Pesan Rahbar

Home » » Sejarah Ahlussunnah waljamaah

Sejarah Ahlussunnah waljamaah

Written By Unknown on Sunday 23 August 2015 | 08:49:00


Ahlussunnah waljamaah sebagai ajaran telah ada sejak zaman Rasulullah saw. masih hidup, tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah realitas umat Islam secara keseluruhan.[1] Akan tetapi, Ahlussunnah waljamaah sebagai sebuah pola pemikiran, sejarah kelahiran pemikiran Ahlussunnah wal jamaah lahir dan berawal dari pertikaian politik umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.[2] Persoalan politik bermula dari siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad Saw., berlanjut kepada pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, penolakan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah serta mengkristal menjadi perang Shiffin yang berakhir pada peristiwa arbitrase (tahkim). Pertikaian politik tersebut berlanjut pada persoalan doktrin politik umat Islam, hingga permasalahan menjadi sangat rumit karena berdampak pada masalah keimanan, kaitannya dengan pelaksanaan hukum Islam, dosa, dan kekafiran.

Persoalan yang timbul dalam pertikaian antara Muawiyah dan Ali dijelaskan Ahmad Baso, Sebagai berikut:
“Muncul soal baru siapa yang benar di antara pihak-pihak yang bertikai. Siapakah yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman, Ali ataukah Muawiyah? Siapakah yang bersalah kasus konflik antara Ali dan Muawiyah? Kalau salah satunya ada yang benar, apakah yang lainnya dianggap berdosa? Patutkah para sahabat dianggap berdosa? Lalu siapakah yang menentukan orang ini beriman dan yang lain berdosa? Bagaimana mengukurnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat masing-masing pihak saling melempar tuduhan dan kesalahan, dan bahkan mulai mempermainkan sejumlah hadis untuk mendukung kepentingan kelompok mereka sendiri…”[3]

Peristiwa tahkim antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib menyisakan persoalan politik panjang hingga teologi seperti Sunni, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah, Jabariyah, dan Qodariyah beserta pandangan politik masing-masing kelompok hingga terbentuknya corak politik Islam seperti pada era kontemporer.[4] Peristiwa tahkim (mediasi) dengan mengacungkan Al Qur’an terjadi ketika Muawwiyah hampir dikalahkan pasukan Ali. Ali yang terkenal warra (hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim meskipun harus menunda kemenangan. yang terjadi berikutnya adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi khalifah, menggantikan Ali.



Referensi:
[1] Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi, “umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat, dan yang lain binasa, ditanya: siapakah golongan yang selalmat itu? Rasul menjawab: ahlussunnah wal Jama‘ah , ditanya: apakah ahlussunnah wal Jama‘ah itu? Rasul menjawab: yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku.” (HR Ibnu Majjah). AN. Nuril Huda, dkk, Ahlusunnah waljamaah (aswaja) menjawab Persoalan Tradisi dan kekinian, hal. 17.
[2] Ahmad Baso, NU Studies, hal. 74.
[3] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal. 67.
[4] Sunni merupakan nama lain dari ahlussunnah wal jamaah, syiah merupakan sebutan bagi kelompok pendukung Ali (shi’at Ali), Khawarij merupakan kelompok oposisi yang keluar dari barisan pendukung Ali dan tidak pula mendukung Muawiyah, Aliran Murji’ah, merupakan kelompok yang abstain terhadap konflik antar sahabat nabi dan memilih untuk menunda keputusan dan menunggu keputusan Allah. Aliran mu’tazilah, merupakan kelompok mengasingkan diri dari politik, serta selalu menggunakan pendekatan rasional dalam memecahkan masalah teologis. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam kehendak dan perbuatannya. Achmad M. Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, hal. 41.



Arkeologi dan genealogi[1] Ahlussunnah wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai epitimologis dan politis era kontemporer hingga periode Nabi Muhammad saw. Kaitannya dengan sejarah ahlusunnah waljamaah generasi kedua, setelah Ali yang terkenal warra (hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim meskipun harus menunda kemenangan, yang terjadi berikutnya adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi khalifah, menggantikan Ali.

Menghadapi kenyataan pahit tersebut, terdapat golongan Ali yang memisahkan diri karena kekecewaannya terhadap Ali. Mereka dikenal dengan istilah Khawarij, karena keluar dari barisan. Adapun pengikut setia Ali menamakan diri sebagai Syi’ah.

Kontradiksi antara kelompok Muawiyah dan Khawarij tidak hanya berkutat pada persoalan politik, tetapi juga merambah ke persoalan ketauhidan. Menurut Muawiyah, iman itu cukup mengikrarkan rukun iman saja. Akan tetapi, Khawarij mengatakan iman itu adalah keseluruhan antara ucapan dan perbuatan. Dalam pandangan khawarij, tidak ada ruang antara iman dan kafir. Artinya, jika orang beriman melakukan dosa, maka ia bias saja masuk neraka. Kemelut antara pemegang kekuasaan dengan oposisi ini melakirkan chaos, disintegrasi, dan disorientasi karena kehilangan sandaran panutan di antara kedua kubu ekstrimis tersebut.

Kelompok baru yang muncul adalah Murji’ah. Kelompok ini bersikap netral di antara kedua kubu, dan mengasingkan diri. Mereka lebih berfokus kepada moralitas, apolitis, dan kegiatan ilmu dan amal ibadah. Ada pula yang menyebut mereka Muktazilah karena mengasingkan diri dari politik. Kelompok Syiah pun meninggalkan dunia politik setelah Hasan bin Ali menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Muawiyah. Mereka pun berkonsentrasi pada kegiatan ilmu dan amal ibadah.

Pada masa berikutnya, kelompok netral tersebut menjadi gerakan apolitis karena ketetralan tersebut merupakan sikap politik lain di antara kedua kubu ekstrim. Adapun kegiatan ilmu dan amal yang diajarkan adalah seputar shalat, puasa, zakat, haji, dan amal ibadah yang sejenisnya. Sikapnya yang berlebihan dalam melaksanakan ibadah ini, menurut Baso, menyebabkan kaum ekstrimis lain, menanggapi situasi disorientatif krisis ditanggapi dengan cara beragama yang disorientatif pula[2].

Contohnya, keharusan terus menerus menangis dan mengingat siksa kubur dan akhirat.

Di antara kelompok ilmu dan amal yang apolitis tersebut, terdapat Hasan Al bashri yang menggugat kosep Jabariyah-Umayah. Gerakan ini menjadi penyambung Ahlussunnah waljamaah yang dilaksanakan generasi Nabi dan pada generasi berikutnya menjadi kelompok Ahlussunnah waljamaah yang dilembagakan. Sikapnya independen dan moderat, tidak memihak Ali maupun Muawiyah, menggugar teologi Jabariyahnya Muawiyah, berfokus pada gerakan moral dan amal ibadah.

Gerakan yang menyelaraskan akal dan wahyu ini menjadi alternatif di tengah krisis politik dan sosial yang terjadi. Dalam ajarannya, akal dijadikan pijakan berfikir sehingga kedzaliman adalah tirani penguasa yang dibuat atas kelalaiannya, bukan takdir tuhan. Lambat laun, gerakan ini dalam persoalan teologi menjadi kelompok Muktazilah , sementara dalam bidang fikih diteruskan oleh Abu hanifah. Melalui Muktazilah , gerakan moral ini menyatakan bahwa baik dan buruk adalah pilihan sendiri yang harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan Abu Hanifah melakukan oposisi dengan menyatakan Al Quran adalah makhluk, sekaligus mengugat doktrin jabariyah-Muawiyah, sekaligus menolak menolak legitimasi kekuasaannya pada wahyu tuhan.

Gerakan Muktazilah dan Hassan Al Bashri mengalami perbedaan masalah dosa besar. Muktazilah yang dipelopori Washil bin Atha mengajukan kosep lain antara memilih Muawiyah dan Khawarij, yakni posisi di antara dua posisi, yakni konsep fasik (orang beriman menjadi fasik karena berdosa, tidak menjadi kafir). Menurutnya, ia bisa membersihkan dosa tersebut dengan cara beriman.

Demikian juga persoalan politik, negara bisa kembali menggunakan moral jika para pelakunya bertaubat. Dalam hal ini, Washil bin Atha menyadari kosep taubat tidak serta merta mampu menyelesaikan persoalan politik yang bersifat public dengn taubat yang bersifat personal. Tindak lanjut kosepnya ialah menjalankan integralisasi antara agama dengan negara. Kebobrokan birokrasi saat itu menyebabkan ia mengadopsi kosep akal-filsafat yang biasa digunakan di Persia, salah satu kawasan yang merupakan kelanjutan peradaban Alexander dari tradisi Yunani.

Kesuksesan Muktazilah tersebut mencapai kejayaannya pada masa Abu Jafar Al Mansyur. Resolusi yang diambil adalah stabilitas politik dan sosial, penyeragaman disiplin keilmuan. Selain itu, abu Jafar Al Mansyur membangun dua kekuatan besar untuk membangun dinastinya, yaitu militer dan ilmuwan. Militer menjaga stabilitas dengan kekuatannya, adapun ilmuwan mengembangkan kesadaran pemikiran masyarakatnya. Maka, tidak heran jika banyak ilmuwan muslim lahir pada masa ini. Tentu saja, kosolidasi besar-besaran dalam bidang akal ini mengeliminasi kelompok penerus Hasan Al Bashri yang berfokus kepada ilmu dan amal ibadah.

Kekecewaan kelompok terakhir ini pada akhirnya melakukan perlawanan melalui pendekatan kultural. Jika kelompok penguasa melakukan hegemoni di wilayah militer dan struktur, maka kelompok ilmu dan amal melakukan gerakan masyarakat dengan memanfaatkan kebijakan kebebasan berekspresi dari penguasa. Perlawanan yang dipimpin Yazid ibnu Harun ini melahirkan ulama besar seperti Imam Hambali. Adapun karya-karya ulama penerusnya adalah kodifikasi hadis, fiqih, tafsir, sejarah, hingga politik. Tentu saja, selain menambah solidaritas para ulama, kebijakan ini memunculkan kritikan dan hujatan terhadap penguasa Abasiyah, bahkan tidak sedikit juga penghakiman terhadap lawan-lawan politik dan ideologi dengan klaim sesat dan kafir.

Dalam hal ini, penguasa menguasai struktur. Adapun Imam Hambali mampu memperluas pengaruhnya. Dengan pengaruhnya yang luas, Imam Hambali membakukan kelompoknya dengan nama Ahlussunnah waljamaah, yakni kelompok yang mengikuti tradisi nabi dan sahabatnya. Sebagai mana ajaran Alusunnah wal jamaah yang dikutif oleh Ahmad Baso atas pernyataan Imam hambali, adalah sebagai berikut:
“….tidak mengkafirkan seorang pun dari penganut tauhid karena adanya dosa yang dilakukan, mengembalikan segenap keputusan atas persoalan yang tidak jelas dan samar-samar kepada allah, serta melimpahkan segala urusannya kepada allah..

Dan juga (mengakui) bahwa Al quran itu kalam Allah (sabda Tuhan) dan wahyu yang diturunkan kepada umat manusia dan bukan “makhluk atau diciptakan, dan bahwa iman itu adalah ucapan dan tindakan sekaligus, yang bisa bertambah dan bisa pula berkurang.”[3]

Imam Hambali yang membawa kosep ini otomatis menggugat teologi Jabariyah, Qodariyah, Khawarij, Muktazilah , Murjiah, maupun Syiah . Doktrin ini dimanfaatkan oleh Al Makmun (anak kedua Harun Arrasyid) untuk melakukan pembantaian terhadap para ulama yang menyatakan Al Quran itu kalam tuhan untuk kepentingan politiknya.

Kemenangan pihak imam hambali terjadi ketika khalifah Al Mutawakil mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan segala bentuk diskusi, perdebatan dan pembahasan kalam. Otomatis, para ulama yang tadinya teralienasi mendapat posisi sentral, terutama untuk merehabilitasi disorientasi nilai, menjadikan Al Quran, sunnah, dan tradisi ulama salaf sebagai sandaran utama. Tentu saja, konsekuensinya adalah menjawab tantangan administrasi kenegaraan melalui pendekatan fiqih dan hadis yang secara praktis belum pernah bersinggungan dengan administrasi kenegaraan sehari-hari.


Referensi:
[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar sejarah kebenaran/ pengetahuan terletak pada peralihan fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi pengetahuan dengan relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 70.
[3] Baso, ibid, hal 79.



Arkeologi dan genealogi[1] Ahlussunnah wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai epitimologis dan politis era kontemporer hingga periode Nabi Muhammad saw. keterkaitannya dengan sejarah ahlusunnah generasi ketiga, tokoh yang berhasil merumuskan teoritisasi dan konsolidasi Ahlussunnah waljamaah ialah Imam Asy’ari, salah seorang tokoh yang keluar dari Muktazilah .[2]

Di satu sisi ia mempertahankan pedoman pada Al Quran dan sunnah, sementara di pihak lain ia mempercayai akal sebagai pijakan berpikir. Lebih jauh lagi, ia bermaksud menjawab gerakan Syiah yang mempertanyakan legitimasi kekhalifahan. Hal ini dikarenakan pada masa itu, Khawarij dan Muktazilah telah hancur sehingga lawan politik Ahlussunnah waljamaah hanya Syiah . Perbedaan Syiah dengan Muktazilah ialah Muktazilah tidak pernah menggunakan legitimasi agama sebagai legalitas politiknya, sementara Syiah mendasarkan imamahnya pada hadis nabi tentang wasiat kepada Ali sebagi pengganti Nabi.

Menurut Baso, untuk menjawab legalitas kekhalifahan, Imam Asy’ari merujuk kepada pendasaran keabsahan kepemimpinan sunni, terutama khulafaurrasyidin, dari tentang empat landasan hukum Islam seperti yang dilakukan Imam syafi’i, yaitu Al Quran dan hadis, ijma’ dan Qiyas. Dalam problematika ijmak, ia mendasarkan legalitas pemilihan sahabat Abu Bakar pada konsensus para sahabat. Jika kepemimpinan Abu Bakar sah, maka secara qiyas, kekhalifahan sahabat lain pun menjadi absah, sehingga kekhalifahan pada masanya pun sama pula absahnya.[3]

Berdasarkan pada kosep tersebut, tradisi salaf pun menjadi kekuatan untuk menentukan suatu hukum melalui pijakan ijmak dan qiyas. Berdasarkan hal ini pula konsep jamaah sebagai tindak lanjut dari otoritas salaf mempunyai relevansinya dengan Ahlussunnah waljamaah. Dengan komparasi antara Al Quran dan sunnah sebagai nash dan ijmak serta qiyas sebagai kekuatan hukum rasional mampu menjadi rujukan pemecahan persoalan kontemporer secara relevan karena mampu melihat persoalan berdasarkan kesesuaian nash, dan masa lalu, masa kini, serta masa depan. Hal ini lebih memiliki progresivitas dibanding dengan pendekatan Imam Hambali yang bercorak tekstual dan kaku dalam merespon permasalahan. Lebih lauh lagi, teoritisasi Imam Asyari ini membuat geram Ibnu Taimiyah, pengikut Imam hambali yang bercorak literal.

Pendekatan qiyas yang rasional ini dikembangkan Asy’ari hampir serupa dengan konsep Muktazilah tentang pendekatan rasio. Bedanya, dalam pemikiran Muktazilah, terdapat doktrin al aql qobla wururud as-samiy (akal didahulukan sebelum adanya teks), adapun dalam pemahaman Asy’ari rasio sekedar dipakai sebagai dasar untuk mengukuhkan argumen yang dipakai sebelumnya. Adapun kesamaan Asy’ari dan Muktazilah adalah konsep istidlal bisy-syahid ‘ala al ghaib, yakni suatu bentuk penalaran yang berangkat dari penalaran inderawi untuk mengukuhkan yang ghaib (ketuhanan).
Dalam pemahamannya terhadap hubungan antara agama dengan negara, pelembagaan kosep Imam Asyari ini diteruskan oleh Imam Ghazali dengan komparasi generasi salaf dan tradisi gnosis (irfan) neo-platonisme dan logika Aristoteles dan menjadi warisan umat islam hingga era kontemporer.

Penyatuan antara agama dengan politik direkonstruksi Imam Ghazali menjadi kesatuan integral antara agama, dunia, dan negara. Proses sejarah panjang Ahlusunah waljamaah sejak zaman nabi Muhammad saw. hingga Imam Ghazali saling bersinggungan dengan berbagai sekte lain sehingga menimbulkan keseimbangan antara agama, dunia, dan negara tersebut.

Politik menurut Ahlussunnah waljamaah diposisikan bukan sebagai tujuan maupun rukun iman, melainkan alat untuk mencapai kemaslahatan umat. Demikian halnya dengan sifat Negara yang duniawi dan profan menyebabkan Negara bebas dikritik jika tidak sesuai dengan prinsip syariat.

Akan tetapi seperti dikatakan di muka, tradisi tawasuth Ahlussunnah waljamaah menyebabkan banyaknya corak pemikiran tentang politik. Di samping Imam Ghazali tentang penyatuan harmonisasi agama dengan negara, Ibnu Rusyd mempunyai kosep sekularisasi antara agama dengan negara. Pemikiran tersebut terinspirasi oleh pemikiran Ibn Hazm tentang kritik atas otoritas Assyafii, Asyari, dan Ibnu Rusyd al jadd.



Referensi:
[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar sejarah kebenaran/ pengetahuan terletak pada peralihan fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi pengetahuan dengan relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2] A. Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, hal 48[3] A. Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 88.

(Abdurrahmanwahid-Gusdur/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: