Pesan Rahbar

Home » » Syi’ah di Aceh, Budaya atau Aqidah?

Syi’ah di Aceh, Budaya atau Aqidah?

Written By Unknown on Thursday 7 August 2014 | 20:33:00


Oleh: Dr. M. Hasballah M. Sa’ad

“Syiah di Aceh”

Telah menggugah saya dan memberi tanggapan, khususnya berkait Hikayat Muhammad Nafiah, putra Ali bin Abi Thalib dari isterinya yang lain, yang didudukkan di paha kanan Rasulullah saw. Sementara, cucu kesayangan beliau saw, Hasan dan Husen didudukkan di paha kiri Rasul yang kemudian membuat Saida Fatimah, bermasam muka. Lalu Rasul saw, menjelaskan bahwa Hasan dan Husein akan menemui ajal karena dibunuh, dan Muhammad Nafiah akan menuntut bela atas kematian mereka ini.

Bila benar yang dimaksudkan Muhammad Nafiah adalah anak Ali bin Abi Thalib dari isteri yang lain, maka saya ingin memperjelas bahwa isteri tersebut bernama Khaulah yang berasal dari Sind yang tertawan pada perang Yamamah kemudian menjadi budak Bani Hanafiah. Khalifah Abubakar memberikannya kepada Ali, dan hasil perkawinan ini lahirlah Muhammad bin Ali bin Abu Thalib pada tahun 21 H. yang terkenal bernama Ibnu Al-Hanafiah. Cerita yang menyebutkan Rasul Saw memangkunya adalah sangat musykil sekali terjadi karena Rasul wafat pada tanggal 12 Rabiul’awal tahun 11 hijrah, dan Muhammad Nafiah baru lahir pada tahun 21 H.

Sejarah mencatat Ali bin Abi Thalib pada perang Jamal tahun 36 H, dan pada perang Shiffin tahun 37 H. Dia terkenal gagah berani, alim dan wara’. Meskipun dia keturunan dari Ali bin Abi Thalib tapi Syi’ah Itsna Asy’ariyah tidak memasukkannya sebagai salah satu Imam karena mereka membatasi imam, yaitu hanya pada anak-anak Ali dari Fatimah r.a. Namun oleh faham Syi’ah sekte Al-Kisaniyah tidak membatasi hanya dari anak-anak Fatimah r.a. Mereka mengangkat Muhmmad bin Al-Hanafiah, menjadi salah satu Imam mereka, setelah berjuang memerangi penguasa yang zalim akhirnya. Dia wafat pada tahun 81 H sekembali dari Makkah menunaikan haji. Dia dikuburkan di Baqi.

Tragedi Karbala memang sangatlah tragis, memilukan, dan keji. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Hasballah dalam tulisannya. Duka nestapa dan airmata terus mengucur. Belum lagi kering atas duka suatu peristiwa terjadi lagi peristiwa lain. Sejak terbunuhnya Sayyidina Ali as oleh Abdurahman bin Muljam (kelompok Khawarij) pada tanggaj 17 Ramadhan tahun 40 H, cucu kesayangan Rasul saw, Hasan pun diracun oleh anak perempuan Shail bin Amr atas bujukan Muawiyah sehingga menemui kesyahidannya pada tahun 50 H setelah menderita selama empat puluh hari di pembaringan. Dan puncak kepiluan adalah terbunuhnya Husen di Karbala pada tahun 61 H dengan cara yang sangat keji oleh Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Yazid bin Muawiyah.

Apa yang terjadi pada Sayyidina Husen kembali terulang pada cucunya Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husen pada tahun 122 H. Saat itu beliau berjuang melawan kekuasaan zalim Hisyam bin Abdul Malik, kepalanya tertembus anak panah hingga menemui ajalnya. Pengikutnya berusaha menyembunyikan jasad Zaid dengan menguburkan pada tempat yang tersembunyi tetapi dapat diketahui oleh lasykar Bani Umayyah lalu kuburannya digali kepalanya dipenggal dikirim ke Damaskus sedangkan tubuhnya disalib di Kufah. Tragedi yang syahidnya Hasan dan Husen menjadi tradisi keagamaan di Aceh sebagai penghormatan. Itu menandakan bahwa di Aceh ada pemeluk Syi’ ah yang sering ditentang karena beda faham dengan Ahlussunnah.

Mengenai Muawiyah dan anaknya Yazid, Syeikh Nuruddin ar-Raniry yang menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam masa kekuasaan Iskandar Tsani (1045 -1050 M) mengeluarkan fatwa dalam bentuk syair berikut. Kata Nuruddin ebeunu Hasanji, meunan neupekri lam katanya Meupakat ulama dum na Aceh. menoe neupegah kalam calitra Saidina Ali ngon Muawiyah. nibak Allah pangkat beusa, Soe yang ceureuca dua ureung nyan. nibak Tuhan keunong meureuka Misei Yazid aneuk Muaw iyah, Fe/ora lidah he syeedara. Bek keuh takheun Yazid kaphe, hana dali Yang peusiasa. Hana hadih nibak nabi, hana dali kheun Rabbana. Indonesianya : Kata Nurddin ibn Hasanji, demikian tegas dalam katanya Ulama Aceh telah mufakat demikian riwayat ceritanya Saidina Ali dan Muawiyah, disisi Allah mereka sama Siapa yang cerca orang dua itu. dari Allah murka menimpa Juga Yazid anak Muawiyah, jaga lidahmu wahai saudara Janganlah dikata Yazid kaf’ir, tiada dalil menopangnya Tiada hadis ucapan nabi, tiada bukti firman Ilahi (Dr- Ahmad Daudy. MA. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nuruddin Ar-Raniry, CV. Rajawali Jakarta).

Fatwa itu menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan pemahaman dalam kontek peristiwa Perang Siffin (tahun 37 H) dan Perang Karbala (tahun 60 H) dalam pandangan Sunni. Syeikh Nuruddin mencoba mengaburkan dan memperingatkan ulama-ulama pada masa itu untuk tiduk terpengaruh dengan ajaran Syi’ah. Perbedaan faham antara Syi’ah dan Ahlussunnah terajut dalam rentang sejarah yang panjang yang membias sampai ke Aceh dan mula berdirinya Kerajaan Peureulak (249 H) disusul Kerajaan Samudra Pase (433 H) sampai pada Kerajaan Aceh Darussalam (920-1322).

Fatwa itu merupakan juga suatu ilustrasi bahwa paham Syi’ah pernah berkembang di Aceh. Bait terakhir adalah merupakan suatu pengunci agar hal itu tidak dibicarakan lagi. Berdasarkan fakta sejarah saya tidak merasa enggan untuk berkesimpulan bahwa faham Syi’ah pernah berkembang di Aceh. Namun dengan banyaknya ulama Ah1ussunnah baik di Aceh ataupun yang datang dari Mekah yang menganut mazhab Syafi’iah pengaruh Syi’ah pun mulai memudar. Dan bila sekarang ada yang melantunkan syair Hasan Husen atau ritual lainnya dengan simbol- simbol Syi’ah adalah semata-mata karena kecintaan mereka kepada ahlu1 bait, tapi mereka mungkin (?) bukan penganut faham Syi’ah.

Bendera Kesultanan Aceh yang berisi syair puji-pujian terhadap Muhammad dan Ali.

Penulis: Dr. Hasballah M Saad

ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh.

Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.

Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).

Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.

Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:

//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)

Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.

La Fata Illa Ali, Wa La Syaifa Illa Dzulfaqor.

Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah suara dari manyang (langit).

//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”).

Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung disitu bersama kudanya).

Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri, sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan Husen duduk di paha kiri Rasul.

Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:
“Wahai anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal itu kepeda ku wahai Fatimah”

Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).

Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!

Jika dibandingkan dengan ceritera tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.

Saya bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru dipaha kanan Rasul.

Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.

Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.

Di komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.

Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.

Sementara Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.

Apakah fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):

//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”).

Bagaimanan jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama nama mereka.

Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”

Simaklah sebuah ceritera lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya. Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:

“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//

Terkesima dengan kegungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!

Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.

Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.

*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)

(Serambi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: