Pesan Rahbar

Home » » Gus Dur (1993) Mempersilahkan Warga NU Untuk Masuk Syi’ah Asal Jangan Salafi (Wahabi) dan Khawarij. Silahkan Baca Pernyataan Gus dur Mengenai Ahlus Sunnah dan Syiah Yang Dicantumkan

Gus Dur (1993) Mempersilahkan Warga NU Untuk Masuk Syi’ah Asal Jangan Salafi (Wahabi) dan Khawarij. Silahkan Baca Pernyataan Gus dur Mengenai Ahlus Sunnah dan Syiah Yang Dicantumkan

Written By Unknown on Sunday 23 August 2015 | 09:31:00

Gus Dur (1995) menyebut Ayatullah Khomeini sebagai waliyullah atau wali terbesar abad ini, Gus Dur (1993) mempersilahkan warga NU untuk masuk Syi’ah

Menurut Sumber : Majalah Berita Mingguan GATRA Edisi : 25 November 1995 ( No.2/II ) bahwa Kiai Bashori mengatakan pernah mendengar pidato Gus Dur di Bangil, Jawa Timur, menyebut Ayatullah Khomeini sebagai waliyullah atau wali terbesar abad ini. Padahal, menurut pendapat ahlusunah waljamaah, jelas bahwa Syiah itu menyimpang dari Islam. Maka Kiai Bashori bertanya, “Bagaimana sih sebenarnya akidah sampeyan tentang Syiah ini?” . Menurut Effendy Choiri, yang dikenal sebagai pendukung Gus Dur, jawaban Gus Dur sebagai berikut: dari segi akidah, memang beda antara Syiah dan Sunni. Saya melihat Khomeini itu waliyullah bukan dalam konteks akidah, melainkan dalam konteks sosial. Khomeini adalah satu-satunya tokoh Islam yang berhasil menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan lain-lain. Jadi soal akidah kita tetap beda dengan Syiah.

Ketika terjadi dialog di Genggong, Gus-Dur ditanya oleh K.H. Bashori Alwi  “saya mendengar langsung dari Gus-Dur, Apa alasan Gus-Dur mengatakan Khumaini waliyullah terbesar abad ini ? Gus Dur menjawab bahwa “yang saya maksudkan Khumaini waliyullah terbesar abad ini adalah Khumaini melawan kedloliman Syah Iran”

Almarhum Gus Dur yang sebagai ulama besar sekaligus Ketua Umum NU semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa NU adalah golongan Syi’ah yang minus imamah.

Gus-Dur meminta berusaha agar peredaran buku-buku dan kitab-kitab Syi’ah tidak perlu disensor oleh pemerintah. Lebih jauh Gus-Dur dalam dialog tersebut mempersilahkan warga NU untuk masuk Syi’ah, sehingga harian Terbit 15 Februari 1993 membuat judul Gus-Dur menyeberang ke Sy’iah.
Melalui majalah Aula (April 1996, halaman 26) Gus-Dur membantah dengan pertanyaan “Syi’ah mana yang saya kembangkan?”
Komentar Ustad Husain Ardilla: “Demikian sebagian kepeloporan Gus-Dur dalam mengembangkan Syi’ah di kalangan NU, sehingga wajar bila Gus-Dur dan Said Aqil saya katakan sebagai pelopor persatuanh NU- Syi’ah di akhir abad kedua puluh ini. Lebih baik NU membela syi’ah daripada wahabi pembunuh para ulama serta umat islam dan mengkafirkan orang tua nabi saw. Wahabi menuduh Tuhan memiliki tangan-wajah-mata-betis yang zahir lalu turun secara zahir ke langit dunia pada 1/3 malam yang akhir. Tuduhan wahabi kepada Tuhan dibantah NU dan syi’ah yang menta’wil ayat mutasyabihat”.


ulama NU yang membela syiah bisa di maklumi karna gusdur pemimpin NU membela syiah.
 
itu akan mendarah daging. Pengaruh gusdur sangat kuat di NU. Dan baru-baru ini Ketua Umum NU Said Aqil Siroj juga mengakui bahwa NU banyak kemiripan dan sampai membela mati-matian Syi’ah di Indonesia.
 
Tugas wahabi hanya satu sebagaimana pekerjaannya syetan yaitu menyesatkan umat manusia.Syiah sangat menghormati GusDur, namun wahabi semacam  Ustadz Abu Bakar Ba’asyir malah menuduh Gus Dur telah murtad, menurut Ba’asyir:
“Jadi, mengenai mister Dur, menurut keyakinan saya Mr Dur ini murtad ”.


 Pernyataan itu terlontar, saat ustad Abu Bakar Ba’asyir, berkali-kali di tanya oleh jemaah pengajian mengenai pengikut Gus Dur yang begitu mengkultuskannya. Dan ia pun menolak memanggil Abdurrahman Wahid dengan “Gus” karena baginya sebutan itu:
Maaf, saya tidak memanggil Gus, karena panggilan Gus itu hanya digunakan untuk anak kyai mulia di Jawa Timur”, kata ustad Abu. Ustad Abu mengatakan,
Ba’asyir berani mempertanggung jawabkan pernyataannya ini, ia pun menantang tokoh-tokoh NU untuk berdiskusi, bahkan ia pun berani bermubahalah.


Menurut Ba’asyir, Gus Dur itu Murtad

SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ.
Tidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij.

Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.

Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.

PERTAMA, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.

KEDUA, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”,] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu.

Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.

KETIGA, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.

KEEMPAT, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit ruang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.

KELIMA, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda:
“Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.

Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah NAJD.

Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”.Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan”.

KOTA NAJD ADALAH TEMPAT LAHIR DAN TINGGAL MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB AN-NAJDI, PENDIRI WAHABI.
Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.


Ketua Badan Hukum dan HAM Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ,  Maheswara Prabandono mengklaim, Gus Dur sebenarnya adalah Syiah. “Kami merasa dari apa yang dia praktekan dan cara dia membina hubungan dengan Iran,” kata Maheswara usai  jumpa pers di kantor pusat IJABI di Jakarta, Sabtu (31/12/2011).

Dijelaskan dia, Gusdur sebagai cucu KH Wahid Hasyim secara tradisi dan ibadah, NU sangat dekat dengan ajaran Syiah, karena yang dipraktekan NU cara Syiah.  “Misalnya mengambil berkah atau tabaruk ke ziarah kubur ke makam wali. Itu aslinya ajaran Syiah,” pungkasnya.

Maktabah Alawiyyin Syiah Imamiyah 12 Indonesia, tahun 1379 H

Dari kiri Ali Baqir al-Musawi, Doktor Muhammad Sa’id Thayyib, Sayyid Hasyim as-Salmân, almarhûm Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Doktor Sâmi dan Amin al-Aththâs.

Habib Ali Al Habsyi Kwitang, habib Ali Al Atthas Bungur, dan Syeikh Mudzaffar Ulama Syiah berdo’a bersama

Habib Ali Al Habsyi Kwitang, habib Ali Al Atthas Bungur, Ulama Syiah Syeikh Mudzaffar, Habib Salim Bin Jindan

Ulama Syiah Syeikh Mudzaffar bersama Habib Salim Bin Jindan

Perselisihan antara Sunni (Ahlus Sunnah) dan Syi’i (Syiah) di Bangil Pasuruan sesungguhnya telah berlangsung lama. Insiden bentrok di pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam ) Bangil beberapa waktu lalu, 15 Februari 2011, adalah akumulasi dari perselisihan yang telah mengakar sejak awal tahun sembilan puluhan.

Bermula dari ditemukannya surat rahasia Habib Hussein al-Habsyi –-pendiri YAPI-– yang ditujukan kepada seseorang di Iran pada tahun 1993. Pihak YAPI tentunya kaget dengan terpublikasinya surat kepada seorang Syi’ah Iran itu. Sebab, surat itu berisi pernyataan Habib Hussein al-Habsyi, bahwa ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syi’ah-annya sebagai setrategi dakwah. Padahal sebelumnya ia dikenal sebagai ulama’ Sunni yang masyhur di kota Bangil.

Inilah sebagian isi terjemahan surat yang ditulis berbahasa Arab tersebut:
“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya, sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.

Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang Syi’ah Bangil dan memuat terjemahan surat itu.

Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan. Sebab selama ini, Habib Hussein al-Habsyi dikenal masyarakat Pasuruan yang mayoritas Sunni sebagai ulama dari kalangan habaib yang mumpuni. Sebelum itu, pengajiannya di Masjid Agung Bangil dipenuhi jama’ah yang menganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Terungkapnya surat rahasia tersebut membuat masyarakat Bangil berbelok arah. Banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI. Sejak itu konflik dalam skala kecil sering terjadi di kota Bangil dan sekitarnya. Hingga pada tahun 2007 masyarakat Bangil dan sekitarnya melakukan demo besar setelah shalat Jum’at untuk menolak paham Syi’ah.

Menurut pengakuan seorang warga Bangil, penganut Syi’ah bahkan sudah tidak segan lagi melakukan aktifitas dan pengajian dengan isi doktrin Syi’ah.

Masyarakat Sunni Bangil tentu tidak asal menolak. Beberapa ulama sebenarnya telah mengingatkan mengenai keberadaan paham Syi’ah di propinsi yang mayoritas berbasis Nahdliyyin ini. Di harian Surabaya Post, 27 April 1985, yang sebagaian isinya dimuat lagi oleh majalah AULA tahun 1996, KH. As’ad Syamsul Arifin (almarhum) cukup lugas mengomentari dakwah Syi’ah.



Syiah dan NU mirip

Almarhum Gus Dur[1] dulu pernah mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah, Syiah itu NU plus Imamah. Bukan tanpa alasan statemen itu dilontarkan, memang NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan.

Di Indonesia pendakwah ajaran Islam tak dapat dipastikan apakah Sunni atau Syiah yang datang terlebih dahulu, sebagaimana madzhab leluhur para habib di Hadramaut yang masih diperdebatkan apakah Sunni, Syiah atau bahkan membuat madzhab sendiri. Karena itulah budaya, simbol-simbol Syiah melekat kuat dengan budaya Sunni di Indonesia. Kecintaan akan keluarga Nabi saw melekat dengan erat, di antaranya; pujian, tawasulan pada para imam Syiah termaktub dalam syair-syair, tarian, dll; hikayat dan cerita kepahlawanan keluarga Nabi saw; tradisi-tradisi yang mirip dengan budaya Syiah, seperti tabot, tahlil arwah hari ke-n, rabo wekasan, primbon, larangan berhajat di bulan suro; istilah-istilah keagamaan, dsb seperti syuro, kenduri, bahkan penamaan hal-hal berbau (maaf) seks pun dengan nama keluarga nabi, seperti tongkat Ali atau rumput Fatimah (padahal kalau menyesuaikan nama aslinya seharusnya terjemahnya adalah tangan Maryam). [2]
 
NU sebagai salah satu mainstream Sunni di Indonesia menghormati, mengagungkan dan mentaati keturunan Nabi saw, demikian halnya dengan Syiah, bahkan jika mereka berbuat salah pun mereka tetap menaati dan tunduk karena takut kualat, dan sebagainya. Ingat skandal habib pemimpin majelis terbesar kedua di  Jakarta?. NU mengenang dan membacakan manaqib para leluhur guru, kyai-kyai mereka dan mengadakan haul kewafatan mereka. Begitu juga dengan Syiah. Dalam mengatasi ayat-ayat mutasyabihat berkenaan dengan Tuhan, kedua golongan ini sama-sama menakwilkan sesuai dengan posisi Tuhan, bukan memakai arti lahiriah ayat tersebut. 
 
Jika dalam NU ada saudara mereka yang meninggal, mereka mendoakannya dalam acara tersendiri, tahlilan. Begitu juga dengan Syiah. NU mengajarkan kebolehan tawasul dengan orang-orang ‘suci’ mereka, begitu pula dengan Syiah. NU menganggap orang-orang suci mereka tetap hidup meski sudah meninggal dan menziarahi kuburan mereka untuk bertawasul dan bertabarruk. NU mengenal tabaruk dengan benda-benda peninggalan atau pemberian orang ‘suci’ sama halnya dengan Syiah. Poin-poin terakhir di atas itulah yang membuat golongan muslim kecil imporan naik darah lantas mengkafir-musyrikan dan siap-siap menghunuskan pisau untuk mengalirkan darah penganut NU dan Syiah untuk taqarub kepada Allah.
 
Dua golongan ini, NU dan Syiah memang memiliki banyak kesamaan. Kedua-keduanya sudah dicap sesat dan kafir oleh kelompok Islam kecil lainnya. Tak jarang untuk mengadu domba dan mempertajam perseteruan kedua kelompok ini dan, Syiah dan Sunni, ada oknum yang mengaburkan, mengganti bahkan menghilangkan redaksi-redaksi dalam kitab-kitab rujukan Sunni-Syiah[3].
 
Masalah yang seringkali dibentrokkan dengan golongan Sunni adalah imamah Ali dan 11 keturunannya, tahrif al-Quran, doktrin keadilan sahabat nabi, nikah mut’ah, taqiyah, dll.
 
Keimamahan ahli bayt merupakan salah satu rukun dalam Syiah. Namun bukan berarti orang yang tidak meyakini dan mengikutinya kafir. Begitulah yang dikatakan para imam Syiah.  Imam Abu Ja’far, Muhammad Al-Baqir as, berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A’yan: “Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan.”.
 
Mengenai tahrif al-Quran, umat Islam sepakat bahwa hal ini merupakan masalah besar. Siapapun yang meyakini bahwa al-Quran telah berubah, baik kurang atau ditambah, maka dihukumi kafir. Sayangnya, pengeritik dan pencela Syiah tidak melihat langsung kondisi sebenarnya di Iran, melihat langsung al-Quran-quran yang tersebar seantero Iran yang sama dengan yang dibawa umat Islam lainnya. Masih ingat dengan “Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Quran” yang best seller di Indonesia, Masih sama kan dengan al-Quran yang dibaca dan dihafal kelompok Sunni?. Adapun riwayat-riwayat hadits, sahabat atau ulama yang mengatakan adanya tahrif al-Quran sebenarnya juga bertebaran tak hanya di kitab-kitab Syiah saja tapi juga ada di kitab-kitab Sunni. Itupun ada yang belum dipastikan sahih riwayatnya atau tidak dan juga tidak menjustifikasi si empunya kitab sebagai penganut tahrif, bahkan mungkin ia menolak mentah-mentah.[4]

Jika ada oknum di suatu golongan yang meyakini tahrif, maka itu tidak menegaskan semua golongan itu meyakini tahrif. Baik Sunni maupun Syiah mempunyai oknum yang meyakini adanya tahrif  tersebut. Kalau dalam Syiah penganut tahrif al-Quran disebut kelompok Akhbari sedangkan mayoritas syi’ah adalah ushuli yang anti tahrif. Adapun pendukung tahrif di Sunni, pernahkan anda membaca cerita Ibnu Syanbudz dan pengikutnya, ulama besar Sunni ahli al-Quran? [5]
 
Adapun masalah sahabat, yang perlu dipertanyakan adalah apakah meyakini semua sahabat Nabi saw itu udul adalah bagian dari iman atau tidak. Jika iya, dan mereka yang mencela, mengkritik dan melaknat sahabat adalah kafir. Maka bagaimana dengan para sahabat itu sendiri yang saling mencela melaknat bahkan membunuh sahabat lainnya. Apa mereka kafir? Jika anda mempelajari sejarah Islam maka akan anda temukan banyak riwayat valid  seperti itu di hampir semua kitab-kitab sejarah umat Islam, baik Sunni maupun Syiah. Jika menunjukkan dan mengungkapkan kejelekan dan keburukan sahabat merupakan dosa besar, maka hampir semua pengarang kitab hadits dan sejarah termasuk orang yang berdosa besar. Maka tak heran jika ada ulama besar hadits yang menganjurkan untuk menutupi hal-hal tersebut untuk menjaga doktrin sahabat itu wajib adil.[6]
 
Dengan dasar konsep semua sahabat udul itu pula semua peristiwa hitam dan kelam perseteruan sahabat ditafsirkan dan dijelaskan. Terkadang kejelekan yang dilakukan oleh para sahabat ditutupi secara halus. Jika ada riwayat yang menyebutkan nama sahabat yang berbuat buruk, maka diganti dengan fulan, si a, dll. Jika ada perbuatan atau perkataan buruk sahabat maka ditulis kadza, sesuatu, dll.
 
Fitnah buruk lain yang disematkan pada Syiah adalah Syiah mengkafirkan semua sahabat, kecuali 3 orang. Jika Syiah mengkafirkan semua sahabat, lantas siapa yang membantu Ali dalam perang melawan Aisyah, Thalhah, Zubair, madzhab Khawarij, dan Muawiyah. Mau dikemanakan para sahabat nabi yang mati demi membela Islam dan keluarga Nabi saw? Bagi Syiah sahabat Nabi saw ada yang baik dan ada juga yang buruk. Mereka yang buruk tidak perlu diikuti. Syiah tidak sekedar menuduh jelek seorang sahabat tapi mempunyai bukti valid atas keburukan sahabat tersebut.
 
Syiah pembohong, pendusta karena Syiah menganut doktrin taqiyah. Begitulah yang sering dilontarkan oleh pembenci Syiah. Demikian lekatnya doktrin taqiyah pada golongan Syiah dan tuduhan jeleknya sampai-sampai ada guyonan tentang taqiyah golongan Syiah di dunia maya.[7]
 
Tapi, bagaimana kalau anda ditempatkan pada posisi Syiah. Anda akan dibunuh jika mengungkapkan keyakinan anda yang sebenarnya, apa yang akan anda lakukan? Begitulah awal mula taqiyah sebenarnya. Begitulah tindakan Ammar bin Yasir menghadapi siksaan kaum Quraisy. Begitulah tindakan penganut Syiah selama kurang lebih seabad di masa kerajaan Umayyah. Mereka dibatasi gerakannya, diburu, dan dibunuh bila ketahuan mengikuti jejak Ahli Bait. Bahkan Hasan al-Basri pun dalam meriwayatkan hadis dari Ali as, tidak menyebutkan namanya dalam periwayatan karena kondisi waktu itu yang tidak memungkinkan. Jika demikian apa anda setuju taqiyah?
 
Anda menyamakan mut’ah dengan zina, maka anda salah besar. Ibnu Abbas sampai buta mata dan wafat pun tidak pernah melarang mut’ah atau mencabut pendapatnya tersebut. Karena itulah murid-murid Ibnu Abbas meneruskan pendapatnya. Di antara mereka adalah Ibnu Juraij, Said bin Jubair, Atha’, Mujahid, bahkan ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik membolehkan nikah Mut’ah. Jika Syiah meyakini mut’ah masih diperbolehkan, apakah anda akan memprotes? Toh, menurut Syiah mut’ah tetap diperbolehkan Nabi saw dan yang melarang adalah Umar di masa kekhalifahannya dan riwayat tersebut ada di kitab-kitab golongan Sunni dan Syiah.[8]
 
Semua poin-poin di atas, baik tuduhan Sunni atau bantahan Syiah terus saja diulang-ulang sepanjang sejarah Islam, namun semuanya hanya sekedar tulisan tanpa ada upaya untuk menjaga kedamaian ukhuwah islamiyah seakan-akan ada pihak-pihak luar dan dalam yang sengaja menjaga kestabilan perpecahan umat muslim. Akhirnya semua itu berpulang ke dalam diri anda. seorang hakim harus mendengarkan dua pihak yang bersengketa baru memutuskan masalahnya, bukan langsung justifikasi tanpa bertabayun terlebih dahulu. Bukan sekedar cukup menjadi juru dakwah, pemimpin majelis dengan jutaan pengikut, atau tukang khutbah mingguan untuk dapat menjustifikasi sekelompok orang menjadi sesat, kafir dan musyrik, diperlukan sikap yang arif, objektif, ilmiah dan berlaku adil dalam menanggapi saudara sesama muslim yang berbeda pandangan dengan kita.
 
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian”. 
 
Wa Allah a’laam.
Salam damai, :)

Referensi:
[1] Dibanding dengan kakeknya, Gus Dur begitu dekat dengan golongan Syiah. Ketika terjadi revolusi Iran, Gus Dur mengatakan “Khumayni waliyullah terbesar abad ini” yang menimbulkan kontroversi di kalangan NU, bahkan dalam sebuah diskusi Gus Dur juga mempersilakan warga NU untuk masuk ke madzhab Syi’ah. Sedang K.H. Hasyim Asy’ari ‘menyindir’ Syiah dalam Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama menyebutkan “Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku di caci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat malaikat dan semua orang.”. 
 
Bahkan beliau juga melarang santri-santrinya membaca kitab-kitab Syiah, seperti Naylul Authar, Subulus Salam. Perbedaan pandangan tersebut merupakan sesuatu yang galib dalam dunia keilmuan. Imam Ja’far al-Sadiq as mempunyai murid Imam Hanafi yang membuat madzhab sendiri, Imam Malik juga mempunyai murid Imam Syafii, yang mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya, bahkan konon gara-gara perbedaan dengan gurunya tersebut Imam Syafi’i meninggal dipukul oleh pengikut Maliki. Said Aqil Siradj yang lulusan pendidikan Saudi pun menjadi pembela Syiah, padahal Saudi secara politik dan budaya menganut faham Wahabi yang jelas-jelas menolak bahkan mengkafirkan Syiah. Pendapat KH. Ahmad Dahlan juga berbeda dengan pendapat majelis tarjih Muhammadiyah sesudahnya, beliau memakai qunut subuh, tarawih 20 rakaat, mengucap usholi dalam niat shalat, dll. 
 
[2] Bahwa upacara peringatan orang mati/tahlil pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, termasuk khaul, adalah tradisi khas yang jelas-jelas terpengaruh faham Syiah. Dalam tahlil dimulai dengan bacaan al-Fatihah kepada Nabi saw dan roh-roh si mati. Amalan ini menjadi tradisi penganut Syiah dari zaman ke zaman. Dalam tahlil juga dibacakan ayat 33 dari surah al-‘Ahzab yang diyakini oleh golongan Syiah sebagai bukti keturunan Ali dan Fatimah adalah maksum. Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro dengan penanda bubur Syuro, tradisi Rebo Wekasan atau Arba’a Akhir di bulan Safar, tradisi Nisfu Sya’ban, larangan berhajat pada bulan Syuro, pembacaan kasidah-kasidah yang memuji Nabi Muhammad Saw dan ahl al-bait, dan wirid-wirid yang diamalkan menunjukkan keterkaitan tersebut. Bahkan istilah kenduri pun, jelas menunjuk kepada pengaruh Syiah karena dipungut dari bahasa Persia: Kanduri, yakni upacara makan-makan di Persia untuk memperingati Fatimah Az-Zahro’. 
 
[3] Di antara kitab yang terbukti ditahrif adalah Nahj al-Balaghah yang diterbitkan oleh Muhammad Abduh Mesir, kitab-kitab al-Khumayni, seperti Hukumah Islam, Kasyful Asrar yang diterjemahkan menyimpang dari bahasa Persia ke Inggris/Arab. Pemalsuan kitab Kasyful Asrar dibongkar oleh Dr. Ibrahim Dasuki Syata, pengajar bahasa dan sastra dari Universitas Kairo. Pemalsuan kitab Hukumah Islam diduga dilakukan penerbit buku milik CIA ke dalam bahasa Inggris. 
 
[4] Riwayat-riwayat tahrif al-Quran, baik dari kalangan sahabat maupun ulama besar, beredar di kitab-kitab Sunni dan Syiah. Di antara yang berpendapat al-Quran berubah adalah Imam Malik, beliau berkata tentang sebab gugurnya basmalah pada pembukaan surah Barâ’ah, “Sesungguhnya ketika bagian awalnya gugur/hilang maka gugur pulalah basmalahnya. Dan telah tetap bahwa ia sebenarnya menandingi surah al-Baqarah (dalam panjangnya)”. 
 
[5] Ibn Anbari dan al-Qurthubi menutupi identitas tokoh ini dalam kitabnya. Namun al-Khatib al-Baghdadi dan Abu Syamah menyebut jelas tokoh besar Sunni ini. Nama lengkapnya Abu al Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Ayyub al Muqri’/pakar qira’at, yang dikenal dengan nama Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz al-Baghdâdi (w.328 H). Ia banyak belajar dan menimba ilmu qira’at dari banyak pakar di berbagai kota besar Islam. Ia telah berkeliling ke hampir seluruh penjuru negeri Islam untuk menimba ilmu dari para masyâikh, dan ahli qira’at. 
 
Ia sezaman dan satu thabaqah dengan Ibnu Mujahid (yang membatasi qira’at hanya pada 7 qira’at saja), tetapi ia lebih luas ilmu dan pengetahuannya, khususnya tentang qira’at dan sumber-sumbernya, dan ia lebih banyak guru dan masyâikhnya, hanya saja Ibnu Majahid lebih berkedudukan di sisi penguasa saat itu. Banyak kalangan ulama qira’at belajar darinya. Abu ‘Amr ad Dâni dan lainnya mengandalkan sanad qira’at melalui jalurnya. Ibnu Syannabûdz adalah tsiqah/terpercaya, seorang yang shaleh, konsisten dalam menjalankan agama dan pakar dalam disiplin ilmu qira’at. Ia meremehkan Ibnu Mujahid yang tidak pernah melancong ke berbagai negeri untuk menimba ilmu qira’at. Apabila ada seorang murid datang untuk belajar darinya, ia menanyainya terlebih dahulu, apakah ia pernah belajar dari Ibnu Mujahid?
 
Jika pernah maka ia tidak akan mau mengajarinya. Ibnu Mujahid menyimpan dendam kepadanya, dan menfitnahnya kepada al wazîr/penguasa saat itu yang bernama Ibnu Muqlah. Ibnu Syannabûdz diadili pengguasa di hadapan para ulama dan ahli fikih, di antaranya Ibnu Mujahid atas qira’atnya yang dinilai menyimpang, setelah terjadi perdebatan seru dengan mereka. Ibnu Muqlah memintanya untuk menghentikan kebiasaannya membaca qira’at yang syâdzdzah, tetapi ia bersikeras mempertahankannya, dan berbicara keras kepadanya dan kepada Ibnu Mujahid serta al Qadhi yang dikatakannya sebagai kurang luas pengetahuan mereka berdua, sehingga Ibnu Muqlah menderanya dengan beberapa cambukan di punggungnya yang memaksanya mengakui kesalahannya dan bersedia menghentikan bacaan syâdzdzah-nya.
 
Ketika Ibnu Muqlah menderanya, Ibnu Syannabûdz mendoakannya agar Allah memotong tangannya dan mencerai-beraikan urusannya. Tidak lama kemudian, setelah tiga tahun, tepatnya pada pertengahan bulan Syawal tahun 326 H, doa itu diperkenankan Allah dan Ibnu Muqlah pun dipotong tangannya oleh atasannya dan dipenjarakan serta dipersulit kehidupannya. Ia hidup terhina dan mati dalam sel tahanan pada tahun 328 H, tahun yang sama dengan tahun wafatnya Ibnu Syannabûdz. Sebagaimana Ibnu Mujahid juga mati setahun setelah mengadili Ibnu Syannabûdz. 
 
[6] Al-Dzahabi berkata, “Omongan sesama teman jika terbukti dilontarkan dengan dorongan hawa nafsu  atau fanatisme maka ia tidak perlu dihiraukan. Ia harus ditutup dan tidak diriwayatkan, sebagaimana telah ditetapkan bahwa harus menutup-nutupi persengketaan yang terjadi antara para sahabat ra. Dan kita senantiasa melewati hal itu dalam kitab-kitab induk dan juz-juz akan tetapi kebanyakan darinya adalah terputus sanadnya dan dha’if dan sebagian lainnya palsu. Dan ia yang ada di tangan kita dan di tangan para ulama kita. Semua itu harus dilipat dan disembunyikan bahkan harus dimusnahkan. Dan harus diramaikan kecintaan kepada para sahabat dan mendo’akan agar mereka diridhai (Allah), dan merahasiakan hal itu (bukti-bukti persengketaan mereka itu) dari kaum awam dan individu ulama adalah sebuah kawajiban. Dan mungkin diizinkan bagi sebagian orang ulama yang obyektif  dan jauh dari hawa nafsu untuk mempelajarinya secara rahasia dengan syarat ia memintakan ampunan bagi mereka (para sahabat) seperti diajarkan Allah.
 
[7] Kisah Laporan “Spy” Wahabi Tentang Iran.
Pada suatu hari, agen wahabi mengutus seorang untuk “spy” semua gerak-geri orang syiah, terutama di Iran, maka diutuslah seorang agen A untuk memulai misi ke Iran. Setelah tiga bulan lamanya sang agen kembali untuk melaporkan hasil mata-matanya. 
 
[8] Quraisy Shihab memandang bahwa 1. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah benar Nabi saw pernah mengharamkan nikah mut’ah itu; 2. Larangan Umar bin Khattab terhadap nikah mut’ah bukan pengharaman suatu syariat, tetapi demi menjaga kemaslahatan umat kala itu. 3. Pendapat yang kompromistis ialah pendapat Syekh Muhammad Thahir bin Asyur, mufti Tunisia yang mengatakan bahwa Nabi SAW dua kali mengizinkan nikah mut’ah dan dua kali melarangnya. Larangan ini bukan pembatalan, tetapi penyesuaian dengan kondisi, kebutuhan yang mendesak atau darurat. Maka nikah mut’ah itu hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, seperti bepergian jauh atau perang dan tidak membawa istri.


Kairo

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar pada tahun 1964-1966. Banyak kesan dan cerita menarik tentang Gus Dur selama di Mesir ini sehingga sampai sekarang ia menjadi icon kebanggaan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Al-Azhar khususnya, warga NU (Nahdliyyin).

“Ketokohan Gus Dur dan pada masa lalunya di Azhar mampu menjadi sumber inspirasi mahasiswa,” kata M. Jauharul Afif, anggota LDNU Mesir saat memberikan keterangan seusai acara peringatan 40 hari atas meninggalnya Gus Dur di Sekretariat PCINU Mesir, Selasa (9/2) malam.

Selama belajar di Al-Azhar tersebut, Gus Dur tinggal di asrama Bu’uts. Gus Dur sekalipun hanya dua tahun berada di Mesir, namun bagi banyak orang, ia adalah seorang yang berani mempraktikkan semboyan bahwa mencari ilmu tidak cukup di bangku kuliah saja.

Hal ini terbukti bahwa selama Gus Dur belajar di Mesir banyak menghabiskan waktuya di perpustakaan untuk membaca buku dan mendalami segala disiplin ilmu. Hal ini juga pernah diutarakan oleh Ir H Iqbal Sullam, Wasekjen PBNU pada sambutannya setahun yang lalu ketika beliau melakukan kunjungan ke Mesir.

Peringatan 40 hari Gus Dur itu diisi dengan pembacaan surah Yasin dan Tahlil yang dalam hal ini dipimpin oleh Itho’ Athoillah, mahasiswa Al-Azhar asal Tebuireng Jombang dan do’a dipimpin oleh H Subhan Malik, mahasiswa asal Tambak Beras Jombang.

Selain acara tersebut, juga dilaksanakan shalat ghaib atas meninggalnya KH Ahamad Hafidz Ahmad, pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, putra dari KH Ahmad Bisri yang juga masih sepupu Gus Dur.
Selain PCINU Mesir, Ikatan Alumni Tebuireng yang berada di Mesir pada malam sebelumnya juga melaksanakan kegiatan yang sama bertempat di sekretariat Tebuireng Center (TC) dan mengundang seluruh anggota alumni almamater pesantren berbasis NU yang berada di Mesir.

Sebagian sikap dan pemikiran Gus Dur mendapat apresiasi dari beberapa ulama Syiah Indonesia.
“Gus Dur selalu menganjurkan kebaikan kepada kelompok minoritas, termasuk kita yang berpegang pada madzhab Ahlul Bait, Syiah. Kita merasa dibela Gus Dur dari beberapa kelompok yang akan membubarkan Syiah. Gus Dur juga selalu mengatakan bahwa Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah. Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah Indonesia, Hasan Dalil.

Namun satu hal yang menarik dari Gus Dur, kata Hasan Dalil, tidak pernah marah dan tersinggung jika dikritik. Hasan Dalil pun punya kesan pribadi dengan Gus Dur.

“Kita ulama Syiah datang pada beliau. Saya sebutkan pada beliau di kalangan atas elit dan intelektual, sudah memahami madzhab Ahlul Bait dan menghormati Ayatullah Imam Khomaini. Namun di kalangan sebagian NU di bawah ada yang masih berlaku keras pada kelompok Syiah. Saya contohkan peristiwa di Bangil. Ternyata Gus Dur langsung menelpon ulama NU Bangil dan memerintahkan untuk menjaga kelompok syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Ini luar biasa,” kata Hasan Dalil


Berikut Pernyataan Gusdur:




Ahlussunnah waljamaah sebagai ajaran telah ada sejak zaman Rasulullah saw. masih hidup, tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah realitas umat Islam secara keseluruhan.[1] Akan tetapi, Ahlussunnah waljamaah sebagai sebuah pola pemikiran, sejarah kelahiran pemikiran Ahlussunnah wal jamaah lahir dan berawal dari pertikaian politik umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.[2] Persoalan politik bermula dari siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad Saw., berlanjut kepada pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, penolakan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah serta mengkristal menjadi perang Shiffin yang berakhir pada peristiwa arbitrase (tahkim). Pertikaian politik tersebut berlanjut pada persoalan doktrin politik umat Islam, hingga permasalahan menjadi sangat rumit karena berdampak pada masalah keimanan, kaitannya dengan pelaksanaan hukum Islam, dosa, dan kekafiran.

Persoalan yang timbul dalam pertikaian antara Muawiyah dan Ali dijelaskan Ahmad Baso, Sebagai berikut:
“Muncul soal baru siapa yang benar di antara pihak-pihak yang bertikai. Siapakah yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman, Ali ataukah Muawiyah? Siapakah yang bersalah kasus konflik antara Ali dan Muawiyah? Kalau salah satunya ada yang benar, apakah yang lainnya dianggap berdosa? Patutkah para sahabat dianggap berdosa? Lalu siapakah yang menentukan orang ini beriman dan yang lain berdosa? Bagaimana mengukurnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat masing-masing pihak saling melempar tuduhan dan kesalahan, dan bahkan mulai mempermainkan sejumlah hadis untuk mendukung kepentingan kelompok mereka sendiri…”[3]

Peristiwa tahkim antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib menyisakan persoalan politik panjang hingga teologi seperti Sunni, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah, Jabariyah, dan Qodariyah beserta pandangan politik masing-masing kelompok hingga terbentuknya corak politik Islam seperti pada era kontemporer.[4] Peristiwa tahkim (mediasi) dengan mengacungkan Al Qur’an terjadi ketika Muawwiyah hampir dikalahkan pasukan Ali. Ali yang terkenal warra (hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim meskipun harus menunda kemenangan. yang terjadi berikutnya adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi khalifah, menggantikan Ali.



Referensi:
[1] Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi, “umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat, dan yang lain binasa, ditanya: siapakah golongan yang selalmat itu? Rasul menjawab: ahlussunnah wal Jama‘ah , ditanya: apakah ahlussunnah wal Jama‘ah itu? Rasul menjawab: yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku.” (HR Ibnu Majjah). AN. Nuril Huda, dkk, Ahlusunnah waljamaah (aswaja) menjawab Persoalan Tradisi dan kekinian, hal. 17.
[2] Ahmad Baso, NU Studies, hal. 74.
[3] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal. 67.
[4] Sunni merupakan nama lain dari ahlussunnah wal jamaah, syiah merupakan sebutan bagi kelompok pendukung Ali (shi’at Ali), Khawarij merupakan kelompok oposisi yang keluar dari barisan pendukung Ali dan tidak pula mendukung Muawiyah, Aliran Murji’ah, merupakan kelompok yang abstain terhadap konflik antar sahabat nabi dan memilih untuk menunda keputusan dan menunggu keputusan Allah. Aliran mu’tazilah, merupakan kelompok mengasingkan diri dari politik, serta selalu menggunakan pendekatan rasional dalam memecahkan masalah teologis. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam kehendak dan perbuatannya. Achmad M. Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, hal. 41.



Arkeologi dan genealogi[1] Ahlussunnah wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai epitimologis dan politis era kontemporer hingga periode Nabi Muhammad saw. Kaitannya dengan sejarah ahlusunnah waljamaah generasi kedua, setelah Ali yang terkenal warra (hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim meskipun harus menunda kemenangan, yang terjadi berikutnya adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi khalifah, menggantikan Ali.

Menghadapi kenyataan pahit tersebut, terdapat golongan Ali yang memisahkan diri karena kekecewaannya terhadap Ali. Mereka dikenal dengan istilah Khawarij, karena keluar dari barisan. Adapun pengikut setia Ali menamakan diri sebagai Syi’ah.

Kontradiksi antara kelompok Muawiyah dan Khawarij tidak hanya berkutat pada persoalan politik, tetapi juga merambah ke persoalan ketauhidan. Menurut Muawiyah, iman itu cukup mengikrarkan rukun iman saja. Akan tetapi, Khawarij mengatakan iman itu adalah keseluruhan antara ucapan dan perbuatan. Dalam pandangan khawarij, tidak ada ruang antara iman dan kafir. Artinya, jika orang beriman melakukan dosa, maka ia bias saja masuk neraka. Kemelut antara pemegang kekuasaan dengan oposisi ini melakirkan chaos, disintegrasi, dan disorientasi karena kehilangan sandaran panutan di antara kedua kubu ekstrimis tersebut.

Kelompok baru yang muncul adalah Murji’ah. Kelompok ini bersikap netral di antara kedua kubu, dan mengasingkan diri. Mereka lebih berfokus kepada moralitas, apolitis, dan kegiatan ilmu dan amal ibadah. Ada pula yang menyebut mereka Muktazilah karena mengasingkan diri dari politik. Kelompok Syiah pun meninggalkan dunia politik setelah Hasan bin Ali menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Muawiyah. Mereka pun berkonsentrasi pada kegiatan ilmu dan amal ibadah.

Pada masa berikutnya, kelompok netral tersebut menjadi gerakan apolitis karena ketetralan tersebut merupakan sikap politik lain di antara kedua kubu ekstrim. Adapun kegiatan ilmu dan amal yang diajarkan adalah seputar shalat, puasa, zakat, haji, dan amal ibadah yang sejenisnya. Sikapnya yang berlebihan dalam melaksanakan ibadah ini, menurut Baso, menyebabkan kaum ekstrimis lain, menanggapi situasi disorientatif krisis ditanggapi dengan cara beragama yang disorientatif pula[2].

Contohnya, keharusan terus menerus menangis dan mengingat siksa kubur dan akhirat.

Di antara kelompok ilmu dan amal yang apolitis tersebut, terdapat Hasan Al bashri yang menggugat kosep Jabariyah-Umayah. Gerakan ini menjadi penyambung Ahlussunnah waljamaah yang dilaksanakan generasi Nabi dan pada generasi berikutnya menjadi kelompok Ahlussunnah waljamaah yang dilembagakan. Sikapnya independen dan moderat, tidak memihak Ali maupun Muawiyah, menggugar teologi Jabariyahnya Muawiyah, berfokus pada gerakan moral dan amal ibadah.

Gerakan yang menyelaraskan akal dan wahyu ini menjadi alternatif di tengah krisis politik dan sosial yang terjadi. Dalam ajarannya, akal dijadikan pijakan berfikir sehingga kedzaliman adalah tirani penguasa yang dibuat atas kelalaiannya, bukan takdir tuhan. Lambat laun, gerakan ini dalam persoalan teologi menjadi kelompok Muktazilah , sementara dalam bidang fikih diteruskan oleh Abu hanifah. Melalui Muktazilah , gerakan moral ini menyatakan bahwa baik dan buruk adalah pilihan sendiri yang harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan Abu Hanifah melakukan oposisi dengan menyatakan Al Quran adalah makhluk, sekaligus mengugat doktrin jabariyah-Muawiyah, sekaligus menolak menolak legitimasi kekuasaannya pada wahyu tuhan.

Gerakan Muktazilah dan Hassan Al Bashri mengalami perbedaan masalah dosa besar. Muktazilah yang dipelopori Washil bin Atha mengajukan kosep lain antara memilih Muawiyah dan Khawarij, yakni posisi di antara dua posisi, yakni konsep fasik (orang beriman menjadi fasik karena berdosa, tidak menjadi kafir). Menurutnya, ia bisa membersihkan dosa tersebut dengan cara beriman.

Demikian juga persoalan politik, negara bisa kembali menggunakan moral jika para pelakunya bertaubat. Dalam hal ini, Washil bin Atha menyadari kosep taubat tidak serta merta mampu menyelesaikan persoalan politik yang bersifat public dengn taubat yang bersifat personal. Tindak lanjut kosepnya ialah menjalankan integralisasi antara agama dengan negara. Kebobrokan birokrasi saat itu menyebabkan ia mengadopsi kosep akal-filsafat yang biasa digunakan di Persia, salah satu kawasan yang merupakan kelanjutan peradaban Alexander dari tradisi Yunani.

Kesuksesan Muktazilah tersebut mencapai kejayaannya pada masa Abu Jafar Al Mansyur. Resolusi yang diambil adalah stabilitas politik dan sosial, penyeragaman disiplin keilmuan. Selain itu, abu Jafar Al Mansyur membangun dua kekuatan besar untuk membangun dinastinya, yaitu militer dan ilmuwan. Militer menjaga stabilitas dengan kekuatannya, adapun ilmuwan mengembangkan kesadaran pemikiran masyarakatnya. Maka, tidak heran jika banyak ilmuwan muslim lahir pada masa ini. Tentu saja, kosolidasi besar-besaran dalam bidang akal ini mengeliminasi kelompok penerus Hasan Al Bashri yang berfokus kepada ilmu dan amal ibadah.

Kekecewaan kelompok terakhir ini pada akhirnya melakukan perlawanan melalui pendekatan kultural. Jika kelompok penguasa melakukan hegemoni di wilayah militer dan struktur, maka kelompok ilmu dan amal melakukan gerakan masyarakat dengan memanfaatkan kebijakan kebebasan berekspresi dari penguasa. Perlawanan yang dipimpin Yazid ibnu Harun ini melahirkan ulama besar seperti Imam Hambali. Adapun karya-karya ulama penerusnya adalah kodifikasi hadis, fiqih, tafsir, sejarah, hingga politik. Tentu saja, selain menambah solidaritas para ulama, kebijakan ini memunculkan kritikan dan hujatan terhadap penguasa Abasiyah, bahkan tidak sedikit juga penghakiman terhadap lawan-lawan politik dan ideologi dengan klaim sesat dan kafir.

Dalam hal ini, penguasa menguasai struktur. Adapun Imam Hambali mampu memperluas pengaruhnya. Dengan pengaruhnya yang luas, Imam Hambali membakukan kelompoknya dengan nama Ahlussunnah waljamaah, yakni kelompok yang mengikuti tradisi nabi dan sahabatnya. Sebagai mana ajaran Alusunnah wal jamaah yang dikutif oleh Ahmad Baso atas pernyataan Imam hambali, adalah sebagai berikut:
“….tidak mengkafirkan seorang pun dari penganut tauhid karena adanya dosa yang dilakukan, mengembalikan segenap keputusan atas persoalan yang tidak jelas dan samar-samar kepada allah, serta melimpahkan segala urusannya kepada allah..

Dan juga (mengakui) bahwa Al quran itu kalam Allah (sabda Tuhan) dan wahyu yang diturunkan kepada umat manusia dan bukan “makhluk atau diciptakan, dan bahwa iman itu adalah ucapan dan tindakan sekaligus, yang bisa bertambah dan bisa pula berkurang.”[3]

Imam Hambali yang membawa kosep ini otomatis menggugat teologi Jabariyah, Qodariyah, Khawarij, Muktazilah , Murjiah, maupun Syiah . Doktrin ini dimanfaatkan oleh Al Makmun (anak kedua Harun Arrasyid) untuk melakukan pembantaian terhadap para ulama yang menyatakan Al Quran itu kalam tuhan untuk kepentingan politiknya.

Kemenangan pihak imam hambali terjadi ketika khalifah Al Mutawakil mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan segala bentuk diskusi, perdebatan dan pembahasan kalam. Otomatis, para ulama yang tadinya teralienasi mendapat posisi sentral, terutama untuk merehabilitasi disorientasi nilai, menjadikan Al Quran, sunnah, dan tradisi ulama salaf sebagai sandaran utama. Tentu saja, konsekuensinya adalah menjawab tantangan administrasi kenegaraan melalui pendekatan fiqih dan hadis yang secara praktis belum pernah bersinggungan dengan administrasi kenegaraan sehari-hari.


Referensi:
[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar sejarah kebenaran/ pengetahuan terletak pada peralihan fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi pengetahuan dengan relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 70.
[3] Baso, ibid, hal 79.



Arkeologi dan genealogi[1] Ahlussunnah wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai epitimologis dan politis era kontemporer hingga periode Nabi Muhammad saw. keterkaitannya dengan sejarah ahlusunnah generasi ketiga, tokoh yang berhasil merumuskan teoritisasi dan konsolidasi Ahlussunnah waljamaah ialah Imam Asy’ari, salah seorang tokoh yang keluar dari Muktazilah .[2]

Di satu sisi ia mempertahankan pedoman pada Al Quran dan sunnah, sementara di pihak lain ia mempercayai akal sebagai pijakan berpikir. Lebih jauh lagi, ia bermaksud menjawab gerakan Syiah yang mempertanyakan legitimasi kekhalifahan. Hal ini dikarenakan pada masa itu, Khawarij dan Muktazilah telah hancur sehingga lawan politik Ahlussunnah waljamaah hanya Syiah . Perbedaan Syiah dengan Muktazilah ialah Muktazilah tidak pernah menggunakan legitimasi agama sebagai legalitas politiknya, sementara Syiah mendasarkan imamahnya pada hadis nabi tentang wasiat kepada Ali sebagi pengganti Nabi.

Menurut Baso, untuk menjawab legalitas kekhalifahan, Imam Asy’ari merujuk kepada pendasaran keabsahan kepemimpinan sunni, terutama khulafaurrasyidin, dari tentang empat landasan hukum Islam seperti yang dilakukan Imam syafi’i, yaitu Al Quran dan hadis, ijma’ dan Qiyas. Dalam problematika ijmak, ia mendasarkan legalitas pemilihan sahabat Abu Bakar pada konsensus para sahabat. Jika kepemimpinan Abu Bakar sah, maka secara qiyas, kekhalifahan sahabat lain pun menjadi absah, sehingga kekhalifahan pada masanya pun sama pula absahnya.[3]

Berdasarkan pada kosep tersebut, tradisi salaf pun menjadi kekuatan untuk menentukan suatu hukum melalui pijakan ijmak dan qiyas. Berdasarkan hal ini pula konsep jamaah sebagai tindak lanjut dari otoritas salaf mempunyai relevansinya dengan Ahlussunnah waljamaah. Dengan komparasi antara Al Quran dan sunnah sebagai nash dan ijmak serta qiyas sebagai kekuatan hukum rasional mampu menjadi rujukan pemecahan persoalan kontemporer secara relevan karena mampu melihat persoalan berdasarkan kesesuaian nash, dan masa lalu, masa kini, serta masa depan. Hal ini lebih memiliki progresivitas dibanding dengan pendekatan Imam Hambali yang bercorak tekstual dan kaku dalam merespon permasalahan. Lebih lauh lagi, teoritisasi Imam Asyari ini membuat geram Ibnu Taimiyah, pengikut Imam hambali yang bercorak literal.

Pendekatan qiyas yang rasional ini dikembangkan Asy’ari hampir serupa dengan konsep Muktazilah tentang pendekatan rasio. Bedanya, dalam pemikiran Muktazilah, terdapat doktrin al aql qobla wururud as-samiy (akal didahulukan sebelum adanya teks), adapun dalam pemahaman Asy’ari rasio sekedar dipakai sebagai dasar untuk mengukuhkan argumen yang dipakai sebelumnya. Adapun kesamaan Asy’ari dan Muktazilah adalah konsep istidlal bisy-syahid ‘ala al ghaib, yakni suatu bentuk penalaran yang berangkat dari penalaran inderawi untuk mengukuhkan yang ghaib (ketuhanan).
Dalam pemahamannya terhadap hubungan antara agama dengan negara, pelembagaan kosep Imam Asyari ini diteruskan oleh Imam Ghazali dengan komparasi generasi salaf dan tradisi gnosis (irfan) neo-platonisme dan logika Aristoteles dan menjadi warisan umat islam hingga era kontemporer.

Penyatuan antara agama dengan politik direkonstruksi Imam Ghazali menjadi kesatuan integral antara agama, dunia, dan negara. Proses sejarah panjang Ahlusunah waljamaah sejak zaman nabi Muhammad saw. hingga Imam Ghazali saling bersinggungan dengan berbagai sekte lain sehingga menimbulkan keseimbangan antara agama, dunia, dan negara tersebut.

Politik menurut Ahlussunnah waljamaah diposisikan bukan sebagai tujuan maupun rukun iman, melainkan alat untuk mencapai kemaslahatan umat. Demikian halnya dengan sifat Negara yang duniawi dan profan menyebabkan Negara bebas dikritik jika tidak sesuai dengan prinsip syariat.

Akan tetapi seperti dikatakan di muka, tradisi tawasuth Ahlussunnah waljamaah menyebabkan banyaknya corak pemikiran tentang politik. Di samping Imam Ghazali tentang penyatuan harmonisasi agama dengan negara, Ibnu Rusyd mempunyai kosep sekularisasi antara agama dengan negara. Pemikiran tersebut terinspirasi oleh pemikiran Ibn Hazm tentang kritik atas otoritas Assyafii, Asyari, dan Ibnu Rusyd al jadd.


Referensi:
[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar sejarah kebenaran/ pengetahuan terletak pada peralihan fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi pengetahuan dengan relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2] A. Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, hal 48[3] A. Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 88.

(Abdurrahmanwahid-Gusdur/Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: