Tuhan Salafi Jelas Berbentuk!
Jika dikatakan bahwa kalian wahai orang=orang Salafi/Wahabi adalah Mujassimah! Kalian marah, dan menepisnya dengan mengatakan bahwa kami adalah pengikut Salaf Shaleh! Kami memurnikan Tauhid! Kami Mensifati Allah SWT dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya sifati Diri-Nya!!
Akan tetapi semua akidah kalian tentang ketuhanan dengan terang menunjukkan bahwa Tuhyan kalian itu berbentuk, berfisik, terdiri dari beberapa angoota seperti tangan, betis, wajah, mata, telinga…
sebagaimana kalian juga mensifatinya dengan sifat makhluk_nya seperti berlari-lari kecil, naik dan turun.. bersemayam di attas Arsy yang dipikul delapan ekor kambing hutan yang kalian artikan malaikat berbentuk kambing jantan… dan lain sebagainya dari akidaah menyimpang dan kental dengan tajsim!
Kini, kalian mensifati Tuhan kalian dengan bertambah berat bobot tubuh-Nya apabila ia murka… entah apa relevansinya antara murka dengan bertambah boot badan? Apa karena “ngeden” (dalam bahasa jawa negeden pasti Anda mengerti maknanya)…. ? Atau karena sebab lain?
Yang pasti demikian akidah kalian!!
Ini buktinya!!
Perhatikan baik-baik!
Maka beliau menjawab: “Ya, benar. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran… “
Terjemah:
“Dan sesungguhnya ar Rahman (Allah) membuat barat atas para pemikul Arsy sejak awal siang… “
Subhanallah, Maha Suci Allah dari pensifatan kaum penyimpang!
Apakah kalian setuju dengan akidah seperti ini?
=====================================
kesimpulan :
Ulama Sunni Menipu Umat !!!!!!!!!!!!!!!!!!
Syi’ah menolak ajaran Abu Hasan Al Asy’ari yang menyatakan Allah berada di arsy, menolak ajaran bahwa Allah punya tangan – wajah – mata yang zhahir…
Syi’ah menolak paham Allah bersemayam di langit di arsy secara zahir…
Umat Islam Indonesia adalah ahlus sunnah waljama’ah, yang mayoritasnya adalah pengikut Aqidah Asy’ariyyah. Aqidah Asy’ariyyah ditandai dengan keimanan kepada sifat 20; serta menakwil sifat-sifat Allah yang lainnya.
para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya.
Umat Islam Indonesia adalah ahlus sunnah waljama’ah, yang mayoritasnya adalah pengikut Aqidah Asy’ariyyah. Aqidah Asy’ariyyah ditandai dengan keimanan kepada sifat 20; serta menakwil sifat-sifat Allah yang lainnya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok salaf sunni, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.
Para ulama salaf sunni sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125).
Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H) yaitu Allah SWT memiliki wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain tetapi berbeda dengan makhluk, akidah seperti ini adalah akidah salafi wahabi yang dicela Nahdlatul Ulama dan Asya’irah
(2) Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Siapa yang merenungkan kitab Shahih BUKHARi dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara.
Asya’irah Menentang Abu Hasan Al Asy’ari !!! Kontradiksi
Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852).
Kesimpulan :
Akidah syi’ah imamiyah menta’wilkan tangan Allah, menta’wilkan wajah Allah dll
Jadi yang sesat Abu Hasan Al Asy’ari ataukah syi’ah imamiyah ???
Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:
Meyakini sifat 20 menjadi kewajiban umat islam Sunni dengan alasan alasan akal…
Penyusun daftar akidah sifat 20 adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf As Sanusi (833 – 895 H / 1427 – 1490 M ) atau popular dengan panggilan Syaikh Sanusi dari Tilimsan Negara Al Jazair, beliau mengarang kitab UMMUL BARAHiN (Aqidah Sughra).
Sifat 20 atau akidah 50 merupakan tahrif terhadap sifat sifat Allah SWT
Apakah itu yang namanya tauhid ???
Saudaraku…
Yang pasti tidak ada dalil yang menyatakan sifat wajib Allah SWT cuma dua puluh…
Lagipula Nabi SAW, sahabat dan para imam ahlul bait tidak pernah menyebut nyebut sifat 20 ataupun akidah 50…
Pemahaman “Sifat Allah Yang Wajib Cuma 20″ bukan kebenaran mutlak dan bisa dikritik.
Pada masa Nabi SAW, akidah belum bercampur dengan unsur unsur budaya luar, masalah baru muncul saat wilayah Islam meluas ke daerah non Arab yang mana daerah daerah tersebut sudah memiliki budaya sendiri…
Ilmu kalam pesantren menyusun akidah wajib dengan pemahaman filosofis sehingga sesuatu yang sebenarnya masih dalam tahap filsafat teoritis dinaikkan tingkat menjadi akidah…
Padahal yang namanya filsafat teoritis masih bersifat praduga sehingga mazhab sunni tidak lagi mengenal yang mana akidah dan yang mana filsafat…
Pandangan filosofis dianggap kebenaran mutlak dan disamarkan menjadi akidah wajib, disitulah letak kesalahan Asy’ari dan penerus penerusnya.
Misal : Terminologi seperti jauhar, jisim, ‘aradh, jirim, jauhar fard dan daur tasalsul dalam kitab kuning sunni itu bukanlah akidah tetapi filsafat teoritis yang dipakai untuk membahas materi.
Mareka mentahrif sifat Allah menjadi Cuma 20 saja, apakah itu kerjaan umat Islam dan apa itu yang namanya tauhid ???
Pemikiran kalam tentang Sifat 20 sudah banyak yang kritik, tetapi sudah enak. Kalau mereka mau dikritik maka tidak mungkin umat islam hari ini selemah sekarang..
Dalam Al Quran ada 1108 ayat tentang sains tetapi ulama sunni tidak menelitinya secara mendalam sehingga menimbulkan ekses yang sangat buruk bagi perkembangan Islam
Kita diperintah meneliti alam (apa yang ada dilangit dan dibumi) atau meneliti makhluk Nya, mengapa ulama sunni mengabaikan perintah tersebut lalu sibuk meneliti yang tidak dianjurkan yaitu Zat Nya…
Kitab kuning dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak ada budaya kritik, memunculkan kekakuan pemikiran !!!
Misal : Menurut mereka, orang yang mampu menghapal sifat 20 atau akidah 50 sudah dianggap tauhidnya mendalam…
Doktrin dan pendidikan agama di sekolah harus ditulis ulang, jangan berhenti berijtihad kontemporer dalam segala aspek.
Berimanlah kepada ayat ayat Allah secara total tanpa memilah antara ayat ayat alam dengan ayat ayat syari’at.
Setiap gagasan teologi dalam kitab kuning harus dikaji ulang. Ulama sunni jangan mengharamkan apalagi mengkafirkan orang orang yang melakukan pengkajian tersebut.
Faktanya, untuk memperbaiki gagasan teologi tersebut sangat sulit karena dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak boleh ada ijtihad susulan…
Tauhid pada kitab kuning sunni sulit di revisi karena manusia tidak mau memakai AKAL yang telah ALLAH berikan…
Apa dampak buruk kalam dan manthiq Yunani seperti aristoteles terhadap mazhab sunni ??
Jawab :
Dampak buruknya adalah menyerupakan Tuhan dengan makhluk, sebab titik tolak logika Aristoteles yang tidak berbasis wahyu kan bertentangan dengan logika yang berbasis wahyu.
Allah SWT bukanlah objek yang bisa dijadikan objek eksperimen oleh ulama sunni.. Ahli kalam sunni terlalu berani membuat eksperimen terhadap Dia. Dia Yang Agung yang tidak dapat dicapai oleh pandangan materi…
Penjabaran kalam sunni terlalu dipaksakan padahal Allah SWT tidak pernah meminta kita untuk meneliti Zat Nya, tetapi yang diminta adalah meneliti ciptaan Nya agar semakin mengenal Dia
Apa dampak fatal manthiq Aristoteles terhadap akidah sunni ??
Jawab :
Manthiq aristoteles dengan tolak ukur materi sedangkan Allah SWT immateri (transedent) sehingga logika aristoteles tidak bisa dijadikan akidah, karena akidah Islam tidak butuh filsafat yunani dalam penjabaran
Yang pasti Allah SWT memerintahkan kita meneliti Alam agar mengenal Nya, jadi bukan dengan meneliti Zat Nya…
Pada tauhid asma’ wa shifat hingga detik ini masih memunculkan polemic berkepanjangan antara hambaliyyah (termasuk wahabi) dengan kaum sunni tradisional seperti NU.
Sifat Allah SWT adalah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at Nya…
Akal ahlul kalam sunni mempunyai batasan karena pengaruh ruang dan waktu, sementara Allah SWT tidak dibatasi oleh ruang dan waktu…
Teori jauhar, ‘aradh, jisim dll YANG SERiNG DiSEBUT SEBUT DALAM KiTAB KUNiNG hanya berlaku untuk materi, bukan untuk membuktikan ada atau tidaknya Allah SWT karena Allah adalah immateri, tentu tidak bisa ditentukan keberadaan Nya dengan teori teori materi apalagi dengan teori yang masih bersifat trial and error (coba coba bisa gagal).
Kitab kuning teologi sunni banyak memakai istilah istilah Yunani untuk memahami tentang materi berdasarkan teori kebendaan.. lalu mereka pakai untuk menentukan keberadaan Allah SWT.
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin.
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”.Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam ).
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71).
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
bahwa kalam Asy’ari dan tasawuf adalah penyebab kemunduran Sunni walaupun Asy’ariyah dan sufi telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah dan sufi sangat terbelakang di banding Barat.
Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat.
Setiap generasi memiliki tantangan yang khas. Setiap tantangan menghasilkan pemecahan yang khas pula. Maka dari itu, tidak mengherankan satu peradaban yang dibangun oleh generasi tertentu memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan peradaban yang dibangun oleh generasi yang lain. Setiap keunikan dalam peradaban tersebut adalah kebaikan dalam dirinya sendiri. Artinya adalah bahwa tidak setiap kebaikan yang ada pada masa tertentu adalah kebaikan juga pada masa yang lain.Untuk itu perubahan demi perubahan seharusnya diupayakan sebagai usaha pembaruan sebagai respon dari tantangan zaman.
Mu’tazilah dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21).
melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414).
Rumusan klasik di bidang teologi sunni yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw.
Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya.
Namun, untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Merekontruksi teologi sunni klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia.
Rumusan klasik sunni di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari fakta-fakta nyata kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif.
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya).
Oleh karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar Islam lebih survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka perlu adanya perubahan diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
metodologi teologi sunni tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya.
teologi sunni tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial maka perlu beralih ke teologi syi’ah.
Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
“…Jika para pendahulu telah memulai muqaddimah konvensional mereka yang bersifat keimanan itu dengan nama Allah;
maka kami memulainya atas nama bumi yang terampas, atas nama kemerdekaan, atas nama kebaikan,atas nama perlawanan, atas nama persamaan dan keadilan, atas nama persatuan umat, atas nama kemajuan,atas nama kebangkitan umat, atas nama cinta kemurnian, atas nama mereka yang terbungkam, dan atas nama seluruh kaum Muslimin yang tertindas…”
Teologi sunni yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam sunni juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.
Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran.
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena sinkritis ini tampak jelas dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
Dalam kitab kuning Pesantren tradisional yaitu Kitab “Kifayatul Awam” : Menurut abu hasan al asy’ari “Wujud adalah maujud itu sendiri maka wujud Allah Ta’ala adalah Zat Nya sendiri, maka jadilah wujud itu bukan sifat, maka jadilah sifat sifat yang wajib itu 12”
Saudaraku…
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa sifat ma’nawiyah itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( sumber kutipan : Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997).
Saudaraku…
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam ).
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71).
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
saudaraku…
Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi sunni klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat.
istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.
analisa realitas perlu dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
teologi sunni dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin saya terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati.
————————————————————————————————————–
Khusus tentang kepercayaan kepada Allah dan Rasul, aliran tradisional membahas hukum hukum akal ( law of reason ) yang terbagi dalam tiga kategori : wajib, mustahil, dan jaiz.. Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles.
Sumber kutipan :
1. Mohd. Nor Ngah, Kitab Jawi : Islamic Thought Of The Malay Muslim Scholars ( Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 1982 ) halaman 9
2. Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997
————————————————————————————————————–
Jawaban kami :
Hukum akal terbagi tiga menurut kaum sunni :
- Wajib pada akal
- Mustahil pada akal
- Jaiz pada akal
Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles
Apakah akidah kepada Allah dan Rasul bisa tegak dengan memakai akal akalan ulama penulis kitab kuning ????? Pantas lah umat sunni mundur dalam pengamalan akidah !!!!!!!!!
saudaraku….
IFTIQAR – Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt
saudaraku….
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin.
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran, sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam ).
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71).
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
Lalu bagaimana dengan hadits:
“Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah.” [Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677].
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
“Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah“
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya. Selain itu kalimat “…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah” bukan merupakan kalimat tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: “Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh”. Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya.
“Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”.
nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. “Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”.
——————————————————————————————
….. Demikianlah ciri ciri utama pemikiran tradisionalisme tentang ilmu tauhid yang bertolak dari Rukun Iman. Diantara rukun rukun tersebut, rukun yang pertama atau kepercayaan kepada Allah lebih dominant. Meskipun rukun ini diutamakan, tetapi hanya berpusat pada ajaran sifat 20. Konsep akidah seperti ini bukan saja dipengaruhi dialektika yunani dan logika aristoteles, bahkan dianggap sempit dan tidak menyentuh kehidupan manusia.
Memerlukan cara baru untuk menulis teologi. Keadaan sosial, politik dan filsafat banyak pengaruhnya terhadap perkembangan teologi dalam Islam, dengan tidak mengetahui hal hal tersebut, pengetahuan kita tentang teologi Islam akan terasa kurang mempunyai dasar yang kukuh…
Sumber kutipan :
Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997
——————————————————————————————
Khusus tentang kepercayaan kepada Allah dan Rasul, aliran tradisional membahas hukum hukum akal ( law of reason ) yang terbagi dalam tiga kategori : wajib, mustahil, dan jaiz.. Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles
Sumber kutipan :
a. Mohd. Nor Ngah, Kitab Jawi : Islamic Thought Of The Malay Muslim Scholars ( Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 1982 ) halaman 9
b. Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997
—————————————————————
Saudaraku….
Kritik dilancarkan terhadap ajaran tauhid tradisional yang mengajarkan sifat 20 yang dianggap berasaskan logika aristoteles (Sumber kutipan : A. Hassan, Kitab Al Tauhid (Penang: Persama Press, 1959) hal. 23 -24…. Nik Mohyideen Musa, Pelajaran Ilmu Tauhid ( Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979 ) halaman 102-104
—————————————————————
Saudaraku….
Mengenai kepercayaan kepada Nabi dan Rasul, pembahasannnya juga menggunakan hukum hukum akal. Ada empat sifat wajib, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Sedangkan sifat mustahil ialah yang berlawanan dengan keempat sifat ini. Sifat jaiz bagi rasul ialah sifat sifat sebagai manusia biasa yang tidak merendahkan martabat mereka sebagai Nabi dan Rasul ( Sumber kutipan : Hussain bin Nasir Al Banjari, Tamrin al Sibyan, halaman 14-15 ; idem, Hidayat Al Sibyan, halaman 7; Haji Mohd. Sharif bin Abdul Rahman, al Muqaddimah Al Tauhidiyah (Pulau Pinang : Abdullah B.M. nurdin Al Rawi, 1959), halaman 8-9.
Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Saya melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung ingin tahu wujud Tuhan menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik.
Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang.
Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogannya yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Syi’ah mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru.
adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat.
Artinya, teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata.
Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam keseluruhan sistem serta bangunan keberagamaan kaum Muslim. Keabsahan semua rangkaian upacara keagamaan mereka sangat bergantung pada eksistensi tauhidnya.
Membahas masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, 1903:9).
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46).
Sementara Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8).
Di samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya, semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.
Dengan demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat mirip sebuah ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praksis untuk menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.
Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian berkarakter subversif: menantang mainstream status quo dan memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik, tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan transformatif.
Namun, seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Diskursus teologi yang pada awalnya berkorelasi kuat dengan kenyataan aktual kemanusiaan, direduksi sedemikian rupa menjadi kumpulan wacana spekulatif yang tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan yang hidup dalam gerak sejarah. Berkembangnya tradisi keilmuan baru yang mewujud pada kerja sistematisasi, penyusunan formal (al-tadwin) dan spesialisasi bidang keilmuan, menyebabkan doktrin-doktrin tauhid tertransformasi ke dalam bangunan doktrinal baku, tertutup, teoritik dan kurang memiliki daya dorong sosial.
Tauhid hanya mampu bergaung dalam karya-karya tulis, bukan berkibar di medan-medan tempur sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw. Demikianlah, ajaran tauhid kehilangan fungsi transformasinya. Ironisnya, pemahaman ajaran tauhid model ini yang kemudian diwarisi generasi umat Islam hingga sekarang.
Berpijak pada kemandegan pemikiran di bidang teologis yang tidak lagi memiliki fungsi sosial transformatif inilah, diperlukan penggalian ulang spirit of theology yang leberatif, progresif dan berkorelasi sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai core teologinya beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam konteks ini pembahasan tulisan ini difokuskan agar bisa keluar dari kungkungan dogmatis dan menawarkan metode pendekatan baru agar bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu kalam.
Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar, teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat.
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. AlQur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal.
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi.
Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.
Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek.
saya melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari’atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-‘adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam.
Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah.
Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Pemahaman tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu ‘aqidah iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
Konsep Keadilan Sosial
Konsep keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-‘adl).
teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda.
Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-‘adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia.
Artinya realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula hanya akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia”, seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan menindas.
Konsep Spirituaitas Pembebasan
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan.
Oleh sebab itu, selain menumpukan diri pada gagasan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan.
Dalam pada itu Isam sebagai entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak. Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya mengambi jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan “mengubah manusia untuk mengubah dunia”.
Rekomendasi ini niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan dan mandulnya beragan paradigma teologi Islam yang dianut mereka untuk memotivasi berlangsungnya proses transformasi sosial. Dua kenyataan inilah yang secara langsung menjadi basis historis mengapa rekontruksi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik kesimpulan betapa Islam dalam proses sejarah telah semakin jauh dari rasionalitas Tuhan ketika ia diturunkan.
Terkait itulah rekontruksi terhadap teologi warisan Islam klasik ini menjadi hal yang sangat strategis guna memulai transformasi sosial umat secara total. Redefinisi teologi Islam klasik menuju teologi Islam yang transformatif akan memberikan signifikansi bagi kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks (Qur’an/hadits, ide-ide kemanusiaan) dan konteks kekinian. Pada saat berbarengan ia berpotensi pula menjadi motivasi reigius bagi umat untuk melakukan transformatif atas realitas ketertindasan yang mengkungkung mereka baik berupa ideologi Barat seperti developmentalisme atau kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri, termasuk “nilai-nilai agama”.
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis antropomorpisme itu penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni pertama, dilevel wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad pertengahan, khususnya, di ranah teoogi. Disitu jargon-jargon semisal “membuka pintu Ijtihad” disatu sisi dan berlawanan dengan “pintu ijtihad telah tertutup” pada sisi yang lain akan menemukan momentum dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, dehumanisasi, dan sejenisnya.
Pada saat yang sama ia akan mendorong pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan sesuatu yang sudah dipastikan, seperti pemahaman teologi tradisional, melainkan sudah bersifat sosial—-tercipta oleh struktur-sistem yang memang menghendaki demikian.
Paling tidak melalui dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali menjadi menemukan memontumnya dan akan dikagumi baik bagi umat Islam sendiri maupun dunia Barat.
Hari ini banyak perkara yang telah hilang dari umat Islam. Di antaranya ialah ilmu dan hikmah, kasih sayang, perpaduan, empayar, jemaah dan ummah. Mungkin kerana itu hilanglah wibawa umat Islam. Bila umat Islam tidak ada wibawa ertinya tidak ada kekuatan, lemah dan lumpuh. Akhirnya umat Islam seluruh dunia hari ini macam kain buruk atau debu-debu yang berterbangan yang tidak ada harga satu sen pun atau ibarat buih-buih di laut yang dipecah belahkan oleh ombak laut. Itulah yang sedang berlaku pada dunia Islam hari ini, akibat dari itu umat Islam menjadi hina. Hina disebabkan dijajah tapi jajah bentuk baru bukan bentuk lama. Penjajahan bentuk lama bersifat fizikal, tapi bentuk baru ini, kalau orang itu tidak kuat dengan Tuhan tidak prihatin, bukan sahaja awamul muslimin, ulama dan pemimpin Islam pun tidak faham, bahkan ulama dan pemimpin Islam sudah anggap kita sudah merdeka hari ini padahal kalau kita prihatin umat Islam hari ini dijajah bentuk baru. Penjajahan secara bentuk baru inilah yang umat Islam termasuk pemimpin dan ulama tidak faham.
Penjajahan bentuk baru yang sedang berlaku pada umat Islam hari ini yang besar-besarnya ialah:
Pendidikan dan pengaruh Mu’tazilah tidak bisa dilepaskan dari al-Asy’ari yang dibuktikan dengan dialektiaka yang tetap ia gunakan meskipun sudah keluar dari Mu’tazilah. Hanya saja ia menggunakan pendekatan dialektis dan logis untuk mendukung pendapatnya dalam mengukuhkan madzhab Asy’ariyah. Ia menggunakan filsafat bukan sebagai kebenaran itu filsafat itu sendiri, tetapi ia memakainya sebagai alat untuk mengungkap dan memperjelas argumennya.
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy’ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy’ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dan kelemahan itu diantaranya:
.
• Asy’ari cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
• Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
• Konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.
Dari uraian-uraian diatas kita bisa mengetahui berbagai polemic-polemik permasalahan yang muncul pada tubuh Asy’ariah dalam doktrin aqidah islamiah. Di satu sisi karena pangaruh Al Ghozali dengan paparan argumenya yang logis, Asy’ariah bisa berkembang dengan begitu pesat, di sisi lain Asy’ariah seakan mambodohi masyarakat dengan konsep kasb nya yang sulit untuk dimengerti dan malah cenderung membingungkan banyak orang. Malah di sebutkan dalam kitab Jawharat al-Tawhid,
Wa ‘indana li al-‘abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu’atstsir-an fa ‘l-ta’rifa
Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb, Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh.
Jadi, intinya manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya.
dalam proses perkembangan paham Asy’ari, konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya
Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Barangkali di masa itu kebutuhan untuk menjawab tantangan aqidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena di masa itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen kalangan ahli logika ketika menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode aqidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Bila dilihat dari kaca lain seperti di zaman di mana tantangan akal ini tidak lagi mendominasi, bisa saja terasa agak janggal karena metode akal atau rasio yang digunakan terasa kurang relevan lagi.
Karena itu wajar bila dikritisi lebih detail, ada saja hal-hal yang dirasa kurang pas dan relevan lagi. Sebagian para pengkritik menyataskan bahwa paham As’ariyah menyalahi ahlussunnah wa al-jamaah dalam lima belas masalah, salah satunya adalah masalah asma’ dan sifat. Meski demikian, para pendukung mazhab Asy‘ari juga punya argumen yang membenarkan pendapat mereka.
Penyebaran Aqidah Asy-”ariyah
Aqidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul Muluk pad dinasti ani Saljuq dan seolah menjadi aqidah resmi negara.
Semakin berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah,baik yang ada di Baghdad maupun di kotaNaisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi”i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa aqidah Asy-”ariyah ini adalah aqidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Para Ulama yang Berpaham Asy-”ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham aqidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
* Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
* Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
* Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
* Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
* Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Cak Nur juga menyoroti sisi kelemahan paham ini untuk dijadikan bahan refleksi. Kelemahan paham Asy’ariyah menurut Cak Nur terletak pada Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Al-Asy’ari sebetulnya hendak menengahi dua kubu ekstrim yang berkembang ketika itu. Kedua kubu tersebut adalah paham Jabariyah yang cenderung fatalistik dan menganggap manusia ibarat robot, sudah didesain dan dikendalikan. Namun paham ini ditolak oleh Qadariyah, mengatakan manusia mempunyai kebebasan bertindak dan menentukan pilihan (free will). Al-Asy’ari memberikan format baru dengan konsep kasb. Tetapi konsep tersebut dipandang sulit dipahami oleh Cak Nur dan cenderung fatalistik. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.
Cak Nur lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiah, tokoh reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua tindakan manusia tidak dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap mempunyai kemerdekaan bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan kehendak (iradah) yang dengannya manusia mampu memilih jalan hidup.
Sangat tampak kritisisme Cak Nur dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan dan absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa yang dimaksudkan al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic sekalipun dalam syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan manusia tidak bebas dan tidak pula terpaksa. Dalam hemat penulis apa yang dimaksudkan Ibnu Taymiah juga dimaksudkan oleh al-Asy’ari. Kelihatannya al-Asy’ari menemui kesulitan untuk menjelaskan maksud itu. Namun, tawaran Cak Nur juga baik karena yang dilihat adalah aspek kemaslahatan supaya konsep free will lebih mudah dipahami.
Sebetulnya antara al-Asy’ari dan Ibnu Taymiah juga sepakah ketidak-setujuan keduanya terhadap pendekatan Qadariyah atau pun Jabariyah. Keduanya hendak menengahi antara kedua kubu sehingga konsepnya lebih bisa diterima. Sebab, sikap moderat adalah kecenderungan mayoritas. Tetapi bukan masalah kecenderungan—dalam hemat penulis—tetapi pijakan kedua tokoh itu konsistensi pada kebenaran.
Secara eksplisit tulisan Cak Nur menjelaskan, di samping keunggulan di bidang metodologi, kelebihan paham Asy’ariyah juga karena kepiawaian pendirinya memanfaatkan logika dan filsafat untuk menjelaskan konsep Asy’ariyah. Melalui kekuatan argumentasinya ia mampu memukau ilmuan modern dan teolog Kristen.
Paham teologi Asy’ari termasuk paham teologi tradisional, yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu’tazilah dan Salafiyah, tetapi “benang merah” sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak Mu’tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]
Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy’ari lebih baik memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas. Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy’ari juga tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri. Sebenarnya, nama asli Imam Asy’ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy’ari. [3] Panggilan akrabnya Abu al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M [5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Abu al-Hasan al-Asy’ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya, yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil. Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’kub, Abdur Rahman Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih Syafi’i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340 H./951 M.) -seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Sampai umur empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba’i, serta ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu’tazilah. [9]
Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Untuk hal ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab meninggalkan atau keluar dari Mu’tazilah. Sebab klasik yang biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran pokok Mu’tazilah, yaitu masalah “keadilan Tuhan.” Mu’tazilah berpendapat, “semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu, kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa ‘l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy’ari (A) – Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam keadaan masih kecil.
Aldubba’i (J) – yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.
A – Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih baik di Sorga, mungkinkah?
J – Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.
A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang taqwa itu.
J – Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu, jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah – Red) matikan engkau adalah untuk kemaslahatanmu.
A – Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, “Ya Tuhanku Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?
Al-Jubba’i menjawab, “Engkau gila, (dalam riwayat lain dikatakan, bahwa Al-Jubba’i hanya terdiam dan tidak menjawab). [11]
Dalam percakapan di atas, al-Jubba’i, jagoan Mu’tazilah itu, tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh al-Asy’ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy’ari sendiri untuk memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang Mu’tazilah.
Bagi Mu’tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang disana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab, tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan orang-orang yang taqwa.
Di alam akhirat, menurut Mu’tazilah, tidak ada lagi perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah mendapati al-Wa’ad wa al-Wa’id. Dia sudah menepati janji. Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak rasional.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah karena pernah bermimpi melihat Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.[15]
Diriwayatkan bahwa al-Asy’ari sebelum mengambil keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu naik mimbar dan menyampaikan:
“Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah makhluk; Allah swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar dari kekejian dan skandal Mu’tazilah.” [16]
Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal, sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi kesamaan yang sangat mirip.
Al-Asy’ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar pada Mu’tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali, sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran al-Asy’ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy’ari memakai ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang Mu’tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat, penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan bid’ah dan kufur. Al-Asy’ari melakukan sanggahan terhadap Mu’tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran Mu’tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam, kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu, baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut al-Falasifah (kesalahan para filsuf). Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa al-Asy’ari adalah para tokoh Mu’tazilah, karena itu sanggahannya tertuju langsung pada Mu’tazilah. Sementara para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional Mu’tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap aliran al-Asy’ari harus dengan tegas pula melakukan sanggahan terhadap filsuf.
Pemikiran al-Asy’ari yang asli baru dapat diketahui setelah ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu’tazilah dan pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur’an.[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang sakral dianggap suatu bid’ah. Setiap dogma harus dipercayai tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui ajaran-ajaran al-Asy’ari, kita dapat melihat pada kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:
1. Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:
a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu’tazilah.
3. Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala ahl al-Zaigh wa al-bida’, berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu Kalam.
Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma’. Yang pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu’tazilah. Sedangkan buku kedua (al-Luma’), peranan akal lebih tinggi dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu kalam. [19]
Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy’ari pada kitabnya al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar dari Mu’tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi, sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap Mu’tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh, maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya, menampakkan sikap bencinya terhadap Mu’tazilah lebih nyata. Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis langsung setelah al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah. Lain halnya dengan kitabnya al-Luma’, yang ditulis setelah kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy’ari dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma’, argumentasi rasional al-Asy’ari menonjol kembali dalam memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi metaforisnya (ta’wil). Kecenderungannya pada metode kaum Mu’tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak paham teologi al-Asy’ari.
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya lagi untuk keluar.
Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah barang tentu al-Asy’ari berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm). Yang benar, Tuhan itu mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya, bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. [20]
Disini terlihat, al-Asy’ari menetapkan sifat kepada Tuhan seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah, sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, “Siapa yang tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi: “Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku,” lalu ia langsung mengatakan, wajib dipotong tangannya.” [21]
Lain halnya dengan al-Asy’ari, baginya arti sifat tidak jauh berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi al-Asy’ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat, dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy’ari yang seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari paradoks. [22]
Bagi Mu’tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang mengetahui (‘Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan (‘Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah) bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya, menafsirkan kelemahan Allah. [23]
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy’ari yang lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu, al-Asy’ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak dapat dilihat, kata al-Asy’ari, hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena itu dapat dilihat. [24]
Argumen al-Qur’an yang dimajukannya antara lain,
“Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada Allah” (QS. al-Qiyamah: 22-23).
Menurut al-Asy’ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa berarti memikirkan seperti pendapat Mu’tazilah, karena akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti berarti melihat dengan mata kepala. [25]
Sungguhpun al-Asy’ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala, namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan, tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy’ari memerlukan pula untuk menafsirkan atau menta’wilkan ayat yang berikut ini:
Artinya: “Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia dapat mengangkat penglihatannya.” (al-An’am: 103) Ayat tersebut di atas diartikan oleh al-Asy’ari, bahwa yang dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan sebagian dari pemikiran al-Asy’ari tentang tauhid. Sekarang kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata, sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq dengan makhluknya.
Al-Asy’ari, seperti Mu’tazilah, meyakini bahwa Allah adalah Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham al-Shalah wa al-Ashlah Mu’tazilah, artinya, Tuhan wajib mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Allah, kata al-Asy’ari, bebas memperbuat apa yang kehendaki-Nya. [28]
Al-Asy’ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,” yaitu seseorang mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy’ari, kalau Tuhan memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.[31]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy’ari ini mirip dengan paham sebagian umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan, bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum, dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy’ari menganalogikan bahwa Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun diakhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia, baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy’ari, selalu digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka paham al-Asy’ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang faham kasb ini, al-Asy’ari memberi penjelasan yang sulit ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy’ari, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan. [36]
Melihat kepada pengertian, “sesuatu yang timbul dari yang berbuat” mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa “kasb itu adalah ciptaan Tuhan” menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya kasb oleh Tuhan adalah ayat:
“Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. al-Shaffat 37:96).
Jadi dalam paham al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent) bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari, sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan, dapat dilihat dari pendapat al-Asy’ari tentang kehendak dan daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
“Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki” (QS. al-Insan 76:30).
Ayat ini diartikan oleh al-Asy’ari bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan, dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan. Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut:
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebagai pembuat. [43]
Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan.
Karena manusia dalam teori kasb al-Asy’ari tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai, sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy’ari kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy’ari telah gagal dengan konsep kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya al-Asy’ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang sudah kita uraikan di atas, al-Asy’ari menegaskan bahwa kasb manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy’ari itu tidak masuk akal. [46]
PENGARUH KALAM AL-ASY’ARI
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi al-Asy’ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan dengan kekuasaan mutlak Allah.
Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Karena teologi al-Asy’ari didirikan atas kerangka landasan yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi al-Asy’ari ialah karena sejak awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya – umat Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni. Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy’ari telah berhasil menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai paham resmi pada waktu itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy’ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain, al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat Islam menganutnya sampai detik ini.
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi al-Asy’ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham al-Asy’ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy’ari, mempunyai daya yang lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni, yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme al-Asy’ari. [49]
Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab atasnya.
Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang terjadi.
Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil bahwa faham teologi al-Asy’ari mempunyai basis yang kuat pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.
CATATAN:
1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir, tahun 1976, h. 46
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa al-Asy’ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-lbanah ‘an Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat juga Abu al-Hasan al-Asy’ari, maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir, 1969, h. 3
3.Abu Musa al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52 th 270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303 (dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari Mu’tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam, Iskandariyah, 1980, h. 310
6.Hamuddh, Al-Asy’ari, hal. 60
7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29
8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.36
9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h. 93
10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu’tazilah. Bairut, 1974, h. 102
11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah, h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy’ari, h.65
12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.159.
13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu’tazilah, dapat dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 41
17.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah’an Ushul al-Dinayah, Mesir,1397 H. H.8
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
19.Hasan Mahmud al-Asy’ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38
20.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ Fi al-Rad’ala ahl al-Zaigh wa al-Bida’, Kairo, 1965, h. 30
21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50
23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51
24.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,
Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy’ari, Ibid, h. 13
26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,
27.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 16
28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 71
32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167
33.Mahmud Kasim, h. 168
34.Ibid.
35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo, tt., h.205
36.Al-Asy’ari, al-Luma’, h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 57
41.Ibid, h. 41
42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,1971, h. 562
43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,1981, h. 133-134
44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205
45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.112
46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17
47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34
48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.
472 473.
Bersambung .....
Jika dikatakan bahwa kalian wahai orang=orang Salafi/Wahabi adalah Mujassimah! Kalian marah, dan menepisnya dengan mengatakan bahwa kami adalah pengikut Salaf Shaleh! Kami memurnikan Tauhid! Kami Mensifati Allah SWT dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya sifati Diri-Nya!!
Akan tetapi semua akidah kalian tentang ketuhanan dengan terang menunjukkan bahwa Tuhyan kalian itu berbentuk, berfisik, terdiri dari beberapa angoota seperti tangan, betis, wajah, mata, telinga…
sebagaimana kalian juga mensifatinya dengan sifat makhluk_nya seperti berlari-lari kecil, naik dan turun.. bersemayam di attas Arsy yang dipikul delapan ekor kambing hutan yang kalian artikan malaikat berbentuk kambing jantan… dan lain sebagainya dari akidaah menyimpang dan kental dengan tajsim!
Kini, kalian mensifati Tuhan kalian dengan bertambah berat bobot tubuh-Nya apabila ia murka… entah apa relevansinya antara murka dengan bertambah boot badan? Apa karena “ngeden” (dalam bahasa jawa negeden pasti Anda mengerti maknanya)…. ? Atau karena sebab lain?
Yang pasti demikian akidah kalian!!
Ini buktinya!!
Perhatikan baik-baik!
Maka beliau menjawab: “Ya, benar. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran… “
Cacatan kaki:
Hadis itu diriwayatkan Ibnu Asakir secara lengkap: “Nabi menjawab: “Ya, benar, demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran. Mereka berkata, ‘Kapan ia menjadi berat?
Nabi menjawab, “Jika kaum musyrikun bengkit kepada
kemusyrikan mereka maka murka Allah azza wa Jalla menjadi keras, dan
Arsy menjadi berat atas para pemangulnya sehingga ada seorang yang sadar
akan: ‘Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan yang Maha Esa tiada sekutu
bagi-Nya’, maka redahkan murka Allah Azza wa Jalla dan menjadi ringanlah
Arsy atas para pemikulnya. dan mereka pun mendoakan, ‘Ya Allah
ampunilah si pengucap kalimat itu,’”(Tarikh Damasqus,19/362 dan Tahdzib at Tahdzib,7/221).
Akidah Ahmad ibn Hanbal:
Terjemah:
“Dan sesungguhnya ar Rahman (Allah) membuat barat atas para pemikul Arsy sejak awal siang… “
Subhanallah, Maha Suci Allah dari pensifatan kaum penyimpang!
Apakah kalian setuju dengan akidah seperti ini?
=====================================
kesimpulan :
Ulama Sunni Menipu Umat !!!!!!!!!!!!!!!!!!
Syi’ah menolak ajaran Abu Hasan Al Asy’ari yang menyatakan Allah berada di arsy, menolak ajaran bahwa Allah punya tangan – wajah – mata yang zhahir…
Syi’ah menolak paham Allah bersemayam di langit di arsy secara zahir…
Umat Islam Indonesia adalah ahlus sunnah waljama’ah, yang mayoritasnya adalah pengikut Aqidah Asy’ariyyah. Aqidah Asy’ariyyah ditandai dengan keimanan kepada sifat 20; serta menakwil sifat-sifat Allah yang lainnya.
para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya.
Umat Islam Indonesia adalah ahlus sunnah waljama’ah, yang mayoritasnya adalah pengikut Aqidah Asy’ariyyah. Aqidah Asy’ariyyah ditandai dengan keimanan kepada sifat 20; serta menakwil sifat-sifat Allah yang lainnya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok salaf sunni, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.
Para ulama salaf sunni sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125).
Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H) yaitu Allah SWT memiliki wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain tetapi berbeda dengan makhluk, akidah seperti ini adalah akidah salafi wahabi yang dicela Nahdlatul Ulama dan Asya’irah
(2) Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Siapa yang merenungkan kitab Shahih BUKHARi dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara.
Asya’irah Menentang Abu Hasan Al Asy’ari !!! Kontradiksi
Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852).
Kesimpulan :
Akidah syi’ah imamiyah menta’wilkan tangan Allah, menta’wilkan wajah Allah dll
Jadi yang sesat Abu Hasan Al Asy’ari ataukah syi’ah imamiyah ???
Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:
فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا
من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين:
229)
Meyakini sifat 20 menjadi kewajiban umat islam Sunni dengan alasan alasan akal…
Penyusun daftar akidah sifat 20 adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf As Sanusi (833 – 895 H / 1427 – 1490 M ) atau popular dengan panggilan Syaikh Sanusi dari Tilimsan Negara Al Jazair, beliau mengarang kitab UMMUL BARAHiN (Aqidah Sughra).
Sifat 20 atau akidah 50 merupakan tahrif terhadap sifat sifat Allah SWT
Apakah itu yang namanya tauhid ???
Saudaraku…
Yang pasti tidak ada dalil yang menyatakan sifat wajib Allah SWT cuma dua puluh…
Lagipula Nabi SAW, sahabat dan para imam ahlul bait tidak pernah menyebut nyebut sifat 20 ataupun akidah 50…
Pemahaman “Sifat Allah Yang Wajib Cuma 20″ bukan kebenaran mutlak dan bisa dikritik.
Pada masa Nabi SAW, akidah belum bercampur dengan unsur unsur budaya luar, masalah baru muncul saat wilayah Islam meluas ke daerah non Arab yang mana daerah daerah tersebut sudah memiliki budaya sendiri…
Ilmu kalam pesantren menyusun akidah wajib dengan pemahaman filosofis sehingga sesuatu yang sebenarnya masih dalam tahap filsafat teoritis dinaikkan tingkat menjadi akidah…
Padahal yang namanya filsafat teoritis masih bersifat praduga sehingga mazhab sunni tidak lagi mengenal yang mana akidah dan yang mana filsafat…
Pandangan filosofis dianggap kebenaran mutlak dan disamarkan menjadi akidah wajib, disitulah letak kesalahan Asy’ari dan penerus penerusnya.
Misal : Terminologi seperti jauhar, jisim, ‘aradh, jirim, jauhar fard dan daur tasalsul dalam kitab kuning sunni itu bukanlah akidah tetapi filsafat teoritis yang dipakai untuk membahas materi.
Mareka mentahrif sifat Allah menjadi Cuma 20 saja, apakah itu kerjaan umat Islam dan apa itu yang namanya tauhid ???
Pemikiran kalam tentang Sifat 20 sudah banyak yang kritik, tetapi sudah enak. Kalau mereka mau dikritik maka tidak mungkin umat islam hari ini selemah sekarang..
Dalam Al Quran ada 1108 ayat tentang sains tetapi ulama sunni tidak menelitinya secara mendalam sehingga menimbulkan ekses yang sangat buruk bagi perkembangan Islam
Kita diperintah meneliti alam (apa yang ada dilangit dan dibumi) atau meneliti makhluk Nya, mengapa ulama sunni mengabaikan perintah tersebut lalu sibuk meneliti yang tidak dianjurkan yaitu Zat Nya…
Kitab kuning dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak ada budaya kritik, memunculkan kekakuan pemikiran !!!
Misal : Menurut mereka, orang yang mampu menghapal sifat 20 atau akidah 50 sudah dianggap tauhidnya mendalam…
Doktrin dan pendidikan agama di sekolah harus ditulis ulang, jangan berhenti berijtihad kontemporer dalam segala aspek.
Berimanlah kepada ayat ayat Allah secara total tanpa memilah antara ayat ayat alam dengan ayat ayat syari’at.
Setiap gagasan teologi dalam kitab kuning harus dikaji ulang. Ulama sunni jangan mengharamkan apalagi mengkafirkan orang orang yang melakukan pengkajian tersebut.
Faktanya, untuk memperbaiki gagasan teologi tersebut sangat sulit karena dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak boleh ada ijtihad susulan…
Tauhid pada kitab kuning sunni sulit di revisi karena manusia tidak mau memakai AKAL yang telah ALLAH berikan…
Apa dampak buruk kalam dan manthiq Yunani seperti aristoteles terhadap mazhab sunni ??
Jawab :
Dampak buruknya adalah menyerupakan Tuhan dengan makhluk, sebab titik tolak logika Aristoteles yang tidak berbasis wahyu kan bertentangan dengan logika yang berbasis wahyu.
Allah SWT bukanlah objek yang bisa dijadikan objek eksperimen oleh ulama sunni.. Ahli kalam sunni terlalu berani membuat eksperimen terhadap Dia. Dia Yang Agung yang tidak dapat dicapai oleh pandangan materi…
Penjabaran kalam sunni terlalu dipaksakan padahal Allah SWT tidak pernah meminta kita untuk meneliti Zat Nya, tetapi yang diminta adalah meneliti ciptaan Nya agar semakin mengenal Dia
Apa dampak fatal manthiq Aristoteles terhadap akidah sunni ??
Jawab :
Manthiq aristoteles dengan tolak ukur materi sedangkan Allah SWT immateri (transedent) sehingga logika aristoteles tidak bisa dijadikan akidah, karena akidah Islam tidak butuh filsafat yunani dalam penjabaran
Yang pasti Allah SWT memerintahkan kita meneliti Alam agar mengenal Nya, jadi bukan dengan meneliti Zat Nya…
Pada tauhid asma’ wa shifat hingga detik ini masih memunculkan polemic berkepanjangan antara hambaliyyah (termasuk wahabi) dengan kaum sunni tradisional seperti NU.
Sifat Allah SWT adalah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at Nya…
Akal ahlul kalam sunni mempunyai batasan karena pengaruh ruang dan waktu, sementara Allah SWT tidak dibatasi oleh ruang dan waktu…
Teori jauhar, ‘aradh, jisim dll YANG SERiNG DiSEBUT SEBUT DALAM KiTAB KUNiNG hanya berlaku untuk materi, bukan untuk membuktikan ada atau tidaknya Allah SWT karena Allah adalah immateri, tentu tidak bisa ditentukan keberadaan Nya dengan teori teori materi apalagi dengan teori yang masih bersifat trial and error (coba coba bisa gagal).
Kitab kuning teologi sunni banyak memakai istilah istilah Yunani untuk memahami tentang materi berdasarkan teori kebendaan.. lalu mereka pakai untuk menentukan keberadaan Allah SWT.
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin.
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”.Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam ).
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71).
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
bahwa kalam Asy’ari dan tasawuf adalah penyebab kemunduran Sunni walaupun Asy’ariyah dan sufi telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah dan sufi sangat terbelakang di banding Barat.
Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat.
Setiap generasi memiliki tantangan yang khas. Setiap tantangan menghasilkan pemecahan yang khas pula. Maka dari itu, tidak mengherankan satu peradaban yang dibangun oleh generasi tertentu memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan peradaban yang dibangun oleh generasi yang lain. Setiap keunikan dalam peradaban tersebut adalah kebaikan dalam dirinya sendiri. Artinya adalah bahwa tidak setiap kebaikan yang ada pada masa tertentu adalah kebaikan juga pada masa yang lain.Untuk itu perubahan demi perubahan seharusnya diupayakan sebagai usaha pembaruan sebagai respon dari tantangan zaman.
Mu’tazilah dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21).
melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414).
Rumusan klasik di bidang teologi sunni yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw.
Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya.
Namun, untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Merekontruksi teologi sunni klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia.
Rumusan klasik sunni di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari fakta-fakta nyata kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif.
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya).
Oleh karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar Islam lebih survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka perlu adanya perubahan diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
metodologi teologi sunni tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya.
teologi sunni tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial maka perlu beralih ke teologi syi’ah.
Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
“…Jika para pendahulu telah memulai muqaddimah konvensional mereka yang bersifat keimanan itu dengan nama Allah;
maka kami memulainya atas nama bumi yang terampas, atas nama kemerdekaan, atas nama kebaikan,atas nama perlawanan, atas nama persamaan dan keadilan, atas nama persatuan umat, atas nama kemajuan,atas nama kebangkitan umat, atas nama cinta kemurnian, atas nama mereka yang terbungkam, dan atas nama seluruh kaum Muslimin yang tertindas…”
Teologi sunni yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam sunni juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.
Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran.
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena sinkritis ini tampak jelas dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
Dalam kitab kuning Pesantren tradisional yaitu Kitab “Kifayatul Awam” : Menurut abu hasan al asy’ari “Wujud adalah maujud itu sendiri maka wujud Allah Ta’ala adalah Zat Nya sendiri, maka jadilah wujud itu bukan sifat, maka jadilah sifat sifat yang wajib itu 12”
Saudaraku…
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa sifat ma’nawiyah itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( sumber kutipan : Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997).
Saudaraku…
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam ).
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71).
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
saudaraku…
Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi sunni klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat.
istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.
analisa realitas perlu dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
teologi sunni dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin saya terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati.
————————————————————————————————————–
Khusus tentang kepercayaan kepada Allah dan Rasul, aliran tradisional membahas hukum hukum akal ( law of reason ) yang terbagi dalam tiga kategori : wajib, mustahil, dan jaiz.. Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles.
Sumber kutipan :
1. Mohd. Nor Ngah, Kitab Jawi : Islamic Thought Of The Malay Muslim Scholars ( Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 1982 ) halaman 9
2. Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997
————————————————————————————————————–
Jawaban kami :
Hukum akal terbagi tiga menurut kaum sunni :
- Wajib pada akal
- Mustahil pada akal
- Jaiz pada akal
Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles
Apakah akidah kepada Allah dan Rasul bisa tegak dengan memakai akal akalan ulama penulis kitab kuning ????? Pantas lah umat sunni mundur dalam pengamalan akidah !!!!!!!!!
saudaraku….
Takrifan:
1. Sifat Nafsiah – diri zat Allah swt, wujudNya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab.
2. Sifat Salbiah – menafikan perkara-perkara yang tidak layak bagi Zat Allah swt atau hujah-hujah sifat yang membesarkan kelebihan zat yang Maha Agung itu daripada sekalian yang baharu.
3. Sifat Ma’ani – sifat yang berdiri pada zat Allah swt, yakni sifat khusus yang dimiliki oleh Allah swt dan lazim melazimi pula ia dengan sifat ma’anawiyah.
4. Sifat Ma’anawiyah – zat yang disebabkan suatu sebab akan wujudnya, yakni kelakuan zat atau fungsi zat yang mempunyai sifat ma’ani atau kelakuan sifat ma’ani yang digerakkan oleh zatNya.
ISTAGHNA – Sifat KEKAYAAN Allah swt1. Sifat Nafsiah – diri zat Allah swt, wujudNya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab.
2. Sifat Salbiah – menafikan perkara-perkara yang tidak layak bagi Zat Allah swt atau hujah-hujah sifat yang membesarkan kelebihan zat yang Maha Agung itu daripada sekalian yang baharu.
3. Sifat Ma’ani – sifat yang berdiri pada zat Allah swt, yakni sifat khusus yang dimiliki oleh Allah swt dan lazim melazimi pula ia dengan sifat ma’anawiyah.
4. Sifat Ma’anawiyah – zat yang disebabkan suatu sebab akan wujudnya, yakni kelakuan zat atau fungsi zat yang mempunyai sifat ma’ani atau kelakuan sifat ma’ani yang digerakkan oleh zatNya.
IFTIQAR – Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt
saudaraku….
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin.
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran, sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam ).
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71).
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
Lalu bagaimana dengan hadits:
“Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah.” [Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677].
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
“Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah“
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya. Selain itu kalimat “…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah” bukan merupakan kalimat tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: “Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh”. Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya.
“Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”.
nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. “Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”.
——————————————————————————————
….. Demikianlah ciri ciri utama pemikiran tradisionalisme tentang ilmu tauhid yang bertolak dari Rukun Iman. Diantara rukun rukun tersebut, rukun yang pertama atau kepercayaan kepada Allah lebih dominant. Meskipun rukun ini diutamakan, tetapi hanya berpusat pada ajaran sifat 20. Konsep akidah seperti ini bukan saja dipengaruhi dialektika yunani dan logika aristoteles, bahkan dianggap sempit dan tidak menyentuh kehidupan manusia.
Memerlukan cara baru untuk menulis teologi. Keadaan sosial, politik dan filsafat banyak pengaruhnya terhadap perkembangan teologi dalam Islam, dengan tidak mengetahui hal hal tersebut, pengetahuan kita tentang teologi Islam akan terasa kurang mempunyai dasar yang kukuh…
Sumber kutipan :
Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997
——————————————————————————————
Khusus tentang kepercayaan kepada Allah dan Rasul, aliran tradisional membahas hukum hukum akal ( law of reason ) yang terbagi dalam tiga kategori : wajib, mustahil, dan jaiz.. Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles
Sumber kutipan :
a. Mohd. Nor Ngah, Kitab Jawi : Islamic Thought Of The Malay Muslim Scholars ( Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 1982 ) halaman 9
b. Dr. Abdul Rahman Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997
—————————————————————
Saudaraku….
Kritik dilancarkan terhadap ajaran tauhid tradisional yang mengajarkan sifat 20 yang dianggap berasaskan logika aristoteles (Sumber kutipan : A. Hassan, Kitab Al Tauhid (Penang: Persama Press, 1959) hal. 23 -24…. Nik Mohyideen Musa, Pelajaran Ilmu Tauhid ( Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979 ) halaman 102-104
—————————————————————
Saudaraku….
Mengenai kepercayaan kepada Nabi dan Rasul, pembahasannnya juga menggunakan hukum hukum akal. Ada empat sifat wajib, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Sedangkan sifat mustahil ialah yang berlawanan dengan keempat sifat ini. Sifat jaiz bagi rasul ialah sifat sifat sebagai manusia biasa yang tidak merendahkan martabat mereka sebagai Nabi dan Rasul ( Sumber kutipan : Hussain bin Nasir Al Banjari, Tamrin al Sibyan, halaman 14-15 ; idem, Hidayat Al Sibyan, halaman 7; Haji Mohd. Sharif bin Abdul Rahman, al Muqaddimah Al Tauhidiyah (Pulau Pinang : Abdullah B.M. nurdin Al Rawi, 1959), halaman 8-9.
Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Saya melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung ingin tahu wujud Tuhan menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik.
Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang.
Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogannya yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Syi’ah mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru.
adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat.
Artinya, teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata.
Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam keseluruhan sistem serta bangunan keberagamaan kaum Muslim. Keabsahan semua rangkaian upacara keagamaan mereka sangat bergantung pada eksistensi tauhidnya.
Membahas masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, 1903:9).
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46).
Sementara Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8).
Di samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya, semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.
Dengan demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat mirip sebuah ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praksis untuk menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.
Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian berkarakter subversif: menantang mainstream status quo dan memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik, tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan transformatif.
Namun, seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Diskursus teologi yang pada awalnya berkorelasi kuat dengan kenyataan aktual kemanusiaan, direduksi sedemikian rupa menjadi kumpulan wacana spekulatif yang tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan yang hidup dalam gerak sejarah. Berkembangnya tradisi keilmuan baru yang mewujud pada kerja sistematisasi, penyusunan formal (al-tadwin) dan spesialisasi bidang keilmuan, menyebabkan doktrin-doktrin tauhid tertransformasi ke dalam bangunan doktrinal baku, tertutup, teoritik dan kurang memiliki daya dorong sosial.
Tauhid hanya mampu bergaung dalam karya-karya tulis, bukan berkibar di medan-medan tempur sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw. Demikianlah, ajaran tauhid kehilangan fungsi transformasinya. Ironisnya, pemahaman ajaran tauhid model ini yang kemudian diwarisi generasi umat Islam hingga sekarang.
Berpijak pada kemandegan pemikiran di bidang teologis yang tidak lagi memiliki fungsi sosial transformatif inilah, diperlukan penggalian ulang spirit of theology yang leberatif, progresif dan berkorelasi sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai core teologinya beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam konteks ini pembahasan tulisan ini difokuskan agar bisa keluar dari kungkungan dogmatis dan menawarkan metode pendekatan baru agar bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu kalam.
Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar, teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat.
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. AlQur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal.
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi.
Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.
Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek.
saya melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari’atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-‘adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam.
Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah.
Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Pemahaman tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu ‘aqidah iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
Konsep Keadilan Sosial
Konsep keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-‘adl).
teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda.
Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-‘adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia.
Artinya realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula hanya akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia”, seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan menindas.
Konsep Spirituaitas Pembebasan
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan.
Oleh sebab itu, selain menumpukan diri pada gagasan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan.
Dalam pada itu Isam sebagai entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak. Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya mengambi jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan “mengubah manusia untuk mengubah dunia”.
Rekomendasi ini niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan dan mandulnya beragan paradigma teologi Islam yang dianut mereka untuk memotivasi berlangsungnya proses transformasi sosial. Dua kenyataan inilah yang secara langsung menjadi basis historis mengapa rekontruksi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik kesimpulan betapa Islam dalam proses sejarah telah semakin jauh dari rasionalitas Tuhan ketika ia diturunkan.
Terkait itulah rekontruksi terhadap teologi warisan Islam klasik ini menjadi hal yang sangat strategis guna memulai transformasi sosial umat secara total. Redefinisi teologi Islam klasik menuju teologi Islam yang transformatif akan memberikan signifikansi bagi kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks (Qur’an/hadits, ide-ide kemanusiaan) dan konteks kekinian. Pada saat berbarengan ia berpotensi pula menjadi motivasi reigius bagi umat untuk melakukan transformatif atas realitas ketertindasan yang mengkungkung mereka baik berupa ideologi Barat seperti developmentalisme atau kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri, termasuk “nilai-nilai agama”.
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis antropomorpisme itu penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni pertama, dilevel wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad pertengahan, khususnya, di ranah teoogi. Disitu jargon-jargon semisal “membuka pintu Ijtihad” disatu sisi dan berlawanan dengan “pintu ijtihad telah tertutup” pada sisi yang lain akan menemukan momentum dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, dehumanisasi, dan sejenisnya.
Pada saat yang sama ia akan mendorong pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan sesuatu yang sudah dipastikan, seperti pemahaman teologi tradisional, melainkan sudah bersifat sosial—-tercipta oleh struktur-sistem yang memang menghendaki demikian.
Paling tidak melalui dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali menjadi menemukan memontumnya dan akan dikagumi baik bagi umat Islam sendiri maupun dunia Barat.
Hari ini banyak perkara yang telah hilang dari umat Islam. Di antaranya ialah ilmu dan hikmah, kasih sayang, perpaduan, empayar, jemaah dan ummah. Mungkin kerana itu hilanglah wibawa umat Islam. Bila umat Islam tidak ada wibawa ertinya tidak ada kekuatan, lemah dan lumpuh. Akhirnya umat Islam seluruh dunia hari ini macam kain buruk atau debu-debu yang berterbangan yang tidak ada harga satu sen pun atau ibarat buih-buih di laut yang dipecah belahkan oleh ombak laut. Itulah yang sedang berlaku pada dunia Islam hari ini, akibat dari itu umat Islam menjadi hina. Hina disebabkan dijajah tapi jajah bentuk baru bukan bentuk lama. Penjajahan bentuk lama bersifat fizikal, tapi bentuk baru ini, kalau orang itu tidak kuat dengan Tuhan tidak prihatin, bukan sahaja awamul muslimin, ulama dan pemimpin Islam pun tidak faham, bahkan ulama dan pemimpin Islam sudah anggap kita sudah merdeka hari ini padahal kalau kita prihatin umat Islam hari ini dijajah bentuk baru. Penjajahan secara bentuk baru inilah yang umat Islam termasuk pemimpin dan ulama tidak faham.
Penjajahan bentuk baru yang sedang berlaku pada umat Islam hari ini yang besar-besarnya ialah:
- Ideology telah menjajah syariat atau ideology telah menjadi syariat. Semua negara Islam menggunakan ideology dari yahudi menggantikan syariat Islam.
- Pendidikan sudah dijajah. Daripada pendidikan yang bertunjangkan iman di tukar kepada pendidikan sekuler yang tidak dikaitkan dengan iman yang tidak bertunjangkan Tuhan.
- Ekonomi dunia dahulu dikuasai umat Islam yang bersifat khidmat, bersih dari riba, monopoli dan penindasan kini dijajah oleh ekonomi yang besifat riba, penzaliman, penindasan dan monopoli,
- Kebudayaan Islam yang bersih sudah dijajah oleh kebudayaan yang kotor, maksiat, bahkan sesetengah hal, telah diganti oleh kebudayaan yang lucah.
Pendidikan dan pengaruh Mu’tazilah tidak bisa dilepaskan dari al-Asy’ari yang dibuktikan dengan dialektiaka yang tetap ia gunakan meskipun sudah keluar dari Mu’tazilah. Hanya saja ia menggunakan pendekatan dialektis dan logis untuk mendukung pendapatnya dalam mengukuhkan madzhab Asy’ariyah. Ia menggunakan filsafat bukan sebagai kebenaran itu filsafat itu sendiri, tetapi ia memakainya sebagai alat untuk mengungkap dan memperjelas argumennya.
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy’ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy’ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dan kelemahan itu diantaranya:
.
• Asy’ari cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
• Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
• Konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.
Dari uraian-uraian diatas kita bisa mengetahui berbagai polemic-polemik permasalahan yang muncul pada tubuh Asy’ariah dalam doktrin aqidah islamiah. Di satu sisi karena pangaruh Al Ghozali dengan paparan argumenya yang logis, Asy’ariah bisa berkembang dengan begitu pesat, di sisi lain Asy’ariah seakan mambodohi masyarakat dengan konsep kasb nya yang sulit untuk dimengerti dan malah cenderung membingungkan banyak orang. Malah di sebutkan dalam kitab Jawharat al-Tawhid,
Wa ‘indana li al-‘abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu’atstsir-an fa ‘l-ta’rifa
Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb, Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh.
Jadi, intinya manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya.
dalam proses perkembangan paham Asy’ari, konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya
Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Barangkali di masa itu kebutuhan untuk menjawab tantangan aqidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena di masa itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen kalangan ahli logika ketika menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode aqidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Bila dilihat dari kaca lain seperti di zaman di mana tantangan akal ini tidak lagi mendominasi, bisa saja terasa agak janggal karena metode akal atau rasio yang digunakan terasa kurang relevan lagi.
Karena itu wajar bila dikritisi lebih detail, ada saja hal-hal yang dirasa kurang pas dan relevan lagi. Sebagian para pengkritik menyataskan bahwa paham As’ariyah menyalahi ahlussunnah wa al-jamaah dalam lima belas masalah, salah satunya adalah masalah asma’ dan sifat. Meski demikian, para pendukung mazhab Asy‘ari juga punya argumen yang membenarkan pendapat mereka.
Penyebaran Aqidah Asy-”ariyah
Aqidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul Muluk pad dinasti ani Saljuq dan seolah menjadi aqidah resmi negara.
Semakin berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah,baik yang ada di Baghdad maupun di kotaNaisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi”i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa aqidah Asy-”ariyah ini adalah aqidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Para Ulama yang Berpaham Asy-”ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham aqidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
* Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
* Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
* Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
* Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
* Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Cak Nur juga menyoroti sisi kelemahan paham ini untuk dijadikan bahan refleksi. Kelemahan paham Asy’ariyah menurut Cak Nur terletak pada Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Al-Asy’ari sebetulnya hendak menengahi dua kubu ekstrim yang berkembang ketika itu. Kedua kubu tersebut adalah paham Jabariyah yang cenderung fatalistik dan menganggap manusia ibarat robot, sudah didesain dan dikendalikan. Namun paham ini ditolak oleh Qadariyah, mengatakan manusia mempunyai kebebasan bertindak dan menentukan pilihan (free will). Al-Asy’ari memberikan format baru dengan konsep kasb. Tetapi konsep tersebut dipandang sulit dipahami oleh Cak Nur dan cenderung fatalistik. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.
Cak Nur lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiah, tokoh reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua tindakan manusia tidak dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap mempunyai kemerdekaan bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan kehendak (iradah) yang dengannya manusia mampu memilih jalan hidup.
Sangat tampak kritisisme Cak Nur dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan dan absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa yang dimaksudkan al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic sekalipun dalam syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan manusia tidak bebas dan tidak pula terpaksa. Dalam hemat penulis apa yang dimaksudkan Ibnu Taymiah juga dimaksudkan oleh al-Asy’ari. Kelihatannya al-Asy’ari menemui kesulitan untuk menjelaskan maksud itu. Namun, tawaran Cak Nur juga baik karena yang dilihat adalah aspek kemaslahatan supaya konsep free will lebih mudah dipahami.
Sebetulnya antara al-Asy’ari dan Ibnu Taymiah juga sepakah ketidak-setujuan keduanya terhadap pendekatan Qadariyah atau pun Jabariyah. Keduanya hendak menengahi antara kedua kubu sehingga konsepnya lebih bisa diterima. Sebab, sikap moderat adalah kecenderungan mayoritas. Tetapi bukan masalah kecenderungan—dalam hemat penulis—tetapi pijakan kedua tokoh itu konsistensi pada kebenaran.
Secara eksplisit tulisan Cak Nur menjelaskan, di samping keunggulan di bidang metodologi, kelebihan paham Asy’ariyah juga karena kepiawaian pendirinya memanfaatkan logika dan filsafat untuk menjelaskan konsep Asy’ariyah. Melalui kekuatan argumentasinya ia mampu memukau ilmuan modern dan teolog Kristen.
Paham teologi Asy’ari termasuk paham teologi tradisional, yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu’tazilah dan Salafiyah, tetapi “benang merah” sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak Mu’tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]
Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy’ari lebih baik memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas. Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy’ari juga tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri. Sebenarnya, nama asli Imam Asy’ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy’ari. [3] Panggilan akrabnya Abu al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M [5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Abu al-Hasan al-Asy’ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya, yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil. Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’kub, Abdur Rahman Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih Syafi’i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340 H./951 M.) -seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Sampai umur empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba’i, serta ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu’tazilah. [9]
Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Untuk hal ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab meninggalkan atau keluar dari Mu’tazilah. Sebab klasik yang biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran pokok Mu’tazilah, yaitu masalah “keadilan Tuhan.” Mu’tazilah berpendapat, “semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu, kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa ‘l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy’ari (A) – Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam keadaan masih kecil.
Aldubba’i (J) – yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.
A – Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih baik di Sorga, mungkinkah?
J – Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.
A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang taqwa itu.
J – Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu, jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah – Red) matikan engkau adalah untuk kemaslahatanmu.
A – Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, “Ya Tuhanku Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?
Al-Jubba’i menjawab, “Engkau gila, (dalam riwayat lain dikatakan, bahwa Al-Jubba’i hanya terdiam dan tidak menjawab). [11]
Dalam percakapan di atas, al-Jubba’i, jagoan Mu’tazilah itu, tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh al-Asy’ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy’ari sendiri untuk memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang Mu’tazilah.
Bagi Mu’tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang disana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab, tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan orang-orang yang taqwa.
Di alam akhirat, menurut Mu’tazilah, tidak ada lagi perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah mendapati al-Wa’ad wa al-Wa’id. Dia sudah menepati janji. Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak rasional.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah karena pernah bermimpi melihat Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.[15]
Diriwayatkan bahwa al-Asy’ari sebelum mengambil keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu naik mimbar dan menyampaikan:
“Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah makhluk; Allah swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar dari kekejian dan skandal Mu’tazilah.” [16]
Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal, sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi kesamaan yang sangat mirip.
Al-Asy’ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar pada Mu’tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali, sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran al-Asy’ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy’ari memakai ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang Mu’tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat, penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan bid’ah dan kufur. Al-Asy’ari melakukan sanggahan terhadap Mu’tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran Mu’tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam, kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu, baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut al-Falasifah (kesalahan para filsuf). Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa al-Asy’ari adalah para tokoh Mu’tazilah, karena itu sanggahannya tertuju langsung pada Mu’tazilah. Sementara para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional Mu’tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap aliran al-Asy’ari harus dengan tegas pula melakukan sanggahan terhadap filsuf.
Pemikiran al-Asy’ari yang asli baru dapat diketahui setelah ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu’tazilah dan pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur’an.[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang sakral dianggap suatu bid’ah. Setiap dogma harus dipercayai tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui ajaran-ajaran al-Asy’ari, kita dapat melihat pada kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:
1. Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:
a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu’tazilah.
3. Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala ahl al-Zaigh wa al-bida’, berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu Kalam.
Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma’. Yang pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu’tazilah. Sedangkan buku kedua (al-Luma’), peranan akal lebih tinggi dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu kalam. [19]
Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy’ari pada kitabnya al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar dari Mu’tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi, sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap Mu’tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh, maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya, menampakkan sikap bencinya terhadap Mu’tazilah lebih nyata. Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis langsung setelah al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah. Lain halnya dengan kitabnya al-Luma’, yang ditulis setelah kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy’ari dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma’, argumentasi rasional al-Asy’ari menonjol kembali dalam memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi metaforisnya (ta’wil). Kecenderungannya pada metode kaum Mu’tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak paham teologi al-Asy’ari.
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya lagi untuk keluar.
Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah barang tentu al-Asy’ari berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm). Yang benar, Tuhan itu mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya, bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. [20]
Disini terlihat, al-Asy’ari menetapkan sifat kepada Tuhan seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah, sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, “Siapa yang tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi: “Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku,” lalu ia langsung mengatakan, wajib dipotong tangannya.” [21]
Lain halnya dengan al-Asy’ari, baginya arti sifat tidak jauh berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi al-Asy’ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat, dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy’ari yang seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari paradoks. [22]
Bagi Mu’tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang mengetahui (‘Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan (‘Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah) bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya, menafsirkan kelemahan Allah. [23]
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy’ari yang lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu, al-Asy’ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak dapat dilihat, kata al-Asy’ari, hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena itu dapat dilihat. [24]
Argumen al-Qur’an yang dimajukannya antara lain,
“Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada Allah” (QS. al-Qiyamah: 22-23).
Menurut al-Asy’ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa berarti memikirkan seperti pendapat Mu’tazilah, karena akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti berarti melihat dengan mata kepala. [25]
Sungguhpun al-Asy’ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala, namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan, tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy’ari memerlukan pula untuk menafsirkan atau menta’wilkan ayat yang berikut ini:
Artinya: “Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia dapat mengangkat penglihatannya.” (al-An’am: 103) Ayat tersebut di atas diartikan oleh al-Asy’ari, bahwa yang dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan sebagian dari pemikiran al-Asy’ari tentang tauhid. Sekarang kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata, sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq dengan makhluknya.
Al-Asy’ari, seperti Mu’tazilah, meyakini bahwa Allah adalah Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham al-Shalah wa al-Ashlah Mu’tazilah, artinya, Tuhan wajib mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Allah, kata al-Asy’ari, bebas memperbuat apa yang kehendaki-Nya. [28]
Al-Asy’ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,” yaitu seseorang mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy’ari, kalau Tuhan memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.[31]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy’ari ini mirip dengan paham sebagian umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan, bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum, dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy’ari menganalogikan bahwa Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun diakhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia, baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy’ari, selalu digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka paham al-Asy’ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang faham kasb ini, al-Asy’ari memberi penjelasan yang sulit ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy’ari, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan. [36]
Melihat kepada pengertian, “sesuatu yang timbul dari yang berbuat” mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa “kasb itu adalah ciptaan Tuhan” menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya kasb oleh Tuhan adalah ayat:
“Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. al-Shaffat 37:96).
Jadi dalam paham al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent) bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari, sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan, dapat dilihat dari pendapat al-Asy’ari tentang kehendak dan daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
“Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki” (QS. al-Insan 76:30).
Ayat ini diartikan oleh al-Asy’ari bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan, dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan. Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut:
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebagai pembuat. [43]
Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan.
Karena manusia dalam teori kasb al-Asy’ari tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai, sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy’ari kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy’ari telah gagal dengan konsep kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya al-Asy’ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang sudah kita uraikan di atas, al-Asy’ari menegaskan bahwa kasb manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy’ari itu tidak masuk akal. [46]
PENGARUH KALAM AL-ASY’ARI
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi al-Asy’ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan dengan kekuasaan mutlak Allah.
Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Karena teologi al-Asy’ari didirikan atas kerangka landasan yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi al-Asy’ari ialah karena sejak awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya – umat Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni. Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy’ari telah berhasil menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai paham resmi pada waktu itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy’ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain, al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat Islam menganutnya sampai detik ini.
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi al-Asy’ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham al-Asy’ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy’ari, mempunyai daya yang lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni, yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme al-Asy’ari. [49]
Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab atasnya.
Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang terjadi.
Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil bahwa faham teologi al-Asy’ari mempunyai basis yang kuat pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.
CATATAN:
1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir, tahun 1976, h. 46
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa al-Asy’ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-lbanah ‘an Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat juga Abu al-Hasan al-Asy’ari, maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir, 1969, h. 3
3.Abu Musa al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52 th 270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303 (dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari Mu’tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam, Iskandariyah, 1980, h. 310
6.Hamuddh, Al-Asy’ari, hal. 60
7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29
8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.36
9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h. 93
10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu’tazilah. Bairut, 1974, h. 102
11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah, h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy’ari, h.65
12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.159.
13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu’tazilah, dapat dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 41
17.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah’an Ushul al-Dinayah, Mesir,1397 H. H.8
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
19.Hasan Mahmud al-Asy’ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38
20.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ Fi al-Rad’ala ahl al-Zaigh wa al-Bida’, Kairo, 1965, h. 30
21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50
23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51
24.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,
Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy’ari, Ibid, h. 13
26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,
27.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 16
28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 71
32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167
33.Mahmud Kasim, h. 168
34.Ibid.
35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo, tt., h.205
36.Al-Asy’ari, al-Luma’, h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 57
41.Ibid, h. 41
42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,1971, h. 562
43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,1981, h. 133-134
44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205
45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.112
46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17
47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34
48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.
472 473.
Bersambung .....
Post a Comment
mohon gunakan email