Ditulis pada MAC 11, 2007 oleh Musadiq Marhaban
Pada
dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun,
pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara
kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa
dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat
bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan
yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur
pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu,
munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum
dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau
penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.
Sehubungan
dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai
seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku
manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana
kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama
bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini,
agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah
agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama
samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya
berdasarkan kebijakan dan tradisi.
Dalam
kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan
kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau
profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti
Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang
keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing
agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu
ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari
masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah
seorang nabi Tuhan.
Di
dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki
beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang
diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang
mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya.
Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam
(Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang
sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga
ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang
paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang
selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada
otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai
penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi
adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun
peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam
Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau
imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui
perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya,
baik oleh Yahudi maupun Kristen.
Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant
antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan
mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat
bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini
ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk
mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan
keadilan.[10]
Untuk
itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada
Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai
sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang
tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan
kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi
pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan,
namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru
bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai
disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan
ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis
Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali
setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali
setelah adanya para hakim.
Pada
dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi
dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan
manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang
dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara
gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.
Setelah
Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan
biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab
dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas
orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia
akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan
memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar
(Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada
zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk
melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya
(Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan
RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang
ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi
utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk
menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an
menyatakan:
“Jadi
sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan
berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku
sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh
bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus.
Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel”. (Keluaran 19:5-6)
“Dan
ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari
Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari
mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)
Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).
Alhasil,
substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa
status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan
kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah
sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui
konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak
terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang
dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila
Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah
dianugerahi suatu kerajaan yang besar.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad)
lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami
memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)
Secara
historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa
keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti
Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau
Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih
dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika
demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an
itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau
kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari
ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan
besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw
sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan
ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para
nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah
para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka
mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?
Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir
ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada
duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar
ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari
suku Qurays”’”. Wallahu’alam.
Catatan Kaki:
[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.
[2]“Aku
akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu
seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia
menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari
padanya”.
[3] “Bukankah
Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu
Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu,
untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.
[4] ”Ketika
itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan
memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ
mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.
[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.
[6] “Kepadamu
dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai
orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu
untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman
Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang
perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.
[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).
[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).
[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.
[10] “Sebab
Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan
kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan
TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN
memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).
[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua,
ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as
sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana
keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada
keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada
yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan
ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan
dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang
yang zalim’”. (QS. 2:124).
[12]
“Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini
digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan
menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika
Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh
Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit
Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang
menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS.
2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari
citranya.
[13] Saya
sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab
LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak
tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’
(imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal
dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa,
sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin
atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.
[14]
Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam
Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks
Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people.
Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya
saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini
dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality)
yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya
telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan
menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29).
Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni
kebangsaan dan juga manusia secara umum.
[15] “Dan
Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).
[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi
tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti
suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).
Post a Comment
mohon gunakan email