Pesan Rahbar

Home » » Potret Kaum Baduwi dan Ibnu Saba’ Pada Masa Sahabat

Potret Kaum Baduwi dan Ibnu Saba’ Pada Masa Sahabat

Written By Unknown on Saturday, 5 July 2014 | 00:58:00


Oleh: Geys Abdurrahman Assegaf Lc.*
 
Para Sahabat Rasulullah saw adalah murid-murid Beliau Saw yang terdidik dan tertempa secara langsung. Mereka adalah panglima dakwah yang menuntut Ilmu secara langsung kepada Rasulullah saw, sebagaimana para sahabat sepeninggal Rasulullah saw mengajarkannya secara bersambung pula kepada para Tabi’in dan seterusnya kepada para Ulama Pewaris Nabi. Oleh karenanya Beliau Saw bersabda, Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar/1925).

Namun demikian, ternyata tidak semua orang yang hidup pada zaman Rasulullah saw menaati beliau. Ada segolongan orang dari bangsa A’rabi/Baduwi yang memiliki karakter membangkang bahkan pada masa Rasulullah saw masih hidup sekalipun. Cukuplah sebagai contoh kelakuan mereka saat menarik kain burdah Rasulullah saw karena mereka memaksa untuk meminta bagian Ghanimah Hawazin dari perang Hunayn yang diperuntukkan untuk orang-orang Muallaf dari suku Qurays agar hati mereka terikat pada Islam. Namun orang-orang ini bahkan membuntuti Rasulullah saw dan menarik kain burdahnya sehingga menimbulkan gesekan di leher Rasulullah saw sambil berkata, “Perintahkan orang untuk membagikan kekayaan Allah yang ada padamu.” Sedangkan golongan Anshar yang tadinya mempertanyakan Rasulullah saw menangis tersedu-sedu hingga jenggot mereka basah, setelah mendapatkan petunjuk Rasulullah saw, bahwa akhirat lebih utama bagi mereka.
 
Rasulullah saw telah wafat, namun kelakuan mereka justru semakin menjadi-jadi. Pada masa pemerintahan sayyiduna Utsman Ra memang berbeda dengan masa sayyiduna Umar ra. Pada awal pemerintahannya Sayyiduna Utsman memang diterima layaknya kepemimpinan Sayyiduna Umar. Tetapi perubahan besar terjadi dalam kurun waktu 6 tahun masa pemerintahan beliau, dimana Futuhat sudah tidak dilakukan karena kondisi yang tidak memungkinkan lagi.
 
Setelah terhentinya hal ini, maka menimbulkan kelas baru dalam masyarakat Islam pada saat itu, mereka adalah orang arab Baduwi (A’rabi) yang sudah murtad dari Islam. Sebagai kilas balik, sungguh tepat gerakan sayyiduna Abu Bakar ra yang tidak mengirimkan pasukan untuk futuhat terdiri dari orang-orang A’rabiy Baduwi ini. Hal ini ternyata juga dilakukan sayyiduna Umar bin Khattab ra yang  tidak bersikap lunak sedikitpun kepada orang-orang ini. Yakni golongan bangsa yang menarik leher Rasulullah saw dengan lancangnya karena meminta ghanimah perang hunayn.
 
Namun pada masa pemerintahan sayyiduna Utsman, beliau terpaksa mengirim kabilah-kabilah baduwi dalam ekspansi perluasan daerah. Mereka sebagian besarnya adalah orang-orang yang sudah murtad. Daerah yang dibuka sungguh sangat luas sehingga tidak bisa menyertakan pasukan dari orang-orang yang islamnya sudah baik, yang mana mereka juga difokuskan membangun daerah-daerah yang sudah maftuh.
 
Maka bergegaslah orang-orang ini untuk melakukan ekspansi demi Ghanimah harta dan budak serta kekuasaan. Jadi jika sejarah Islam dicela orang, celaan ini harus kembali kepada orang-orang ini. Dan tidak ada celaan bagi orang-orang Islam awal masuk Islam dan melakukan futuhat dengan tujuan menyiarkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Mereka menyiarkan Islam bukan untuk tujuan duniawi, kekuasaan dan jabatan. Dan mereka yang terbunuh dalam perang sangatlah besar jumlahnya, yaitu mereka yang berperang tanpa haus dunia dan kekuasaan. Inilah yang membuat musuh Islam tunggang langgang. Sebuah motiv yang sudah dilupakan oleh kita dalam berkehidupan.
 
Setelah terhentinya futuhat, maka mulailah muncul fenomena A’rabiy dan orang-orang yang murtad. Ketika harta-harta rampasan sudah tidak ada lagi, mereka mulai bertanya-tanya, “Kemana harta-harta rampasan yang dahulu? Semua diserahkan ke Baitul Mal dan Utsman membagikannya kepada para Sahabat-sahabatnya saja.” Padahal memang Baitul Maal bukan hanya untuk Fatihin saja, namun disana banyak hak-hak kaum muslimin, terutama dari kalangan fakir dan miskin.
 
Situasi yang demikian adalah situasi yang membakar bagi orang-orang yang berdarah panas, terbiasa berperang, haus konflik, pemahamannya terhadap Islam dan Ruh Syariatnya dangkal. Keadaan seperti ini sangat rawan atas masuknya pemikiran-pemikiran dan pikiran-pikiran buruk. Kondisi ini sudah cukup untuk menyulut fitnah apabila ada yang menyalakannya. Hal ini pula dapat mendorong orang-orang baduwi untuk bersatu dalam suara yang lebur, sehingga menjadi pengacau dan siap menghabisi siapa saja.
 
Badui ini juga berhubungan dengan para pemberontak di Madinah, binaan Abdullah bin Saba’. Hal ini bahkan disaksikan sendiri oleh sayyiduna Utsman bin ‘Affan pada suratnya kepada para penduduk diberbagai kota, “Mereka telah menyerang kami yang sedang berada di sisi Rasulullah Saw di Haramnya (Masjidnya) dan ditanah Hijrah, dan mereka dibantu oleh para Arab Baduwi.”
 
Bukan hanya sayyiduna Utsman, namun juga sayyidah ‘Aisyah ra menyaksikan hal tersebut, “Para pengacau dari beberapa penduduk kota dan orang-orang asing dari beberapa kabilah arab baduwi telah menyerang masjid Rasulullah saw, mereka membuat kerusuhan dan melindungi para pelaku makar di rumah-rumah mereka. Mereka telah membunuh imam Muslimin tanpa ampun, dan seterusnya…”
 
Muncullah kemudian perkataan sayyiduna Ali ra saat berkhutbah kepada masyarakat pasca Ightiyal atas Utsman ra, “Wahai masyarakat, usirlah orang-orang baduwi dari daerahmu.” Dan berkata pula, “Wahai arab baduwi, kembalilah kerumah-rumah kalian.” Para pengikut Ibnu Saba’ tidak menghiraukan sedangkan orang-orang arab mengikuti perkataan sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra.
 
Para Arab baduwi ini hanya mencari kekayaan dan dikendalikan oleh hawa nafsu dan ketamakan semata. Mereka sudah dikuasai dendam tak berdasar kepada sayyiduna Utsman sehingga mudah sekali memprovokasinya. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh Ibnu Saba’ untuk menyusun, mengerahkan, dan mengirim mereka untuk menyulut fitnah di Madinah. Mereka mengaku mendapatkan surat dari Sadatuna Ali, Thalhah, Zubair, dan ‘Aisyah Ra sebagai legitimasi mereka. Yang mana setelah bertemu sayyiduna Utsman ra mereka tidak sanggup untuk menuntut, karena ternyata tidak ada hak mereka sama sekali untuk menuntut. Mereka semata datang karena terprovokasi untuk menuntut apa yang bukan menjadi hak mereka. Kejadian fitnah ini diabadikan dalam riwayat yang berasal dari Ahnaf Bin Qays, Sahm Al-Azdi, dan Abu Said Al-Anshari,  yang mana ketiganya diterima oleh para Ulama dan ahli riwayat seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Abu Hatim Al-Razi, Imam Al-Hakim Al-Naisaburi dan lain-lain setelah menyeleksi beberapa riwayat lainnya seperti dari Abu Mikhnaf, Al-Waqidy dan lain-lainnya.
 
Peristiwa ini adalah akibat munculnya generasi/genre baru di masyarakat yang menginginkan kedudukan diantara mereka. Mereka ini digerakkan oleh orang-orang jahat yang bertujuan menjerumuskan Islam kedalam petaka. Para sahabat di madinah tidak sampai berfikir bahwa orang-orang ini akan melampai batas sehingga membunuh Sayyiduna Utsman ra dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena tipologi mereka adalah orang-orang yang rajin beribadah dan cenderung fanatik buta, namun pemahaman keberagamaan mereka dangkal, berbeda dengan para sahabat ra yang dididik langsung oleh Rasulullah saw.
 
Menurut riwayat Abu Said Al-Anshari, maka bertemulah utusan dari mesir dengan sayyiduna Utsman ra. Tatkala Utsman mendengar bahwa utusan penduduk Mesir telah menuju kepadanya, maka ia ingin menyambut di sebuah kampung yang terletak diluar kota Madinah. Karena beliau tidak senang jika ditemui di kota Madinah oleh orang-orang tersebut. Maka mereka mendatangi beliau dan berkata, “Buka surat ke Tujuh!” Disini mereka menyebut surat Yunus dengan surat ke Tujuh, maka dibacakan oleh sayyiduna Utsman surat tersebut sampai pada ayat berikut:
“Katakanlah: “Apakah kalian tidak melihat keadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”  (Yunus: 59).
 
Lalu mereka berkata, “Berhenti! Bukankah engkau melarang para pengembala mengembalakan hewan dimana Untamu ada didalamnya??? Apakah Allah yang mengizinkanmu ataukah kamu yang berdusta??” Maka sayyiduna Utsman menjawab, “Saya akan tetap melaksanakannya, ayat tersebut turun dalam hal ini dan ini. Sedang tentang wilayah terlarang yang kalian maksud itu sebenarnya Umar telah telah menetapkannya sebelumku untuk unta sedekahan. Adapun ketika aku memerintah bertambahlah jumlah untanya, maka aku tambahkan  tempatnya sesuai dengan bertambahnya unta sedekahan tadi. Dan saya akan tetap melaksanakannya.”
 
Akan tetapi meski demikian orang-orang ini tetap ngotot dan mengkritik sayyiduna Utsman hingga beliau akhirnya berkhutbah, “Sungguh demi Allah tidak pernah saya melihat utusan dimuka bumi ini yang lebih tahu tentangku daripada utusan yang datang kepadaku ini.” Dan beliau melanjutkan, “Aku khawatir akan utusan dari penduduk Mesir ini, dan barangsiapa yang memiliki tanaman maka hendaklah ia mnyusulnya. Dan barangsoapa memiliki hewan perahan maka segeralah ia memerah susunya. Ingatlah! Tidak ada harta kalian pada kami, karena harta ini diperuntukkan bagi yang berperang atau para pendahulu dari sahabat Rasulullah saw.” Maka marahlah orang-orang tersebut, dan mereka berkata, “Ini adalah makar orang-orang Bani Umayyah.” 
 
Singkatnya:
Disini dapat kita lihat bagaimana kedalaman ilmu pengetahuan Agama Sayyiduna Utsman ketika menjelaskan kepada para baduwi yang merasa sebagai hamba Allah yang paling mulia. Beliau berusaha menjelaskan Asbabunnuzul serta ketetapan Khalifah Umar bin Khattab ra sebelumnya. Perlu diketahui bahwa Khalifah Umar ra adalah orang yang menyusun sistem ekonomi dan membentuk Diwan Al-’Atha untuk membagikan harta Baitul Maal yang terdiri dari zakat, sedekah, jizyah, ghanimah dan mengatur pendistribusiannya, termasuk kepada para penduduk Madinah. Maka sungguh mengherankan orang-orang ini ingin menggembala ditempat dimana unta sedekahan digembalakan, dan hasilnya dibagikan sebegitu adilnya. (Untuk penjelasan lengkapnya silahkan baca tulisan saya: Sayyiduna Umar Bin Khattab Dan Kekhalifahannya).
 
Akan tetap sebagian penduduk Iraq dan Mesir mengetahui bahwa perkara ini akan berakhir dengan kematian Utsman, karena mereka semua mengetahui kondisi Arab Baduwi secara historis, psikologis, dan sosialis yang melatarbelakangi mereka. Mereka juga mengetahui sikap Utsman ra yang sederhana dan welas asih, tidak ingin menumpahkan setetes darahpun/membunuh seorang muslim.  Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ahnaf Bin Qays, Sahm Al-Azdy, dan Abu Sa’id Al-Anshari.  Utusan yang bertemu dengan sayyiduna Utsman itu umurnya 30 tahunan. Masih muda namun sudah sangat lancang.
 
Terlalu panjang untuk saya tuliskan disini. Namun singkatnya, sayyiduna Utsmanpun terbunuh secara sadis, dimana satu riwayat dikatakan bahwa beliau dipotong tangannya, dan dalam riwayat lainnya beliau ditebas, padahal antara beliau dan sang pembunuh ada Al-Qur’an (Maksudnya beliau mengatakan, “Diantara diriku dan dirimu ada Kitabullah”).  Setelah kematian Sayyiduna Utsman, maka Madinah dipimpin oleh seorang pengacau yaitu Al-Ghafiqi bin Harb. Selama lima hari berkuasa mereka lantas mencari-cari siapakah orang yang mau dan mampu menggantikan Utsman ra. Orang-orang mesir lantas datang menemui sayyiduna Ali ra. Disini dapat kita lihat bahwa sayyiduna Ali justru menghindari mereka. Ketika mereka menemukannya, sayyiduna Ali ra lantas mengusir mereka dan tidak bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan sedikitpun. Orang-orang kufah juga mencari Sayyiduna  Zubair bin Awwam ra namun tidak menemukannya, merekapun mengirim utusan  untuk menemui beliau. Sayyiduna Zubair juga melakukan hal yang sama dengan Sayyiduna Ali ra, begitupula Sayyiduna Thalhah ra yang mengusir orang-orang ini. Maka setelah mendengar jawaban ketiga Sahabat ra tadi, mereka seenaknya berkata, “Kami tidak akan mengangkat mereka bertiga.”
 
Mereka lalu mengutus orang kepada Sayyiduna Sa’d bin Abi Waqqash dan berkata, “Engkau termasuk ahli syura maka majulah untuk kami bai’at.” Ia menjawab, “Saya dan Ibnu Umar tidak menerimanya, aku tidak membutuhkan menjadi khalifah sedikitpun.” Mereka lantas bergegas menemui Sayyiduna Ibnu Umar ra dan berkata, “Engkaulah putra Umar bin Khattab, maka majulah ambil tampuk kekhalifahan ini.” Beliau malah menjawab, “Sungguh hal ini akan mendapat balasan, demi Allah aku tidak akan mengambilnya, carilah orang selain aku.”
 
Pada hari kamis, genap 5 hari setelah kematian Utsman ra, para pengacau tersebut mengumpulkan penduduk Madinah. Mereka tidak menemukan sayyiduna Sa’ad dan Zubair karena telah keluar meninggalkan madinah, dan menemukan sayyiduna Thalhah ra di kebunnya. Mereka mengetahui bahwa keturunan bani Umayyah telah keluar madinah kecuali orang yang sudah lemah. Setelah penduduk madinah berkumpul, penduduk mesir berkata, “Kalian semua adalah ahli syura, kalianlah yang menentukan pemimpin, dimana pemimpin kalian akan diikuti oleh yang lain. Pilihlah orang yang cocok dan kami akan mengikutinya.” Maka sebagian besar berteriak, “Pilihlah Ali bin Abi Thalib, kami ridha dengannya.”
 
Singkatnya, maka pada hari Jum’at sayyiduna Ali datang ke masjid dan berkhutbah, “Wahai para hadirin, ini adalah perkara kalian. Tidak ada yang berhak mengambilnya kecuali orang yang kalian pilih semata, dimana kita telah berselisih kemarin. Jika kalian menghendakiku untuk duduk maka aku akan duduk. Namun jika tidak maka aku tidak akan mencela seorangpun.”
 
Orang-orang itu menjawab, “Kami masih berselisih seperti kemarin.” Kemudian datanglah orang-orang bersama sayyiduna Thalhah ra yang sebelumnya dijemput oleh utusan yang dikirim oleh orang-orang Bashrah.  Sayyiduna Thalhah ra berkata, “Sesungguhnya aku membai’at untuk menumpas tipu daya ini.” Yang mana pernyataan ini adalah pengakuan bahwa sayyiduna Ali adalah orang yang sanggup untuk menggantikan sayyiduna Utsman, serta tidak akan termakan oleh orang-orang pengacau ini.
 
Kemudian datanglah setelah itu sayyiduna Zubair yang sebelumnya dijemput oleh utusan dari Kufah. Beliaupun membai’at sebagaimana bai’at sayyiduna Thalhah ra. Lalu didatangkanlah orang-orang yang berselisih sebelumnya dan mereka berkata, “Kami membai’at untuk ditegakkannya Kitab Allah ditempat yang dekat maupun yang jauh, terhadap orang mulia maupun orang yang hina.” Mereka kemudian membai’at sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra dan berdirilah masyarakat seluruhnya untuk membai’at beliau.
 
Pada hari ketiga, Sayyiduna Ali ra keluar menemui para pengacau dan berkhutbah, “Wahai masyarakat, keluarkan orang-orang Arab (baduwi) dari kotamu!” Mereka menyambutnya dengan mengatakan, “Wahai para Arab badui, kembalilah ke daerah-daerahmu.” Seperti dijelaskan sebelumnya, pengikut Ibnu Saba’ menolak seruan ini, sementara orang-orang Baduwi menemui sayyiduna Ali ra di rumahnya. Mereka juga menemui Sayyiduna Thalhah dan Zubair serta  juga sebagian sahabat sambil menantang, “Tunjukkan balas dendammu kepada kami!” Maka sebagian sahabat menasihati Sayyiduna Ali untuk tidak menanggapi mereka dengan balas dendam atau menuntut hukuman atas kejahatan mereka sekarang. Sayyiduna Thalhah mengatakan, “Biarkan kita berfikir sejenak.” Sayyiduna Zubair juga menjawab demikian kepada mereka.
 
Mereka melegalkan pembunuhan kepada sayyiduna Utsman dengan alasan bahwasannya menurut para ahli Ibadah dari kalangan mereka Utsman telah salah, dan karena keyakinan mereka bahwa mereka mempunyai hak di Baitul Maal yang harus didapatkannya. Keterpaksaan sayyiduna Ali ra bisa jadi didorong faktor bahwa beliau melihat orang-orang ini sangat tekun dan khusyu’ dalam beribadah, sehingga Ali ra berharap Allah swt akan mengampuni mereka walaupun pemahaman mereka dangkal.
 
Namun justru hal inilah sumber petaka bagi Ummat, dimana sayyiduna Utsman akhirnya justru terbunuh. Sayyiduna Ali ra sendiri sebelumnya pernah ditemui oleh orang-orang mesir ini dan mengatakan kepada mereka, “Apakah kalian hendak berperang hanya alasan seperti ini?” Kemudian beliau pergi meninggalkan mereka. Sayyiduna Ali tidak sampai berfikir bahwa orang-orang seperti inilah yang berani menghabisi nyawa sayyiduna Utsman bin ‘Affan ra.
 
Kaum Baduwi yang gemar berperang ini termakan hasutan Ibnu Saba’ disaat sayyiduna Ali ra ingin berdamai dengan Thalhah dan Zubair, serta menyulut peperangan dari dalam kubu kaum Muslimin. Hasutan ini terjadi setelah pihak Sayyiduna Ali, Thalhah dan Zubair bertemu serta bersepakat untuk damai. Hembusan fitnah ini dilakukan dengan cara mengobarkan pertempuran secara rahasia oleh orang-orang Baduwi dari bani Muhdar, kabilah Rabi’ah, dan orang-orang yaman menyusup kepada kabilah mereka masing-masing yang ada di pihak sayyidah ‘Aisyah dan menyulut pertikaian. Hingga keluarlah Sayyiduna Zubair dan Thalhah berkata, “Ada apakah ini?” Sedangkan didepan mereka ada orang-orang bani Muhdar yang mengatakan, “Kami diserang pada malam hari.” Lalu keduanya berkata, “Sekarang kita mengetahui bahwa Ali tidak mau berhenti kecuali dengan pertumpahan darah. Kemudian mereka kembali ke pasukan Bashrah, yang kemudian mereka memerangi para penyerang malam itu hingga penyerang tersebut melarikan diri ke tempat mereka masing-masing.
 
Hal ini diketahui oleh Sayyiduna Ali bin Abi Thalib dan penduduk Kufah, dimana orang-orang jahat dan ahli makar sudah dipersiapkan berada di sisi sayyiduna Ali untuk menghasutnya. Sayyiduna Ali berkata, “Ada apa ini?” Orang tersebut menjawab, “Kami tiba-tiba diserang oleh kaum yang tinggal bersama kami hingga kami mengusir mereka ke kemah-kemah mereka masing-masing.” Sayyiduna Ali lalu berkata kepada orang disebelah kanannya, “Datangkanlaah pasukan dari sebelah kanan saya.” Lalu berkata pula dengan hal yang sama kepada sebelah kirinya, dan berkata. “Aku akhirnya mengetahui bahwa Thalhah dan Zubair tidak akan berhenti kecuali dengan pertumpahan darah.”
 
Namun dapat dilihat bahwa sebenarnya Sayyiduna Ali tidak terpengaruh dengan hasutan tersebut saat berpidato didepan pasukannya kemudian, “Wahai Manusia! Tenanglah! Tidak terjadi apa-apa.” Karena Sayyiduna Ali percaya bahwa kesepakatan mereka tidak akan terkhianati begitu saja, kecuali diplomasi sudah buntu, dimana sayyiduna Ali memerintahkan agar  tidak membunuh orang yang lari, serta tidak menganiaya orang yang terluka atau mempercepat kematiannya. Akan tetapi peperangan sudah tidak bisa dielakkan lagi. Hasutan Abdullah bin Saba’ beserta orang-orang Baduwi berhasil memecah kaum muslimin. Hingga singkatnya pasukan Zubair dari Bashrah kalah, sayyiduna Zubair ra terluka dengan tusukan panah, sedangkan Thalhah kembali ke Bashrah setelah terkena tusukan panah juga. Sementara orang-orang baduwi pengikut Ibnu Saba’ ini masih terus menyerang pasukan Sayyidah Aisyah, Thalhah dan Zubair ra. hingga mereka kalah.
 
Yang terjadi setelahnya adalah sayyidah Aisyah ra berkata kepada Ka’ab, “Angkatlah kitab Allah dan ajaklah mereka untuk menegakkan kitab Allah, lalu ia menyerahkannya kepada Ka’ab. Para pasukan Sayyiduna Ali menerima hal ini namun ternyata  pasukan Ibnu Saba’ masih takut akan terjadinya perdamaian dan melempar Ka’ab dengan panah hingga terbunuh. Mereka juga secara bejat melempari Sayyidah Aisyah yang berada di unta dengan  senjata-senjata mereka hingga beliau berteriak, “Wahai bekas-bekas pasukanku! Ingatlah kepada Allah dan hari Perhitungan!” Namun mereka mengabaikannya hingga ia berkata lagi, “Ya Allah, laknatilah para pembunuh Utsman dan para pembantu-pembantunya.” Dan seruan inipun diamini oleh sayyiduna Ali seraya meyerukan hal yang sama dengan Sayyidah Aisyah sebagaimana riwayat dari Muhammad bin Hanafiyah.
 
Bagaimanapun bentuk penafsirannya, yang jelas Sayyidah Aisyah tidak menginginkan peperangan ini. Karena sedari awal mereka bertiga sudah sepakat bahwa Ali bin Abi Thaliblah pengganti Ustman disaat Utsman terlihat akan mengalami pembunuhan, sebagaimana bisa dilihat pada periwayatan Ahnaf bin Qays, yang mana adalah pelaku sejarah itu sendiri sekaligus yang menanyakan Bai’at pada mereka bertiga secara langsung sebelum kematian Sayyiduna Utsman. Ahnaf bin Qays ra termasuk ahli hikmah di kalangan bangsa Arab. Ia dikenal dengan kepemurahannya, sehingga sering dijadikan permisalan dalam hal itu. Beliau termasuk sempat hidup pada masa Rasulullah saw, dan wafat pada tahun 70 H. Darinya pula Imam Al-Nasa’i pernah mengutip satu bagian riwayat darinya, lalu diriwayatkan secara panjang dan singkat mengenai Maqtal Utsman.
 
Orang-orang ini juga seenaknya menyalahkan Sayyiduna Ali serta keluar dari barisan Pasukan beliau sebanyak 12.000 orang, dengan alasan Sayyiduna Ali dianggap gagal berundung pada pengangkatan Mushaf/Tahkim. Maka sayyiduna Ali menjawab, “Demi Allah, apakah engkau tau bahwa mereka mengangkat mushaf dan kamu menjawab, “Kami menerima kitab Allah.” Kemudian beliau juga berkata, “Yang menghukumi adalah Al-Qur’an dan inilah Al-Qur’an yang tertulis dan tidak berbicara. Yang berbicara adalah manusia.” Hingga akhirnya mereka mengaku bahwasannya mereka keluar karena ketidakpuasan mereka kepada hasil pengangkatan Mushaf yang mana adalah mereka terima sendiri. Sebagian mereka taubat sedang sebagian lagi memberontak atas pimpinan Abdullah bin Wahab Al-Rasibi, yang menganggap bahwa orang-orang selain mereka adalah kafir. Sayyiduna Ali ra tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memerangi mereka, yang terkenal dengan istilah perang Harura’.
 
Adapun yang disebutkan dalam kitab-kitab Fiqih guna menjelaskan pasal Qital Ahli Al-Baghyi, adalah ketetapan sayyiduna Ali mengutus seorang Ahli Al-’Adl sebelum memerangi kaum Khawarij, yaitu sayyiduna Ibnu ‘Abbas ra untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang-orang ini, hingga kembalilah yang sadar sebanyak 4000 orang dimana sisanya tetap membangkang, maka Sayyiduna Ali memerangi mereka.
 
Renungkanlah perkataan Malik Al-Asytar, Seorang baduwi yang ikut memakari pembunuhan Sayyiduna Utsman ra, “Demi Tuhan yang Esa, jika Ali dan Aisyah berdamai, maka mereka pasti akan bersepakat menumpahkan darah kita. Untuk itu marilah sekarang kita bunuh Ali supaya mengikuti nasib Utsman. Dan kita hembuskan Fitnah lagi sehingga manusia lupa akan urusan mereka membunuh kita.” Abdullah bin Saba’ menjawab, “Pendapatmu adalah paling konyol, kami dari penduduk kufah berangkatlah bersama Dzi Qar dengan membawa 2500 atau 2600 pasukan, sedangkan Ibnu Hanzalah dan sahabat-sahabatnya membawa 5000 pasukan, jangan memancing pertempuran. Jagalah diri kalian, janganlah mengangkat beban yang kalian tidak kuat mengangkatnya.” Kemudian orang selain Al-Asytar berbicara sehingga Ibnu Saba’ langsung bicara kembali, “Wahai kaum! Sesungguhnya kemuliaan kamu adalah selama kamu bergabung dengan manusia. Maka bergabunglah dengan mereka. Jika orang-orang sudah berkumpul besok pagi maka mulailah peperangan, dan jangan jadikan manusia sampai berkomunikasi sesama mereka.” 
 
Wal ‘Iyadzu Billah.
Kita cukupkan sampai disini kisah diatas walaupun statusnya adalah s3 atau sangat secuil sekali dari lembaran-lembaran sejarah yang ditulis dalam kitab-kitab Tarikh oleh para Ulama yang mulia, dimana mereka membahas rentetannya kisah fitnah pada masa Sahabat yang agung dengan begitu mendetail sekali. Namun hendaknya kita bisa mengambil beberapa poin krusial guna memantapkan pandangan kita berkenaan dengan hal ini dan apa yang memiliki kaitan ‘Ibrah daripadanya:
 
1.  Sudah selayaknya kita berdoa memohon kepada Allah swt agar tidak digolongkan kedalam manusia-manusia seperti ini. Dan semoga kita diberikan cukup ilmu serta kekuatan untuk menghalau pemahaman yang menghancurkan Islam yang datangnya dari dalam dan mengatasnamakan amar makruf, namun justru sebenarnya merusak. Fa’tabiruu Yaa Ulil Abshaar, Maka carilah I’tibar wahai orang-orang yang memiliki pengelihatan.” (Al-Hasyr : 2).
Apakah yang dimaksud dengan I’tibar dalam ayat yang mulia diatas? Yang dimaksudkan adalah Qiyas. Karena kata I’tibar diambil dari kata Al-’Ubuur Mashdar ‘Abara-Ya’buru yang berarti Mujawazah, yakni Mujawazah Bil Hukmi ‘An Al-Ahsl Ilaa Al-Fara’/Perumpamaan/Analogi yang memiliki kesesuaian dan ketetapan sebagaimana Ta’rif/definisi dari para Ahli Ushul. Maka hendaknya kita menganalogikan sebuah masalah yang terlebih dahulu terjadi, kemudian mencari keserupaan ‘Illat/Cause, sehingga dapat menarik kesimpulan yang sesuai dengan Syari’at, sebagaimana para Sahabat Rasulullah saw sehingga tidak terjatuh dalam pembacaan text agama yang sempit, dangkal, dan menjerumuskan sebagaimana orang-orang baduwi diatas.
 
2. Telah jelas bahwa penduduk Madinah sangat konsisten untuk mengakhiri fitnah ini. Sayyiduna Ali merelakan dirinya menerima tanggung jawab guna melepaskan fitnah. Sayyiduna Zubair dan Thalhah membaiat pula guna melepaskan ummat dari fitnah.
 
3. Kemudian dapat kita saksikan, sikap orang-orang baduwi yang kurang ajar, mencari dunia dengan mengatasnamakan Allah swt hingga Rasulullah saw yang Mulia tak luput dari manusia-manusia ini. Kita lihat pula, bahwa orang-orang baduwi yang pada awalnya merasa gagah dan hebat hingga menghalalkan darah sayyiduna Utsman ra pun kebingungan. Mereka mencari figur-figur yang mampu memimpin mereka karena sejatinya mereka bingung mau berbuat apa? Semata karena mereka tidak memiliki ilmu yang cukup dan memadai terhadap pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah Rasulillah saw.
 
4. Dari sini pula kita dapat tegaskan, bahwa semua kibar sahabat menolak dan tidak mau untuk diba’iat. Karena mereka menyadari benar, bahwa tanggung jawab tersebut amatlah besar dihadapan Allah swt. Karena pemerintahan tersebut adalah hasil persimbahan darah seorang muslim dan ahli kiblat, serta khalifah mereka yang hakiki. Mereka juga enggan untuk bersengketa, terbukti beberapa kali dihasut, mereka tetap memilih persatuan, walaupun akhirnya peperangan pecah karena ulah orang-orang jahat.
 
5. Dalam kisah ini juga  terlihat sekali kekurangajaran orang-orang baduwi yang merasa diri merekalah pemimpin sejati karena mayoritas kepada para Sahabat Rasulullah saw yang mulia. Sahabat yang mendapatkan pendidikan langsung dari Rasulullah saw. Dalam cerita ini pula dapat diketahui bahwasannya Sayyiduna Ali ra ingin menghukum mereka tetapi pada saat itu para sahabat tidak sependapat.
 
6. Kita juga dapat mengambil ‘Ibrah, bagaimana orang-orang ini gemar mengatasnamakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan ayat-ayat Allah, namun hal ini tidak melebihi kerongkongan mereka karena pemahaman mereka yang dangkal. Terbukti ketika bertemu dengan Utsman ra kali pertama untuk menuntut, mereka tidak bisa menjawab dan kembali pulang karena apa yang mereka tuntut sebenarnya adalah kebodohan mereka sendiri (Seperti menuntut Lahan unta sedekah agar dijadikan lahan umum bagi unta-unta dan ternak mereka dsb yang mana sudah ditetapkan sayyiduna Umar ra sebelumnya).
 
7. Kemudian hal ini meniscayakan keberadaan penyusup yang memanfaatkan keadaan orang-orang baduwi tersebut yang terbiasa berperang satu sama lain serta tidak mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah saw. Sehingga orang-orang ini mudah sekali menerima hasutan. Penyusup ini mempunyai rancangan jahat, yaitu menghembuskan kebencian terhadap para Ulama sahabat kepada orang-orang baduwi agar mereka melakukan makar berdasarkan kitab Allah. Inil Hukmu Illa Lillah, itulah seruan mereka.
 
8. Kita juga dapat mengambil pelajaran, bagaimana manusia saat ini berebut kekuasaan mengatasnamakan Islam. Namun pada sejatinya mereka menghalalkan darah sesama kaum muslim. Mereka memerangi ulama, dan menganggap terbunuhnya Ulama adalah sesuatu yang patut dirayakan. Apakah Rasulullah saw tidak bersabda, “Ingatlah kebaikan-kebaikan orang yang sudah meninggal diantara kalian.” Orang-orang seperti ini yang dikatakan oleh sayyiduna Ibnu Umar, “Mereka menjadikan ayat-ayat yang turun kepada orang kafir, dan mengithlaqkan (menisbatkannya) kepada kaum muslimin.” Padahal Rasulullah saw telah mewanti-wanti, “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.” (HR. Bukhari).  Dan juga Sabda Beliau Saw, Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “Hai orang kafir,” maka kata itu akan menimpa salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan (berarti orang yang dituduh menjadi kafir); jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.” (HR. Muslim).
 
8. Orang-orang seperti inilah yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam Hadistnya yang masyhur, Beliau saw bersabda: “Sepeninggalanku akan ada sekelompok orang yg membaca al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya. Mereka membunuh pemeluk2 Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka itu orang-orang yang jauh menyimpang dari rel agama, demikian jauhnya spt anak panah yg tidak mengena pada sasarannya. Sekiranya aku mengalami mereka, pasti akan kuperangi sebagai orang durhaka.”  (HR. Bukhari dan Muslim).
 
10. Kita saksikan pula hari ini begitu banyak orang memerangi saudaranya demi kekuasaan semata, sementara mereka melupakan penindasan kaum kafir dan thaghut Israel kepada bangsa Palestina. Mereka berlomba-lomba saling menghujat, mengafirkan selain mereka tanpa Haqq. Berhala bisa berupa kekuasaan, wanita, jabatan, dan lain sebagainya. Ketika sesuatu sudah disembah dan dipuja melebihi Allah swt dan melewati batas Petunjuk-Nya yang terdapat dalam Al-Kitab Wa Al-Sunnah, sehingga mendorong mereka untuk membid’ahkan hingga menghalalkan darah sesama muslim dengan mudahnya.
 
11. Kemudian, hendaknya tidak serta merta memerangi suatu kaum sebelum mengirimkan juru runding yang ‘Adil (Dalam beragama) dan ‘Arif (Dalam pemahaman Ilmu agama), sebagaimana sayyiduna Ali ra mengirim sayyiduna Ibnu Abbas ra untuk berunding kepada Khawarij hingga 4000 dari mereka sadar dan kembali. Barulah setelah perundingan gagal, peperangan oleh seorang sulthan yang sah dilakukan. Maka bedakan disini antara peperangan dengan posisi kekuasaan yang sah, ilmu yang mumpuni, serta usaha mendamaikan terlebih dahulu, dengan orang-orang yang berperang tanpa dasar ilmu yang jelas, hanya mengikuti hawa nafsu menumpahkan darah sesama orang muslim, dan menganggapnya kafir.  Hal ini juga dilakukan oleh Sayyiduna Ali ra ketika mengutus Al-Qa’qa’ bin ‘Amru untuk berunding menemui Sahabat Thalhah dan Zubair, mengajak Ishlah dan perdamaian dan mereka berdua menyetujuinya. Hal ini juga menandakan bahwa Sayyiduna Ali hendak terus melacak pelaku pembunuhan Sayyiduna Utsman, namun kekhawatiran beliau terhadap kelanjutan fitnah jauh lebih besar, dan perpecahan ummat Islam akan semakin kentara.  
 
12. Hal ini juga menjawab tuduhan orang-orang Syi’ah atas klaim mereka bahwa Ahlusunnah memasukkan figur Ibnu Saba’. Maka perlu diketahui, bahwa Periwayatan ini datang dari Saif bin Umar Al-Tamimi adalah bisa diterima setidaknya oleh para sejarawan. Sebab Saif berasal dari bani Tamim yang terkenal sekali dengan keahlian mereka dalam bidang sejarah. Dan Bani Tamim adalah orang-orang yang tidak terlibat dalam persengketaan fitnah perang Jamal bersama tuan mereka Ahnaf bin Qays, tidak satupun dari mereka ikut dalam pembunuhan Utsman, kemudian mereka ikut kedalam barisan Ali bin Abi Thalib, dan berperang bersama Sayyiduna Ali bin Abi Thalib. Sebagian mereka juga ada yang masuk kedalam Khawarij sehingga mengetahui bahwa kaum Khawarij sebagian mereka ada yang terlibat pembunuhan sayyiduna Utsman Ra bukan karena salah niat, namun karena mereka ingin menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar. Keberadaan Ahnaf bin Qays dan periwayatannya yang diterima oleh kalangan Ahli hadist, serta Saif bin Umar Al-Tamimi secara detil dan jelas karena kabar-kabar yang ada dari kabilahnya, serta riwayatnya sejalan dengan riwayat Ahnaf bin Qays.
 
13. Rasulullah saw dan para sahabat bahkan tidak luput dari perlakuan orang-orang seperti ini yang merasa bahwasannya Al-Qur’an secara tertulis adalah hak bagi semua orang untuk menafsirinya serampangan. Lihatlah bagaimana mereka menarik burdah Rasul, membentak dan menasehati Sayyiduna Utsman menyoal agama, keluar dari jamaah sayyiduna Ali atas apa yang mereka pinta sendiri dengan dalih ‘Kitabullah’.  Inilah yang juga dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzy, “Ada orang-orang yang memendekkan pakaian mereka (agar tidak isbal), namun dihati mereka bersemayam kesombongan Fir’aun.”
 
Maka penulis tutup dengan kalimat, Laa Nuriid Bi Al-Kitab wa Al-Sunnah Rasman Aw Kitaabatan, Bal Nuriid Man Afham Bihimaa. Kami tidak menginginkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang semata tercetak maupun tertulis begitu saja (Karena dapat menimbulkan paham yang berbahaya). Namun kami menginginkan para Ulama Pewaris Para Nabi Yang Hakiki untuk mengajarkan kami apa maksud daripada Al-Kitab dan Al-Sunnah agar kami tidak tersesat.
 
Semoga kita dijauhkan dari perpecahan ummat dan tidak tergolong orang-orang yang membuat makar kepada pada Sahabat Rasulullah saw, menghalalkan darah sesama muslim, serta mudah sekali mengafirkan selain golongan mereka, Amin.

Hadanallah Wa Iyyakum Ajma’iin.

* Alumnus Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.


http://www.mosleminfo.com/index.php/islamia/artikel/potret-kaum-baduwi-dan-ibnu-saba-pada-masa-sahabat/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: