandan polisi lokal.
Telah dikonfirmasi, laporan itu akan mengungkapkan keterlibatan MKO dalam perang Saddam Hussein di Kuwait, yang menewaskan lebih dari 3.664 orang Irak dan 1.000 orang Kuwait.
Pemimpin MKO disebutkan telah menyembunyikan keberadaan kuburan itu selama ini dengan tidak mengijinkan tentara Irak masuk ke markasnya.
Penemuan kuburan masal itu bertepatan dengan pemberian ijin kepada koresponden regional oleh pemerintah Irak untuk menyiapkan sebuah laporan dari Kamp Ashraf di mana MKO bermarkas selama lebih dari dua dekade.
Insiden itu mendorong pemerintah Irak untuk menarik ijin yang telah diberikan dan melarang jurnalis melakukan laporan video dari lokasi tersebut.
MKO merupakan salah satu kelompok yang paling ditakuti oleh kaum Syiah Irak maupun Iran.
MKO yang menggabungkan elemen-elemen Marxisme dan Stalinisme, didirikan di Iran tahun 1960an namun dikucilkan 20 tahun kemudian atas tuduhan terorisme.
Kelompok itu mendalangi sejumlah operasi teror di Iran, salah satunya adalah pengeboman gedung kantor Partai Republik Islam tahun 1981 yang menewaskan lebih dari 72 pejabat pemerintah Iran.
Tahun 2007, laporan intelijen Jerman dari Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi telah mengidentifikasi MKO sebagai sebuah organisasi Stalinis, represif, dan bersifat seperti sekte dengan pemujaan terhadap pemimpin mereka, Maryam dan Masoud Rajavi.
Jenazah-jenazah di kuburan markas MKO adalah warga Kuwait yang sebelumnya dinyatakan hilang dan sedang dicari kuburannya oleh pemerintah Kuwait.
Awal bulan Juli ditemukan sebuah kuburan masal di dekat Najaf, Kuwait, namun menurut duta besar Kuwait, Ali Al-Moumen, tidak ditemukan satu pun jenazah warga Kuwait di situ.
Irak dan Kuwait kini sedang menjalin dialog untuk mengakhiri isu-isu yang selama ini mengganjal hubungan antara keduanya, termasuk hutang, kompensasi, dan hilangnya warga Kuwait dalam invasi tahun 1991.
Al-Moumen mengatakan ia telah menjalin kerjasama yang baik dengan pemerintah Irak yang berkeinginan untuk menyelesaikan semua isu antara kedua negara dan memulai hubungan yang baru.
Ia mengatakan luka akibat invasi Irak hanya dapat sembuh bila Irak setuju untuk melunasi hutang dan kewajibannya terhadap Kuwait.
Beberapa hari setelah penemuan kuburan masal di Najaf, juru bicara parlemen Irak, Dr. Iyad Al-Samerraie, mengunjungi Kuwait untuk membahas kerjasama antara kedua negara dengan pejabat pemerintah Kuwait.
Sabtu lalu menandai peringatan 18 tahun invasi Irak ke Kuwait. Tanggal itu selamanya akan diingat oleh generasi Kuwait dan Arab, kini dan mendatang, sebagai titik terendah solidaritas Arab dan pengkhianatan hubungan persaudaraan.
Invasi itu tidak hanya memperlihatkan beberapa orang Arab yang mengkhianati komitmen mereka terhadap persatuan Arab, tapi juga menciptakan transformasi jangka panjang arsitektur keamanan dan pergeseran dalam keseimbangan strategis di kawasan itu bagi generasi mendatang.
Invasi itu diperingati tiap tahun dengan mengenang semua ketakutan yang pernah dialami Kuwait. Penderitaan, martir, dan isu HAM dari para sandera, sisa-sisa jenazah yang kini ditemukan di kuburan masal di Irak. Meski Kuwait kini memegang peran utama dalam “Operasi Pembebasan Irak” dan telah memperbaiki hubungannya dengan Irak, tetap ada ketakutan terhadap ancaman yang berasal dari Irak. Penduduk Kuwait khawatir Irak yang tidak stabil dapat menjadi sarang teroris, sektarianisme, dan pembersihan etnis.
Dalam pertemuan itu, Irak menegaskan mereka ingin bersahabat dengan AS, namun AS justru mencampuri urusan dalam negeri Irak dengan Kuwait.
“Kami mengerti kalau Pemerintah AS sangat berkepentingan terhadap pasokan minyak yang mengalir dari Timur Tengah ke Teluk. Dan Pemerintah AS juga ingin menjaga kemitraannya dengan negara-negara Teluk,” kata Saddam dalam pertemuan itu, seperti dikutip WikiLeaks.
“Namun yang tidak kami mengerti adalah mengapa Pemerintah AS justru ‘mengompori’ konflik Teluk ini dengan menyokong negara-negara yang berlainan pandangan dengan Irak?” kata Saddam.
“Kami, warga Irak, percaya kalau AS ingin kondisi damai di Teluk. Ini sikap yang bagus. Tapi tolong jangan menggunakan cara-cara yang bertolak belakang,” katanya lagi. Ia menambahkan, warga Irak tahu betapa persenjataan AS sangat modern. “AS punya teknologi yang bisa mengirim pesawat dan roket yang menyengsarakan warga Irak,” katanya.
“Tapi meski demikian, kami tidak menganggap AS sebagai musuh. Kami tetap mencoba untuk berteman dengan AS,” katanya.
Saddam menegaskan, Irak tidak meminta Pemerintah AS untuk ambil peranan menyelesaikan konflik internal di Timur Tengah. Saddam mengatakan, solusi konflik Timteng harus dimunculkan oleh warga Arab dan diplomasi bilateral.
Hal lain yang mencemaskan Kuwait adalah pendapat beberapa orang Irak bahwa Kuwait adalah milik Irak, secara historis maupun geografis. Selain itu masih ada isu-isu lain seperti nasib para sandera Kuwait, garis perbatasan, hutang, kompensasi yang disetujui oleh PBB, dan lain-lain.
Kuwait bukan satu-satunya korban invasi Irak. Konsekuensi dari kesalahan perhitungan Saddam itu lebih berdampak terhadap kawasan Teluk dan seluruh dunia Arab, tidak hanya terhadap Kuwait dan Irak sendiri.
Dampak paling permanen dari okupasi Irak, bahkan sebelum tergulingnya Saddam, adalah perubahan keseimbangan kekuatan di kawasan Teluk dengan kehadiran pasukan Amerika di negara-negara Teluk yang mendirikan basis-basis militer permanen yang sebelumnya ditentang oleh negara-negara Dewan Kerjasama Teluk.
Saat PERANG TELUK, Rezim penguasa negeri-negeri Teluk membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz.
Thursday, 1 May 2003 – KoranTempo – AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi
AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi.
RIYADH – Amerika Serikat melakukan rangkaian strategi geopolitik baru di Timur Tengah. Selasa lalu, Gedung Putih memutuskan menarik ribuan pasukan militernya dari tanah Arab Saudi, yang telah belasan tahun menjadi basis utama kekuatan Amerika di Jazirah Arab.
Penarikan itu disampaikan Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dalam kunjungan singkatnya ke kerajaan itu, dalam rangkaian tur diplomatik Timur Tengah mendadak yang dilakukannya untuk mengucapkan terima kasih kepada sejumlah negara yang dianggap ikut mendukung keberhasilan invasi Amerika terhadap Irak.
Baca Selengkapnya di site KoranTempo – AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi , atau bila sudah menghilang, bisa baca di cache server kami.
Tahun 1987 pernah terbit sebuah tulisan yang berjudul “Kesepakatan yang Mengikat Antara Amerika Serikat dan Negara-Negara dalam Dewan Kerjasama Teluk.” Tulisan tersebut dipersiapkan oleh Husain Musa dan diajukan oleh Said Sayf yang kemudian diterbitkan sebuah media di Beirut. D sini, kami sekedar ingin mengingatkan kembali sebagian isi dan penjelasan mengenai kesepakatan tersebut. Sebab, dalam tulisan tersebut terungkap keserakahan Amerika di wilayah Teluk sejak beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Perang Teluk I dan sebelum Peristiwa II September 2001.
Pada bagian yang paling awal, tulisan tersebut mengungkapkan:
Kehadiran militer Amerika dalam jumlah banyak di Teluk Arab sejak paruh terakhir tahun 1987, yang dibawa oleh sebuah kapal, dan dengan membawa kapal-kapal penyapu ranjau multinasional Eropa, tidak datang secara tiba-tiba; tidak pula karena perkembangan Perang Irak-Iran, atau karena kebutuhan Kuwait untuk menjaga tangki-tangki minyaknya dan berbagai serangan udara. Akan tetapi, kehadiran militer Amerika itu, di satu sisi dimaksudkan sebagai bentuk pengukuhan hubungan Amerika yang bersifat hegemonik atas negara-negara di kawasan ini, dan di sisi lain sebagai pengukuhan markas imperialis. Kehadiran militer Amerika tersebut juga merupakan implementasi langsung, bukan saja dari sejumlah kesepakatan militer dan keberadaan militer di negara-negara yang ada di kawasan ini, tetapi juga dari sejumlah kesepakatan lain dalam berbagai bentuknya. Kehadiran sejumlah banyak militer imperialis ini didorong oleh sejumlah sebab dan telah menimbulkan berbagai akibat yang buruk
Sejak Perang Dunia II, muncullah Amerika yang tidak merasa perlu mengikutsertakan Inggris dalam melanjutkan interaksinya dengan Kerajaan Arab Saudi. Sebaliknya, Amerika merasa perlu menghadirkan secara langsung kekuatan militernya setelah berbagai perusahaan minyaknya melemah.
Sebàgaimana diketahui, pada tahun tersebut, yakni pada tahun 1987, di kawasan ini, ‘nyanyian’ tentang adanya senjata pemusnah massal dan senjata biologi tidak pernah terdengar; kekhawatiran atas ancaman Saddarn Hussein terhadap tetangga-tetangganya juga tidak pernah muncul, meskipun saat itu Irak berperang melawan Iran selama 8 tahun. Meskipun demikian, Amerika memobilisasi kekuatan militernya ke wilayah kaya minyak itu. Amerika mulai melatih tentara-tentara marinirnya dan mengerahkan pasukan gerak cepatnya sejak tahun 1980 untuk terlibat dalam Perang Padang Pasir. Amerika juga mulai melakukan sejumlah manuver militer di sekitar Mesir atas nama manuver ‘bintang terang’ dan sebagainya.
SeLanjutnya, penulis kembali mengingatkan sejumlah kesepakatan yang dibuat Amerika dengan sejumlah negara Teluk, khususnya Arab Saudi sebagai negara yang paling besar di kawasan ini. Penulis menyatakan:
Sesungguhnya kesepakatan pertama yang dibuat Amerika dengan Arab Saudi terjadi pada tahun 1933; berkaitan erat dengan perwakilan diplomatik dan konsulat serta perlindungan hukum, perdagangan, dan pelayaran. Kesepakatan kedua dibuat pada tahun 1951 dengan judul, “Kesepakatan Umum ‘Titik Keempat’ (Point Four) yang Khusus Berkenaan dengan Bantuan Teknis Antara Negara Arab Saudi dan Amerika.” Kesepakatan ketiga juga dibuat pada tahun 1951 bagi pembangunan pangkalan militer Amerika yang pertama kalinya di Dhahran. Pada pasal 5 ayat b terdapat pernyataan:
Ekspedisi Amerika hanya boleh melintasi wllayah Dhahran saja. Ini adalah merupakan tambahan atas apa yang disebutkan pada ayat a, yang berkaitan dengan masalah pesawat-pesawat militer Amerika dan pasukan-pasukan militer Amerika.
Sementara itu, pada pasal ke-6 ayat a disebutkan: Untuk menjamin Iancarnya berbagai aktivitas dan pelayanan teknis secaro baik dan optimal di Bandara Dhahran, utusan Amerika diperkenankan untuk melakukan perbaikan, pengubahan, dan penggantian— semata-mata demi tujuan perbaikan— berbagai perusahaan dan bangunannya. Amerika juga boleh membuat berbagai bangunan dan berbagai kemudahan lainnya di sejumlah landasan terbang dan tempat-tempat pesawat-pesawat terbang; memasang berbagai alat pengintaian udara (radar) dan berbagai alat intelijen tanpa kabel; menyediakan berbagai bantuan penerbangan udaranya yang dipandang penting demi sejumlah tujuan yang dikehendaki dalam kesepakatan ini.
Di dalam kesepakatan ini terdapat sejumlah pasal lain dengan syarat-syarat yang siap menjadi ‘bom waktu’.
Pada tahun yang sama, yakni tahun 1951, juga dibuat kesepakatan khusus yang bertema, “Program Bantuan Pertahanan Timbal Balik.” Perhatikanlah penggunaan istilah ‘timbal-balik’ pada kesepakatan tersebut. Padahal, berkaitan dengan kesepakatan yang dilakukan Saudi pada tahun 1951 untuk pertahanan ‘timbal balik’ itu, orang yang berakal pasti memahami bahwa kesepakatan tersebut meniscayakan pihak yang kuat mendominasi pihak yang lemah. Pada pasal ke-2 dalam kesepakatan tersebut antara lain terdapat pernyataan: Pemerintah Arab Saudi menyukai untuk mengambil manfaat berupa bantuan produk senjata dari Amerika dan agar Amerika mengirimkan utusan yang terdiri dari pasukan militer laut dan kekuatan udara sesuai dengan bagian-bagian tertentu dari sejumlah program pelatihan serta membuat satu langkah bagi serah-terima senjata-senjata tersebut.
Pada pasal ke-4 disebutkan: Pemerintah Amerika Serikat siap untuk—berdasarkan pengajuan permintaan bantuan senjata— mengutus sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas dari kalangan tentara darat, laut, dan udara Amerika untuk menyelenggarakan pelatihan penggunaan perangkat militer sebagaimana yang diminta dalam kesepakatan.
Pada pasal 5 dinyatakan: Amerika, sejauh mungkin, akan menerima para pelajar Arab Saudi dan kalangan militernya yang dipandang layak untuk belajar dan mengikuti pelatihan di Amerika.
Pada tahun yang sama juga dibuat “Kesepakatan Khusus Program Bantuan Pendapatan Alami”, yakni pendapatan dari minyak, gas, dan barang tambang/mineral.
Sementara itu, pada tanggal 17 Januari 1951, juga telah dibuat, “Kesepakatan Program Persenjataan Massal” antara Amerika dan Arab Saudi. Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa pelaksanaannya disempurnakan melalui utusan kerjasama teknis menteri luar negeri. Pada tahun yang sama, juga ditandatangani, “Kesepakatan Khusus Program Kerjasama Teknis Bidang Pertambangan/Mineral” dan berkaitan dengan pelatihan kerja dan pendidikan.
TanggaL 27 Juni 1953 dibuat kesepakatan di seputar utusan pelatih militer Amerika dan tempat penandatangannya di Makkah. Pasal 4 dari butir-butir kesepakatan tersebut berbunyi: Kewajiban-kewajiban Dewan Penasihat meliputi upaya membantu dan memberikan konsultasi kepada Menteri Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan Arab Saudi serta bagi kesatuan-kesatuan kekuatan bersenjata Arab Saudi dalam sejumlah perkara tertentu dengan membuat Iangkah-langkah, pengaturan, dasar-dasar administrasi, dan metode pelatihan militer sebagai bentuk implementasi kesepakatan Menteni Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan dengan kepala Dewan Penasihat. Pelatihan mencakup pula penggunaan berbagai macam senjata, strategi militer, dan logistik. Para anggota Dewan Penasihat dibolehkan—dalam rangka menunaikan berbagai kewajibannya—untuk melakukan infeksi dan penyelidikan militer serta melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang disarankan oleh kepala Dewan Penasihat dan disetujui oleh Menteri Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan Saudi.
Pada butir ke-5 juga disebutkan: Setiap anggota Dewan Penasihat tidak boleh menyebarluaskan cara apa pun kepada pemerintahan asing atau individu mana pun dan dimana pun tanpa diberi hak untuk melakukan penyelidikan atas topik rahasia atau khusus yang telah ditelaah atau disikapi sesuai dengan kedudukannya sebagai anggota Dewan Penasihat.
Sebuah kesepakatan juga telah dibuat berkenaan dengan hak-hak untuk menggunakan Pangkalan Dhahran pada tahun 1957. Pada pasal 1 tercantum pernyataan:
Pemerintah Amerika memahami berbagai penjelasan Yang Mulia Penguasa Saudi kepada Presiden Amerika Eisenhower dan mengakui kebutuhan Kerajaan Saudi untuk memperkuat kekuatan persenjataannya demi tujuan-tujuan pertahanan Kerajaan di Bandara Dhahran.
Selanjutnya, pada awal bulan Maret tahun 1957 dibuat kesepakatan untuk memperluas Pelabuhan ad-Dimam. Pada tanggal 10-13 November tahun 1958 dibuat kesepakatan seputar Pesawat-pesawat terbang Phantom, yang kemudian dibuat sekali lagi pada tanggal 22 Maret tahun 1963. Pada pasal 2 di antaranya terdapat pernyataan: Tujuan dan penyediaan pesawat-pesawat tersebut adalah demi pertahanan resmi tanah-tanah Kerajaan Saudi melawan musuh sesuai dengan yang disepakati dalam Piagam PBB.
TanggaL 24 Mei 1965 dibuat kesepakatan seputar pengembangan militer yang pada masa depan dipimpin oleh para teknisi Amerika
.
TanggaL 4 April tahun 1972 dibuat kesepakatan seputar hak-hak istimewa (previlege) dan perlindungan bagi para pekerja Amerika.
Tanggal 8 Juni 1974 dibuat kesepakatan seputar kerjasasama Amerika-Saudi dalam bidang ekonomi, teknologi, industri, dan suplai bagi Kerajaan sesuai dengan yang dibutuhkan demi tujuan-tujuan pertahanan.
Pada tanggal 4 Juni 1980 dibuat kesepakatan mengenai berbagai kemudahan militer antara Amerika dan penguasa Amman yang mana Amerika memiliki hak untuk menggunakan Pangkalan Amman
.
Tahun 1975 dibuat kesepakatan untuk menyewa Pangkalan al-Jafir di Bahrain. Ini adalah untuk memperbarui kesepakatan yang pernah dibuat tahun 1971.
Tanggal 24 Februari 1975, hal-hal yang tidak yang dilanjutkan pada tanggal 15 Juni tahun yang sama, dibuat kesepakatan antara Kuwait dan Amerika dengan nama, ‘Kerjasama Timbal Balik demi Pertahanan, Bantuan Peralatan, Pelayanan bagi Keperluan Pertahanan, dan Pembangunan Kantor Kerjasama.”.
Pada 15-21 Juni 1975 dibuat kesepakatan seputar pembelian senjata dan pelayanan pertahanan antara Amerika dan negara-negara yang tergabung dalam Emirat Arab.
Semua kesepakatan di atas dibuat sebelum Perang Teluk I dan sebelum terjadinya.
Peristiwa 11 September 2001. Sebagaimana diketahui, kesepakatan militer yang terjadi setelah Perang Teluk dan Peristiwa 11 September 2001 antara Amerika dan negara-negara Teluk dianggap sebagai bentuk pertahanan negara-negara Teluk dalam melawan Irak atau dipandang demi menjaga negara-negara tersebut dari serangan para teroris pasca Peledakan 11 September 2001. Jika demikian, atas dasar apa dibuat berbagai kesepakatan militer tersebut jauh sebelum Perang Teluk dan Peristiwa 11 September 2001? Sebab, tidak ada latar belakang atau sebab yang nyata—yang dapat menyesatkan umat Islam—di seputar berbagai kesepakatan tersebut. Oleh karena itulah, mereka berupaya sekuat tenaga agar berbagai kesepakatan tersebut dapat dilangsungkan secara rahasia antara Amerika dan negara-negara tersebut.
Tulisan di atas tidak mencakup seluruh ketamakan Amerika di seputar Teluk dan kesepakatan yang dibuatnya dengan negara-negara Teluk. Akan tetapi, berbagai kesepakatan Amerika dengan negara-negara di wilayah itu serta berbagai pangkaLan militer tersebut merupakan jalan masuk bagi pangkalan-pangkalan berikutnya yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya di Saudi, Qatar, dan lain sebagainya.
Semua kesepakatan dan pangkalan militer yang dibuat di atas adalah sekadar kenyataan yang tersingkap dan tampak ke permukaan. Sementara itu, hal-hal yang tidak tersingkap dari berbagai persekongkolan dan manuver antara Amerika dan para anteknya di negara-negara Teluk adalah jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Oleh karena itu, umat dituntut secara sungguh-sungguh untuk senantiasa terikat dengan agamanya serta menjaga berbagai kepentingannya dalam rangka mencegah bercokolnya terus berbagai pangkalan militer yang bisa menjadi sarana untuk membunuh kaum Muslim di wilayah ini. Umat Islam juga harus bersikap tegas dan keras di hadapan para penguasa antek Amerika tersebut yang telah menyerahkan berbagai wilayah darat, laut, dan udaranya kepada Amerika dan sekutunya hingga mereka menyerahkan tanah-tanah kaum Muslim sejengkal demi sejengkal kepada orang-orang kafir penjajah.
Allahlah Penolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Allah adalah Mahakuat dan Mahaperkasa. (QS al-Hadid [57]: 25).
Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah. Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya.
MEMBERONTAK KEPADA NEGARA ISLAM, BERSEKUTU DENGAN INGGRIS.
Secara resmi, negara ini memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun 1932, Abdul Aziz—dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamirkan berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Sa‘ud secara terbuka telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Gerakan Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Sa‘ud untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.
Hanya saja, keberhasilan Dinasti Sa‘ud ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810, dengan bantuan Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan ini. Fase pertama, pemberontakan Dinasti Saud berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah berhasil merebut kota ad-Diriyah.
Namun kemudian, beberapa tahun kemudian, Dinasti Sa‘ud, di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan bantuan Inggris.
Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris. Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang Beruntung”, sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam Cakrawala Arab”. Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Sa‘ud sejak misi pertamanya ke Nejed pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun 1930. (Lihat: Goerge Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kencah Dunia, hlm. 351).
Kerjasama Dinasti Sa‘ud dengan Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Sa‘ud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa‘ud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak (ibidem, hlm. 351). Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Sa‘ud) merasa aman dari berbagai rongrongan.
Pada tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300 senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka juga berunding untuk menentukan perbatasan negerinya, yang ditentukan oleh Percy Cox, utusan Inggris. Percy Cox mengambil pinsl dan kertas kemudian menentukan (baca: memecah-belah) perbatasan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Inggris juga membantu Ibnu Sa‘ud saat terjadi perlawanan dari Duwaish (salah satu suku Nejed). Suku ini menyalahkan Ibnu Saud yang dianggap terlalu menerima inovasi Barat. Sekitar tahun 1927-1928, Angkatan Udara Inggris dan Pasukan Ibnu Sa‘ud mengebom suku tersebut. Mengingat kerjasama mereka yang sangat erat, Inggris memberi gelar kebangsawanan ‘sir’ untuk Abdul Aziz bin Abdurrahman.
PERSAHABATAN DENGAN AS.
Persahabatan Saudi dengan AS diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah tersebut sebagai, “sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah material yang terbesar dalam sejarah dunia (a stupendous source of strategic power and the greatest material prize in the world’s history).”
Untuk kepentingan minyak, secara khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi ‘budak’ AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam ‘membangun’ Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.
Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun 1943 yang hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategis AS, terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II. Penguasa keluarga Kerajaan Saudi dengan ‘sukarela’ membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi sesama saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.
Pada tahun 1947, saat Putra Mahkota Emir Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit atas jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS dan Saudi terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan membunuh sesama Muslim.
NEGARA ISLAM SEMU.
Salah satu kehebatan negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain).
Akan tetapi, citra seperti itu semakin pudar mengingat sepak terjang keluarga Kerajaan selama ini, terutama persahabatannya dengan AS yang mengorbankan kaum Muslim. Arab Saudi menjadi pendukung penuh AS baik secara politis maupun ekonomi dalam Perang Teluk II. Saudi juga mendukung serangan AS ke Afganistan dan berada di sisi Amerika untuk memerangi teroris. Untuk membuktikan kesetiaannya itu, Saudi, pada 17 Juni 2002 mengumumkan bahwa aparat keamanannya telah menahan enam orang warga negaranya dan seorang warga Sudan yang didakwa menjadi anggota Al-Qaeda. Tujuh orang itu didakwa berencana untuk menyerang pangkalan militer Amerika dengan rudal SAM 7. Masih dalam rangka kampanye AS ini, Saudi menghabiskan jutaan dolar untuk membuat opini umum—antara lain lewat iklan—bahwa Saudi adalah mitra AS dalam “perang antiterorisme.” (K.Com, Newsweek, 03/5/2002).
Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terus-menerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat.
Benarkah Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain:
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis: Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT.
Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan.
Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H).
Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu.
Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis: Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional, Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. Tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi.
Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini. [Farid Wajdi]
- Terjadinya pelanggaran kuota minyak yang dilakukan oleh Kuwait, Arab dan Uni Emirat Arab sehingga produksi minyak melimpah, akibat harga minyak anjlok. Irak waktu itu mengandalkan pendapatan negara dari sektor minyak sangat terpukul dengan peristiwa ini. Irak yang waktu itu sedang membangun negaranya yang rusak akibat perang melawan Iran.
- Ambisi Sadam Husen untuk tampil sebagai orang nomor satu dan dihormati didunia Arab.
- Kuwait dituduh mencuri minyak Irak di Padang Rumelia yang terletak diperbatasankedua negara ( dipersengketakan )
- Sebab khusus yaitu adanya serangan Irak terhadap Kuwait tanggal 22 Agustus 1990 yang berhasilmenduduki Kuwait
Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990.
Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab kecuali Syria, Libya dan Yordania serta Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat), serta beberapa negara di kawasan Asia. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen. Khalid bin Sultan.
Misi diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal (9 Januari 1991). Irak menolak permintaan PBB agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Akhirnya Presiden Amerika Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Operasi Badai Gurun dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.
Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Sovyet rakitan Irak, serta melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia.
Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Sovyet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Sovyet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto. Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan.
Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai.
Akibat Perang Kuwait :
- Ladang minyak kuwait mengalami kerusakan berat
- Perekonomian Irak mengalami kehancuran serta terkena blokade ekonomi dan sanksi embargo dari PBB
- Amerika semakin kuat pengaruhnya di Timur Tengah
- Perpecahan di negara Arab
- Adanya sikap anti USA
.
kuburan massal di Najaf diziarahi.
Sebuah kuburan masal yang ditemukan di markas organisasi Mujahedin-e Khalq (Mujahedin-e Khalq Organization – MKO) di Irak mengungkapkan teka-teki Perang Teluk tahun 1991.Petugas polisi di propinsi Diyalah mengatakan bahwa kuburan masal itu berisi jenazah warga Kuwait yang menjadi korban invasi rezim Baath selama tujuh bulan di Kuwait.
“Kami telah mendapat informasi bahwa sebuah kuburan masal telah ditemukan di Kamp Ashraf. Tentu saja kami tahu ada kuburan di markas MKO, tapi selama ini kami kira itu kuburan anggota MKO sendiri,” ujar Abdulhussein al-Shemri, seorang komandan polisi lokal.
Telah dikonfirmasi, laporan itu akan mengungkapkan keterlibatan MKO dalam perang Saddam Hussein di Kuwait, yang menewaskan lebih dari 3.664 orang Irak dan 1.000 orang Kuwait.
Pemimpin MKO disebutkan telah menyembunyikan keberadaan kuburan itu selama ini dengan tidak mengijinkan tentara Irak masuk ke markasnya.
Penemuan kuburan masal itu bertepatan dengan pemberian ijin kepada koresponden regional oleh pemerintah Irak untuk menyiapkan sebuah laporan dari Kamp Ashraf di mana MKO bermarkas selama lebih dari dua dekade.
Insiden itu mendorong pemerintah Irak untuk menarik ijin yang telah diberikan dan melarang jurnalis melakukan laporan video dari lokasi tersebut.
MKO merupakan salah satu kelompok yang paling ditakuti oleh kaum Syiah Irak maupun Iran.
MKO yang menggabungkan elemen-elemen Marxisme dan Stalinisme, didirikan di Iran tahun 1960an namun dikucilkan 20 tahun kemudian atas tuduhan terorisme.
Kelompok itu mendalangi sejumlah operasi teror di Iran, salah satunya adalah pengeboman gedung kantor Partai Republik Islam tahun 1981 yang menewaskan lebih dari 72 pejabat pemerintah Iran.
Tahun 2007, laporan intelijen Jerman dari Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi telah mengidentifikasi MKO sebagai sebuah organisasi Stalinis, represif, dan bersifat seperti sekte dengan pemujaan terhadap pemimpin mereka, Maryam dan Masoud Rajavi.
Jenazah-jenazah di kuburan markas MKO adalah warga Kuwait yang sebelumnya dinyatakan hilang dan sedang dicari kuburannya oleh pemerintah Kuwait.
Awal bulan Juli ditemukan sebuah kuburan masal di dekat Najaf, Kuwait, namun menurut duta besar Kuwait, Ali Al-Moumen, tidak ditemukan satu pun jenazah warga Kuwait di situ.
Irak dan Kuwait kini sedang menjalin dialog untuk mengakhiri isu-isu yang selama ini mengganjal hubungan antara keduanya, termasuk hutang, kompensasi, dan hilangnya warga Kuwait dalam invasi tahun 1991.
Al-Moumen mengatakan ia telah menjalin kerjasama yang baik dengan pemerintah Irak yang berkeinginan untuk menyelesaikan semua isu antara kedua negara dan memulai hubungan yang baru.
Ia mengatakan luka akibat invasi Irak hanya dapat sembuh bila Irak setuju untuk melunasi hutang dan kewajibannya terhadap Kuwait.
Beberapa hari setelah penemuan kuburan masal di Najaf, juru bicara parlemen Irak, Dr. Iyad Al-Samerraie, mengunjungi Kuwait untuk membahas kerjasama antara kedua negara dengan pejabat pemerintah Kuwait.
Sabtu lalu menandai peringatan 18 tahun invasi Irak ke Kuwait. Tanggal itu selamanya akan diingat oleh generasi Kuwait dan Arab, kini dan mendatang, sebagai titik terendah solidaritas Arab dan pengkhianatan hubungan persaudaraan.
Invasi itu tidak hanya memperlihatkan beberapa orang Arab yang mengkhianati komitmen mereka terhadap persatuan Arab, tapi juga menciptakan transformasi jangka panjang arsitektur keamanan dan pergeseran dalam keseimbangan strategis di kawasan itu bagi generasi mendatang.
Invasi itu diperingati tiap tahun dengan mengenang semua ketakutan yang pernah dialami Kuwait. Penderitaan, martir, dan isu HAM dari para sandera, sisa-sisa jenazah yang kini ditemukan di kuburan masal di Irak. Meski Kuwait kini memegang peran utama dalam “Operasi Pembebasan Irak” dan telah memperbaiki hubungannya dengan Irak, tetap ada ketakutan terhadap ancaman yang berasal dari Irak. Penduduk Kuwait khawatir Irak yang tidak stabil dapat menjadi sarang teroris, sektarianisme, dan pembersihan etnis.
keterlibatan AS dalam Perang Teluk I dan II semata-mata demi mempertahankan pasokan minyak.
-Bocoran kawat diplomatik milik Kedubes Amerika Serikat di Irak
menguatkan dugaan bahwa keterlibatan AS dalam Perang Teluk I dan II
semata-mata karena mempertahankan pasokan minyak.
Dalam dokumen WikiLeaks bernomor 90BAGHDAD4237 yang dibuat tanggal 25 Juli 1990, mantan presiden Irak, Saddam Hussein, bertemu empat mata dengan Dubes AS di Irak.Dalam pertemuan itu, Irak menegaskan mereka ingin bersahabat dengan AS, namun AS justru mencampuri urusan dalam negeri Irak dengan Kuwait.
“Kami mengerti kalau Pemerintah AS sangat berkepentingan terhadap pasokan minyak yang mengalir dari Timur Tengah ke Teluk. Dan Pemerintah AS juga ingin menjaga kemitraannya dengan negara-negara Teluk,” kata Saddam dalam pertemuan itu, seperti dikutip WikiLeaks.
“Namun yang tidak kami mengerti adalah mengapa Pemerintah AS justru ‘mengompori’ konflik Teluk ini dengan menyokong negara-negara yang berlainan pandangan dengan Irak?” kata Saddam.
“Kami, warga Irak, percaya kalau AS ingin kondisi damai di Teluk. Ini sikap yang bagus. Tapi tolong jangan menggunakan cara-cara yang bertolak belakang,” katanya lagi. Ia menambahkan, warga Irak tahu betapa persenjataan AS sangat modern. “AS punya teknologi yang bisa mengirim pesawat dan roket yang menyengsarakan warga Irak,” katanya.
“Tapi meski demikian, kami tidak menganggap AS sebagai musuh. Kami tetap mencoba untuk berteman dengan AS,” katanya.
Saddam menegaskan, Irak tidak meminta Pemerintah AS untuk ambil peranan menyelesaikan konflik internal di Timur Tengah. Saddam mengatakan, solusi konflik Timteng harus dimunculkan oleh warga Arab dan diplomasi bilateral.
Hal lain yang mencemaskan Kuwait adalah pendapat beberapa orang Irak bahwa Kuwait adalah milik Irak, secara historis maupun geografis. Selain itu masih ada isu-isu lain seperti nasib para sandera Kuwait, garis perbatasan, hutang, kompensasi yang disetujui oleh PBB, dan lain-lain.
Kuwait bukan satu-satunya korban invasi Irak. Konsekuensi dari kesalahan perhitungan Saddam itu lebih berdampak terhadap kawasan Teluk dan seluruh dunia Arab, tidak hanya terhadap Kuwait dan Irak sendiri.
Dampak paling permanen dari okupasi Irak, bahkan sebelum tergulingnya Saddam, adalah perubahan keseimbangan kekuatan di kawasan Teluk dengan kehadiran pasukan Amerika di negara-negara Teluk yang mendirikan basis-basis militer permanen yang sebelumnya ditentang oleh negara-negara Dewan Kerjasama Teluk.
Saat PERANG TELUK, Rezim penguasa negeri-negeri Teluk membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz.
Thursday, 1 May 2003 – KoranTempo – AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi
AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi.
RIYADH – Amerika Serikat melakukan rangkaian strategi geopolitik baru di Timur Tengah. Selasa lalu, Gedung Putih memutuskan menarik ribuan pasukan militernya dari tanah Arab Saudi, yang telah belasan tahun menjadi basis utama kekuatan Amerika di Jazirah Arab.
Penarikan itu disampaikan Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dalam kunjungan singkatnya ke kerajaan itu, dalam rangkaian tur diplomatik Timur Tengah mendadak yang dilakukannya untuk mengucapkan terima kasih kepada sejumlah negara yang dianggap ikut mendukung keberhasilan invasi Amerika terhadap Irak.
Baca Selengkapnya di site KoranTempo – AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi , atau bila sudah menghilang, bisa baca di cache server kami.
Tahun 1987 pernah terbit sebuah tulisan yang berjudul “Kesepakatan yang Mengikat Antara Amerika Serikat dan Negara-Negara dalam Dewan Kerjasama Teluk.” Tulisan tersebut dipersiapkan oleh Husain Musa dan diajukan oleh Said Sayf yang kemudian diterbitkan sebuah media di Beirut. D sini, kami sekedar ingin mengingatkan kembali sebagian isi dan penjelasan mengenai kesepakatan tersebut. Sebab, dalam tulisan tersebut terungkap keserakahan Amerika di wilayah Teluk sejak beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Perang Teluk I dan sebelum Peristiwa II September 2001.
Pada bagian yang paling awal, tulisan tersebut mengungkapkan:
Kehadiran militer Amerika dalam jumlah banyak di Teluk Arab sejak paruh terakhir tahun 1987, yang dibawa oleh sebuah kapal, dan dengan membawa kapal-kapal penyapu ranjau multinasional Eropa, tidak datang secara tiba-tiba; tidak pula karena perkembangan Perang Irak-Iran, atau karena kebutuhan Kuwait untuk menjaga tangki-tangki minyaknya dan berbagai serangan udara. Akan tetapi, kehadiran militer Amerika itu, di satu sisi dimaksudkan sebagai bentuk pengukuhan hubungan Amerika yang bersifat hegemonik atas negara-negara di kawasan ini, dan di sisi lain sebagai pengukuhan markas imperialis. Kehadiran militer Amerika tersebut juga merupakan implementasi langsung, bukan saja dari sejumlah kesepakatan militer dan keberadaan militer di negara-negara yang ada di kawasan ini, tetapi juga dari sejumlah kesepakatan lain dalam berbagai bentuknya. Kehadiran sejumlah banyak militer imperialis ini didorong oleh sejumlah sebab dan telah menimbulkan berbagai akibat yang buruk
Sejak Perang Dunia II, muncullah Amerika yang tidak merasa perlu mengikutsertakan Inggris dalam melanjutkan interaksinya dengan Kerajaan Arab Saudi. Sebaliknya, Amerika merasa perlu menghadirkan secara langsung kekuatan militernya setelah berbagai perusahaan minyaknya melemah.
Sebàgaimana diketahui, pada tahun tersebut, yakni pada tahun 1987, di kawasan ini, ‘nyanyian’ tentang adanya senjata pemusnah massal dan senjata biologi tidak pernah terdengar; kekhawatiran atas ancaman Saddarn Hussein terhadap tetangga-tetangganya juga tidak pernah muncul, meskipun saat itu Irak berperang melawan Iran selama 8 tahun. Meskipun demikian, Amerika memobilisasi kekuatan militernya ke wilayah kaya minyak itu. Amerika mulai melatih tentara-tentara marinirnya dan mengerahkan pasukan gerak cepatnya sejak tahun 1980 untuk terlibat dalam Perang Padang Pasir. Amerika juga mulai melakukan sejumlah manuver militer di sekitar Mesir atas nama manuver ‘bintang terang’ dan sebagainya.
SeLanjutnya, penulis kembali mengingatkan sejumlah kesepakatan yang dibuat Amerika dengan sejumlah negara Teluk, khususnya Arab Saudi sebagai negara yang paling besar di kawasan ini. Penulis menyatakan:
Sesungguhnya kesepakatan pertama yang dibuat Amerika dengan Arab Saudi terjadi pada tahun 1933; berkaitan erat dengan perwakilan diplomatik dan konsulat serta perlindungan hukum, perdagangan, dan pelayaran. Kesepakatan kedua dibuat pada tahun 1951 dengan judul, “Kesepakatan Umum ‘Titik Keempat’ (Point Four) yang Khusus Berkenaan dengan Bantuan Teknis Antara Negara Arab Saudi dan Amerika.” Kesepakatan ketiga juga dibuat pada tahun 1951 bagi pembangunan pangkalan militer Amerika yang pertama kalinya di Dhahran. Pada pasal 5 ayat b terdapat pernyataan:
Ekspedisi Amerika hanya boleh melintasi wllayah Dhahran saja. Ini adalah merupakan tambahan atas apa yang disebutkan pada ayat a, yang berkaitan dengan masalah pesawat-pesawat militer Amerika dan pasukan-pasukan militer Amerika.
Sementara itu, pada pasal ke-6 ayat a disebutkan: Untuk menjamin Iancarnya berbagai aktivitas dan pelayanan teknis secaro baik dan optimal di Bandara Dhahran, utusan Amerika diperkenankan untuk melakukan perbaikan, pengubahan, dan penggantian— semata-mata demi tujuan perbaikan— berbagai perusahaan dan bangunannya. Amerika juga boleh membuat berbagai bangunan dan berbagai kemudahan lainnya di sejumlah landasan terbang dan tempat-tempat pesawat-pesawat terbang; memasang berbagai alat pengintaian udara (radar) dan berbagai alat intelijen tanpa kabel; menyediakan berbagai bantuan penerbangan udaranya yang dipandang penting demi sejumlah tujuan yang dikehendaki dalam kesepakatan ini.
Di dalam kesepakatan ini terdapat sejumlah pasal lain dengan syarat-syarat yang siap menjadi ‘bom waktu’.
Pada tahun yang sama, yakni tahun 1951, juga dibuat kesepakatan khusus yang bertema, “Program Bantuan Pertahanan Timbal Balik.” Perhatikanlah penggunaan istilah ‘timbal-balik’ pada kesepakatan tersebut. Padahal, berkaitan dengan kesepakatan yang dilakukan Saudi pada tahun 1951 untuk pertahanan ‘timbal balik’ itu, orang yang berakal pasti memahami bahwa kesepakatan tersebut meniscayakan pihak yang kuat mendominasi pihak yang lemah. Pada pasal ke-2 dalam kesepakatan tersebut antara lain terdapat pernyataan: Pemerintah Arab Saudi menyukai untuk mengambil manfaat berupa bantuan produk senjata dari Amerika dan agar Amerika mengirimkan utusan yang terdiri dari pasukan militer laut dan kekuatan udara sesuai dengan bagian-bagian tertentu dari sejumlah program pelatihan serta membuat satu langkah bagi serah-terima senjata-senjata tersebut.
Pada pasal ke-4 disebutkan: Pemerintah Amerika Serikat siap untuk—berdasarkan pengajuan permintaan bantuan senjata— mengutus sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas dari kalangan tentara darat, laut, dan udara Amerika untuk menyelenggarakan pelatihan penggunaan perangkat militer sebagaimana yang diminta dalam kesepakatan.
Pada pasal 5 dinyatakan: Amerika, sejauh mungkin, akan menerima para pelajar Arab Saudi dan kalangan militernya yang dipandang layak untuk belajar dan mengikuti pelatihan di Amerika.
Pada tahun yang sama juga dibuat “Kesepakatan Khusus Program Bantuan Pendapatan Alami”, yakni pendapatan dari minyak, gas, dan barang tambang/mineral.
Sementara itu, pada tanggal 17 Januari 1951, juga telah dibuat, “Kesepakatan Program Persenjataan Massal” antara Amerika dan Arab Saudi. Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa pelaksanaannya disempurnakan melalui utusan kerjasama teknis menteri luar negeri. Pada tahun yang sama, juga ditandatangani, “Kesepakatan Khusus Program Kerjasama Teknis Bidang Pertambangan/Mineral” dan berkaitan dengan pelatihan kerja dan pendidikan.
TanggaL 27 Juni 1953 dibuat kesepakatan di seputar utusan pelatih militer Amerika dan tempat penandatangannya di Makkah. Pasal 4 dari butir-butir kesepakatan tersebut berbunyi: Kewajiban-kewajiban Dewan Penasihat meliputi upaya membantu dan memberikan konsultasi kepada Menteri Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan Arab Saudi serta bagi kesatuan-kesatuan kekuatan bersenjata Arab Saudi dalam sejumlah perkara tertentu dengan membuat Iangkah-langkah, pengaturan, dasar-dasar administrasi, dan metode pelatihan militer sebagai bentuk implementasi kesepakatan Menteni Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan dengan kepala Dewan Penasihat. Pelatihan mencakup pula penggunaan berbagai macam senjata, strategi militer, dan logistik. Para anggota Dewan Penasihat dibolehkan—dalam rangka menunaikan berbagai kewajibannya—untuk melakukan infeksi dan penyelidikan militer serta melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang disarankan oleh kepala Dewan Penasihat dan disetujui oleh Menteri Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan Saudi.
Pada butir ke-5 juga disebutkan: Setiap anggota Dewan Penasihat tidak boleh menyebarluaskan cara apa pun kepada pemerintahan asing atau individu mana pun dan dimana pun tanpa diberi hak untuk melakukan penyelidikan atas topik rahasia atau khusus yang telah ditelaah atau disikapi sesuai dengan kedudukannya sebagai anggota Dewan Penasihat.
Sebuah kesepakatan juga telah dibuat berkenaan dengan hak-hak untuk menggunakan Pangkalan Dhahran pada tahun 1957. Pada pasal 1 tercantum pernyataan:
Pemerintah Amerika memahami berbagai penjelasan Yang Mulia Penguasa Saudi kepada Presiden Amerika Eisenhower dan mengakui kebutuhan Kerajaan Saudi untuk memperkuat kekuatan persenjataannya demi tujuan-tujuan pertahanan Kerajaan di Bandara Dhahran.
Selanjutnya, pada awal bulan Maret tahun 1957 dibuat kesepakatan untuk memperluas Pelabuhan ad-Dimam. Pada tanggal 10-13 November tahun 1958 dibuat kesepakatan seputar Pesawat-pesawat terbang Phantom, yang kemudian dibuat sekali lagi pada tanggal 22 Maret tahun 1963. Pada pasal 2 di antaranya terdapat pernyataan: Tujuan dan penyediaan pesawat-pesawat tersebut adalah demi pertahanan resmi tanah-tanah Kerajaan Saudi melawan musuh sesuai dengan yang disepakati dalam Piagam PBB.
TanggaL 24 Mei 1965 dibuat kesepakatan seputar pengembangan militer yang pada masa depan dipimpin oleh para teknisi Amerika
.
TanggaL 4 April tahun 1972 dibuat kesepakatan seputar hak-hak istimewa (previlege) dan perlindungan bagi para pekerja Amerika.
Tanggal 8 Juni 1974 dibuat kesepakatan seputar kerjasasama Amerika-Saudi dalam bidang ekonomi, teknologi, industri, dan suplai bagi Kerajaan sesuai dengan yang dibutuhkan demi tujuan-tujuan pertahanan.
Pada tanggal 4 Juni 1980 dibuat kesepakatan mengenai berbagai kemudahan militer antara Amerika dan penguasa Amman yang mana Amerika memiliki hak untuk menggunakan Pangkalan Amman
.
Tahun 1975 dibuat kesepakatan untuk menyewa Pangkalan al-Jafir di Bahrain. Ini adalah untuk memperbarui kesepakatan yang pernah dibuat tahun 1971.
Tanggal 24 Februari 1975, hal-hal yang tidak yang dilanjutkan pada tanggal 15 Juni tahun yang sama, dibuat kesepakatan antara Kuwait dan Amerika dengan nama, ‘Kerjasama Timbal Balik demi Pertahanan, Bantuan Peralatan, Pelayanan bagi Keperluan Pertahanan, dan Pembangunan Kantor Kerjasama.”.
Pada 15-21 Juni 1975 dibuat kesepakatan seputar pembelian senjata dan pelayanan pertahanan antara Amerika dan negara-negara yang tergabung dalam Emirat Arab.
Semua kesepakatan di atas dibuat sebelum Perang Teluk I dan sebelum terjadinya.
Peristiwa 11 September 2001. Sebagaimana diketahui, kesepakatan militer yang terjadi setelah Perang Teluk dan Peristiwa 11 September 2001 antara Amerika dan negara-negara Teluk dianggap sebagai bentuk pertahanan negara-negara Teluk dalam melawan Irak atau dipandang demi menjaga negara-negara tersebut dari serangan para teroris pasca Peledakan 11 September 2001. Jika demikian, atas dasar apa dibuat berbagai kesepakatan militer tersebut jauh sebelum Perang Teluk dan Peristiwa 11 September 2001? Sebab, tidak ada latar belakang atau sebab yang nyata—yang dapat menyesatkan umat Islam—di seputar berbagai kesepakatan tersebut. Oleh karena itulah, mereka berupaya sekuat tenaga agar berbagai kesepakatan tersebut dapat dilangsungkan secara rahasia antara Amerika dan negara-negara tersebut.
Tulisan di atas tidak mencakup seluruh ketamakan Amerika di seputar Teluk dan kesepakatan yang dibuatnya dengan negara-negara Teluk. Akan tetapi, berbagai kesepakatan Amerika dengan negara-negara di wilayah itu serta berbagai pangkaLan militer tersebut merupakan jalan masuk bagi pangkalan-pangkalan berikutnya yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya di Saudi, Qatar, dan lain sebagainya.
Semua kesepakatan dan pangkalan militer yang dibuat di atas adalah sekadar kenyataan yang tersingkap dan tampak ke permukaan. Sementara itu, hal-hal yang tidak tersingkap dari berbagai persekongkolan dan manuver antara Amerika dan para anteknya di negara-negara Teluk adalah jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Oleh karena itu, umat dituntut secara sungguh-sungguh untuk senantiasa terikat dengan agamanya serta menjaga berbagai kepentingannya dalam rangka mencegah bercokolnya terus berbagai pangkalan militer yang bisa menjadi sarana untuk membunuh kaum Muslim di wilayah ini. Umat Islam juga harus bersikap tegas dan keras di hadapan para penguasa antek Amerika tersebut yang telah menyerahkan berbagai wilayah darat, laut, dan udaranya kepada Amerika dan sekutunya hingga mereka menyerahkan tanah-tanah kaum Muslim sejengkal demi sejengkal kepada orang-orang kafir penjajah.
Allahlah Penolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Allah adalah Mahakuat dan Mahaperkasa. (QS al-Hadid [57]: 25).
Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah. Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya.
MEMBERONTAK KEPADA NEGARA ISLAM, BERSEKUTU DENGAN INGGRIS.
Secara resmi, negara ini memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun 1932, Abdul Aziz—dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamirkan berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Sa‘ud secara terbuka telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Gerakan Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Sa‘ud untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.
Hanya saja, keberhasilan Dinasti Sa‘ud ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810, dengan bantuan Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan ini. Fase pertama, pemberontakan Dinasti Saud berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah berhasil merebut kota ad-Diriyah.
Namun kemudian, beberapa tahun kemudian, Dinasti Sa‘ud, di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan bantuan Inggris.
Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris. Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang Beruntung”, sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam Cakrawala Arab”. Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Sa‘ud sejak misi pertamanya ke Nejed pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun 1930. (Lihat: Goerge Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kencah Dunia, hlm. 351).
Kerjasama Dinasti Sa‘ud dengan Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Sa‘ud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa‘ud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak (ibidem, hlm. 351). Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Sa‘ud) merasa aman dari berbagai rongrongan.
Pada tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300 senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka juga berunding untuk menentukan perbatasan negerinya, yang ditentukan oleh Percy Cox, utusan Inggris. Percy Cox mengambil pinsl dan kertas kemudian menentukan (baca: memecah-belah) perbatasan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Inggris juga membantu Ibnu Sa‘ud saat terjadi perlawanan dari Duwaish (salah satu suku Nejed). Suku ini menyalahkan Ibnu Saud yang dianggap terlalu menerima inovasi Barat. Sekitar tahun 1927-1928, Angkatan Udara Inggris dan Pasukan Ibnu Sa‘ud mengebom suku tersebut. Mengingat kerjasama mereka yang sangat erat, Inggris memberi gelar kebangsawanan ‘sir’ untuk Abdul Aziz bin Abdurrahman.
PERSAHABATAN DENGAN AS.
Persahabatan Saudi dengan AS diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah tersebut sebagai, “sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah material yang terbesar dalam sejarah dunia (a stupendous source of strategic power and the greatest material prize in the world’s history).”
Untuk kepentingan minyak, secara khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi ‘budak’ AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam ‘membangun’ Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.
Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun 1943 yang hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategis AS, terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II. Penguasa keluarga Kerajaan Saudi dengan ‘sukarela’ membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi sesama saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.
Pada tahun 1947, saat Putra Mahkota Emir Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit atas jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS dan Saudi terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan membunuh sesama Muslim.
NEGARA ISLAM SEMU.
Salah satu kehebatan negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain).
Akan tetapi, citra seperti itu semakin pudar mengingat sepak terjang keluarga Kerajaan selama ini, terutama persahabatannya dengan AS yang mengorbankan kaum Muslim. Arab Saudi menjadi pendukung penuh AS baik secara politis maupun ekonomi dalam Perang Teluk II. Saudi juga mendukung serangan AS ke Afganistan dan berada di sisi Amerika untuk memerangi teroris. Untuk membuktikan kesetiaannya itu, Saudi, pada 17 Juni 2002 mengumumkan bahwa aparat keamanannya telah menahan enam orang warga negaranya dan seorang warga Sudan yang didakwa menjadi anggota Al-Qaeda. Tujuh orang itu didakwa berencana untuk menyerang pangkalan militer Amerika dengan rudal SAM 7. Masih dalam rangka kampanye AS ini, Saudi menghabiskan jutaan dolar untuk membuat opini umum—antara lain lewat iklan—bahwa Saudi adalah mitra AS dalam “perang antiterorisme.” (K.Com, Newsweek, 03/5/2002).
Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terus-menerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat.
Benarkah Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain:
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis: Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT.
Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan.
Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H).
Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu.
Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis: Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional, Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. Tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi.
Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini. [Farid Wajdi]
*NB : bukan sekedar diskusi dan berdebat, tapi mencari kebenaran dari sebuah fakta.
November 2, 2009.
Sejarah Pengkhianatan Para Penguasa Arab/Muslim.
- Rezim penguasa negeri-negeri Teluk membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz.
- Alih-alih membela sikap rakyat Palestina yang menentang keberadaan Negara Israel, Raja Yordania Abdullah malah menyerukan agar Pemerintah Persatuan Palestina yang baru harus mengakui Israel dan meninggalkan tindakan kekerasan bila ingin diakui.
- Saudi Arabia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berdamai dengan Israel yang secara tidak langsung merupakan pengakuan terhadap Negara Israel.
- Beberapa negara Arab dan negeri-negeri Islam lainnya secara terbuka atau diam-diam berhubungan dengan Israel.
- Dari sejarah diketahui Raja Abdullah (Transjordan), Raja Farauk (Mesir), memiliki hubungan yang erat dengan Inggris dan Amerika Serikat.
- Ayah Raja Abdullah, Sharif Husein, sebelumnya telah bersekutu dengan Inggris untuk memerangi Khilafah Usmaniah. Kakaknya, Faisal, sebelumnya memiliki hubungan dengan pemimpin Zionis Chaim Weisman. Pembentukan Negara Saudi Arabia tidak lepas dari campur tangan negara-negara Barat, dalam hal ini Inggris. Kerjasama ini telah dilakukan oleh Dinasti Saud (rezim keluarga Saudi Arabia) dengan Inggris sekitar tahun 1782-1810. Pada saat itu, Inggris membantu Dinasti Saud untuk memerangi Daulah Khilafah Islam. Dengan bantuan Inggris, Dinasti Saud berhasil menguasai beberapa wilayah Damaskus. Kerjasama Dinasti Saud dengan Inggris ini semakin jelas saat keduanya melakukan perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Dalam pernjanjian itu Inggris, yang diwakili oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas kemerdekaan lengkap dan mutlak Ibnu Saud, hubungan non agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Saud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk (George Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, hlm 351).
- Pola-pola yang hampir mirip terjadi pada negara-negara Arab yang lain.
- Pembentukan Negara Kuwait tidak lepas dari pernjanjian Mubarak al-Sabah dengan Inggris pada tahun 1899. Dalam perjanjian itu ditetapkan Kuwait sebagai negara yang merdeka di bawah lindungan Inggris. Negara-negara Arab lainnya juga menjadi rebutan pengaruh negara-negara Besar yang sangat mempengaruhi independensi penguasa negara-negara tersebut.
- Negara Mesir dibentuk setelah terjadinya kudeta militer terhadap Raja Farauk (yang dekat dengan Inggris) oleh Gamel Abdul Nasser (yang kemudian banyak dipengaruhi oleh AS).
- Tak jauh beda dengan Libya. Libya dibentuk oleh Itali sebagai daerah koloninya pada tahun 1943. Setelah itu Libya menjadi rebutan negara-negara Barat. Terakhir, Raja Idris yang dekat dengan AS dikudeta oleh Khadafi (yang menamatkan pendidikannya di Inggris).
PEMBAHASAN
Nilai Penting Teluk Persia bagi Amerika.
Berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1914
membawa dunia pada permintaan pasokan minyak yang cukup tinggi terutama
disebabkan pada tiap-tiap negara yang berperang merubah kapal-kapal
mereka dari penggunaan batu bara beralih pada penggunaan minyak. Setiap
negara-negara yang berperang pada saat itu terus meningkatkan angkatan
bersenjata mereka dengan menambah truk, tank, serta pesawat. Hal ini
menjadi pemicu semakin meningkatnya permintaan minyak dunia sehingga
bisa dikatakan minyak merupakan harta karun yang diperebutkan dan
diperdagangkan oleh setiap negara hingga saat ini. Layaknya Teluk Persia
di asumsikan sebagai ladang minyak baru bagi dunia yang telah
memberikan suplai netral bagi pemenuhan pasokan minyak dunia. Di tahun
1909 perusahaan Anglo-Persia (APOC) mulai membangun pipa untuk
mentransportasikan minyak dari sumbernya ke pelabuhan terdekat di Teluk
Persia.
Hingga pada Perang Dunia II permintaan minyak
semakin menunjukan peningkatannya mencapai 900% dibandingkan 21 tahun
yang lalu (Yergin, 1991; Palmer, 1993). Mengetahui hal tersebut Amerika menetapkan Teluk Persia sebagai geostrategic
pertamanya menjadi wilayah pensuplai minyak yang potensial. Bahkan di
tahun 1944 tercatat dalam laporan teknikal pemerintahan Amerika teluk
Persia dilabeli sebagai “Pusat Gravitasi” bagi perkembangan minyak
(Yergin, 1991) .
Kondisi Internal Irak pasca Perang Delapan Tahun Dengan Iran.
Pasca terlepas dari dominasi pemerintahan Inggris, negara Irak terlibat perang dengan negara tetangganya yaitu Iran di tahun 1980-1988 berkaitan dengan konflik perbatasan wilayah bekas peninggalan Inggris. Di tahun 1990 Irak mengalami inflasi sebesar 40%, impor penduduk meninkat 12 juta triliun, impor militer lima triliun dollar, hutang dengan negara-negara non arab sebesar 6-7 juta dollar pertahun (Polack, 2002) .
Sementara pendapatan dalam negeri Irak terbesar berasal bergantung dari minyak mentahnya yang kendati terus mengalami kemerosotan harga setelah ditemukan sumber minyak baru di Alaska, Laut Utara, dan negara bekas Uni Soviet¹. Menyebabkan persaingan harga yang begitu ketat antara sumber minyak terbaru tersebut dengan harga yang telah ditetapkan Irak akibatnya Irak harus menurunkan harga minyaknya jauh di bawah harga yang ditetapkan sebelumnya.
Kondisi internal di negara Irak semakin terpuruk ketika
para anggota OPEC seperti Kuwait dan United Arab Emirates (UAE)
memproduksi minyak dengan kuantitas yang berlebihan dan harga yang
relatif rendah dengan tujuan mencapai kebijakan jangka panjang. Hal
tersebut mengakibatkan ketergantungan dunia terhadap minyak mereka
seperti halnya Kuwait yang terus maningkatkan produksi minyak mereka
sehingga harga minyak dunia pun jatuh dari 22 dollar menjadi 16 dollar
perbarel.
Kondisi ini menjadi tekanan bagi negara Irak dimana negara
yang penghasilan utamanya 90% berasal dari penjualan minyak tersebut
terus menurunkan harga dalam menyeimbangkan harga pasaran minyak dunia
dan selain itu Irak juga harus menutupi hutang-hutang pasca
peperangannya dengan Iran.
Ladang minyak Irak telah lama di temukan oleh Inggris Raya di tahun 1927.
Presiden Saddam Husein memprediksikan bahwa jatuhnya satu
dollar harga minyak dunia akan menyebabkan kerugian sebesar satu dollar
bagi pendapatan Irak dan hal tersebut benar-benar terbukti hingga tahun
1990 Baghdad mengalami permasalahan finansial yang teramat parah (Polack, 2002).
Kemerosotan ekonomi yang dialami Irak
menyebabkan Presiden Saddam Husein kehabisan cara untuk menyelamatkan
negaranya. Hingga ahirnya Irak berani untuk memutuskan perluasan area
penambangan minyaknya sampai ke Kuwait.
Keberanian Presiden Saddam Husein dalam invasinya ke
Kuwait didasarkan atas beberapa asumsi yang masih berkaitan dengan
Amerika Serikat yaitu :
► Pertama, Irak percaya bahwa koalisi multinasional Amerika Serikat
kesemuanya secara politik rentan dan akan kolaps jika tekanan terjadi
pada hubungan mereka terutama koalisi anggota negara Arab. Presiden
Saddam Husein dan para penasehatnya percaya bahwa banyak negara Arab
yang bivalent (mendua) atas nasib Kuwait, tidak menyukai dukungan
Amerika Serikat atas Israel serta sensitif atas paksaan ”imperialis” di
Timur Tengah (al-Radi, 1998).
► Kedua, Presiden Saddam Husein yakin bahwa
Amerika Serikat tidak akan mentoleransi harga minyak Kuwait yang
sewaktu-waktu meningkat dan kemudian Amerika Serikat akan meliberalisasi
Kuwait. Ia percaya Kuwait tidak begitu penting bagi Barat dan hanya
memfokuskan aliran minyak yang terus berjalan serta percaya bahwa
pelajaran yang dialami Amerika Serikat di Vietnam dan Lebanon di mana
Amerika akan angkat tangan jika unit Amerika mengalami korban yang
sangat banyak (al-Radi, 1998).
► Ketiga, Presiden Saddam Husein percaya diri
dalam perang Irak ke Kuwait, Amerika Serikat akan mengalami kekalahan
yang serius sehingga mampu memaksa mereka ke meja bargaining.
Sayangnya ia gagal memperhitungkan besarnya “jurang” perbedaan kualitas
perlengkapan, taktik dan personel antara militer Irak dan Amerika
Serikat (al-Radi, 1998).
► Keempat, Presiden Saddam Husein percaya bahwa
kekuatan udara akan berperan sedikit dalam perang dengan koalisi. Dalam
sebuah siaran radio Presiden Saddam Husein meyakinkan rakyatnya bahwa
Amerika Serikat bergantung pada pasukan udara. Dalam sejarah peperangan,
pasukan udara tidak pernah menentukan perang. Mereka punya setidaknya
600 pasukan udara, semuanya buatan Amerika Serikat dan pilotnya
mendapatkan pelatihan di Amerika Serikat. Mereka terbang ke Baghdad
seperti awan hitam, tapi tetap tidak menentukan hasil akhir perang.
Amerika Serikat bisa saja menghancurkan kota, pabrik, dan membunuh,
namun tidak menentukan hasil akhir peperangan dengan angkatan udara.” (al-Radi, 1998).
► Terakhir, pernyataan diplomat
Amerika Serikat April Glaspie dalam lawatannya ke Irak yang mengatakan
bahwa “kita tidak ingin berkomentar terkait konflik negara-negara Arab
sebagaimana masalah perbatasan Anda dengan Kuwait” (Woodward, 212).
Semakin menguatkan asumsi Irak bahwa Amerika Serikat tidak akan
mengambil tindakan jika militer Irak menyerang Kuwait. Presiden Saddam
Husein begitu percaya diri dengan asumsi-asumsinya untuk menjalankan
invasi ke Irak. Usaha Organisasi internasional telah diajukan pada Irak.
Tercatat pada musim gugur tahun 1990, Amerika Serikat, Liga Arab,
Perancis, dan Rusia tiba di Baghdad mencoba melakukan penyelesaian
masalah invasi Irak ke Kuwait namun tepat sebulan sebelum Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun) Amerika Serikat ternyata Baghdad segera menolak resolusi yang dilayangkan pihak PBB.
Perang Teluk I
Kedekatan Irak dan Amerika Serikat sebenarnya
tidak sebegitu intens. Pada masa kerajaan Persia di Irak pun belum
terjalin bilateral di kedua negara tersebut, hingga pada masa
pemerintahan Turki Ottoman baru lah tercipta jalinan bilateral di kedua
negara tersebut. Jatuhnya kepemimpinan Turki Ottoman pasca Perang Dunia
I, menjadikan Irak sebagai negara Irak yang modern dan didominasi oleh
negara Inggris bukannya Amerika. Pasca Perang Dunia II, Amerika hanya
menaruh minatnya kepada Arab Saudi dan Iran mengingat kedua negara
tersebut merupakan negara yang kaya akan potensi minyak. Irak sendiri
dipandang Amerika sebagai negara radikal lemah dan memiliki kedekatan
dengan Rusia namun tidak begitu mengancam. Barulah di tahun 1980
bilateral antara Irak dan Amerika Serikat mulai terjalin begitu erat.
Akibat kemerosotan ekonomi yang dialami negaranya, Irak berencana untuk
menginvasi Kuwait. Mengetahui rencana Irak untuk menginvasi wilayah
Kuwait, hal tersebut menjadi pukulan keras bagi Presiden Amerika Serikat
yaitu Geroge H. W. Bush di mana tindakan Irak menjadi ancaman bagi
negara Adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Teluk Persia
dan menjamin agar minyak terus mengalir serta mencegah
munculnya hegemoni musuh di region Teluk. Sebab apabila Kuwait berhasil
di kuasai Irak maka negara Bulan Sabit tersebut akan menguasai 9% dari
produksi minyak global yang mampu disaingkan dengan Arab Saudi dengan
penguasaan minyak dunia mencapai hampir 11%. Dan apabila kekuatan
militer Irak berhasil ditempatkan di Kuwait maka akan mengancam
kestabilan Arab Saudi sehingga mengalami “Finlandized” berupa
paksaan untuk mengikuti kebijakan harga minyak luar negeri yang
didiktatori Baghdad. Dengan kata lain Irak memiliki kapabilitas untuk
megatur harga minyak global.
Pada pada 2 Agustus 1990 Irak melancarkan invasinya ke Kuwait yang dikenal dengan sebutan Perang Teluk Persia I atau Gulf War.
Invasi Irak ini dibuka dengan penyerangan oleh dua brigade Pasukan
Khusus Republik Irak yang bergerak cepat untuk menguasai istana Amir dan
Bank Sentral Kuwait yang ia percaya akan menemukan tumpukan emas di
sana yang sayangnya kebanyakan dari warga Kuwait lebih banyak
menginvestasikan uang mereka ke luar negeri dibanding melakukan
investasi pada Bank Sentral Kuwait oleh karena itu Saddam hanya
mendapatkan 2 trilliun dolar billion emas Kuwait (Cigar, 1992 dan
Friedman, 1991). Pada hari yang sama Irak membombardir ibukota Kuwait City dari udara.
Meskipun Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun
udara berusaha mempertahankan negara, namun mereka dengan cepat
kewalahan. Selanjutnya Kuwait berhasil memperlambat gerak Irak dan
segera menyelamatkan keluarga kerajaan untuk meloloskan diri ke Arab
Saudi beserta sebagian besar tentara yang masih tersisa. Invasi
membabibuta yang dilakukan Irak membuat Kuwait meminta bantuan kepada
Amerika Serikat tepat tanggal 7 Agustus 1990.
Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan
invasi yang dilakukannya di atas tanah Kuwait hingga pada musim gugur
tanggal 6 Agustus 1990 Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi Pada Irak Dan dilanjutkan dengan misi diplomatik antara James Addison Baker III diplomat Amerika Serikat dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz tanggal 9 Januari 1991 namun tidak membuahkan hasil, Irak menolak permintaan PBB agar menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991.
Dengan segera Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush mengambil tindakan tegas terhadap Irak setelah memperoleh izin untuk menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab dan AfrikaUtara kecuali Syria, Libya, Yordania dan Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat ditambah negara-negara Eropa Utara dan Eropa Timur), serta 2 negara Asia yaitu Bangladesh dan Korea Selatan. Sementara dari Afrika, Niger turut bergabung dalam koalisi. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen Khalid bin Sultan. Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun) dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara masif atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.
Target utama koalisi adalah untuk menghancurkan
kekuatan Angkatan Udara Irak dan pertahanan udara yang diluncurkan dari
Arab Saudi dan kekuatan kapal induk koalisi di Laut Merah dan Teluk
Persia. Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Presiden Saddam Hussein
yang merupakan titik sentral komando Irak dan inisiatif di level bawah
tidak diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat komando rusak maka
semangat dan koordinasi tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap.
Target ketiga dan yang paling utama adalah instalasi rudal jelajah
terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal ini juga didukung oleh
pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di
daratan untuk mencari dan bila perlu menghancurkan instalasi rudal
tersebut serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang
dimulai tanggal 30 Januari 1991.
Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv, Haifa, dan Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Uni Soviet rakitan Irak yang bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud, koalisi memasang rudal penangkis, Patriot
serta memaksimalkan sortir udara untuk memburu rudal-rudal tersebut
sebelum diluncurkan. Irak juga melakukan perang lingkungan dengan
membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Soviet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev namun ditolak oleh Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush pada tanggal 19 Februari 1991.
Sementara Uni Soviet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan
Keamanan PBB, meskipun Uni Sovyet pada saat itu dikenal sebagai sekutu
Irak terutama dalam hal suplai persenjataan. Selanjutnya Israel diminta
Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk
menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang
dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan. Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan
Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dari ivasi Irak dan Presiden
Amerika Serikat George H. W. Bush menyatakan perang telah usai.
2.4 Perang Teluk II (Perang Irak).
Genderang perang bertalu-talu semakin seru pasca
melancarkan aksi Perang Teluk Persia I, selanjutnya di bawah
kepemimpinan presiden Amerika Serikat George W. Bush anak dari George H.
W. Bush menyiapkan perang di Teluk untuk kembali menyerang Irak.
Dengan dalil bahwa Irak adalah negara paling berbahaya dengan 5
gelar yaitu negara diktator, negara teroris, kepemilikan senjata nuklir,
kimia dan senjata kuman.
Alasan tersebut dijadikan Amerika Serikat dan Inggris
untuk menggulingkan tampuk kepemimpinan Presiden Irak yakni Saddam
Husein. Januari 2003 sebenarnya para pemimpin Arab telah mendesak
Saddam Husein untuk segera meninggalkan negerinya demi keselamatan Irak
namun usulan tersebut tidak digubris oleh pemimpin Irak tersebut dan
tetap bersikukuh untuk tinggal di tanah kepemimpinanya tersebut.
Apabila kita tinjau dari kacamata perpolitikan adapun
tujuan terselubung niat Amerika Serikat melakukan rencana serangan
Teluk Persia II yakni apabila Amerika Serikat berhasil menaklukan Irak
maka akan ada kemudahan negara adikuasa tersebut dalam meletakan
kepentingannya di Timur Tengah yakni khususnya memberi pengaruhnya
kepada Iran dengan demikian setidaknya negara adikuasa tersebut sudah
mampu melenyapkan dua negara poros setan yang terdiri dari empat negara
yang dituduhkan George W. Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea
Utara. Amerika juga akan mampu memberi tekanan militer terhadap
negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara Teluk
membasmi kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa
tersebut dapat melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah
dunia serta memantapkan posisi Amerika sebagai Penguasa Dunia .
Posisi Irak sangat lemah karena sudah terisolasi
lebih dari 10 tahun pasca Perang Teluk Persia I. Maka tanpa bantuan dari
sekutupun, Amerika mampu menaklukkan Irak dengan kekuatan militer
sendiri. Amerika telah memperhitungkan bahwa dalam aksi perang kali ini
tidak ada negara yang berani membantu Irak.
Astrid (2011) . Sejarah Perang-Perang Besar Di Dunia. Yogyakarta : Familia Pustaka Keluarga.
Selanjutnya tim ekspedisi PBB tidak mampu menemukan senjata
pemusnah massal yang diungkapkan Presiden Amerika Serikat George W.
Bush. Sedangkan negara Rusia, China dan Perancis mendesak agar tim
ekspedisi dari PBB memberikan waktu untuk membuktikan tuduhan
kepemilikan senjata pemusnah massal Irak.
Bahkan negara Jerman turut angkat bicara bahwa
serangan militer terhadap Irak yang memang telah lemah karena embargo
PBB bukanlah hal yang bijaksana. Meskipun demikian pihak Amerika tidak
menggubris peringatan dari berbagai negara terbukti pada Maret 2003
Amerika mengirimkan sekitar 250.000 tentara ke wilayah Teluk dibantu
kerajaan Inggris yang mengirimkan 45.000 tentara ke Irak.
Presiden negara Irak Saddam Husein memperoleh
dukungan dari berbagai kalangan internasional yang memandang bahwa Irak
menjadi korban rezim penguasa global yang kejam. 15 Februari 2003
terjadi demonstrasi di seluruh penjuru dunia menentang tindakan Amerika
Serikat yang akan melakukan penyerangan ke Irak, para demonstran
berasumsi bahwa Amerika Serikat merupakan negara penegak nilai-nilai
demokrasi namun pada kenyataan Amerika Serikat bersikap kejam dan tidak
berprikemanusiaan.
Tanggal 22 Februari 2003 Hans Blix selaku kepala
inspeksi senjata PBB memerintahkan Irak untuk menghancurkan rudal
Al-Samoud 2 karena dianggap telah melebihi jarak tembak yang hanya boleh
mencapai 300 km. Menanggapi perintah inspeksi senjata PBB Irak segera
melakukan perintah sesuai yang diamanatkan tanpa melakukan perlawanan.
Tanggal 24 Februari 2003 Amerika bersikukuh mengajukan draft resolusi
kepada PBB untuk mengultimatum negara Irak. Di luar restu PBB, Amerika
dan inggris melancarkan kampanye untuk menggulingkan kepemimpinan
Presiden Saddam Husein dari kancah pemerintahannya di Irak. Hingga pada
tanggal 17 Maret 2003 Presiden Amerika Serikat George W. Bush memberi
ultimatum kepada Presiden Saddam Husein untuk segera meninggalkan negeri
yang dipimpinya dalam tempo 48 jam. Peringatan tersebut tidak
diindahkan oleh Presiden Irak tersebut sampai 19 Maret 2003, Amerika
Serikat beserta koalisinya melakukan invasinya ke Irak (dikenal dengan
istilah “Operasi Pembebasan Irak”) .
Tujuan utama pelaksanaan Operasi Pembebasan Irak oleh
Amerika yaitu melucuti senjata pemusnah massal Irak, mengakhiri
dukungan Presiden Saddam Hussein terhadap aksi terorisme, serta
memerdekakan rakyat Irak. Tanggal 18 Februari 2003 Amerika kembali
mengirimkan 100.000 tentaranya kali ini ke Kuwait serta memaksimalkan
dukungan lebih dari 20 negara dan bantuan suku Kurdi di utara Irak untuk
memperkuat pertahanan. Kepemimpinan Presiden Saddam Husein berakhir
pada tanggal 9 April 2003 ditandai dengan robohnya patung Saddam Husein
berada tepat di lapangan Firdaus yang dihancurkan oleh tank Amerika.
Setelah berhasil menguasai istana kepresidenan dan
sebagian pangkalan militer Irak maka dengan segera tentara Amerika
berhasil menguasai Irak secara keseluruhan. Sementara pasukan Irak yang
tergabung dalam Garda Revolusi yang dipimpin oleh anak-anak dari Saddam
Husein tidak mampu membendung kekuatan gabungan militer Amerika.
Terkepungnya wilayah Rafhafah dan Azhamiyah menjadi tempat terakhir bagi
kekuatan militer Irak.
Perang Irak menimbulkan kekacauan dan penjarahan
besar-besaran di Baghdad. Setelah berhasil menjatuhkan Baghdad, misi
Amerika selanjutnya ialah menangkap Saddam Husein beserta
pejabat-pejabat negara Irak yang melakukan perlawanan terhadap invasi
Amerika Serikat. Tanggal 13 Januari Desember 2003, Saddam Husein
berhasil ditangkap di sebuah bunker kota Tikrit atas informasi
gerilyawan Kurdi.
Tertangkapnya Saddam Husein memberikan kebanggaan
tersendiri bagi pihak Amrika Serikat yang merasa telah mampu
menumbangkan kepemimpinan yang diktator. Tanggal 1 Maret 2003 perang
Teluk Persia II/ Perang Irak dinyatakan telah resmi berakhir dan di atas
geladak kapal induk USS, Abraham Lincoln membentangkan spantuk raksasa
yang bertuliskan “Mision Accomlished (Misi Selesai) “.
Meski perang telah usai keadaan Irak tidak sepenuhnya damai , 30
September 2006 Saddam Husein dihukum gantung dan dinyatakan bersalah
atas kejahatannya terhadap kemanusiaan oleh pengadilan Irak. Tanggal 31
Agustus 2010 Presiden Amerika Serikat pengganti George W. Bush pasca
usai masa jabatan yaitu Presiden Barack Hussein Obama menyatakan bahwa
perang telah berakhir serta memerintahkan penarikan pasukan Amerika dari
irak² .
² Perang Teluk Persia II/ Perang Irak telah menewaskan 2.923 jiwa tentara Amerika dan 150.000 jiwa pihak Irak.
Breuning (2007) menyatakan bahwa kebijakan luar negeri pada
dasarnya bersifat memiliki tujuan atau tindakan yang didasari oleh
tujuan-tujuan tertentu. Itu artinya, seburuk apapun outcome yang
dihasilkan oleh sebuah kebijakan sudah dipastikan memiliki
alasan-alasan di balik proses pembuatan keputusan. Dalam kasus kebijakan
luar negeri yang diputuskan Presiden Irak yanki Saddam Husein dalam
menginvasi Irak terdapat beberapa alasan di balik itu semua kendati
dalam proses mencapai tujuannya justru memberikan outcome yang sangat buruk bagi kestabilan negara Irak.
Begitu pula kebijakan luar negeri yang dihasilkan
Presiden George H. W. Bush dan anaknya Presiden George W. Bush untuk
melakukan invasi sebanyak dua kali di tanah Irak tentu saja memiliki
tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negaranya,
meskipun secara umum dipaparkan bahwa dalam Perang Teluk Persia I invasi
menggunakan alasan atas tindakan invasi Irak atas Kuwait dan dalam
Perang Teluk Persia II beralasan 5 tuduhan yang dilayangkan kepada
negara Irak yakni dikatator, pendukung terorisme, kepemilikan senjata
nuklir, kimia dan kuman. Yang artiannya tujuan invasi Amerika Serikat
secara umum digambarkan demi menjaga kestabilan dunia.
Tetapi kita tidak mengetahui gambaran tersirat bahwa di balik
kebijakan luar negeri terkait dua invasi tersebut memiliki kepentingan
tersendiri bagi Amerika Serikat. Seperti yang telah dipaparkan dalam
uraian Perang Teluk Persia II akan memberikan keuntungan tersendiri bagi
Amerika Serikat apabila ia berhasil menaklukan Irak yaitu kemudahan
negara adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Timur Tengah
yakni khususnya memberikan pengaruhnya di Iran dengan demikian
setidaknya negara adikuasa tersebut sudah mampu melenyapkan dua negara
poros setan yang terdiri dari empat negara yang dituduhkan George W.
Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu
memberi tekanan militer terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa
pemerintah negara-negara Teluk membasmi kelompok ekstrim yang
antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut dapat melaksanakan
strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan
posisi Amerika sebagai Penguasa Dunia .
Secara tidak langsung kita tidak mampu menerjemahkan
maksud dari kebijakan luar negeri Amerika serikat namun apabila kita
tinjau dari kacamata perpolitikan maka kita akan menyadari bahwa
permainan politik dan kepentingan nasional berperan di dalamnya. Oleh
sebab itu pentinglah bagi kita untuk mengenal apa itu politik dan
bagaimana maksud dan tujuan tersurat maupun tersirat sehingga mampu
mempertahankan eksistensi negara kita di kancah percaturan
internasional.
(Bersambung)
(Sumber-Lain/Syiah-Ali/ABNS)
(Sumber-Lain/Syiah-Ali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email