Pesan Rahbar

Home » » Hikmah Perang Badr Kubra

Hikmah Perang Badr Kubra

Written By Unknown on Tuesday, 8 July 2014 | 19:17:00


Perang Badr Kubra ini mengandung beberapa pelajaran dan ibrah yang sangat penting, di samping mengandung mu‘juzat besar berkenaan dengan dukungan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip keimanan mereka dan keikhlasan dalam melaksanakan tanggung jawab agama mereka.

1. Sebab pertama bagi terjadinya perang Badr ini menunjukkan bahwa motif utama kaum Muslimin keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, bukan untuk berperang, tetapi karena didorong oleh tujuan mencegat kafilah Quraisy yang datang dari Syam di bawah kawalan Abu Sofyan.

Tetapi kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ghanimah (rampasan perang) dan kemenangan yang lebih besar bagi para hambah-Nya, disamping merupakan tindakan yang lebih mulia dan lebih sesuai dengan sasaran yang harus dicapai oleh setiap Muslim dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala meloloskan kafilah yang menjadi tujuan utama mereka, dan menggantikannya dengan peperangan yang sama sekali tidak pernah mereka duga.

Peristiwa ini menunjukkan dua hal:
Pertama,
Bahwa semua harta kekayaan kaum kafir harbi, oleh kaum Muslimin dianggap sebagai harta yang tidak mulia. Boleh dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum Muslimin dianggap telah menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqaha. Di samping itu, kaum Muhajirin yang telah diusir dari negeri mereka di Mekkah mempunyai alasan lain untuk merampas kafilah Quraisy, yaitu usaha pengambilan hak ganti rugi dari harta kekayaan mereka yang masih tertinggal di Mekkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin.

Kedua,
Kendatipun tindakan ini dibolehkan, tetapi Allah menghendaki kepada hamba-Nya yang beriman suatu tujuan yang lebih mulia daripada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengantugas yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah sebabnya, kemudian Abu Sofyan berhasil lolos bersama kafilahnya dari kaum Muslimin. Sementara itu pasukan Quraisy menderita kekalahan besar di medan jihad yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah Illahiyah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas nampak tergambar dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan (ingatlah), ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.“ QS al-Anfal (8): 7.

2. Kalau kita perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam duduk bersama para sahabatnya untuk meminta pandangan mereka dalam menghadapi masalah yang mendadak (perang), setelah kafilah lolos dari mereka dan muncul cebagai gantinya pasukan berkekuatan senjata, maka dapat dicatat dua pelajaran yang sangat penting.

Pertama,
Komitmen Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kita telusuri kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam akan kita temukan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam selalu berpegang teguh kepada prinsip syura’ ini dalam menghadapi semua masalah yang tidak ditandaskan secara tegas oleh wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, khususnya maslah-masalah yang berkaitan dengan tadbir (perencanaan) dan siyasah syariyah 8kebijaksanaan). Oleh sebab itu, kaum Muslimin menyepakai bahwa syuro, dalam masalah yang tidak ditegaskan oleh nash al-Quran dan as-Sunnah, adalah merupakan prinsip perundang-undangan yang tidak boleh diabaikan. Adapun seandainya manyangkut masalah yang sudah ditegaskan oleh al-Quran atau Hadits, maka tidak diperlukan lagi adanya syura dan bahwa tidak dikalahkan oleh kekuatan apa pun.

Kedua,
Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dengan ummat lain, boleh tunduk kepada apa yang disebut dengan siyasah syariyah (kebijaksanaan) atua hukum al-Imamah (keputusan pemimpin). Sebagai penjelasannya bahwa, pensyariatan perdamauan dan perjanjian ini tidak boleh dibatalkan atau dicabut dari hukum syariat Islam. Tetapi bagian-bagian dari bentuk-bentuk pelaksanaannya yang beraneka ragam itu boleh disesuaikan dengan situasi jaman, tempat dan kondisi kaum Muslimin dan musuh mereka. Pengambilan kebijaksanaan ini pun hanya dilakukan oleh seorang Imam yang memiliki pandangan yang akurat, adil, berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, dan kebijaksanaan yang bersumber dari penguasaan agama yang mendalam serta dilakukannya secara ikhlas, di samping harus tetap melakukan syura dengan kaum Muslimin dan memanfaatkan berbagai pengalaman dan kemampuan mereka.

Jika seorang pemimpin pemerintahan (negara Islam) berpendapat bahwa sebaiknya kaum Muslimin tidak menghadapi musuh mereka dengan kekuatna dan perang, yang pendapatnya ini dikaji dengan cermat dan disepakati oleh Majlis syura maka dia boleh memilih sikap damai dengan mereka (musuh). Sikap ini tidak bertentangan dengan nash-nash Syariat yang telah ditetapkan, sambil menunggu situasi yang tepat dan cocok untuk melakukan peperangan dan melancarkan jihad. Sebagaimana dia (Imam) boleh menggerakkan rakyatnya untuk melakukan peperangan manakala dia memandang baik untuk melakukannya.

Demikianlah kesepatakan yang telah dibuat oleh para Fuqaha dan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Sirah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam. Kecuali jika musuh menyerang kaum Muslimin di dalam negeri mereka, maka kaum Muslimin wajib melawannya dengan mengerahkan segenap kekuatan betapun situasi dan sarana yang mereka miliki. Bahkankewajiban ini berlaku bagi semua kaum Muslimin baik lelaki maupun wanita yang memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan yang diembankan sesuai dengan persyaratan).

Di samping itu, sebagian Fuqaha menetapkan bahwa, syura ini diwajibkan tetapi seorang penguasa (pemimpin pemerintahan) tidak harus mengambil pendapat mayoritas seandainya pendapat mereka bertentangan dengan pendapatnya.

Mengenai hal ini al-Qurthuby berkata:
“Orang yang meinta pendapat harus memperhatikan berbagai pendapat yang dilontarkan dan mencari yang paling dekat kepada al-Quran dan as-Sunnah jika memungkinkannya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunjukkannya kepada pendapat lain yang ia kehendaki maka ia boleh memutuskan dan melaksanakannya seraya bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”.

3. Barangkali timbul pertanyaan, mengapa jawaban Abu Bakar, Umar dan al-Miqdad belum memuaskan hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, tetapi masih terus memandang ke arah mereka sampai Sa‘d bin Mu‘adz berbicara kemudian barulah hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam merasa puas?
Jawabannya bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam hanya ingin mengetahui pendapat kaum Anshar dalam masalah tersebut. Apakah mereka akan mengemukakan pendapat dan keputusan yang didasarkan kepada mu‘ahadah (janji setia) di antara mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, yakni janji setia yang bersifat khusus dan harus ditaati, yang dengan demikian berarti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam tidak punya hak untuk memaksa mereka berperang bersamanya dan memberikan pembelaan terhadapnya. Kecuali di dalam kota Madinah, sebagiamana dinyatakan pada butir janji setia tersebut. Ataukah mereka akan mengemukakan pendapat berdasarkan rasa ke-Islaman mereka dan mu‘ahadah kubra (janji setia besar) mereka terhadap Allah? Atas dasar ini, berarti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam memiliki hak untuk menjadi penerima amanah di antara mereka guna melaknsakan mu‘ahadah kubra tersebut dan adalah kewajiban mereka memenuhi hak-hak mu‘ahadah ini serta melaksanakan tanggung-jawabnya secara sempurna.

Mengamati jawaban Sa‘d bin Mu‘adz, dapatlah diketahui bahwa mubaya‘ah (bai’at/janji setia) kaum Anshar yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam di Mekkah sebelum Hijrah, tidak lain justru merupakan mubaya‘ah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tidak pernah beranggapan lain, ketika memberikan pembelaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam setelah berhijrah kepada mereka-kecuali sebagai pembelaan terhadap agama dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Persoalannya bukan sekedar menyangkut nash-nash (butir-butir) tertentu yang telah mereka sepakati bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, sehingga mereka tidak mau komit dengan hal-hal di luar butir-butir yang telah dibuat, tetapi persoalannya bahwa dengan mubaya‘ah itu berarti mereka telah menandatangai suatu perjanjian yang dimuat oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetalh membeli dari orang-orang yang beriman (Mukmin) diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar.“ QS At-Taubah (9): 111.

Oleh sebab itu Sa‘d bin Mu‘adz menjawab dengan ucapannya:
“Kami telah beriman kepada Anda dan kamipun membenarkan kenabian dan kerasulan Anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang Anda bawa adalah kebenaran. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk taat dan setia kepada Anda. Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap bersama anda (yakni tetap berjalan bersama anda sesuai dengan perjanjian yang lebih besar daripada perjanjian yang telah kita sepakati di Bai‘at Aqabah pertama …“

4. Dalam melaksanakan jihad dan lainnya, Imam dibolehkan menggunakan “intel“ (spionase, mata-mata) yang disebarkan di kalangan musuh guna membongkar dan mengetahui perencanaan dan kondisi kekuatan mereka. Untuk melaksanakan tujuan ini dibolehkan menggunakan beraneka ragam sarana, asalkan tidak merusak kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan mengetahui kondisi lawan. Mungkin sarana itu berupa kerahasiaan atau semacam siasat dan tipu daya peperangan. Semua ini dibolehkan dan baik karena merupakan sarana yang diperlukan untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan pemeliharaan mereka.
Disebutkan di dalam buku-buku Sirah, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, turun di dekat badr, beliau bersama seorang sahabatnya naik unta dan bertemu dengan seorang tua (syaikh) dari Arab, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy dan Muhammad beserta para sahabatnya.

Orang tua itu bertanya, “Aku tidak akan menyampaikan berita kepada kalian berdua sebelum kalian menjelaskan kepadaku siapa kalian berdua ini ?“
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam berkata ;“Kami akan menjelaskan setelah anda memberikan berita kepada kami.“
Orang tua itu menyahut, “Apakah ini ditukar dengan itu?“
Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, “Ya“.
Kemudian orang tua itu menjelaskan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam apa yang diketahuinya tentang kaum Musyrikin dan tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam beserta para sahabatnya. Setelah selesai menjelaskan, orang tua itu bertanya,“ Sekarang siapakah kalian berdua ini?“
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menjawab, “Kami dari air.“
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam meninggalkannya. Akhirnya orang tua itu bertanya-tanya, “Dari air mana? Apakah dari air Iraq?“

5. Pembagian Tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam.
Dialog yang berlangsung antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dan Habbab bin Mundzir (hadits sanadnya shahih) tentang penempatan pasukan, menunjukkan bahwa tindakan-tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, tidak semuanya bernilai tasyri‘ (menjadi syariat). Bahkan dalam banyak hal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam sering bertindak dalam statusnya sebagai manusia biasa yang berpikir dan membuat perencanaan.

Tidak diragukan lagi bahwa, kita tidak diwajibkan selalu mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dalam tindakan-tindakan beliau ini. Di antaranya ialah tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dalam menentukan tempat dalam peperangan ini. Seperti telah kita ketahui bahwa Habbab mengusulkan supaya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pindah ke tempat lain dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pun menyetujuinya. Usulan Habbab itu dikemukakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam setelah mendapatkan penegasan bahwa pilihan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam terhadap termpat tersebut bukan atas perintah wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Banyak tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam yang masuk ke dalam kategori siyasah syari’ah (kebijaksanaan) sebagai Imam dan kepala negara, bukan sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu dari Allah. Seperti dalam hal pemberian dan perencanaan-perencanaan militernya.
Masalah ini oleh para Fuqaha dibahas secara detail, yang tidak mungkin kami kemukakan dalam kesempatan ini.

6. Pentingnya Merendahkan Diri Kepada Allah dan Meminta dengan Sangat Kepada-Nya.
Seperti telah kita ketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menenangkan hati para sahabatnya dengan menegaskan bahwa kemenangan berada di pihak kaum Muslimin, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menunjuk ke beberapa tempat di tanah seraya berkata, “ Ini adalah tempat kematian si Fulan.“.

Dan sebagaimana disebutkan oleh Hadits shahih, nama-nama yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam itu roboh terbunuh tepat di tempat yang telah ditunjukannya.

Sekalipun demikian, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam tetap berdiri sepanjang malam Jum‘at itu di dalam kemah yang dibuat khusus bagi beliau, memanjatkan do’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh khusyuk dan merendah diri seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar pertolongan yang dijanjikan-Nya ditunaikan. Dalam munjat ini bahnkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam sampai tidak menyadarai kalau selendangnya terjatuh, sehingga Abu Bakar merasa kasihan terhadapnya kemudian memberanikan diri berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, “Cukup Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan menunaikan janji-Nya yang telah diberikan kepadamu.“.

Mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam sampai merendahkan dirinya sedemikian rupa di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala , padahal beliau telah yakin akan mendapatkan pertolongan sampai beliau menyatakan, “ Seolah-olah aku melihat tempat kematian mereka.“.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menentukan beberapa tempat kematian mereka di tanah ?
Jawabannya bahwa keyakinan dan keimanan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam terhadap kemenangan hanyalah merupakan pembenaran kepada janji yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyalahi janji atua mungkin nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam diberi kabar kemenangan itu di tengah peristiwa tersebut.

Adapun kekhusyu‘kan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dalam berdo’a dan menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, maka hal itu sudah menjadi tugas ‚ubudiyah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Dan itulah harga kemenangan secara kontan.

Kemenangan itu tiada lain betapapun didukung oleh sarana dan perjuangan yang baik hanylaah berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan persetujuan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan kita kecuali untuk menjadi hamba-Nya yang baik secara tabii atau ikhtiari (terpaksa atau tidak). Tiadka ada sesuatu yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , kecuali sikap ‘ubudiyah kepada-Nya. Tidak ada perantara yang lebih diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala selain daripada perendahan diri, sedemikian rupa melalui ‘ubudiyah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa manusia dalam kehidupan ini tiada lain hanyalah merupakan peringatan yang menyadarkannya terahadap kewajiban ‘ubudiyah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingatkannya kepada Keagungan dan Kekuasaan Allah s Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Besar. Agar manusia lari menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyatakan segala kelemahannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala , serta memohon perlindungan kepada-Nya dari segala fitnah dan cobaan. Apabila manusia telah menyadari hakekat ini dan menghayati maka dia telah sampai kepada puncak yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada semua hamba-Nya.

‘Ubudiyah yang tercermin dalam kekhusyu‘an do’a Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam meminta kemenangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan harga yang berhak mendapatkan dukungan Ilahi Yang Maha Agung di dalam pertempuran tersebut. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh ayat berikut:
“(ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu lalu diperkenankan-Nya bagimu,“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang secara bergelombang.“ QS Al-Anfal: 9.

Kemantapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam melalui ‚ubudiyah inilah yang membuat Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam yakin akan datangnya kemenangan bagi kaum Muslimin. Bandingkanlah sikap ‘ubudiyah yang ditunjukkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam ini beserta hasil-hasilnya itu dengan sikap congkak dan sombong yang ditunjukkan oleh Abu Jahal ketika berkata, “Kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di sana kami akan memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil menyaksikan perempuan-perempuan yang menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah semua orang Arab mendengar berita tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepada kita selama-lamanya,“ beserta segala akibat yang ditimbulkannya.

‘Ubudiyah dan kepatuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghasilkan izzah dan kemuliaan yang membuat wajah dunia tertunduk kepadanya. Sementara itu kecongkakan dan kesombongan merupakan kepalsuan dan pusara kehinaan yang digali oleh dan untuk para pemilik sifat dan sikap tersebut. Kuburan tempat dimana mereka akan dituangi khamar, kehinaan dan digendongi lagu-lagu kenistaan. Itulah sunatullah yang berlaku di alam ini, manakala ‘ubudiyah yang murni kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , bertemu dan berhadapan dengan kecongkakan dan kesombongan.

7. Bala Bantuan Malaikat pada Perang Badr.
Perang Badr mencatat salah satu mukjizat terbesar yaitu mukjizat dukungan dan kemenangna kum Muslimin yang sejati. Dalam peperangan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendukung kaum Mulsimin dengan mengirim malaikat yang ikut berperang bersama mereka. Hakekat ini telah disebutkan secara tegas oleh al-Quran dan as-Sunnah.

Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pingsan beberapa saat di dalam kemahnya kemudian sadar kembali lalu berkata kepada Abu Bakar:
“Hai, Abu Bakar, gembiralah, pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah datang kepadamu. Itulah Jibril memegang tali kekang dan menuntun kudanya.“

Turunnya para malaikat untuk berperang bersama kaum Muslimin hanyalah merupakan peneguhan hati kaum Muslimin dan jawaban secara empirik (istijabah hissiyah) terhadap istiqasah (permohonan pertolongan) demi menghadapi peperangan pertama di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala melawan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak. Sesungguhnya kemenangan itu semata-mata datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para Malaikat itu sendiri tidak memiliki pengaruh secara langsung (ta‘sir dzati). Sebagai penjelasan terhadap masalah inilah maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan turunnya malaikat:
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan malaikat) melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanylaah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ QS Al-Anfal: 10.

8. Kehidupan Barzakh bagi Orang Mati
Berdirinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam di mulut sumur seraya menyebut dan memanggil nama mayat-mayat kaum Musyrikin dan mengajaknya berbicara, juga jawaban Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam terhadap pertanyaan Umar ra, pada saat itu, merupakan dalil yang tegas bahwa orang-orang yang sudah meninggal memiliki kehidupan ruhani secara khusus, kita tidak mengetahui hakekat dan kaifiatnya. Juga menunjukkan bahwa ruh-ruh orang-orang yang telah meninggal tetap berada di sekitar jasad mereka. Dari sinilah kita dapat menggambarkan adanya siksa kubur dan kenikmatannya. Hanya saja tidak dapat diketahui oleh akal dan indera kita di duniaini. Karena kehidupan ruhani tersebut (alam ghaib) yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan pengalaman rasio yang bersifat empirik. Mengimaninya adalah merupakan jalan satusatunya untuk bisa menerima hakekat ini, setelah semua dalil-dalilnya sampai kepada kita melalui sanad yang shahih.

9. Masalah Tawanan Perang.
Menyangkut masalah tawanan perang dan musyawarah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam dengan para sahabtnya, merupakan pembahasan yang sarat oleh pelajaran penting, antara lain:
Pertama,
Tawanan dan Ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam punya ijtihad maka berarti ijtihad beliau bisa benar dan salah. Hanya saja kesalahan ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam tidak akan berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi langsung oleh al-Quran. Jika tidak ada ayat al- Quran yang menegurnya berarti ijtihad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam benar dalam Pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua,
Perang dan Perampasan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa selan perang Badr merupakan pengalaman pertama bagi kaum Muslimin dalam hal perang-campuh yang menyita banyak pengorbanan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam kondisi mereka yang sangat lemah dan sedikit, ia pun merupakan pengalaman pertama pula bagi kaum Muslimin dalam menangani maslah harta rampasan yang diperoleh menyusul pertempuran yang terjadi dalam kondisi mereka yang miskin dan sangat memerlukan.

Pada kasus pertama (pengalaman perang dalam kondisi serba lemah) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatasinya dengan meneguhkan hati kaum Muslimin seperti telah disebutkan melalui halhal luar biasa yang menjadi indikasi kemenangan. Sedangkan pada kasus kedua (pengalaman kekuarangan) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengobatinya melalui berbagai sarana tarbiyah secara cermat dan tepat pada waktunya. Pengaruh pengalaman ini tampak dengan jelas dalam dua peristiwa yang terjadi sesudah peperangan. Pertama ketika kaum Musyrikin berhasil dikalahkan sehingga meninggalkan harta benda mereka yang beraneka ragam. Harta kekayaan ini menjadi ajang rebutan di kalangan kaum Muslimin sehingga nyaris terjadi persengketaan. Karena hukumtentang pembagian harta rampasan belum diturunkan maka mereka pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menanyakan dan meminta keputusan terhadap perselisihan yang terjadi. Pada saat itu turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah.“Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah, Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adlah mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan apabia dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal.“ QS Al-Anfal: 1-2.

Di dalam kedua ayat ini tidak terdapat jawaban bagi pertanyaan mereka, tetapu justru memalingkan mereka dari masalah yang mereka tanyakan, karena harta rampasan perang itu bukan milik salah seorang pun di antara mereka, melainkan semata-mata milik Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, mereka harus memperbaiki dan menyelesaikan pertentangan yang terjadi di antara mereka, mentaati perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menjauhi laranganlarangan-Nya. Itulah tugas mereka. Adapun soal harta dan dunia maka harus diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sepenuhnya. Setelah kaum Muslimin mengikuti dan melaksanakan kandungan kedua ayat tersebut serta mengakhiri pertentangan dan perselisihan yang menetapkan cara pembagian harta rampasan perang kepada para Mujahidin. Ini merupakan sarana tarbiyah yang sangat tepat dan baik.

Kasus kedua yaitu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam meminta pendapat dari pada sahabatnya mengenai tawanan perang. Hampir semua sahabat menyetujui pembebasan para tawanan dengan penebusan. Pertimbangan mereka ialah, pertama menunjukkan rasa belas kasih kepada para tawanan dengan harapan mereka akan tergugah untuk beriman kepada Allah.

Kedua sebagai ganti dari harta kaum Muhajirin yang tertinggal di Mekkah dengan harapan akan dapat membantu memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Kecenderungan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam kepada pendapat ini menunjukkan rasa belas kasih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam kepada para sahabatnya.

Perasaan belas kasih inilah yang mendorong Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam untuk mengangkat kedua tangannya memanjatkan do’a buat kaum Muhajirin ketika beliau melihat mereka berangkat menuju Badr dalam kondisi yang serba kekurangan:
“Ya, Allah mereka berjalan tanpa alas kaki, maka ringankanlah langkah mereka. Ya Allah mereka kekurangan pakaian, anugerahkanlah mereka pakaian. Ya Allah mereka itu lapar, maka kenyangkanlah mereka.“.

Tetapi hikmah Ilahiyah tidak menyetujui kaum Muslimin menjadikan harta benda sebagai ukuran atau bagian dari ukuran dalam memutuskan perkara-perkara mereka yang terbesar yang harus semata-mata didasarkan kepada pandangan agama betapapun kondisi yang dihadapi. Sebab, jika pandangan materialistik itu dibiarkan pada saat mereka menghadapi pengalaman pertama dalam masalah seperti itu, dikhhawatirkan dal tersebut akan menjadi kaidah yang baku. Sehingga pertimbangan materialistik tersebut akan menghancurkan hukum-hukum yang harus tetap bersih tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan duniawi. Adalah susah bagi orang yang telah jauh tenggelam ke dalam lumpur dunia untuk kembali membebaskan diri dari liputannya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anh, ia berkata:
“Aku masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, setelah beliau memutuskan penebusan tawanan. Tibatiba aku dapati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam bersama Abu Bakar ra sedang menangis. Aku bertanya, Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam ceritakanlah kepadaku kenapakah anda dan sahabat anda menagis? Jika aku dapati alasan untuk menangis maka aku akan menangis. Jika tidak ada alanan untuk menangis maka aku akan memaksakan diir untuk menangis karena tangis Anda berdua.”
Jawab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, “Aku menangis karena usulan pengambilan tebusan yang diajukan oleh pada sahabatmu kepadaku, padahal siksa mereka telah diajukan kepadaku lebih dekat dari pohon ini (pohon di dekat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi..“, sampai firman Allah, “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu ….“
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: