MENGUAK pertalian Raja-raja Aceh Sejak Kerajaan Perlak Sebuah buku berjudul "Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-Raja Islam di Nusantara," diterbitkan pelita Gading Hidup Jakarta, ditulis Pocut Haslinda Syahrul Muda Dalam, mencoba menguak pertalian raja-raja di Aceh sejak pra Islam.
Buku setebal 237 halaman dengan warna kulit merah marun didiskusikan dalam suatu forum di Balai Kartini, Jakarta, 16 Nopember 2008 silam. Malam harinya, di gedung yang sama dipentaskan "drama musikal" yang memuat informasi silsilah raja-raja Aceh tersebut serta peranan kaum perempuan Aceh sejak abad VIII sampai abad XXI. Pentas itu disutradari Dedi Lutan berdasarkan nasakah yang ditulis Pocut Haslinda Syahrul MD binti Teuku H Abdul Hamid Azwar, waris Tun Sri Lanang ke-8.
Sebetulnya masih ada tiga buku lain yang dihasilkan Pocut Haslinda dalam waktu bersamaan, yaitu "Perempuan Aceh dalam Lintas Sejarah Abad VIII-XXI, Tun Sri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu, dan Dua Mata Bola di Balik Tirai Istana Melayu."
Untuk menggenapi informasi "Silsilah Raja-Raja Aceh" dan ketiga bukunya itu, Pocut Haslinda, pernah menempuh pendidikan fashion dan model di Paris, Jerman, dan London (1965-1970) membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri.
Buku "Silsilah Raja-Raja Aceh" itu secara sederhana mencoba menarik garis pertautan raja-raja Aceh sejak awal abad ke 8 pada masa Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan lain di Aceh, termasuk persinggungan yang sangat penting dan fundamental dengan Kerajaan Isaq di Gayo, dan pertautan raja-raja Aceh dengan Perak, Johor, Deli-Serdang, Majapahit, Demak, Wali Songo dan sebagainya.
Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman, Pangeran Kerajaan Persia yang ditaklukkan pada zaman Khalifahtur Rasyidin. Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya antara 224 - 651 Masehi. Setelah penaklukkan, sebahagian keluarga kerajaan Persia ada yang pergi ke Asia Tenggara.
Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan ini memilih "hijrah" ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak.
Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan "pengantin baru" itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, kerajaan Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai Meurah Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang Sekudang dianugerahi empat putra dan seorang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi.
Syahir Nuwi di kemudian hari menjadi Raja Perlak yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purba (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Samaindera (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai "Kaom Imeum Tuha Peut" (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan Dinasti Meurah Jeumpa (sekarang Bireuen).
Sementara itu, Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat
di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.
Syahir Nuwi yang menjadi penguasa Perlak menyatakan diri masuk Islam, dan menjadi Raja Perlak pertama yang memeluk Islam.Sejak itu, Islam berkembang di Perlak. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, bertepatan dengan 1 Muharram 225 Hijriah.
Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba`i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Saidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah: Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali al-
Muktabar bin Sayid Muhammad Diba`i bin Imam Ja`far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Sayidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husain Assyahid bin Sayidina Ali bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw).
Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah merupakan penugasan dari Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) untuk menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam "pemberontakan" kaum Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja`far Ashhadiq.
Raja Isaq Gayo dan Turunannya.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulan memiliki tiga putra; Meurah Makhdum Alaiddin Ibrahim Syah, kemudian menjadi Sultan ke-8; Maharaja Mahmud Syah yang kemudian menjadi Raja Salasari Islam I di Tanoh Data (Cot Girek); Meurah Makhdum Malik Isaq (Isak) mendirikan Negeri Isaq I.
Meurah Isaq memiliki putra bernama Meurah Malik Masir yang juga dikenal sebagai Meurah Mersa alias Tok (Tuk) Mersa, diangkat sebagai Raja Isaq II menggantikan ayahandanya. Tok Mersa memiliki tujuh putra yakni: 1) Meurah Makhdum Ibrahim mendirikan Negeri Singkong. Cucu Meurah Makhdum ini bernama Malikussaleh di kemudian hari mendirikan Kerajaan Samudra Pasai. 2) Meurah Bacang mendirikan Kerajaan Bacang Barus. 3) Meurah Putih mendirikan Kerajaan Beuracan Merdu. 4) Meurah
Itam mendirikan Kerajaan Kiran Samalanga. 5) Meurah Pupok mendirikan Kerajaan Daya Aceh Barat. 6) Merah Jernang mendirikan kerajaan Seunagan. 7) Meurah Mege (Meugo) menjadi Raja Isaq III.
Dari turununan Meurah Mege lahir Sultan Abidin Johansyah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam (1203-1234) sampai Sultan Daud Sjah (1874-1939). Turunen Meurah Mege lain, Syekh Ali al Qaishar anak dari Hasyim Abdul Jalil hijrah ke Bugis dan menikah dengan putri bangsawan Bugis yang kelak cucu psangan ini bergelar Daeng. Di antara
anak-cucunya, ada yang pulang ke Aceh bernama Daeng Mansur atau Tgk Di Reubee dan mempunyai seorang putra bernama Zainal Abidin dan seorang putri bernama Siti Sani yang dinikahi Sultan Iskandar Muda.
Di tanah Jawa, Turunan Tok Mersa bernama Puteri Jempa nikah dengan Raja Majapahit terakhir kemudian lahir Raden Fattah yang menjadi Raja Demak. Turunen Tok Mersa lain, yakni Fatahillah menyusul ke Jawa menikah dengan adik Sultan Demak. Fatahillah mendirikan kerajaan Cirebon dan anaknya mendirikan Kerajaan Banten. Fatahillah dikenal juga Sunan Gunung Jati menikah dengan Ratu Mas anak Raden Fattah, cucu Majapahit, keturunannya turun temurun menjadi raja dan pembangun
Demak, Cirebon, Banten dan Walisongo.
Melihat pertautan raja-raja Aceh itu, jelasnya bagi kita bagaimana sebenarnya hubungan erat satu sama lain. Pada awalnya, mereka berangkat dari "indatu" yang sama dari Perlak. (fikar w.eda)
Syiah Aceh
[ penulis: Dr. Hasballah M Saad ]
ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu
dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan
sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh.
Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh,
pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir
Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula
disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca
Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon
Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.
Asal kata shir, datangnya dari keluarga
bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang
setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke
Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi
Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua
saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar
Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira
Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari
Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh
Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari
Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering
dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).
Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari
Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan
sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen
menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin
yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah
hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah
oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin.
Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura
secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan
Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu
pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata
tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.
Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:
//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)
Semangat mencintai ahlul bait, keluarga
Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di
antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan
ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul
mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam
seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman
itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya
Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang
mendukung Yazid bin Muawiyah.
Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar
benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul
mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di
hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah,
yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng
menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan
bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu.
Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan
hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka
turunlah suara dari manyang (langit)
//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)
Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan
perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya
diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya
dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu
teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung
disitu bersama kudanya).
Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada
suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb
membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk
bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen.
Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri,
sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala
Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena
melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat
tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan
Husen duduk di paha kiri Rasul.
Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:
“Wahai anakku, janganlah bermasam muka.
Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak
ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil
menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua
mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal
itu kepeda ku wahai Fatimah”.
Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah
wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail
kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya
setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan
Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan
mut‘ah dalam peperangan yang lama).
Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari
hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang
hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang
sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal
bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu
’aklamu bis-shawab!
Jika dibandingkan dengan ceritera tentang
kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam
umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan,
meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari
negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan
bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad
Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat
itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf:
hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.
Saya bisa memahami bagaimana kepedihan
kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan
pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin
Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga
menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah
bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri
Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru
dipaha kanan Rasul.
Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk
hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan,
sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat,
Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping
hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun
Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu
memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat
Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama.
Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber
nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.
Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk
utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho
dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan
syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format
khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan
meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana
masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan
Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.
Di komunitas lain di Pidie, agak menarik
disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja
berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga
anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed
Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak
perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya
tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed
Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan
Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.
Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang
putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya
dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang
putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali
bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan
Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah
bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan
selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.
Sementara Habib Hasyem alias Habib
Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad
(Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah
pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan
berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman,
Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama
itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari
Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen,
Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum
yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka
dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah,
disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.
Apakah fenomena ini dapat dijadikan
indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh?
Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan
Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama
menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang
dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):
//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)
Bagaimanan jika disimak praktek ritual
ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang
Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya
kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat
kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata
Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala
Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala
Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat
ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah
seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan
nama nama mereka.
Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa
orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka
tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa
tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah
(bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku
dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”.
Simaklah sebuah ceritera lucu tapi
mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di
sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad
Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya.
Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah
penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya.
Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:
“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//
Terkesima dengan kegungan nama yang
disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama
anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan
(Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga
diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu
nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal
kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak
keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad
Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi
nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama
putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan
Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat
dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu
terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad
memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau
Aminah!
Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali
lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan
Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan
sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah
Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini
cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih
dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh
justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik
dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan
Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali
yang sepupu dan menantu Rasulullah.
Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak,
Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke
Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan
Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia
(sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih
ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku,
maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian
manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan
Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu
bis-shawab.
*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)
(Serambi-News/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email