Perang Badr Kubra ini mengandung
beberapa pelajaran dan ibrah yang sangat penting, di samping mengandung
mu‘juzat besar berkenaan dengan dukungan dan pertolongan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada
prinsip-prinsip keimanan mereka dan keikhlasan dalam melaksanakan
tanggung jawab agama mereka.
1. Sebab pertama bagi terjadinya perang
Badr ini menunjukkan bahwa motif utama kaum Muslimin keluar bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, bukan untuk berperang, tetapi
karena didorong oleh tujuan mencegat kafilah Quraisy yang datang dari
Syam di bawah kawalan Abu Sofyan.
Tetapi kemudian Allah Subhanahu wa
Ta’ala menghendaki ghanimah (rampasan perang) dan kemenangan yang lebih
besar bagi para hambah-Nya, disamping merupakan tindakan yang lebih
mulia dan lebih sesuai dengan sasaran yang harus dicapai oleh setiap
Muslim dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala meloloskan kafilah
yang menjadi tujuan utama mereka, dan menggantikannya dengan peperangan
yang sama sekali tidak pernah mereka duga.
Peristiwa ini menunjukkan dua hal:
Pertama,
Bahwa semua harta kekayaan kaum kafir
harbi, oleh kaum Muslimin dianggap sebagai harta yang tidak mulia. Boleh
dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu
mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum Muslimin dianggap
telah menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh para
fuqaha. Di samping itu, kaum Muhajirin yang telah diusir dari negeri
mereka di Mekkah mempunyai alasan lain untuk merampas kafilah Quraisy,
yaitu usaha pengambilan hak ganti rugi dari harta kekayaan mereka yang
masih tertinggal di Mekkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin.
Kedua,
Kendatipun tindakan ini dibolehkan,
tetapi Allah menghendaki kepada hamba-Nya yang beriman suatu tujuan yang
lebih mulia daripada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengantugas
yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Itulah sebabnya, kemudian Abu Sofyan berhasil lolos
bersama kafilahnya dari kaum Muslimin. Sementara itu pasukan Quraisy
menderita kekalahan besar di medan jihad yang berkecamuk antara kaum
Muslimin dan kaum Musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah Illahiyah bagi
kaum Muslimin yang dengan jelas nampak tergambar dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan (ingatlah), ketika Allah Subhanahu
wa Ta’ala, menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang
kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak
mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk
membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan
memusnahkan orang-orang kafir.“ QS al-Anfal (8): 7.
2. Kalau kita perhatikan bagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam duduk bersama para sahabatnya
untuk meminta pandangan mereka dalam menghadapi masalah yang mendadak
(perang), setelah kafilah lolos dari mereka dan muncul cebagai gantinya
pasukan berkekuatan senjata, maka dapat dicatat dua pelajaran yang
sangat penting.
Pertama,
Komitmen Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Salllam kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kita
telusuri kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam akan kita
temukan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam selalu berpegang teguh
kepada prinsip syura’ ini dalam menghadapi semua masalah yang tidak
ditandaskan secara tegas oleh wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, khususnya
maslah-masalah yang berkaitan dengan tadbir (perencanaan) dan siyasah
syariyah 8kebijaksanaan). Oleh sebab itu, kaum Muslimin menyepakai bahwa
syuro, dalam masalah yang tidak ditegaskan oleh nash al-Quran dan
as-Sunnah, adalah merupakan prinsip perundang-undangan yang tidak boleh
diabaikan. Adapun seandainya manyangkut masalah yang sudah ditegaskan
oleh al-Quran atau Hadits, maka tidak diperlukan lagi adanya syura dan
bahwa tidak dikalahkan oleh kekuatan apa pun.
Kedua,
Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau
perjanjian antara kaum Muslimin dengan ummat lain, boleh tunduk kepada
apa yang disebut dengan siyasah syariyah (kebijaksanaan) atua hukum
al-Imamah (keputusan pemimpin). Sebagai penjelasannya bahwa,
pensyariatan perdamauan dan perjanjian ini tidak boleh dibatalkan atau
dicabut dari hukum syariat Islam. Tetapi bagian-bagian dari
bentuk-bentuk pelaksanaannya yang beraneka ragam itu boleh disesuaikan
dengan situasi jaman, tempat dan kondisi kaum Muslimin dan musuh mereka.
Pengambilan kebijaksanaan ini pun hanya dilakukan oleh seorang Imam
yang memiliki pandangan yang akurat, adil, berpegang teguh kepada
nilai-nilai agama, dan kebijaksanaan yang bersumber dari penguasaan
agama yang mendalam serta dilakukannya secara ikhlas, di samping harus
tetap melakukan syura dengan kaum Muslimin dan memanfaatkan berbagai
pengalaman dan kemampuan mereka.
Jika seorang pemimpin pemerintahan
(negara Islam) berpendapat bahwa sebaiknya kaum Muslimin tidak
menghadapi musuh mereka dengan kekuatna dan perang, yang pendapatnya ini
dikaji dengan cermat dan disepakati oleh Majlis syura maka dia boleh
memilih sikap damai dengan mereka (musuh). Sikap ini tidak bertentangan
dengan nash-nash Syariat yang telah ditetapkan, sambil menunggu situasi
yang tepat dan cocok untuk melakukan peperangan dan melancarkan jihad.
Sebagaimana dia (Imam) boleh menggerakkan rakyatnya untuk melakukan
peperangan manakala dia memandang baik untuk melakukannya.
Demikianlah kesepatakan yang telah
dibuat oleh para Fuqaha dan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam Sirah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam. Kecuali jika
musuh menyerang kaum Muslimin di dalam negeri mereka, maka kaum Muslimin
wajib melawannya dengan mengerahkan segenap kekuatan betapun situasi
dan sarana yang mereka miliki. Bahkankewajiban ini berlaku bagi semua
kaum Muslimin baik lelaki maupun wanita yang memenuhi syarat-syarat
taklif (pembebanan yang diembankan sesuai dengan persyaratan).
Di samping itu, sebagian Fuqaha
menetapkan bahwa, syura ini diwajibkan tetapi seorang penguasa (pemimpin
pemerintahan) tidak harus mengambil pendapat mayoritas seandainya
pendapat mereka bertentangan dengan pendapatnya.
Mengenai hal ini al-Qurthuby berkata:
“Orang yang meinta pendapat harus
memperhatikan berbagai pendapat yang dilontarkan dan mencari yang paling
dekat kepada al-Quran dan as-Sunnah jika memungkinkannya. Jika Allah
Subhanahu wa Ta’ala, menunjukkannya kepada pendapat lain yang ia
kehendaki maka ia boleh memutuskan dan melaksanakannya seraya bertawakal
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”.
3. Barangkali timbul pertanyaan, mengapa
jawaban Abu Bakar, Umar dan al-Miqdad belum memuaskan hati Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, tetapi masih terus memandang ke arah
mereka sampai Sa‘d bin Mu‘adz berbicara kemudian barulah hati Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam merasa puas?
Jawabannya bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam hanya ingin mengetahui pendapat kaum Anshar dalam
masalah tersebut. Apakah mereka akan mengemukakan pendapat dan keputusan
yang didasarkan kepada mu‘ahadah (janji setia) di antara mereka dengan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, yakni janji setia yang
bersifat khusus dan harus ditaati, yang dengan demikian berarti Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam tidak punya hak untuk memaksa mereka
berperang bersamanya dan memberikan pembelaan terhadapnya. Kecuali di
dalam kota Madinah, sebagiamana dinyatakan pada butir janji setia
tersebut. Ataukah mereka akan mengemukakan pendapat berdasarkan rasa
ke-Islaman mereka dan mu‘ahadah kubra (janji setia besar) mereka
terhadap Allah? Atas dasar ini, berarti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Salllam memiliki hak untuk menjadi penerima amanah di antara mereka guna
melaknsakan mu‘ahadah kubra tersebut dan adalah kewajiban mereka
memenuhi hak-hak mu‘ahadah ini serta melaksanakan tanggung-jawabnya
secara sempurna.
Mengamati jawaban Sa‘d bin Mu‘adz,
dapatlah diketahui bahwa mubaya‘ah (bai’at/janji setia) kaum Anshar yang
diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam di Mekkah
sebelum Hijrah, tidak lain justru merupakan mubaya‘ah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tidak pernah beranggapan lain, ketika
memberikan pembelaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam
setelah berhijrah kepada mereka-kecuali sebagai pembelaan terhadap agama
dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Persoalannya bukan sekedar menyangkut
nash-nash (butir-butir) tertentu yang telah mereka sepakati bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, sehingga mereka tidak mau
komit dengan hal-hal di luar butir-butir yang telah dibuat, tetapi
persoalannya bahwa dengan mubaya‘ah itu berarti mereka telah
menandatangai suatu perjanjian yang dimuat oleh firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tetalh membeli dari orang-orang yang beriman (Mukmin) diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam
Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar.“ QS
At-Taubah (9): 111.
Oleh sebab itu Sa‘d bin Mu‘adz menjawab dengan ucapannya:
“Kami telah beriman kepada Anda dan
kamipun membenarkan kenabian dan kerasulan Anda. Kami juga telah menjadi
saksi bahwa apa yang Anda bawa adalah kebenaran. Atas dasar itu kami
telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk taat dan setia kepada
Anda. Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap bersama anda
(yakni tetap berjalan bersama anda sesuai dengan perjanjian yang lebih
besar daripada perjanjian yang telah kita sepakati di Bai‘at Aqabah
pertama …“
4. Dalam melaksanakan jihad dan lainnya,
Imam dibolehkan menggunakan “intel“ (spionase, mata-mata) yang
disebarkan di kalangan musuh guna membongkar dan mengetahui perencanaan
dan kondisi kekuatan mereka. Untuk melaksanakan tujuan ini dibolehkan
menggunakan beraneka ragam sarana, asalkan tidak merusak kepentingan
yang lebih besar ketimbang kepentingan mengetahui kondisi lawan. Mungkin
sarana itu berupa kerahasiaan atau semacam siasat dan tipu daya
peperangan. Semua ini dibolehkan dan baik karena merupakan sarana yang
diperlukan untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan pemeliharaan mereka.
Disebutkan di dalam buku-buku Sirah,
bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, turun di dekat badr,
beliau bersama seorang sahabatnya naik unta dan bertemu dengan seorang
tua (syaikh) dari Arab, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam
bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy dan Muhammad beserta para
sahabatnya.
Orang tua itu bertanya, “Aku tidak akan
menyampaikan berita kepada kalian berdua sebelum kalian menjelaskan
kepadaku siapa kalian berdua ini ?“
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam berkata ;“Kami akan menjelaskan setelah anda memberikan berita kepada kami.“
Orang tua itu menyahut, “Apakah ini ditukar dengan itu?“
Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, “Ya“.
Kemudian orang tua itu menjelaskan
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam apa yang diketahuinya tentang
kaum Musyrikin dan tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam beserta
para sahabatnya. Setelah selesai menjelaskan, orang tua itu bertanya,“
Sekarang siapakah kalian berdua ini?“
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menjawab, “Kami dari air.“
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Salllam meninggalkannya. Akhirnya orang tua itu bertanya-tanya, “Dari
air mana? Apakah dari air Iraq?“
5. Pembagian Tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam.
Dialog yang berlangsung antara Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dan Habbab bin Mundzir (hadits sanadnya
shahih) tentang penempatan pasukan, menunjukkan bahwa tindakan-tindakan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, tidak semuanya bernilai tasyri‘
(menjadi syariat). Bahkan dalam banyak hal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Salllam sering bertindak dalam statusnya sebagai manusia biasa yang
berpikir dan membuat perencanaan.
Tidak diragukan lagi bahwa, kita tidak
diwajibkan selalu mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dalam
tindakan-tindakan beliau ini. Di antaranya ialah tindakan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dalam menentukan tempat dalam peperangan
ini. Seperti telah kita ketahui bahwa Habbab mengusulkan supaya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pindah ke tempat lain dan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pun menyetujuinya. Usulan Habbab itu
dikemukakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam setelah
mendapatkan penegasan bahwa pilihan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam
terhadap termpat tersebut bukan atas perintah wahyu Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Banyak tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Salllam yang masuk ke dalam kategori siyasah syari’ah
(kebijaksanaan) sebagai Imam dan kepala negara, bukan sebagai Rasul yang
menyampaikan wahyu dari Allah. Seperti dalam hal pemberian dan
perencanaan-perencanaan militernya.
Masalah ini oleh para Fuqaha dibahas secara detail, yang tidak mungkin kami kemukakan dalam kesempatan ini.
6. Pentingnya Merendahkan Diri Kepada Allah dan Meminta dengan Sangat Kepada-Nya.
Seperti telah kita ketahui bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menenangkan hati para sahabatnya dengan
menegaskan bahwa kemenangan berada di pihak kaum Muslimin, sampai-sampai
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menunjuk ke beberapa tempat di
tanah seraya berkata, “ Ini adalah tempat kematian si Fulan.“.
Dan sebagaimana disebutkan oleh Hadits
shahih, nama-nama yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam
itu roboh terbunuh tepat di tempat yang telah ditunjukannya.
Sekalipun demikian, Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam tetap berdiri sepanjang malam Jum‘at itu di dalam
kemah yang dibuat khusus bagi beliau, memanjatkan do’a kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh khusyuk dan merendah diri seraya
menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit memohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala agar pertolongan yang dijanjikan-Nya ditunaikan.
Dalam munjat ini bahnkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam sampai
tidak menyadarai kalau selendangnya terjatuh, sehingga Abu Bakar merasa
kasihan terhadapnya kemudian memberanikan diri berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, “Cukup Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Salllam, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan
menunaikan janji-Nya yang telah diberikan kepadamu.“.
Mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Salllam sampai merendahkan dirinya sedemikian rupa di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala , padahal beliau telah yakin akan mendapatkan
pertolongan sampai beliau menyatakan, “ Seolah-olah aku melihat tempat
kematian mereka.“.
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menentukan beberapa tempat kematian mereka di tanah ?
Jawabannya bahwa keyakinan dan keimanan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam terhadap kemenangan hanyalah
merupakan pembenaran kepada janji yang telah diberikan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada Rasul-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak akan menyalahi janji atua mungkin nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam diberi kabar kemenangan itu di tengah peristiwa
tersebut.
Adapun kekhusyu‘kan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam dalam berdo’a dan menengadahkan kedua telapak
tangannya ke langit, maka hal itu sudah menjadi tugas ‚ubudiyah yang
menjadi tujuan penciptaan manusia. Dan itulah harga kemenangan secara
kontan.
Kemenangan itu tiada lain betapapun
didukung oleh sarana dan perjuangan yang baik hanylaah berasal dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan persetujuan-Nya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak menginginkan kita kecuali untuk menjadi hamba-Nya yang
baik secara tabii atau ikhtiari (terpaksa atau tidak). Tiadka ada
sesuatu yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala , kecuali sikap ‘ubudiyah kepada-Nya. Tidak ada perantara yang
lebih diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala selain daripada
perendahan diri, sedemikian rupa melalui ‘ubudiyah di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Segala bentuk musibah dan bencana yang
menimpa manusia dalam kehidupan ini tiada lain hanyalah merupakan
peringatan yang menyadarkannya terahadap kewajiban ‘ubudiyah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingatkannya kepada Keagungan dan
Kekuasaan Allah s Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Besar. Agar manusia lari
menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyatakan segala kelemahannya di
hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala , serta memohon perlindungan
kepada-Nya dari segala fitnah dan cobaan. Apabila manusia telah
menyadari hakekat ini dan menghayati maka dia telah sampai kepada puncak
yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada semua hamba-Nya.
‘Ubudiyah yang tercermin dalam
kekhusyu‘an do’a Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam meminta kemenangan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan harga yang berhak mendapatkan
dukungan Ilahi Yang Maha Agung di dalam pertempuran tersebut. Hal ini
secara tegas dinyatakan oleh ayat berikut:
“(ingatlah) ketika kamu memohon
pertolongan kepada Rabb-mu lalu diperkenankan-Nya bagimu,“Sesungguhnya
Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat
yang datang secara bergelombang.“ QS Al-Anfal: 9.
Kemantapan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam melalui ‚ubudiyah inilah yang membuat Rasul
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam yakin akan datangnya kemenangan bagi kaum
Muslimin. Bandingkanlah sikap ‘ubudiyah yang ditunjukkan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam ini beserta hasil-hasilnya itu dengan
sikap congkak dan sombong yang ditunjukkan oleh Abu Jahal ketika
berkata, “Kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di sana kami akan
memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil menyaksikan
perempuan-perempuan yang menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah semua
orang Arab mendengar berita tentang perjalanan kita semua dan biarlah
mereka tetap gentar kepada kita selama-lamanya,“ beserta segala akibat
yang ditimbulkannya.
‘Ubudiyah dan kepatuhan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, menghasilkan izzah dan kemuliaan yang membuat wajah
dunia tertunduk kepadanya. Sementara itu kecongkakan dan kesombongan
merupakan kepalsuan dan pusara kehinaan yang digali oleh dan untuk para
pemilik sifat dan sikap tersebut. Kuburan tempat dimana mereka akan
dituangi khamar, kehinaan dan digendongi lagu-lagu kenistaan. Itulah
sunatullah yang berlaku di alam ini, manakala ‘ubudiyah yang murni
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , bertemu dan berhadapan dengan
kecongkakan dan kesombongan.
7. Bala Bantuan Malaikat pada Perang Badr.
Perang Badr mencatat salah satu mukjizat
terbesar yaitu mukjizat dukungan dan kemenangna kum Muslimin yang
sejati. Dalam peperangan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendukung
kaum Mulsimin dengan mengirim malaikat yang ikut berperang bersama
mereka. Hakekat ini telah disebutkan secara tegas oleh al-Quran dan
as-Sunnah.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pingsan beberapa saat di dalam kemahnya
kemudian sadar kembali lalu berkata kepada Abu Bakar:
“Hai, Abu Bakar, gembiralah, pertolongan
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah datang kepadamu. Itulah Jibril memegang
tali kekang dan menuntun kudanya.“
Turunnya para malaikat untuk berperang
bersama kaum Muslimin hanyalah merupakan peneguhan hati kaum Muslimin
dan jawaban secara empirik (istijabah hissiyah) terhadap istiqasah
(permohonan pertolongan) demi menghadapi peperangan pertama di jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala melawan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat
lebih banyak. Sesungguhnya kemenangan itu semata-mata datangnya dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para Malaikat itu sendiri tidak memiliki
pengaruh secara langsung (ta‘sir dzati). Sebagai penjelasan terhadap
masalah inilah maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan
turunnya malaikat:
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menjadikannya (mengirim bala bantuan malaikat) melainkan sebagai kabar
gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu
hanylaah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ QS Al-Anfal: 10.
8. Kehidupan Barzakh bagi Orang Mati
Berdirinya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam di mulut sumur seraya menyebut dan memanggil nama
mayat-mayat kaum Musyrikin dan mengajaknya berbicara, juga jawaban
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam terhadap pertanyaan Umar ra,
pada saat itu, merupakan dalil yang tegas bahwa orang-orang yang sudah
meninggal memiliki kehidupan ruhani secara khusus, kita tidak mengetahui
hakekat dan kaifiatnya. Juga menunjukkan bahwa ruh-ruh orang-orang yang
telah meninggal tetap berada di sekitar jasad mereka. Dari sinilah kita
dapat menggambarkan adanya siksa kubur dan kenikmatannya. Hanya saja
tidak dapat diketahui oleh akal dan indera kita di duniaini. Karena
kehidupan ruhani tersebut (alam ghaib) yang tidak dapat dijangkau oleh
indera dan pengalaman rasio yang bersifat empirik. Mengimaninya adalah
merupakan jalan satusatunya untuk bisa menerima hakekat ini, setelah
semua dalil-dalilnya sampai kepada kita melalui sanad yang shahih.
9. Masalah Tawanan Perang.
Menyangkut masalah tawanan perang dan
musyawarah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dengan para
sahabtnya, merupakan pembahasan yang sarat oleh pelajaran penting,
antara lain:
Pertama,
Tawanan dan Ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini
dikemukakan oleh Jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Salllam punya ijtihad maka berarti ijtihad beliau bisa benar dan
salah. Hanya saja kesalahan ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Salllam tidak akan berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi
langsung oleh al-Quran. Jika tidak ada ayat al- Quran yang menegurnya
berarti ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam benar dalam
Pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua,
Perang dan Perampasan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa selan perang
Badr merupakan pengalaman pertama bagi kaum Muslimin dalam hal
perang-campuh yang menyita banyak pengorbanan di jalan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dalam kondisi mereka yang sangat lemah dan sedikit, ia pun
merupakan pengalaman pertama pula bagi kaum Muslimin dalam menangani
maslah harta rampasan yang diperoleh menyusul pertempuran yang terjadi
dalam kondisi mereka yang miskin dan sangat memerlukan.
Pada kasus pertama (pengalaman perang
dalam kondisi serba lemah) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatasinya dengan
meneguhkan hati kaum Muslimin seperti telah disebutkan melalui halhal
luar biasa yang menjadi indikasi kemenangan. Sedangkan pada kasus kedua
(pengalaman kekuarangan) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengobatinya melalui
berbagai sarana tarbiyah secara cermat dan tepat pada waktunya. Pengaruh
pengalaman ini tampak dengan jelas dalam dua peristiwa yang terjadi
sesudah peperangan. Pertama ketika kaum Musyrikin berhasil dikalahkan
sehingga meninggalkan harta benda mereka yang beraneka ragam. Harta
kekayaan ini menjadi ajang rebutan di kalangan kaum Muslimin sehingga
nyaris terjadi persengketaan. Karena hukumtentang pembagian harta
rampasan belum diturunkan maka mereka pergi menemui Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menanyakan dan meminta keputusan terhadap
perselisihan yang terjadi. Pada saat itu turunlah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang
(pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah.“Harta rampasan perang itu
kepunyaan Allah, Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan
perbaikilah perhubungan di antara sesamamu serta taatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.“ Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adlah mereka yang apabila disebut asma
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabia dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah
mereka bertawakal.“ QS Al-Anfal: 1-2.
Di dalam kedua ayat ini tidak terdapat
jawaban bagi pertanyaan mereka, tetapu justru memalingkan mereka dari
masalah yang mereka tanyakan, karena harta rampasan perang itu bukan
milik salah seorang pun di antara mereka, melainkan semata-mata milik
Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, mereka harus memperbaiki dan
menyelesaikan pertentangan yang terjadi di antara mereka, mentaati
perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menjauhi
laranganlarangan-Nya. Itulah tugas mereka. Adapun soal harta dan dunia
maka harus diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sepenuhnya.
Setelah kaum Muslimin mengikuti dan melaksanakan kandungan kedua ayat
tersebut serta mengakhiri pertentangan dan perselisihan yang menetapkan
cara pembagian harta rampasan perang kepada para Mujahidin. Ini
merupakan sarana tarbiyah yang sangat tepat dan baik.
Kasus kedua yaitu ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam meminta pendapat dari pada sahabatnya
mengenai tawanan perang. Hampir semua sahabat menyetujui pembebasan para
tawanan dengan penebusan. Pertimbangan mereka ialah, pertama
menunjukkan rasa belas kasih kepada para tawanan dengan harapan mereka
akan tergugah untuk beriman kepada Allah.
Kedua sebagai ganti dari harta kaum
Muhajirin yang tertinggal di Mekkah dengan harapan akan dapat membantu
memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Kecenderungan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam kepada pendapat ini menunjukkan rasa belas kasih
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam kepada para sahabatnya.
Perasaan belas kasih inilah yang
mendorong Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam untuk mengangkat kedua
tangannya memanjatkan do’a buat kaum Muhajirin ketika beliau melihat
mereka berangkat menuju Badr dalam kondisi yang serba kekurangan:
“Ya, Allah mereka berjalan tanpa alas
kaki, maka ringankanlah langkah mereka. Ya Allah mereka kekurangan
pakaian, anugerahkanlah mereka pakaian. Ya Allah mereka itu lapar, maka
kenyangkanlah mereka.“.
Tetapi hikmah Ilahiyah tidak menyetujui
kaum Muslimin menjadikan harta benda sebagai ukuran atau bagian dari
ukuran dalam memutuskan perkara-perkara mereka yang terbesar yang harus
semata-mata didasarkan kepada pandangan agama betapapun kondisi yang
dihadapi. Sebab, jika pandangan materialistik itu dibiarkan pada saat
mereka menghadapi pengalaman pertama dalam masalah seperti itu,
dikhhawatirkan dal tersebut akan menjadi kaidah yang baku. Sehingga
pertimbangan materialistik tersebut akan menghancurkan hukum-hukum yang
harus tetap bersih tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan duniawi. Adalah
susah bagi orang yang telah jauh tenggelam ke dalam lumpur dunia untuk
kembali membebaskan diri dari liputannya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anh, ia berkata:
“Aku masuk menemui Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, setelah beliau memutuskan penebusan
tawanan. Tibatiba aku dapati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam
bersama Abu Bakar ra sedang menangis. Aku bertanya, Wahai Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam ceritakanlah kepadaku kenapakah anda dan
sahabat anda menagis? Jika aku dapati alasan untuk menangis maka aku
akan menangis. Jika tidak ada alanan untuk menangis maka aku akan
memaksakan diir untuk menangis karena tangis Anda berdua.”
Jawab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Salllam, “Aku menangis karena usulan pengambilan tebusan yang diajukan
oleh pada sahabatmu kepadaku, padahal siksa mereka telah diajukan
kepadaku lebih dekat dari pohon ini (pohon di dekat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salllam). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi..“, sampai
firman Allah, “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah
kamu ambil itu ….“
Post a Comment
mohon gunakan email