Ada banyak ayat yang memberi isyarat kepada khalifah ‘Ali bin Abi Talib. Tidak mungkin untuk menyebutkan seluruhnya di sini. Tetapi peristiwa “Mubahala” (saling mengutuk) yang terjadi pada tahun ke sembilan Hijrah harus mendapat perhatian kita.
Pada tahun kesembilan Hijriah, sebuah utusan yang terdiri dari empat belas orang Nasrani dari Najran datang untuk berjumpa dengan Nabi Saw. Ketika mereka berjumpa dengan Nabi Saw, mereka bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang Nabi ‘Isa?” Nabi Saw berkata: “Anda Silahkan istirahat hari ini dan Anda akan segera mendapatkan jawaban pertanyaan Anda nanti.”
Pada hari berikutnya, tiga ayat dari surat an-Nisa’ tentang Nabi Isa diwahyukan kepada Nabi Saw. Ketika para ulama Nasrani itu tidak menerima firman Allah Swt dan bersikeras terhadap apa yang mereka yakini, Nabi Saw membacakan ayat ini, “Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya: “Marilah kita memanggil anak-anak kami, dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah bermubahala kepada Allah dan mita supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (Qs. Ali Imran: 61)
Pada hari ketiga, para ulama Nasrani itu berdiri pada satu tempat, dan pada tempat lainnya, Rasulullah Saw keluar dari kediaman beliau kemudian, Husain dan Hasan berjalan di sampingnya memegang tangan beliau. Di belakang beliau ada Fatimah (putri Nabi Saw), dan di belakang Fatimah, ‘Ali berdiri.
Ketika para ulama Nasrani itu melihat kelima orang kudus ini, mereka menarik diri dari mubahala ini dan mengajukan sebuah perjanjian kepada Nabi Saw.
Pada ayat suci Ilahi ini, menurut Jabir bin Abdillah al-Ansari, kata “anak-anak” merujuk kepada Imam Hasan dan Imam Husain, kata “wanita-wanita” merujuk kepada Fâtimah az-Zahra, dan kata “diri kami” merujuk kepada Rasulullah Saw dan ‘Ali As. Maka, ‘Ali bin Abi Talib sesuai dengan ayat mubahalah ini disebut sebagai “diri” Rasulullah Saw.[1]
Juga hal ini berarti bahwa tidak sah untuk menganggap ‘Ali lebih utama dari Nabi Saw atau sebaliknya (menggantikan ‘Ali) – ia merupakan bagian dari diri Nabi Saw sesuai firman Allah Swt ini. Bila ada orang yang menduga untuk menggantikan ‘Ali hakikatnya menduga menggantikan Nabi Saw.
Sunnah
Setelah deklarasi al-Ghadir, sejatinya kita tidak perlu lagi bukti-bukti yang menegaskan kekhalifaan ‘Ali bin Abi Tâlib As. Namun, masih relevan jika kita menukil beberapa hadits dalam masalah ini. Dalam hadits Tsaqalain, Nabi Saw bersabda:
“Aku tinggalkan tsaqalain (dua hal yang berat) kepada kalian – Kitabullah dan Itrahti (Ahl al-Baitku). Kalian tidak akan tersesat selamanya jika kalian berpegang teguh kepadanya. Karena keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga kelak kalian menjumpaiku di telaga Kautsar.”
Kini, diakui bahwa ‘Ali As bukan sekedar salah seorang Ahl al-Bait Nabi akan tetapi dia adalah kepala Ahl al-Bait Nabi Saw. Oleh karena itu, kewajiban untuk taat dan tunduk kepadanya terbukti dari hadits sahih dan universal ini.[2]
Kemudian, ada juga hadits yang disebut sebagai hadits al-Manzilah (hadits kedudukan). Dalam ekspedisi Tabuk (pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah) Nabi Saw meninggalkan jabatan kepada ‘Ali sebagai pengganti Nabi di Madinah selama kepergian beliau. ‘Ali berseru dengan sedih: “Apakah engkau akan meninggalkan aku di belakang?” Nabi Saw berkata: “Wahai ‘Ali! Apakah engkau tidak rida bahwa engkau bagiku ibarat Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?”
Dengan demikian, Nabi Saw bermaksud bahwa sebagaimana Musa yang meninggalkan Harun untuk mengurus umatnya selama kepergiannya untuk menerima perintah, dengan jalan yang sama ‘Ali ditinggalkan sebagai deputi (wakil) Nabi untuk mengurus urusan umat Islam selama kepergian beliau.[3]
Lalu ada peristiwa penyampaian ayat-ayat surat al-Barâ’ah kepada penduduk Makkah. Pertama kali, Abu Bakar yang diutus untuk mengumumkan ayat-ayat ini di hadapan kaum kuffar. Kemudian, Nabi Saw mengutus ‘Ali untuk mengambil surat tersebut dari Abu Bakar dan menugaskannya untuk mengumumkan di Makkah. Abu Bakar kembali dari perjalanannya ke Madinah dan bertanya kepada Nabi ihwal penggantian ini, apakah ada ayat dari surat tersebut atau perintah yang datang dari Allah yang mencegahnya untuk mengumumkan surat ini. Nabi Saw berkata: “Jibril datang kepadaku dan berkata bahwa tidak ada seorang pun yang harus mengirim pesan ini kecuali aku sendiri atau orang yang berasal dariku.”[4]
Prinsip utama yang jelas disampaikan oleh Nabi dalam deklarasi-deklarasi ini juga dapat dijumpai dalam hadits-hadits yang diterima oleh seluruh madzhab. Hadits yang menyatakan bahwa: “Ali bersama haq, dan haq bersama ‘Ali.”[5]
Hadits yang lain adalah hadits Nur. Sayyid al-Hamadani menulis dalam Mawaddatul Qurba, yang dinukilnya dari Salman al-Farsi, bahwa Nabi Saw bersabda: “Aku dan ‘Ali diciptakan dari nur yang satu, empat ribu tahun sebelum Adam diciptakan, dan ketika Adam diciptakan, Nur tersebut diletakkan di punggung Adam. Sehingga kami berdua mendiami tempat yang sama hingga kami dipisahkan melalui punggung Abdul Muttalib. Oleh karena itu dalam diriku kenabian dan pada diri ‘Ali kekhalifaan.
Dalam kitab Riyadul Fadail, akhir kata dari hadits di atas tertulis sebagai berikut: “Lalu Dia (Allah) menjadikan aku sebagai Nabi dan ‘Ali sebagai wasi (khalifah).[6]
Ulul ‘Amr Harus Ma’sum (Suci dari segala dosa dan kesalahan)
Allah Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (QS.an-Nisa:59).
Ayat ini mewajibkan kepada seluruh kaum Muslimin kepada dua ketaatan: pertama, ketaatan kepada Allah, ketaatan kepada Nabi dan “yang memegang kekuasaan di antara kalian (Ulil Amri minkum).” Susunan kalimat dari ayat ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada ‘Ulil Amr setara dan sebanding dengan ketaatan kepada Nabi.
Secara wajar, hal ini berarti bahwa Ulil Amr harus memiliki kapabilitas, kapasitas yang sama dengan Nabi; kalau tidak Allah Swt tidak akan menyandingkannya bersama dalam ayat ini.
Sebelum memutuskan siapakah Ulul Amr, akan sangat membantu jika kita melihat terlebih dahulu perintah untuk taat kepada Nabi Saw, untuk menunjukkan betapa inklusifnya dan meliputinya perintah ini dan betapa agungnya otoritas (wilayah) Rasulullah. Allah berfirman dalam Kitab Suci-Nya, “Dan Kami tidak mengutus setiap Nabi kepada kalian kecuali untuk ditaati dengan izin Allah.” (Qs. al An’am: 64)
Para nabi dan rasul seyogyanya ditaati dan diikuti; para pengikut tidak diminta untuk mengamati setiap perbuatan dan amalan Nabi untuk memutuskan apa yang harus ditaati dan yang harus dibantah. Jelasnya, hal ini menunjukkan bahwa para nabi dan rasul adalah insan yang terbebas dari dosa dan salah (ma’sum); kalau tidak Allah Swt tidak akan memerintahkan orang-orang untuk taat kepada para nabi tanpa syarat.
Terdapat beberapa ayat di mana Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mentaati Nabi, “Wahai orang-orang yang beriman!” Taatlah kepada Allah dan kepada Rasul.”[7]
Dan juga Allah berfirman, “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya….”[8] dan dalam surat yang sama, Allah berfirman, “Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (Qs. an-Nisa: 80). Dalam beberapa surat yang disebutkan di atas, sebanyak ayat-ayat yang lain yang disebutkan dalam al-Qur’an, ketaatan kepada Allah adalah setara dan seimbang dengan ketaatan kepada para nabi. Penegasan ini tidak akan mungkin berlaku jika para nabi bukan orang yang ma’sum.
Kini, mari kita simak ayat berikut ini, ” …dan janganlah kalian mentaati mereka dari golongan pendosa atau kafir …” gambarannya makin sempurna.
Para nabi adalah untuk ditaati; dan para pendosa tidak patut ditaati. Satu-satunya kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa para nabi bukanlah orang-orang yang berdosa atau pelaku maksiat. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang ma’sum (suci dari dosa).
Coba bayangkan situasi musykil apa yang akan terjadi jika setiap nabi menyeru kepada para pengikutnya untuk melakukan dosa atau kesalahan.Para pengikut malang ini, bagaimanapun juga akan tetap dilaknat karena bermaksiat kepada Allah. Jika mereka mentaati nabi dan melakukan sebuah dosa berarti mereka membantah perintah yang diberikan oleh Allah dan oleh karena itu mereka dilaknat. Jika pada satu sisi mereka membangkang kepada Nabi, mereka tergolong orang yang membangkang perintah Allah Swt. Jadi, rupanya bahwa seorang nabi yang tidak ma’sum tidak akan membawa kepada keselamatan kecuali laknat dan kutukan bagi umatnya.
Mari kita lihat secara seksama kepada Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, “…Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..”(Qs. al-Hasyr: 7) hal ini menandakan bahwa izin atau larangan Nabi Saw adalah selalu selaras dengan kehendak Allah Swt dan senantiasa diistimewakan oleh-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Saw adalah orang yang ma’sum. Tidak seorang pun yang akan percaya dan yakin tentang perintah-perintah dari orang yang bukan ma’sum.
Ada ayat yang lain yang menyatakan bahwa, “Jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah akan mencintaimu dan memafkan segala dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran: 31)
Di sini, kecintaan kepada Allah dibuat bergantung kepada kecintaan kepada Nabi Saw. Kedua sisi dari cinta ini termasuk di dalamnya.
Jika kalian mencintai Allah ikutilah Nabi Saw; jika kalian mencintai Nabi Saw, Allah akan mencintai kalian. Tidakkah kenyataan ini menunjukkan bahwa Nabi Saw bebas secara mutlak dari segala jenis dosa dan kesalahan?
Tidak hanya dalam bentuk perbuatan, bahkan kata-kata sang Nabi merupakan perintah dari Allah. Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Dan tiadalah yang diucapakannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. an-Najm: 3-4)
Pada ayat ini kita jumpai derajat tertinggi kema’suman yang dapat dibayangkan.
Sebagai tambahan dari apa yang telah dibahas sebelumnya, ada beberapa ayat yang di dalamnya menggunakan redaksi berikut ini:
“…dan seorang nabi yang berasal dari kalian sendiri, yang membacakan ayat-ayat kepada mereka, dan menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah.”[9] Bagaimana seorang nabi mensucikan orang lain dari dosa-dosa dan nista jika ia sendiri tidak suci (naudzubillah)? Bagaimana mungkin seseorang mengajarkan hikmah kepada orang lain jika ia tidak memiliki hikmah untuk membedakan yang baik dan benar; atau yang paling buruk, jika ia tidak memiliki kekuatan-diri untuk berhadapan dengan kemaksiatan?
Nabi mengajarkan Kitabullâh kepada manusia; hal ini berarti bahwa beliau mengetahui perintah-perintah Allah. Nabi mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka hikmah, menandakan bahwa Nabi memiliki hikmah dan kesucian untuk dirinya sendiri.
Simaklah kesempurnaan sifat Nabi yang dapat kita jumpai dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4) Seorang insan yang melakukan kesalahan tidak pantas dan patut untuk mendapatkan pujian sedemikian tinggi dan agung seperti ini.
Keseluruhan dari ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas dua hal:
1. Otoritas Nabi Saw atas orang-orang Mukmin tidak terbatas dan paripurna. Setiap dustur yang diberikan oleh Nabi, dalam setiap situasi, tempat, waktu harus ditaati tanpa syarat.
2. Otoritas agung ini diberikan kepadanya karena beliau adalah orang ma’sum dan terbebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Tanpa ini, Allah Swt tidak akan memerintahkan kepada kita untuk mentaatinya tanpa syarat.
Dalam ayat, Ulul Amri, juga telah diberikan otoritas yang sama di atas seluruh kaum Muslimin, karena kedua kata “Nabi” dan “Ulul Amr” telah disebutkan secara bersamaan di bawah satu kata, (‘atiuu); yang menunjukkan bahwa ketaatan kepada Ulul Amr memiliki kedudukan yang setara dengan ketaatan kepada Nabi Saw.
Amirul Mukminin, ‘Ali As, berkata, “Orang yang tidak taat kepada Allah tidak wajib ditaati, dan sesungguhnya ketaatan hanya kepada Allah dan Nabi-Nya dan Ulul Amr. Sesungguhnya, Allah memerintahkan (orang-orang) untuk taat kepada Nabi karena beliau adalah insan ma’sum dan suci, yang tidak akan berkata kepada umat supaya membangkang kepada Allah, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada manusia untuk taat kepada Ulul Amr karena mereka adalah orang-orang yang terbebas dari dosa dan suci, tidak akan berkata kepada manusia supaya mereka menentang perintah Allah.”[10]
Catatan Kaki:
[1] . Lihat, al-Wahidi: Asbabu ‘n-nuzul, hal. 40; as-Suyuti: ad-Durru ‘l-mantsur, vol. 2, hal. 38.
[2] . Hadits ini dapat dijumpai dalam banyak kitab-kitab hadits. Lihat misalnya, at Tirmidzi: as-Sahih, vol. 2, hal. 308; Ibnu ‘l-Atsir: Usdu ‘l-Ghabah, vol. 2, hal. 12; as-Suyuti: ad-Durru ‘l-mantsur, vol. 6, hal. 7; al-Muttaqi al-Hindi: Kanzu ‘l-’Ummal, (Hyderabad, 1312 H), hal. 48
[3] . Lihat, Ibn Majah: as-Sunan, hal.l2; Ahmad: al-Musnad, vol. 1, hal. 174; an-Nasa’i: al-Khasa’is, hal. I5-16; atTahawi: Mushkilu ‘l-Athar, vol. 2, hal. 309; al-Muhibb at-Tabari: Dzakhatiru ‘l-’Uqba, hal.63.
[4] . Lihat, as-Suyuti: ad-Durru ‘l-Mantsur, vol. 6, hal. 209, at-Tabari: at-Tafsir, vol. 10, hal. 47; an-Nasa’i: al-Khasa ‘is, hal. 20.
[5] . Lihat, al-Khati’b al-Khwarazmi: al-Manaqib, hal. 56; al-Hammuyi: Fara’idu ‘s-simtayn, vol. 1, hal. 176; al-Khati’b al-Baghdadi: Tari’kh Baghdad, vo1. 14, hal. 321.
[6] . Sebagaimana dikutip dalam Kitab Mafatihu ‘l-Matâlib, hal.396; al-Ganji: Kifayatu ‘t-Tâlib, hal. 176.
[7] . Al-Qur’an, 47:33; Lihat juga, 3:32,132; 5:92; 8:1,20, 46; 24:54; 58:13; 64:12.
[8] . Al-Qur’an,4:13;Lihat juga, 4:69; 24:52; 33:71; 48:18.
[9] . Al-Qur’an, 62:2; lihat juga, 2:129; 3:164.
[10] . Lihat, as-Saduq:‘ Ilalu ‘sh shara’i‘, vol. I, hal . 123 .
(Sunni-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email