Al-Hafiz Murtada al-Zabidi (w. 1205 H) berkata:
Maksudnya: “Jika dikatakan Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah, maka yang dimaksudkan ialah al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah”. [Ithafus-Sadatil-Muttaqin, juz. 2, hlm. 6].
Tradisi ilmiah hidup terus di Cina; Tsung Dao Lee, Chen Ning Yang dan Chien Shiung Wu adalah contoh produknya. Dua nama pertama adalah pemenang hadiah nobel fisika tahun 1957. Lee dan Yang masing-masing kelahiran Shanghai dan Hofei masih berusia 31 dan 35 tahun ketika menerima hadiah tersebut. Sedangkan nama ketiga merupakan wanita penemu penyimpangan paritas dalam peluruhan beta. Salah satu akselerator partikel besar dunia ada di Cina. BEPC (Beijing Electron Positron Collider) adalah kolider versi SLAC (Stanford Linear Accelerator Center) SPEAR yang diupgrade. Akselerator ini menghasilkan sejumlah besar quark charm, lepton tau, dan telah membuat pengukuran masa lepton tau.
Reputasi paling aktual dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Cina adalah penerbangan ruang angkasa 15 Nopember 2003 lalu. Prestasi ini telah direkam dalam video CD dengan judul Flying Dream Fulfilled dan sudah beredar di pasaran. CD ini meneritakan 20 tahun perjalanan Cina mengejar impian dan ambisi mengarungi ruang angkasa. Sen Zhou 5 dan awaknya Yang Li Wei meneguhkan Cina sebagai negara ketiga yang sukses melakukan penerbangan ruang angkasa setelah Rusia dan Amerika.
Banyak tradisi dan semangat masyarakat Cina yang jauh lebih berguna ditampilkan di negeri kita. Khususnya impian, ambisi serta usaha Cina untuk sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Jauh-jauh hari pun kita dipesan utlubil ilma walau bissin, tuntutlah ilmu walau sampai di negeri bambu ini.
Perspektif Teologis.
Belajar dari pengalaman negeri yang kini lebih maju dari kita seperti Cina, Jepang, Korea, Malaysia, bahkan Vietnam, kata kuncinya adalah ilmu pengetahuan atau sains. Bangunan sains kealaman khususnya didirikan di atas pondasi keteraturan jagad raya dan penerimaan hukum kausalitas.
Namun, penerimaan prinsip kausalitas terkait erat dengan pandangan teologis. Teologi merupakan bagian utama dari pandangan dunia (world view) yang melukiskan kaitan antara Sang Pencipta dan yang dicipta. Itu sebabnya masalah pengembangan sains bukan sekedar persoalan kapital melainkan juga persoalan teologis. Persisnya, efek dari pandangan teologi.
Teologi atau ilmu kalam yang diajarkan di dunia islam termasuk Indonesia adalah aliran Asy’ariyah atau sering disebut sebagai ahl sunnah wal jamaah. Padahal pandangan Asy’ariyah cenderung berseberangan dengan landasan sains yang disebutkan di atas.
Aliran kalam lain yaitu Mu’tazilah cenderung berpandangan rasional liberal. Aliran ini berpandangan bahwa alam bahkan Tuhan sendiri terikat oleh hukum alam yang tidak berubah. Mu’tazilah berpandangan setiap benda mempunyai nature-nya sendiri, menimbulkan efek tertentu dan tidak dapat menghasilkan efek lain. Api tidak menghasilkan sesuatu kecuali panas, dan es tidak menghasilkan sesuatu kecuali dingin.
Dan, efek yang ditimbulkan oleh setiap benda bukan perbuatan Tuhan. Keseragaman peristiwa alamiah itulah yang dikenal sebagai hukum kausalitas. Abu al-Hasan al-Asy’ari yang mulanya pengikut Mu’tazilah tidak setuju ide nature dan efeknya yang khas. Api tidak mempunyai sifat panas dan daya bakar, buktinya nabi
Ibrahim tidak hangus saat dibakar. Asy’ariyah juga menolak kausalitas; dan menurutnya keseragaman peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak memiliki eksistensi obyektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekedar kontruksi mental atau kebiasaan dalam pikiran.
Asy’ariyah juga menolak pandangan Mu’tazilah tentang kehendak bebas dan daya manusia. Ide ini difahami Asy’ariyah sebagai adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang pada gilirannya juga bermakna manusia tidak lagi berhajat kepada Tuhan. Dengan demikian Mu’tazilah jatuh dalam kekafiran.
Mengenai perbuatan manusia, agar tidak seperti Mu’tazilah tetapi juga tidak jatuh pada pandangan jabbariyah Asy’ariyah memperkenalkan ide al-kasb (perolehan). Al-kasb merupakan perbuatan yang terletak di dalam lingkungan daya yang diciptakan, dan diwujudkan dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan demikian daya manusia turut serta dalam perwujudan manusia, karenanya manusia tidak sepenuhnya pasif.
Konsep ini cukup sulit difahami orang kebanyakan dan simplifikasinya tetap membawa pada ide fatalistik. Asy’ariyah memang berangkat dari aksioma superioritas Tuhan. Kausalitas hanya akan menurunkan peran dan derajat kesakralan Tuhan. Sikap ekstrim ini, menurut perenialis Frithj of Schuon membawa pada paradoks dan absurditas. Menjadi hampa makna dan absurd ketika Tuhan menjanjikan surga tetapi Dia dengan sewenang-wenang boleh melanggarnya sebagaimana ide Asy’ariyah.
Schuon juga memperlihatkan argumen penolakan Asy’ariyah pada nature segala sesuatu misalnya api yang panas dan membakar tertolak. Seandainya api tidak mempunyai nature demikian maka Tuhan tidak akan memerintah api menjadi dingin (QS 21:69).
Pengalaman Fisika.
Pandangan Mu’tazilah selaras dengan sains secara umum. Sungguhpun demikian, penerimaan kausalitas dan Mu’tazilah tidak berarti harus membuang Asy’ariyah seperti saat ini yaitu menerima Asy’ariyah tetapi mengkafirkan serta menolak Mu’tazilah. Atomisme Asy’ariyah yang sepenuhnya berangkat dari teks kitab suci, orisinil dan unik.
Al-Baqillani menyatakan bahwa alam terdiri dari atom-atom yang tidak mempunyai ukuran, homogen dan berjumlah berhingga. Meskipun tak berdimensi atom-atom terpadu membentuk benda yang berdimensi. Atom-atom juga tercipta dan musnah seketika karenanya tidak ada konsep jarak. Tuhan terus menerus mencipta (QS 30:11) atom-atom dengan sifat yang sama selama Dia menginginkan benda yang sama. Ternyata gagasan ini dekat dengan atomisme kuantum.
Mu’tazilah dan Asy’ariyah berseberangan tetapi keduanya juga menawarkan kebenaran. Fisika dapat mendamaikan antara kausalitas yang mengikat Tuhan ala Mu’tazilah dan penciptaan serta pemusnahan oleh kesewenang-wenangan Tuhan versi Asy’ariyah. Dunia makroskopik memenuhi hukum kausalitas deterministik Newtonian sedangkan di dunia mikro berlaku hukum probabilistik. Mekanika klasik tidak mampu mendiskripsikan perilaku mikro sedangkan mekanika kuantum tidak efektif menjelaskan penampakan makro. Keduanya dikaitkan oleh prinsip korespondensi Bohr, wilayah makro merupakan limit ekstrim gambaran mikro.
Keduanya mampunyai domain berbeda, saling melengkapi dan dalam bahasa teologi sama-sama memerlukan kehadiran aktor tunggal yaitu Tuhan. KemunculanNya saja yang berbeda, pada wilayah makro muncul dalam bentuk sunnatullah yang tetap, sedangkan di wilayah mikro dalam ketentuan yang tak dapat dipastikan kecuali kemungkinanNya.
Selanjutnya untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak aspek kita perlu membuat breakthrough ala Bacon yang sangat anti metafisika dan logika Aristotelian yang hanya bertumpu pada silogisme dan menggantinya dengan metoda ilmiah yang bertumpu pada eksperimen.
Berdialog dengan Asy’ariyah dan Mu’tazilah.
Dialog interfaith dan intrafaith merupakan dialog yang harus intens dikembangkan pada setiap pemeluk kepercayaan. Keyakinan yang dianut oleh sebuah agama atau mazhab untuk mampu berjajal dengan realitas harus dikomunikasikan dan diekspresikan pada bursa ideologi. Karena ketika keyakinan atau kredo itu dipandang sebagai sebuah pilihan, setelah melakukan penelusuran dengan menggunakan piranti akal dan nurani, ia harus dipandang sebagai sebuah kebenaran yang menyediakan lahan bagi para pemeluknya untuk melesak meraih kesempurnaan insani dan kebahagiaan hakiki. Karena mencapai dan meraup kesempurnaan merupakan tuntutan fitrah manusia, apapun agamanya.
Islam yang merupakan sebuah agama samawi semenjak kemunculannya menyambut dawuh dialog interfaith dan intrafaith ini. Islam yang diyakini oleh para pemeluknya tidak terkecuali harus turut dikomunikasi dan diekspresikan. Mengingat keyakinan kepada sesuatu berpotensi membahagiakan sekaligus menelantarkan. Namun bagaimana menemukan formula dan teraju untuk menjamin bahwa keyakinan tersebut merupakan sebuah keyakinan yang 100 % mengandung kebenaran dan tak lekang oleh panas serta tak lapuk oleh hujan. Artinya ia harus kokoh dengan argumen-argumen rasional dan filosofikal, dalam berjajal dengan agama-agama lainnya. Islam menantang setiap agama-agama untuk menyodorkan argumen dengan nada “Qul Haatu Burhanakum inkuntum Shadiqin.” Sodorkan argumenmu sekiranya engkau merupakan orang yang benar.”
Demikian juga termasuk kepada pemeluk agama Islam sendiri, karena titah Ilahi ini bersifat umum, diseru kepada siapa saja karena keyakinan bukan warisan dari leluhur dimana hal ini sangat dicela oleh kitab suci agama Islam. Keyakinan harus Anda rengkuh sendiri dengan argumen sederhana sekalipun. Sebagaimana seorang renta pemintal benang ditanya oleh Nabi Agung Saw bagaimana engkau mengenal Tuhan, sang renta menjawab bahwa benang yang aku pintal ini menunjukkan aku sebagai pemintalnya dimana tidak mungkin ia ada dan tertata rapi tanpa aku yang mengadakan dan merapikannya apatah lagi semesta raya yang serba canggih ini tentu menunjukkan kepada sosok yang menciptakannya dan kita sebut sosok itu sebagai Tuhan Sang Pencipta.
Di samping ajakan untuk berdialog ini, Islam juga mengajarkan tata cara dan etika berdialog, dimana dawuh Ilahi menegaskan “Jadilhum billati Hiya Ahsan” Berdialog dan berdialektikalah kalian dengan mereka (siapapun) dengan cara yang lebih baik.
Pembaca yang budiman, kolom diberi judul Teologi Komparatif yang stressing lebih pada poin-poin ajaran penting dari setiap agama, ajaran dan isme dan perbandingannya dengan Islam atau mazhab pilihan. Perbandingan ini tentu saja meniscayakan telaah dan kajian dari obyek yang dikaji. Pada kesempatan ini, kita akan melakukan komparasi antara teologi mazhab yang ada dalam Islam, dimana tiga pokok keyakinan yang menjadi obyek komparasi, Determinisme-Kebebasan Mutlak-In Between, Teori Kasb dan Tauhid dalam Penciptaan Asy’ariah, Mu’tazilah dalam sorotan teologi Imamiyah. Dimana dalam tulisan ringan ini, penulis juga berusaha menjelaskan (tabyin) dua pokok pemikiran Asy’ariah terkait dengan kebebasan manusia dan determinisme yang bertautan erat dengan masalah hukum kausalitas sekaligus melakukan perbandingan dua pokok pemikiran Asy’ariah secara global dengan mazhab Imamiyah. Tulisan ringan ini sengaja diturunkan buah dari “dialog intrafaith” dengan salah seorang pengguna budiman site ini namun di samping menjelaskan, karena pengguna yang dimaksud belum mengelaborasi dua pokok pemikiran yang dibelanya ini, dan menanggapi pandangan pengguna tersebut, tulisan ini juga bersifat impersonal artinya dialamatkan kepada siapa saja yang berselera mengetahui konsep-konsep pemikiran Asy’ariah, minimal ihwal konsep determinisme dan dua konsep yang dimaksud. Adapun ayat yang disebutkan pada tanggapan bag. Pertama tidak lebih dari sekedar menukil dan membacakan ayat bagi penulis yang kemudian tetap disebut sebagai klaim oleh penulis. Pembuktian yang dimaksud tidak disertai dengan argumen-argumen logis dan filosofis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seperti penukilan bahwa Tuhan itu pencipta segala sesuatu, bahwa dengan izin Tuhan segala sesuatu berlaku, dan semisalnya tanpa mengelaborasi bahwa yang dimaksud pencipta dan penciptaan di sini apa? Dengan izin Tuhan segala sesuatu itu berlaku, maksudnya apa? Etc. Namun penulis berharap penanggap dapat menyediakan hal tersebut supaya melepaskan diri Anda dari tudingan klaim, menukil dan sekedar membacakan ayat sahaja. Ala Kulli Hall…
Masalah Kebebasan Mutlak, Determinisme dan In Between
Kalau tidak salah, beberapa postingan telah lewat ihwal Kebebasan dan Determinisme ini. Namun di sini dengan corak dan warna yang berbeda, kepada pembaca disuguhkan pandangan-pandangan Asy’ariyah dan Mu’tazilah yang digagas oleh para pembesar mereka dengan sandaran kitab-kitab induk teologinya, sekaligus kritikan dari Imamiyah.
Diriwayatkan bahwa Ghilan ad-Dimisyqi, yang berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), berkata pada Rabi’ah ar-Ra’i, ilmuwan yang beraliran Jabariyah (determinisme): “Andakah yang menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?” Rabi’ah segera menjawab: “Andakah yang menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara paksa?” Demikian juga pada suatu hari terjadi baku gea (dialektika), antara Abu Ishaq al-Farayini, pendukung aliran jabariyah (determinisme), yang duduk dalam majlis Shahib bin Abbad, dan al-Qadhi Abdul-Jabbar yang datang ke tempat itu, seorang tokoh Mu’tazilah yang mengingkari pengaruh takdir umum, berlawanan dengan pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu Ishaq, segera ia berkata: “Subhana man Tanazzaha anil Fahsya (Mahasuci Allah yang terjauhkan dari perbuatan keji!” Ucapannya ini ditujukan sebagai sindiran kepada Abu Ishaq yang menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas: “Subhana man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.” (Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) Jawaban ini menyindir al-Qadhi Abdul Jabbar bahwa seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak dikehendaki oleh Allah swt, yakni perbuatan keji dan sebagainya.Apakah Tuhan menghendaki para hamba-Nya bermaksiat? Apakah para hamba lebih unggul dari Tuhan dan melakukan maksiat? Katakan kepadaku apakah jika Tuhan menahan hidayah dariku dan memutuskan aku terpuruk dalam jurang kebinasaan, apakah Dia melakukan kebaikan atau keburukan bagiku?[1]
Baku gea (dialektika) ini merupakan singgungan salah satu masalah yang terpenting dalam pembahasan teologi yang senantiasa menyita perhatian seluruh manusia khususnya kaum agamawan. Apakah manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam perbuatannya? Apakah kehendak dan kemauan manusia tidak dikalahkan oleh kehendak dan kemauan Tuhan? Apakah kehendak Tuhan termasuk seluruh perisitiwa dan perbuatan dan tiada satu pun dari peristiwa dan perbuatan ini keluar dari kehendak Tuhan?Apabila kehendak Tuhan bersifat umum, lantas bagaimana menjelaskan kebebasan manusia? Qadhi ‘Abdul Jabbar Mu’tazili meyakini kebebasan mutlak manusia dan memandang bahwa seluruh perbuatan mandiri dan bebas manusia berada di luar kekuasaan Tuhan. Sebagai kebalikannya, Abu Ishaq al-Farayini meyakini bahwa kehendak umum dan tanpa kecuali Tuhan, qadha dan qadar (dengan penafsiran deterministiknya) dengan redaksi “Subhana man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.” (Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) merupakan sindiran yang ditujukan kepada Qadhi Abdul Jabbar yang beranggapan bahwa segala sesuatu berada di luar kekuasaan Tuhan. Dan tukasan dan isykalan Qadhi terhadap Abu Ishaq adalah bahwa apabila kehendak dan kemauan Tuhan kita pandang sebagai kehendak umum dan tiada satu pun perbuatan yang keluar dari ranah perbuatan Tuhan, dimana konsekuensi dari cara berkeyakinan seperti ini adalah keniscayaan penyandaran seluruh perbuatan buruk dan tercela kepada Tuhan.
Masalah determinasi dan kebebasan manusia semenjak dahulu kala merupakan masalah yang penting dalam bidang teologi. Determinisme adalah bahwa manusia dalam seluruh perbuatannya ia tidak memiliki kehendak dan kebebasan. Seluruh perbuatan manusia kesemuanyam terlaksana berkat kehendak dan kekuasaan Tuhan dimana kebebasan merupakan poin yang berseberangan secara interminis dengan pandangan ini. Seperti pada ayat “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang suatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan (dan dalil untuk masalah ini)? Kemukakanlah Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu hanyalah mengira-ngira.” (Qs. Al-An’am [6]:148) Dimana keyakinan deterministik tersebar di kalangan kaum Musyrikin yang menjadikan ayat ini sebagai pembenaran atas perbuatan-perbuatan tercela mereka. Dan juga patut disayangkan bahwa pemikiran semacam ini juga tersebar di kalangan kaum Muslimin dikarenakan beragam dalil di antara adalah alasan politis, sebagaiman yang disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], sehingga menyebabkan mereka tercengkram paham jabariyah (deterministik).
Determinisme Mutlak
Kini tiba saatnya menjelaskan paham jabariyah menurut kitab-kitab mereka. Pandangan determinisme mutlak ini disandarkan kepada Jahim bin Shafwan founding father firqah Jahimiyyah. Firqah ini adalah firqah yang pertama kali memperkenalkan ajaran determinisme mutlak. Menurut pandangan Jahimiyyah manusia sama sekali tidak memiliki kekuasaan dan dalam perbuatannya ia terpaksa (majbur) dan hampa kebebasan dan kehendak. Seluruh perbuatan manusia sebagaimana pengaruh-pengaruh tumbuh-tumbuhan merupakan makhluk Tuhan dan manusia sama sekali tidak memiliki peran dalam mewujudkan pengaruh-pengaruh tersebut. Adapun penyandaran perbuatan itu kepada manusia merupakan penyandaran figuratif (majazi) bukan hakiki.[2]
Ucapan berikut ini adalah ucapan puak Jahimiyyah bahwa “Tiada satu pun perbuatan bagi setiap orang selain Allah dan perbuatan-perbuatan penyandarannya kepada makhluk hanya bersifat majazi.”[3]
Kasb (Perolehan)
Konsep determinisme mutlak tidak mendapatkan banyak pengikut. Banyak kelemahan dan borok dalam konsep ini dapat dijumpai dan pertentangannya dengan ayat-ayat lahir Qur’an. Sebagian berusaha, sembari bersikukuh dengan kekuasaan mutlak dan kehendak azali Tuhan, menjauh dari konsep determinisme mutlak ini. Sedemikian sehingga tetap ingin membuktikan pengaruh dan peran manusia dalam perbuatan dan pekerjaannya. Untuk menelurkan pandangan eskapis ini, teori perolehan (kasb) ini mengemuka. Mazhab teologi yang paling popular mengikuti, menyokong dan membela teori kasb ini adalah mazhab Asy’ariah, meski sebelum Asy’ariah tersebut mazhab Najjariyah (pengikut Husain bin Muhammad bin Abdullah an-Najjar(330 H) dan juga Dharuriyah (pengikut Dharar bin Amr) yang menyokong teori kasb ini.
Dasar teori ini adalah bahwa Tuhan merupakan pencipta segala perbuatan dan manusia hanya merupakan yang mewadahi dan memperoleah perbuatan-perbuatan tersebut. Dan mizan ketaatan dan maksiat juga bersandar kepada teori kasb (perolehan) ini, bukan penciptaan. Sejatinya, setiap perbuatan yang dilakukan manusia memiliki dua sisi:
1. Penciptaan yang bersumber dari Tuhan dan disandarkan kepada-Nya.
2. Perolehan (kasb) dari sisi manusia dan dinisbahkan kepadanya.
Dalam menjelaskan secara utuh teori perolehan atau wadah ini, terdapat banyak penafsiran dimana di sini kita akan menyebutkan sebagian dari penafsiran tersebut kemudian melakukan kajian kritis atas setiap penafsiran tersebut.
1. Asy’ari[4] menyatakan bahwa hakikat kasb adalah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan hadis (yang dihasilkan) manusia yang merupakan pelaku dari perbuatan tersebut. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa perolehan pengaruh kekuasaan (kekuatan) yang bersumber dari manusia dalam mewujudkan sebuah perbuatan.
2. Fadhil Qausyaji berkata bahwa “kasb adalah simultannya perbuatan manusia dengan kekuasaan dan kehendak manusia; artinya Tuhan secara bersamaan dan simultan dengan kekuasaan dan kekuatan manusia mengadakan sebuah perbuatan, tanpa adanya pengaruh atau interfensi kekuasaan manusia dalam mengadakan perbuatan tersebut.”[5]
3. Qadhi Baqilani (wafat 403 H) berkata: “Setiap perbuatan terdiri dari dua sisi:
a. Wujudnya perbuatan.
b. Julukan atau titel perbuatan yang merupakan turunan atas perbuatan tersebut dan kekuasaan manusia tidak memiliki kelayakan pengaruh pada wujud dan terolahnya perbuatan, melainkan hanya memiliki pengaruh pada julukan perbuatan. Atas alasan ini pengaruh pada julukan yang memiliki kelayakan untuk mendapatkan ganjaran atau hajaran. Sejatinya, wujudnya perbuatan makhluk Tuhan dan julukan perbuatan misalnya, julukan atau titel menunaikan shalat, berdusta, dan sebagainya merupakan perolehan manusia dan disandarkan kepada manusia. Baqilani dalam menjelaskan definisi yang diutarakan berkata: “Setiap orang orang menemukan perbedaan nyata di antara dua jumlah kalimat:
A. Mengadakan, kalimat seperti shalat (shalli), mengerjakan puasa (shama), dan berdiri (qama). Yang layak disandarkan kepada Tuhan kalimat-kalimat dan karakteristik bagian pertama dan julukan-julukan bagian kedua tidak patut disandarkan kepada Tuhan, melainkan disandarkan kepada manusia.”[6]
4. Taftazani menulis: “Kasb, penyandaran kekuasaan dan kehendak dari sisi manusia dan terciptanya perbuatan setelah itu dari sisi Tuhan, penciptaanya. Di sini maqdur (yang dikuasai) yang tunggal berada di bawah dua kekuasaan, akan tetapi dengan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, perbuatan dari sisi penciptaan yang dikuasai (maqdur) berasal dari Tuhan dan dari sisi wadah yang dikuasai berasal dari hamba (manusia).”[7]
Pada kesempatan ini, tentu tidak memungkinkan bagi kita untuk membahas dan mengkritisinya secara detil dan jeluk seluruh redaksi para pembesar Asy’ariah tentang teori wadah atau perolehan ini. Kita hanya akan menyinggung beberapa poin yang layak untuk dipertimbangkan.
Mengkaji Penafsiran Kasb.
Masing-masing dari penafsiran kasb yang disampaikan di atas memiliki cela dan borok dimana di sini kita akan menyinggung sebagian darinya. Sebagaimana yang telah disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], bahwa memahami teori kasb ini sama peliknya dengan memahami konsep trinitas dalam tradisi agama Kristen. Namun berdasarkan dari definisi yang disebutkan di atas mari kita lihat betapa rancunnya teori kasb ini.
Dalam mengkritisi penafsiran pertama, kita boleh bertanya apa peran kekuasaan yang dihasilkan manusia? Apabila penciptaan dan pengadaan perbuatan dalam artian yang sebenarnya kembali kepada Tuhan dan penyandaran kepada selain Tuhan adalah tidak benar, maka bagaimana kekuasaan yang dihasilkan manusia dapat berpengaruh? Apabila kekuasaan manusia memiliki pengaruh maka hal ini meniscayakan perbuatan itu juga merupakan ciptaan manusia. Dengan kata lain, apabila kekuasaan manusia disejajarkan secara vertical dengan kekuasaan Tuhan, maka ucapan puak-puak Asy’ariah meniscayakan bergabungnya dua kekuasaan atas sesuatu atau satu perbuatan (maqdur, yang dikuasai) dimana hal ini merupakan perkara yang absurd dan perbedaan sisi atau dimensinya tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Dan apabila dipandang kekuasaan manusia berada secara vertikal, top-down dengan kekuasaan Tuhan maka hal itu memestikan secara hakiki bahwa manusia juga memiliki kekuasaan dalam mengadakan sebuah perbuatan dan inilah konsep kebebasan (ikhtiar) dimana hal ini ditolak dan diingkari oleh puak-puak Asy’ariah.
Dalam mengkritisi penafsiran kedua dapat dikatakan bahwa, berdasarkan penafsiran ini, peran manusia hanya bersamaan dan simultan kehendak dan kekuasaanya dengan pengadaan perbuatan. Dan simultannya kehendak dan kekuasaan manusia dengan terwujudnya sebuah perbuatan yang merupakan makhluk Tuhan, tidak dapat menjadi pembenaran atas penyandaran perbuatan manusia, ganjaran (tsawab) dan hajaran (’iqab). Apabila puak-puak Asy’ariah menerima bahwa kehendak dan kekuasaan manusia dalam proses ini, kehendak dan kekuasaan sejatinya, maka dalam hal ini mereka harus mengakui bahwa manusia secara hakiki berada dalam silsilah sebab-sebab (‘ilal) terwujudnya perbuatan. Dan perbuatan tidak melulu merupakan makhluk Tuhan dan namun sayang seribu sayang, puak Asy’ariah tidak menerima keniscayaan ini. Namun apabila kehendak dan kekuasaan manusia ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang real oleh puak Asy’ariah, maka mereka harus menerima figuratifnya kehendak dan kekuasaan manusia dan memandang ada dan tiadanya kehendak dan perbuatan manusia itu harus dipandang sama dan sebagai konsekuensinya bermuara pada determinisme mutlak.
Kini mari kita beralih ke penafsiran ketiga. Isykalan yang patut diacungkan kepada Qadhi Baqilani dan orang-orang yang sepaham dengannya adalah apabila titel-titel yang mengikut pada perbuatan-perbuatan haruslah perkara eksistensial, dalam hal ini (berdasarkan pandangan Asy’ariah dalam masalah tauhid dalam penciptaan) titel-titel ini merupakan makhluk-makhluk Tuhan dan manusia secara asasi tidak memiliki peran dalam terwujudnya sebuah perbuatan, namun apabila titel-titel ini merupakan perkara-perkara mental (dzihni), yang memang demikian adanya, maka teori kasb ini juga akan kosong dari segala realitas dan semata-mata merupakan perkara wahmi (delusif) dan non-real yang dikembangkan dan disebarkan oleh puak-puak Asy’ariah.
Adapun kritik atas penafsiran keempat juga seperti isykalan-isykalan di atas. Sejatinya menyandarkan kehendak dan kekuasaan, dalam pengadaan perbuatan pengaruh dan interfensi real atau tidak real meniscayakan sesuatu yang telah dijelaskan pada kritikan atas penafsiran pertama dan kedua, juga dapat diacungkan kepada penafsiran keempat ini.
Dengan memperhatikan poin-poin di atas akan menjadi jelas bahwa pertentangan teori kasb dengan akal sehat atau tidak kompatibelnya teori kasb dengan akal sehat. Masalah ini terkadang secara selintasan diakui oleh pembesar Asy’ariah; misalnya Taftazani dengan redaksi di bawah ini mengakui kekurangan dalam menjelaskan dan memahamkan teori kasb ini. Ia berkata “Makna yang kami berikan atas teori kasb (di atas) sekedar yang penting saja, kendati kami tidak mampu meringkas redaksi dari hakikat bahwa perbuatan-perbuatan manusia yang memiliki kekuasaan, kehendak dan kebebasan yang ia miliki merupakan makhluk Tuhan.”[8]
Pelbagai isykalan yang tergeletak pada teori kasb ini telah menyebabkan sebagian ulama besar Asy’ariah mengingkari dan menafikan teori ini; misalnya Imam al-Haramain Abu al-Mu’ali Juwaini yang menegaskan adanya pengaruh real kekuasaan manusia dalam perbuatan dan keberadaan selaksa kausalitas di alam semesta, sebagaimana Imamiyah. Dan menafikan kekuasaan dan peran mandiri manusia dalam perbuatannya adalah bertentangan dengan akal sehat dan perasaan.[9] Syaikh Sya’rani (w 973) juga senada dengan Juwaini menerima pandangan ini.[10] Demikian juga, tokoh seperti Muhammad Abduh (w 1323) yang menolak teori kasb ini dan mengakui pengaruh, peran dan kekuasaan real manusia dalam penciptaan perbuatan. Ahmad Amin memandang teori kasb ini sebagai istilah dan bentuk baru dari determinisme (mutlak).[11]
Tafwidh
Mu’tazilah bertolak belakang sine qua non dengan Asy’ariah yang memilih konsep tafwidh (pendelegasian). Berdasarkan pandangan ini Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahkan kekuasaan dan kebebasan untuk mengerjakan segala perbuatan. Tuhan dalam hal ini telah mendelegasikan (tafwidh) kekuasaan dan kebebasan kepada manusia. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan segala sesuatu dan keberpengaruhan didelegasikan kepadanya dan dengan demikian, Tuhan tidak memiliki peran pengaruh sama sekali dalam hukum kausalitas.[12]
Berdasarkan pandangan ini seluruh manusia dalam mengerjakan perbuatannya merdeka dan manusia sebagai satu-satunya sebab dari seluruh perbuatannya. Konsekuensinya adalah Tuhan sama sekali tidak ada campur tangan dalam pengadaan perbuatan manusia.Tuhan menghendaki bahwa seluruh manusia beriman kepada kebebasan yang dimilikinya. Demikian juga memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauh dari perbuatan buruk. Manusia juga dengan kebebasan yang ia miliki mengerjakan perbuatan baik dan menjauh dari perbuatan buruk. Dengan penjelasan ini pertama Tuhan terbebas dari perbuatan-perbuatan buruk; kedua, fungsi taklif, janji dan ancaman, ganjaran dan hajaran manusia tetap terpelihara.
Mu’tazilah dalam membela pemikiran dan keyakinannya mengemukakan pelbagai argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli). Sebagaimana Jurjani menulis, argumen rasional Mu’tazilah berpijak pada landasan bahwa apabila manusia dalam mengerjakan seluruh perbuatannya tidak merdeka dan bebas, maka taklif akan rontok dan gugur. Demikian juga mengajarkan adab kepada manusia yang menjadi tujuan penciptannya akan runtuh; karena manusia apabila ia tidak merdeka dan bebas, secara asasi perbuatannya tidak akan dapat disandarkan kepadanya. Dan pengutusan para nabi akan sia-sia. Karena asumsinya adalah manusia bukan pelaku atas setiap perbuatannya dan dengan demikian ia tidak layak untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran. Demikian juga penyandaran seluruh perbuatan buruk kepada Tuhan.
Mu’tazilah, di samping argumen rasional, juga berpijak pada dalil-dalil referensial (naqli) misalnya, “ Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri..” (Qs. Al-Baqarah [2]:79), “ Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu..” (Qs. At-Taubah [9]:105), “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:11).
Argumen-argumen rasional dan referensial Mu’tazilah mendapatkan kritikan tajam dari puak teolog Asy’ariah.[13] Pada kesempatan lain kita akan membahas ayat-ayat yang dijadikan sandaran referensial. Namun sandaran rasionalnya patut mendapatkan perhatian sebagaimana poin di bawah ini:
A.Keniscayaan keyakinan tafwidh adalah manusia berada pada tataran kepelakuan mutlak dan sama sekali tidak memiliki hajat kepada Tuhan dimana hal ini tidak selaras dengan tauhid perbuatan; karena menjadi penyebab pembuktian dualisme dan sesuai redaksi Mulla Shadra membuktikan mitra dan sekutu yang tak berbilang bagi Tuhan. Mulla Shadra berkata bahwa keyakinan tafwidh lebih buruk dari keyakinan bahwa berhala-berhala mampu memberikan syafaat.[14]
B. Manusia dan segala perbuatan, segala fenomena dan dimensi yang berasal darinya merupakan bagian dari mumkinul wujud, dan perkara mumkinul wujud untuk mewujudkan dirinya ia berhajat kepada wajibul wujud. Apabila seluruh perbuatan manusia (mumkinul wujud) – kendati melalui pelaku merdeka – tidak bersandar kepada Tuhan (wajibul wujud), sekali-kali perbuatan ini tidak akan pernah terwujud. Maka tiada jalan lain selain menyandarkan perbautan manusia kepada Tuhan (wajibul wujud). Penyandaran ini sebagaimana yang akan dijelaskan ke depan adalah penyandaran vertical dan tidak berujung kepada determinisme.
C. Penyandaran perbuatan buruk kepada Tuhan dapat terjadi apabila seluruh perbuatan buruk itu kita sandarkan kepada Tuhan tanpa media, akan tetapi dengan perantara manusia merdeka sekali-kali perbuatan buruk tersebut tidak dapat disandarkan kepada manusia. Pada hakikatnya, Tuhan menghendaki manusia melakukan perbuatan baik sesuai dengan kebebasan yang ia miliki dan melarangnya untuk tidak melakukan perbuatan buruk sesuai dengan kebebasan yang ia miliki.
Kebebasan.
Kini mari kita telisik pandangan yang tidak menafikan kebebasan juga tidak memutlakkan kebebasan. Dengan mengadopsi posisi in between ini tauhid perbuatan dan keadilan Ilah dapat tetap terjaga sekaligus kebebasan manusia serta menghindar dari keniscayaan invalidnya seperti invaliditas pengutusan para nabi, penetapan taklif (dalam pandangan Asy’ariah) dan syirik dan dualism (dalam pandangan Mu’tazilah).
Para teolog Imamiyah dengan inspirasi dari ajaran Ahlulbait As memilih konsep al-amr baina amrain. Sebuah konsep dimana untuk memahaminya secara jeluk harus dikuliti dalam sebagian pembahasan pelik filsafat, namun kandungan dari konsep tersebut dapat dijelaskan secara sederhana bahwa perbuatan-perbuatan manusia secara hakiki dapat dinisbatkan kepada manusia sekaligus kepada Tuhan. Perbuatan-perbuatan manusia dapat disandarkan kepada manusia karena berdasarkan kekuasaan dan kehendak perbuatan itu terjewantahkan. Dan sekaligus dapat disandarkan kepada Tuhan lantaran seluruh eksistensi dan pengaruh manusia – sebagai akibat Tuhan- bergantung kepada Tuhan dan bersumber darinya. Pada hakikatnya, manusia sebagai penyebab dan pelaku dari perbuatannya dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, secara hakiki, namun tidak sejajar secara horizontal dengan kesebaban Tuhan, melainkan berdiri secara vertikal, top-down dan bergradasi. Untuk menjelaskan perbedaan pandangan tiga mazhab teologi terbesar dalam Islam ini, ada baiknya kita memperhatikan contoh yang baik yang diutarakan oleh salah seorang teolog dan juris Imamiyah, Ayatullah Khui Ra:
Anggaplah seseorang lantaran penyakit syaraf tangannya senantiasa bergetar sedemikian sehingga ia tidak memiliki kendali atas tangannya sendiri. Dan apabila sebilah pedang diletakkan di tangannya kapan saja pedang tersebut bisa jatuh dan melukai orang di sekitarnya. Kini apabila seseorang dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap realitas ini, diletakkan sebilah pedang di tangannya dan pedang tersebut terjatuh sehingga merebut nyawa seseorang lainnya, dalam kasus ini yang bertanggung jawab adalah orang tersebut karena pedang tersebut berada di tangannya, bukan pada orang yang tidak memiliki kontrol atas anggota badannya.
Sekarang perkara ini kita ilustrasikan pada seseorang yang sehat dan mampu mengendalikan seluruh anggota badannya. Apabila pedang ditaruh di tangannya dan ia juga terjerembab dalam perbuatan membunuh, pembunuhan ini disandarkan kepadanya bukan kepada orang yang diletakkan pedang di tangannya. Dan terakhir, anggaplah seseorang yang tangannya tidak bergetar, melainkan secara keseluruhan lumpuh dan tidak lagi bekerja secara aktif. Namun alat elektronik diberikan kepadanya dan ia dapat apabila alat tersebut menyala, maka ia dapat menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan. Anggaplah tombol untuk memfungsikan alat tersebut berada di tangan orang lain sedemikian sehingga sepanjang orang tersebut tidak menekan ON pada tombol tersebut, maka alat itu tidak akan beroperasi. Apabila seseorang yang memegang remote control mengoperasikan alat elektronik itu dan orang yang lumpuh seluruh anggota badanya melakukan perbuatan membunuh maka dalam hal ini perbuatan itu disandarkan kepada keduanya; lantaran ia sendiri memilih untuk menggunakan alat tersebut dan dengan kebebasan yang ia miliki ia melakukan tindakan pembunuhan ini. Dari sisi lain, disandarkan kepada orang yang memegang remote kontrol karena ia telah mengoperasikan seseorang yang lumpuh kekuataannya dan ia dapat kapan saja mematikan alat tersebut dan mencegah orang lumpuh itu dari perbuatannya.
Dengan memperhatikan tiga contoh kasus di atas menjadi jelas bahwa puak determinisme dan juga Asy’ariahyah – yang mengusung teologi determinisme – hubungan manusia dengan perbuatannya seperti contoh kasus pertama dan Mu’tazilah pada contoh kasus kedua. Adapun Imamiyah dapat ditinjau pada contoh kasus ketiga. Pandangan ini mungkin dapat dijelaskan dalam frame sistem filsafat Hikmah Muta’aliyah dengan tiga kaidah utama seperti berikut ini:
a. Wujud yang memiliki kehakikian (asil) bukan mahiyyat (kuiditas). Pada hakikatnya, yang diciptakan secara esensial dan hakiki adalah wujud. Dan tiada sesuatu yang lain kecuali pemahaman yang menjadi penjelas batasan-batasan seluruh wujud mumkin.
b. Wujud segala mumkinul wujud (seluruh makhluk di alam semesta) adalah ain rabt (murni hubungan) dan faqir mutlak; artinya seluruh makhluk tidak lain bersandar, bergantung dan berhubungan dengan wajibul wujud. Dan berangkat dari hal ini, ia tidak memiliki kemandirian dalam keberadaanya dan keberadaan seluruh makhluk itu tidak dapat digambarkan tanpa adanya ketergantungan kepada wajibul wujud.
c. Penciptaan atau pengadaan merupakan cabang dari wujud. Sebagaimana esensi dan keberadaan mumkinul wujud (seluruh makhluk) adalah ain rabt dan bergantung sepenuhnya kepada wajibul wujud, pengaruh dan perbuatan seluruh makhluk tersebut demikian adanya; karena sebuah fenomena sebagaimana ia maujud juga merupakan sumber pengaruh. Dengan demikian, apabila mereka mandiri dalam dzatnya, maka dalam kepelakuan juga akan memiliki kemandirian. Dan apabila pada dzatnya seluruh makhluk merupakan ain rabt (murni hubungan) dan bergantung, maka dalam kepelakuannya juga demikian adanya. Oleh karena itu, asumsi kemandirian sebuah fenomena dalam arsy perbuatan dan asumsi hubungan dan kebergantungannya pada tataran dzat merupakan dua asumsi yang kontradiktif dan tidak masuk akal.
Dari ketiga kaidah ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia disandarkan kepada manusia pada saat yang sama disandarkan kepada Tuhan; karena perbuatan-perbuatan manusia merupakan turunan dari keberadaanya dan tanpa syak bahwa keberadaannya di samping ia merupakan wujudnya sendiri, merupakan ain rabt dan bersandar kepada Tuhan.
Berdasarkan hal ini, manusia adalah ain rabt dan bergantung kepada Tuhan dan pada setiap detiknya memerlukan emanasi energi, kekuatan dan kehidupan darinya. Dengan demikian manusia pada detik ia mengerjakan sebuah perbuatan, dengan energi dan kehidupan ia melakukan perbuatan yang bersumber dari emanasi energi dan emanasi kehidupan dari Tuhan. Sejatinya perbuatan yang dilakukan manusia memiliki dua sandaran hakiki; Pertama, bersandar kepada manusia; karena bersumber dari dirinya sendiri dan berdasarkan kebebasan dan kekuasaan yang ia miliki; Kedua, bersandar kepada Tuhan; karena Tuhan pada setiap detiknya, bahkan detik ketika perbuatan itu dilakukan Dia menganugerahkan kehidupan dan kekuasaan kepada manusia. Dari sini perbuatan manusia merupakan perbuatannya sendiri pada saat yang sama juga merupakan perbuatan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini keberadaan manusia tidak lain kecuali hubungan mutlak kepada Tuhan.[15] Secara asasi di seantero semesta dari dimensi bahwa mereka bergantung dan berhubungan mutlak, mereka merupakan manifestasi kekuasaan dan kehendak, ilmu Tuhan dan inilah maksud al-amru baina amrain, manzilah baina manzilatain yang termaktub dalam riwayat.[16]
Tauhid dalam Penciptaan.
Kendati masalah ini telah dibahas pada postingan sebelumnya, namun nampaknya kini pembahasan tersebut harus dikuliti lagi di sini sembari menyebutkan beberapa penafsiran dari tiga mazhab besar teologi dalam Islam.
Tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang mendapat penegasan al-Qur’an dan Sunnah. Tauhid dalam penciptaan ini disepakati oleh seluruh firqah dan mazhab teologi dalam Islam; akan tetapi yang menjadi titik perbedaan, bagaimana menafsirkan dan menginferensi ajaran ini. Secara umum terdapat tiga penafsiran penting berkenaan dengan masalah ini. Penafsiran Asy’ariah, Mu’tazilah dan Imamiyah. Telaah global dari penafsiran ini menunjukkan bahwa penafsiran yang disuguhkan Asy’ariah merupakan penafsiran yang berbau deterministic. Dan penafsiran Mu’tazilah menyangsikan keumuman kekuasaan Ilahi dan tauhid dalam penciptaan.
Penasiran Asy’ariah
Sebelumnya telah dikemukakan teori kasb yang diintrodusir oleh puak-puak Asy’ariah dalam membela dan mempertahankan “kemurnian” tauhid dalam penciptaan. Menurut Asy’ariah pengadaan dan penciptaan secara mutlak terbatas kepada Tuhan dan dalam tataran wujud, tiada satu pun yang berpengaruh dan berkreasi selain Tuhan. Segala sesuatu selain-Nya tidak memilik peran dan pengaruh dalam penciptaan dan pengadaannya baik secara mutlak atau secara ikutan. Asy’ariah berdasarkan pandangan ini telah mangkir dari hukum kausalitas dan proses pengaruh-mempengaruhi (ta’tsir dan ta’atstsur) seluruh maujud dan segala sesuatu di alam semesta. Menurut mereka pengaruh yang terlihat pada setiap fenomena adalah bersumber dari Tuhan. Misalnya membakar bukan merupakan pengaruh dan akibat dari api dan apabila dikatakan bahwa api itu membakar hal ini hanyalah merupakan kebiasaan Tuhan yang berlaku dimana dengan adanya api maka ia akan memunculkan panas dan membakar. Kalau bukan karena kebiasaan Tuhan maka tidak aka nada hubungan antara panas dan api. Dengan demikian dalam tataran eksistensi hanya terdapat satu yang berpengaruh dan satu sebab. Tuhan tidak menunjukkan kekuasaannya melalui pengadaan mekanisme kausalitas, namun Dia menjadi pengganti seluruh sebab dan musabab. Asy’ariah memandang perkara ini berlaku pada segala hal. Dan berdasarkan pandangan ini mereka mengambil kesimpulan bahwa seluruh perbuatan manusia juga, secara langsung merupakan perbuatan Tuhan dan manusia semata-mata memperoleh (kasb) atau menjadi wadah atas perbuatan ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas teori kasb ini meniscayakan tiadanya peran dan campur tangan hakiki manusia pada seluruh perbuatannya.
Padahal, mangkir dari hukum kausalitas dan peran pengaruh manusia dan fenomena semesta pada penciptaan pada beragam masalah bertolak belakang dengan nurani, akal sehat dan penemuan syuhudi manusia; Mengapa? Karena:
1. Dalam banyak perkara kita menemukan diri kita sebagai yang berpengaruh misalnya pelaku dan pengada segala konsepsi dan pemikiran mental (dzihni) kita adalah diri kita sendiri. Jelas bahwa bukti nurani merupakan sebaik-baik dalil dalam membuktikan hukum kausalitas.
2. Ketika seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan hendak (iradah) menciptakan menara Monas dalam benaknya, ia dapat dengan mudah mengerangka sekaligus menghancurkannya dalam benaknya, mengusungnya dan menempatkannya di mana saja di belantara dunia dalam benaknya dimana hal ini menunjukkan peran mandiri pelaku orang tersebut dan wujud mental yang diciptakan tersebut eksis karena diwujudkan oleh pelaku tersebut dan hal ini membuktikan peran kekuasaan dan pengaruh pelaku manusia dalam penciptaan.
3. Menerima konsep kebebasan manusia dan hukum kausalitas, seperti klaim penanggap, namun mengingkari peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena meniscayakan kontradiksi. Menerima kebebasan manusia dan hukum kausalitas meniscayakan peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena.
4. Apabila hukum kausalitas dinafikan maka probabilitas untuk membuktikan wujud Tuhan menjadi tidak tersedia. Karena salah satu argumen dalam membuktikan wujud Tuhan adalah bersandar kepada hukum kausalitas. Karena Dialah Prima Causa (illatul ilal).
5. Penafian hukum kausalitas – atau menafikan peran kepelakuan manusia dan sepenuhnya menyandarkannnya kepada Tuhan meniscayakan gugurnya seluruh proposisi-proposisi turunnya wahyu, pengutusan para nabi, adanya ganjaran (tsawab) dan hajaran (iqab), karena semua perbuatan Tuhanlah yang melakukan.
6. Akal sehat tanpa teks-teks agama sekalipun turut menyokong hukum kausalitas. Maksudnya Anda Asy’ariahyyun tidak dapat meyakinkan kepada manusia yang tidak beragama dan tidak meyakini adanya Tuhan bahwa penyebab segala sesuatu itu adalah Tuhan, bersandarkan kepada kitab suci, bahwa Tuhan itu khaliq kullu syai, bagaimana Anda Asy’ariahyyun menjawab mereka yang tidak beriman kepada Tuhan, dengan al-Qur’an tentu meniscayakan circular reasoning (daur) dan tentu saja hal ini absurd. Namun dengan common sense, tanpa bersandar kepada teks-teks agama dapat membuktikan hal tersebut.
7. Teks-teks agama ternyata terbukti menyokong hukum kausalitas ini. Sejatinya tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang bersumber dari agama. Berangkat dari sini, harus diperhatikan bahwa apa sebenarnya pandangan al-Qur’an dalam masalah ini? Apakah penafsiran Asy’ariah selaras dan senada dengan ayat-ayat al-Qur’an atau tidak? Apakah benar-benar al-Qur’an menafikan hukum kausalitas? Dengan memperhatikan dengan seksama ayat-ayat Qur’an maka akan menjadi jelas bahwa al-Qur’an mengakui secara resmi hukum kausalitas dan peran kepelakuan fenomena. Dan dalam banyak perkara hukum kausalitas disandarkan kepada perkara-perkara natural; misalnya pada ayat “Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. (Qs. Al-Baqarah [2]:22) Ba dalam redaksi bihi (dengan perantara) di sini bermakna penyebab; artinya sebab tumbuhnya segala jenis tumbuh-tumbuhan adalah air dan apabila tidak ada air maka tidak akan ada buah-buahan. Dan juga pada ayat “Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama… “ (Qs. Ar-Ra’ad [13]:4) Redaksi “disirami dengan air yang sama” menujukkan peran penciptaan air dan pengaruhnya dalam tumbuh dan berkembangnya pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Di samping ayat-ayat yang telah disebutkan dengan beberapa pendahuluan filsafat dan logika, pada postingan Lagi tentang Determinisme dan Kebebasan Manusia, menegaskan penerimaan al-Qur’an terhadap hukum kausalitas. Dan tentu saja tidak akan menjadikan Anda musyrik sebagaimana keyakinan Asy’ariah yang telah dibuktikan absdurditasnya.
Penafsiran Mu’tazilah
Mu’tazliah berkebalikan dari Asy’ariah menerima hukum kausalitas dan pengaruh-mempengaruhi sebab di antara belantara akibat natural. Akan tetapi seluruh perbuatan mandiri manusia disandarkan hanya kepada manusia. Menurut mereka perbuatan-perbuatan manusia bukan merupakan makhluk Tuhan. Berdasarkan hal ini Mu’tazilah acapkali disebut sebagai “Mufawwidha”; karena mereka berkeyakinan bahwa setelah Tuhan menciptakan manusia, Tuhan mendelegasikan (tafwidh) kebebasan kepada manusia dalam perbuatannya.
Penafsiran ini kendati memelihara peran kepelakuan sebab-sebab natural dan pelaku-pelaku insan, namun kritikan fundamental yang patut diacungkan kepada Mu’tazilah adalah mereka mengingkari tauhid dalam penciptaan; karena Tuhan tidak memiliki peran sama sekali dalam perbuatan-perbuatan mandiri manusia. Di samping itu, pensyariatan hukum-hukum, perintah dan larangan dari sisi Tuhan tidak lagi memiliki makna. Demikian juga pendelegasian (tafwidh) ini hanya dapat digambarkan ketika Tuhan tidak lagi dipandang sebagai penguasa mutlak dan kepenguasaan-Nya dinegasikan dari yang dikuasai-Nya (ma yamluk).
Nampaknya sumber kesalahan kedua penafsiran ini memandang kepelakuan dan pengaruh sebab-sebab dan pelaku-pelaku natural berada sejajar secara horizontal dengan kepelakuan Tuhan, padahal berdasarkan pada kaidah tepat akal konsepsi semacam ini adalah konsepsi salah kaprah. Sebagaimana yang akan disebutkan belakangan dengan penafsiran valid dan sahih, baik kepelakuan Tuhan dan juga kepelakuan sebab-sebab yang lain dapat tetap terjaga.
Penafsiran Imamiyah
Para teolog Imamiyah dengan ilham dan inspirasi dari ajaran para maksum As memandang bahwa penafsiran Asy’ariah ihwal tauhid penciptaan sebagai sikap ifrath dan Mu’tazilah sebagai tafrith (ekstrem). Imamiyah menawarkan konsep in between (laa jabr wa la tafwidh,,wal amru baina amrain). Menurut teolog Imamiyah dari tauhid penciptaan ini adalah bahwa tiada pencipta, pelaku mandiri mutlak dan secara esensial (dzati) selain Tuhan, dari sisi lain kepelakuan dan peran penciptaan pelaku-pelaku dan sebab-sebab natural dan manusia juga tidak dapat diingkari. Kepelakuan yang lain seperti pelaku-pelaku di antaranya manusia dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, merupakan kepelakuan hakiki dimana pada saat yang sama berada secara vertikal, top-down, dengan kepelakuan Tuhan. Dengan memperhatikan ayat dan riwayat para maksum As tauhid dalam penciptaan ini dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini:
A. Sebagaiman yang telah lewat, dengan memperhatikan ayat-ayat Qur’an akan menjadi jelas bahwa dalam banyak perkara pengaruh yang disandarkan kepada sesuatu dan perkara-perkara natural; misalnya air yang menjadi penyebab tumbuh-berkembangnnya tumbuh-tumbuhan, pepohonan dan madu sebagai penyembuh (syifa).
B. Al-Qur’an menisbatkan perbuatan-perbuatan kepada manusia dan memandang pelakunya adalah manusia dimana penyandaran secara langsung tanpa media (on the spot) kepada Tuhan adalah penisbatan salah kaprah, seperti berjalan, minum, tidur, menunaikan shalat, etc. Perbuatan-perbuatan semacam ini bertautan dengan manusia dan selainnya tiada pelaku lain.
C. Tuhan menitahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mentaati-Nya serta melarang manusia mengerjakan perbuatan buruk dan tercela. Masing-masing dari perbuatan baik ini diganjari dengan kenikmatan dan perbuatan buruk dihajar dengan azab. Nah, apabila manusia tidak memiliki peran dalam perbuatan-perbuatan baik dan buruk maka niscaya keseluruhan ganjaran dan hajaran ini tidak akan memiliki makna.
Sebagaimana tiga poin berikut ini di samping ayat seperti:
“Katankanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Qs. Ar-Raad [13]:16).
Yang menjelaskan universalitas dan keumuman kepelakuan Tuhan pada segala sesuatu dan kita sampai pada kesimpulan bahwa sistem penciptaan dan segala jenis ciptaan yang eksis di dalamnya memiliki andil dalam mewujudkan peran pengaruhnya, akan tetapi peran pengaruh ini sesuai dengan izin dan taqdir Ilahi:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Shaffat [37]:96).
“Yang telah memberikan kepada makhluk-Nya segala sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi petunjuk kepada mereka.” (Qs. Thaha [20]:50).
“Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (Qs. A’la [87]:3).
Dan terakhir:
“Bukan kamu (hai Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Qs. Al-Anfal [8]:17).
Sejatinya wujud segala sesuatu dan juga perbuatan, pengaruh, gerakan, diamnya bermuara pada qadha dan qadar Ilahi yang merupakan episode selanjutnya dari silsilah pembahasan di site ini. Tuhan menciptakan mekanisme eksistensi dan menjadikannya mengikut kepada hukum kausalitas dan faktor-faktor hakiki. Dengan demikian segala sesuatu berada secara vertikal, top-down dengan kehendak Tuhan memiliki peran penciptaan dan pengaruh pada perbuatan-perbuatan tersebut. So, proposisi “ada..tapi” tentu dengan pembuktian-pembuktian di atas tiada bermasalah dengan kemurnian Tauhid pada Penciptaan. Ajakan penanggap untuk tidak mengotak-atik masalah tauhid adalah ajakan yang tidak boleh diamini, karena dalam masalah tauhid sekalipun Asy’ariah sangat bermasalah. Jadi, saran penulis alih-alih Anda menghabiskan waktu untuk merekonstruksi teologi Imamiyah ihwal Tauhid dalam Penciptaan, yang sangat logis dan argumentatif, sebaiknya Anda menyelesaikan PR sendiri berupa borok dan cela teologi Asy’ariyah tentang Tuhan, Qur’an, Nabi, nasib manusia dan lain sebagainya. Nantikan saja bagaimana kami membuktikan kemusykilan Asy’ariah dalam masalah tauhid, pandangannya terhadap al-Qur’an dan nabi, qadha dan qadar. Tapi sebelum itu, penulis meminta kepada Anda atau siapa saja yang sepaham dengan Anda untuk menyuguhkan secara sistematis pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang bakalan menjamin terpeliharanya tradisi ilmiah dan dialog interaktif. Tentunya pihak redaksi akan senang hati memuat tulisan dan pembelaan Anda atas mazhab yang Anda yakini. Wellcome.
Referensi:
[1]. Fathul Bari, al-Askalani, jil. 13, hal. 384, al-Qausyaji, Syarh Tajrid al-Aqa’id, hal. 340.
[2]. Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 78, Abul Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, jil. 1, hal. 312.
[3]. Al-Baghdadi, al-Firaq bain al-Firaq, hal. 194.
[4] . Al-Asy’ari, Abul Hasan, al-Lam’e fii ar-Rad ‘ala Ahli az-Zaigh wa al-Bida’, hal. 76.
[5] . Qausyaji, Syarh Tajrid al-‘Aqa’id, hal. 341.
[6] . Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 97-98.
[7]. Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah, hal. 117.
[8] . Syarh al-‘Aqâid an-Nasafiyah, hal. 117.
[9]. Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 98-99.
[10]. Risâlah at-Tauhid, hal. 59-62.
[11]. Dhuhâ al-Islâm, jil. 3, hal. 57.
[12] . Lub al-Atsar fi al-Jabr wa al-Qadr, hal. 38.
[13]. Sa’ad ad-Din Taftazani, Syarh al-Maqasid, jil. 4, hal. 253-362.
[14] . Shadra al-Muta’allihin, al-Hikmah al-Muta’aliyah, jil. 6, hal. 370.
[15]. Ja’far Subhani, Jabr wa Ikhtiar, hal. 289-291.
[16]. Ruhullah Khomeini Ra, Thalab wa Iradah, hal. 74.
In this Muslim-majority country, it's OK to be Christian, Buddhist or Hindu. But not Shiite.
Malaysian religious police raided a three-story shop-house last month and detained more than 100 Shiites who had gathered to mark the death of one of their most beloved saints, Prophet Muhammad's grandson, who was killed in the year 680.
It was one of the largest such sweeps in years, sparking outrage and fear in the country's small but growing Shiite community. Some religious scholars see it as a worrying sign that Islamic authorities are becoming more hard-line.
"Malaysia is trying to become a country a la Taliban that only allows one school of thought," said prominent scholar Asri Zainul Abidin.
Despite its reputation for religious tolerance, Malaysia has been quietly discriminating against its own for years. The government recognizes only the Sunni branch of Islam and prohibits all others including Shiites, the world's second largest Islamic group.
Shiites face discrimination elsewhere, but Malaysia appears to be the only place that actually outlaws them.
"We are the oppressed people," said Kamil Zuhairi Abdul Aziz, the Iranian-trained religious leader for the Lovers of the Prophet's Household, the Shiite group raided by the religious police on Dec. 15.
The event they were commemorating, the death of Prophet Muhammad's grandson in the seventh century, helped seal the split between the majority Sunnis and the Shiites, whose strongest base today is in Iran.
Kamil estimates there are at least 40,000 Shiites among Malaysia's 16 million Muslims, though the number could be higher as many conceal their faith to avoid trouble. A few have been detained in the past, and some sent to faith rehabilitation centers, but there is no official data on the number of arrests.
Malaysia's ban was issued in 1996 by the National Fatwa Council of top Islamic clerics and seen as unusual in the Muslim world. The council comes under the government's Islamic Advancement Department, so its decrees are de facto law.
The 3 million Shiites in neighboring Indonesia are able to practice freely, though they are often harassed on hard-line Sunni websites. In Bahrain, the government cracks down on Shiite activists, fearing they could be a backdoor for Iranian influence.
Sunni extremists have bombed Shiite gatherings in Pakistan, and much of the violence in Iraq has been between Sunni and Shiite militias as the two sides vie for power.
It's not clear what prompted the recent raid in Malaysia, but Islamic officials defend the ban as crucial to prevent unrest among Muslims.
"Shia is an Iranian sect," said leading cleric Harussani Zakaria, a member of the National Fatwa Council. "It has expanded secretly and now has many supporters who are starting to practice their faith in public. We don't want any religious differences. They are a threat to Muslim unity in Malaysia."
In defense of the raid, several Islamic officials said Shiism could give rise to fanatics as it permits the killing of Muslims from other sects, a claim denied by the Iranian embassy and Shiites here. Home Minister Hishammuddin Hussein, responding to reporters, said that Shiites don't pose a threat to national security.
The Iranian embassy issued a statement urging the government to prevent the spread of such false information. "Currently, there are about 400 million followers of the radiant path ... in the world and such baseless statements are utter disrespect to all of them," the statement read in part.
Some Malaysian Shiite families have practiced for generations while many others were exposed and subsequently converted to Shiism after the 1979 Islamic Revolution in Iran.
Many meet in one of 40 "hauzars," or "houses of knowledge." The one that Kamil leads, the most prominent and largest with 500 members, is on the top floor of a shop-house in a suburb of the city of Kuala Lumpur.
On Dec. 15, religious police arrived in trucks and detained about 125 people, including some 30 foreigners, mostly from Pakistan. Most were released on bail and given hearing dates at the Shariah court, which adjudicates religious cases.
Officials have said the foreigners are expected to be let off, but the Malaysians could be charged with following the teachings of a deviant movement, which carries a penalty of up to two years in prison.
Kamil has been charged with insulting Islamic officials, with his hearing set for Feb. 17.
His group has turned to the government-backed Human Rights Commission of Malaysia to demand the right to worship freely .
Mastura Ahmad, a 46-year-old homemaker among those detained, said she became a follower after marrying her Shiite husband, whose ancestors are from Indonesia.
"I feel comfortable with Shia. There is more guidance given and I feel safer. But I don't declare my faith openly because people don't understand. My neighbors will gossip about it and label us as deviants and we may be ostracized," she said.
Followers still gather at Kamil's hauzar, but iron grills have been installed at the entrance, in part because of concerns that drugs or explosives could be planted in the center to undermine the group.
Some 100 followers filed in for prayers on the first Tuesday of the new year. A wall mural depicting Noah's Ark greeted them as they entered a long carpeted hall draped with banners in Arabic and separated into sections for men and women.
During the one-hour session, Kamil led prayers over a loudspeaker. Then, poems were read to continue the mourning for the grandson of Prophet Muhammad.
"Here in Malaysia, they cannot accept the differences," Rashid Ahmad, a 46-year-old follower, said before the service. "There has been a campaign of demonizing us by the religious authorities. They are jealous of our influence. In the whole world, Shia is awakening."
He requested not to be photographed to protect his identity as his child is receiving a government scholarship, and he fears it could be withdrawn.
In this Muslim-majority country, it’s OK to be Christian, Buddhist or Hindu. But not Shiite.
Syiah Malaysia: Reaksi Keras Lembaga Internasional Ahlul Bait Atas Kejahatan Wahabi
Bisimihi ta‘âlâ.
Kepada Yth:
Anggota Majelis Umum Lembaga Internasional Ahlul Bait as.
Assalamualaikum Wr. Wb.
A‘zdama-Allâhu ujûronâ wa ujûrokum bi mushôbinâ Al-Husain as.
Teriring belasungkawa dalam rangka mengenang hari-hari dukacita baginda dan penghulu para syahid, Abu Abdillah Husain as, kami sampaikan bahwa aparat keamanan negara bagian Selangor, Malaysia, di malam Asyura Husaini melalui putusan pengadilan syariah dan hasutan agen-agen Wahhabi dalam departemen agama setempat, telah melakukan penangkapan sekelompok dari saudara-saudari peserta majelis dukacita melalui sebuah aksi penggerebekan yang keji terhadap Husainiyah Al-Ridha as. dengan tujuan membubarkan majelis dukacita untuk sosok kelima dari keluarga Al-Kisa’. Selain aksi penistaan terhadap kehormatan majelis dan tempat yang mulia itu, mereka juga telah menyita buku-buku keagamaan, Al-Quran, Mafâtîh Al-Jinân, termasuk turbah, poster, dan atribut-atribut azadari ‘dukacita’.
Aksi penistaan dan pengadilan terhadap sejumlah peserta majelis dukacita yang ditangkap itu segera disusul oleh gelombang besar pemberitaan palsu yang dikerahkan oleh agen-agen yang terkait dengan Wahhabisme di bawah arahan kekuatan arogansi internasional terhadap Syiah di dunia maya dan media-media massa Malaysia; dibubuhi dengan berbagai fitnah pemikiran dan tuduhan kosong yang tak berdasar dan tak didukung oleh satu argumentasi atau referensi apa pun dalam Islam, Al-Quran, dan Sunnah Rasulullah Saw.
Lembaga Internasional Ahlul Bait as. (Majma-e Jahani-e Ahl-e Bayt as), seraya mengutuk aksi penistaan terhadap kehormatan majelis dan acara Asyura Husaini serta simbol-simbol suci agama, tidak dapat menerima aksi pemicu pertikaian demikian itu terhadap Syiah dan menyatakan tegas bahwa aksi-aksi yang diambil oleh kelompok-kelompok takfir ‘juru pengkafir’ serta kaum Wahhabi terhadap Syiah hingga kini masih berlangsung dalam upaya menghasut sentimen anti-Islam pihak musuh dan menyulut api perselisihan di antara Ahli Sunnah dan Syiah sebagai cara mereka membuktikan jasanya dalam melayani imperialisme.
Penghasutan dan penyulutan ini bertujuan untuk melemahkan tubuh umat Islam dan, walaupun sudah berlangsung lama, namun dalam beberapa tahun belakangan ini, upaya itu terus dilaksanakan secara lebih gencar dalam berbagai modus dan cara melalui anasir Wahhabisme dan kroni-kroni kekuatan arogan, selain juga didukung oleh bantuan finansial dan media massa yang kini dikuasai oleh pihak-pihak konspirator. Akan tetapi, sikap bijak kalangan ulama dan tokoh-tokoh Ahli Sunnah dan Syiah dalam membongkar konspirasi tersebut berpengaruh positif lebih dari sebelumnya dalam kondisi dimana umat Islam tengah membutuhkan persatuan.
Untuk itu, diminta kepada Anda sebagai anggota terhormat Majelis Umum agar, di samping mengutuk aksi penistaan keji tersebut, menyatakan protes secara tertulis kepada kedutaan besar kerajaan Malaysia di negara masing-masing.
Terima kasih
Lembaga Internasional Ahlul Bait as.
14 Muharam Al-Haram 1432
Imam Baqir has said: The one who is unaware of the oppression done upon us, the one who is oblivious of the snatching away of our rights and one who is unaware of the misbehavior of the Ummah towards us- surely he is amongst those oppressors. [Bihar al Anwar, V 55, p 77; Eqaabul Aamaal, pg 208].
Kupegang teguh kalimah ‘La ilaha illallah’ dan kecintaan kepada Ahmad dan Ali. Beruntung Anjing karena mencintai Ashhabul Kahfi mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi.
Wahai Abul Qosim, wahai rasulullah, wahai imam pembawa rahmat, wahai junjungan dan pemimpin kami, sesungguhnya kami menghadap, meminta syafaat dan bertawassul denganmu kepada Allah serta mengajukan padamu keperluan-keperluan kami, wahai yang terpandang di sisi Allah, berilah kami syafaat di sisi Allah.
Imam Syafi’i berujar, ‘Jika mencintai Ahl ul Bait disebut Rafidi (Syiah), ketahuilah bahwa saya seorang Rafidi’.
Dialog Sunni Syiah .
Mengapa dan Bagaimana.
Keganasan antara Syiah-Sunni telah menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun kebelakangan ini, khususnya di Iraq dan Pakistan. Setiap bulan, tampaknya, puluhan warga Syiah dan Sunni menjadi korban dalam serangan keji antara ekstremis di kedua belah pihak. Kebanyakan mangsa korban tewas ketika mereka sedang beribadat, berdoa danu berada dalam masjid.
Insiden-insiden ini menyukarkan koeksistensi dan kerja sama di antara Syiah-Sunni. Di Iraq, dianggarkan bahawa sehingga 30 peratus daripada perkahwinan adalah antara Shiah dan Sunni; juga dilihat ialah,keluarga mangsa korban kekerasan antara kedua kumpulan sering menghadiri pengebumian antara satu sama lain dan satu kumpulan sering membantu korban yang lain selepas insiden. Ini menunjukkan bahaw majoriti penduduk dan masyarakat Sunni dan Syiah secara dasarnya mampu menerima dan berupaya untuk hidup secara berdamai di antara mereka.
Majoriti senyap ini harus datang bersama-sama dan bersatu melalui dialog untuk menewaskan pengganas yang telah bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut.
Tujuh alasan mengapa sebuah dialog antara Syiah dan Sunni sangat diperlukan:
1. Perbezaan dan pertelingkahan antara Syiah dan Sunni adalah sudah terlalu tua dan adalah lebih elok bagi kita meninggalkan perkara ini kepadai Allah untuk dihakimi, karena Dia paling mengetahui dan mengatakan dalam Quran bahawa Dia adalah hakim akhir pertikaian agama. Pembunuhan warga Syiah atau Sunni tidak akan menyelesaikan pertikaian tersebut.
2. Prinsip “tidak ada paksaan dalam hal iman” (Al-Quran 2:256) tidak hanya terhad di dalam hubungan Muslim-non-Muslim. Tafsiran ini juga merangkumi perhubungan di dalam masyarakat Islam. Perintah Allah ini berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam untuk tidak memaksakan penafsiran seseorang pada orang lain. Itulah sebabnya sepanjang sejarah, kita melihat bukan sahaja Shafii dan Hanafi dapat bekerja diantara satu sama lain meskipun wujud banyaknya perbezaan-perbezaan, malah Shiah dan Sunni juga telah hidup dan bekerja berdampingan antara satu sama lain.
3. Apabila manusia duduk dan berbicara antara satu sama lain, mereka belajar untuk saling menghormati antara satu sama lain.
4. Dialog memberikan kefahaman yang lebih baik dengan membolehkan peserta untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung mengenai keyakinan dan kedudukan sesuatu pihak dan bukan hanya berdasarkan propaganda dan dakwaan stereotaip. (Quran 49:6-12)
5. Dialog akan mengasingkan antara orang yang berfikiran konservatif dan ekstremis. Adalah menjadi dosa besar untuk membunuh seorang manusia. Membunuh seorang manusia adalah sama seperti membunuh seluruh umat manusia. Dengan berbicara antara satu sama lain, Shiah dan Sunni akan dapat menyelamatkan nyawa, yang dapat digambarkan seperti menyelamatkan seluruh umat manusia. (Quran 5:32)
6. Bahkan jika terdapat segelintir Shiah dan Sunni yang saling menganggap pihak berlawanan sebagai musuh, Quran meminta kita bersikap adil bahkan terhadap satu lagi musuh “Wahai orang beriman Menonjol tegaslah untuk Allah, bersaksilah dengan adil, dan janganlah kebencian orang lain kepada kamu membuat kamu mengelak kepada kesalahan dan menyeleweng dari keadilan. kerana adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan: dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan semua yang kamu lakukan. “ [Quran 5:8]
Beberapa pertimbangan untuk dialog:
Komuniti Syiah seperti juga Sunni adalah pelbagai. Ada banyak perbezaan antara satu kelompok Syiah dan yang lainnya. Ini sebabnya telah menjadi satu isu yang penting bahawa dialog antara Sunni dan Shiah menjadi suatu gerakan dan satu proses pendidikan di setiap lapisan masyarakat, bukan hanya menunggu untuk satu dialog peringkat tinggi untuk menghasilkan beberapa keputusan di peringkat kepimpinan. Berikut adalah beberapa pemikiran asas tentang bagaimana sebuah dialog antara Shiah dan Sunni dapat bermanfaat bagi pihak masing-masing.
Objektif dari dialog
Walaupun saya menganggap bahawa sebuah dialog adalah sangat bermanfaat bagi semua, adalah penting bagi setiap orang yang terlibat mengiktiraf sebahagian daripada manfaat yang jelas dari dialog ini. Berikut adalah objektif yang dapat dicapai dari dialog Syiah-Sunni.
1. Mengembangkan agenda keprihatinan umum
2. Mencari isu konflik
3. Mengeluarkan Fatwa bersama terhadap pembunuhan kepuakan
4. Mengasingkan ekstremis di setiap sisi
5. Mencegah potensi konflik atau pengantaraan konflik yang sudah ada
6. Pendidikan untuk memperjelaskan fitnah antara satu sama lain
7. Menyiapkan senarai tugas bersama untuk menangani masalah-masalah yang luar biasa
Siapa yang harus menyertai dalam dialog
1. Siswa madrasah atau pusat pembelajaran agama
2. Mahasiswa Universiti
3. Kepemimpinan agama peringkat kebangsaan
4. Media Syiah dan Sunni
5. Ahli-ahli perniagaan Syiah dan Sunni
Kesimpulan:
Konflik kepuakan Syiah dan Sunnah telah mencarik kesatuan komuniti kita.
Al-Quran, Nabi Muhammad(saaw), Kaabah dan lima rukun Islam adalah sama bagi warga Syiah dan Sunni. Itu sebabnya tidak ada seorang pun dalam sejarah Islam telah memberhentikan Shiah dari Haji, meskipun Ka’bah selalu berada dalam kawalan Sunni. Bahkan sehingga saat ini, ketika Kaabah di kawal oleh golongan Salaf yang sangat memandang negative terhadap Syiah, Syiah seperti umat Islam lain bebas untuk melakukan Haji. Shiah, dengan cara yang sama, sejak revolusi Iran tahun 1979, diperintahkan oleh Imam Khomeini untuk berdoa di belakang Imam Salafi bersama-sama beliau dan bukannya berdoa secara berasingan.
Perkataan “penyelewengan” bererti perbuatan menyeleweng,penyimpangan dari dasar, memisahkan seseorang dari hakikat pengajaran agama.(Kamus Dewan,Kuala lumpur,1991,hlm.1145)Sementara perkataan “ kesesatan” bererti perihal sesat.Dan “sesat” adalah tidak mengikuti jalan yang betul,tersalah jalan,terkeliru,menyimpan dari jalan yang benar(Ibid, hlm.1191).
Perkataan Dhalal (kesesatan) di dalam al-Qur’an dikaitkan kepada penderhakaan terhadap Allah (swt) dan Rasul-Nya, kerana menyalahi, menolak, mengubah, dan menangguhkan hukum-Nya.Firman-Nya “ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya(wa man ya ‘si Llaha Rasula-hu),maka ianya telah sesat(Dhalla) dengan kesesatan yang nyata (Dhalalan)” (Al-Ahzab(33):35) dan ikutan(Taqlid) kepada orang yang mulia dan pembesar-pembesar yang melakukan perkara yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.)Firman-Nya “ Mereka berkata:Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati orang yang mulia kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan Engkau( fa-adhallu-na s-Sabila)” (Al-Ahzab(33):67).
Ini bererti sesiapa yang menyalahi, membelakangi, mengganti, membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya sama ada secara sukarela atau ikutan(taqlid) kepada orang yang mulia dan pembesar-pembesar mereka yang melakukan perkara tersebut dahulu dan sekarang (salaf dan khalaf) adalah termasuk golongan yang sesat/menyeleweng dari Islam yang sebenar.Dan maksud “Islam yang sebenar” adalah Islam yang bertepatan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Dan bukan sebaliknya.
A. Penyelewengan dari sudut Akidah
Dikemukan dibawah ini sebahagian dari penyelewengan Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah dari segi Akidah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.)seperti berikut:
1. Imam tidak maksum.Siapa sahaja boleh menjadi Imam sama ada orang yang zalim, fasiq, si jahil, pembohong, perampas, pembunuh dan lain-lain.Ianya menyeleweng daripada firman Tuhan “ Sesungguhnya aku menjadikan mereka Imam.Dia(Ibrahim) berkata: Semua zuriyatku?Dia berfirman: Janjiku tidak termasuk orang-orang yang zalim” (al-Baqarah(2):124). Lantaran itu orang yang zalim tidak boleh menjadi Imam.Tetapi Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah menyokong orang-orang yang zalim menjadi pemimpin dan kemaksuman mereka tidak perlu.Kemudian mereka mewajibkan orang ramai supaya mentaati pemimpin-pemimpin tersebut.Justeru itu mereka telah menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenar:al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Lantaran itu mereka telah memisahkan agama dengan politik. Mereka percaya bahawa Rasulullah (Saw.) kurang tahu urusan dunia kerana beliau bersabda “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu” (antum a‘lamu bi-umuri dunya-kum) (Muslim, Sahih , ii, hlm. 875).
2. Berterus terang menyokong pemimpin-pemimpin yang zalim,tanpa berpura-pura.Dan menentang Mustadh‘afin, tanpa berpura-pura.Lantaran itu akidah mereka menyeleweng dari Firman-Nya “ Janganlah kamu cenderung kepada orang yang melakukan kezaliman, lantas kamu akan disambar oleh api neraka.Dan tidak ada bagimu wali selain daripada Allah,kemudian kamu tiada mendapat pertolongan” (Hud(11):113).
3. Melebihkan taraf Abu Bakr dan Umar daripada Allah(swt) dari segi pelaksanaan hukum. Mereka memperaktikkan sunnah Abu Bakr dan Umar yang berlawanan dengan hukum Allah.Dan barang siapa yang menyalahi sunnah mereka berdua dikira menyeleweng/sesat dari Islam sebenar.Mereka maksudkan dengan Islam yang sebenar itu adalah Islam yang mematuhi sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar sekalipun ianya bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).
Ini bererti orang yang percaya dan mengamal keseluruhan hukum al-Qur’an adalah dikira sesat, dan menyeleweng dari Islam sebenar, kerana menolak sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar.Kemudian mereka mengadakan program pemulihan/ kemurnian akidah bagi memaksa orang ramai mentaati sunnah mereka berdua. Mereka jadikan Masa’il al-Mursalah, Maslahah,Ihsan Sadd dh-Dhara‘i‘, ijmak, ijtihad, dan Qiyas bagi membatal/menukar/ mengubah hukum Allah (swt).
Kemudian mereka memberitahu orang-ramai perlakuan sedemikian adalah kerana menjaga maqasid asy-Syari‘ah,bukan menentang hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Orang ramai adalah jahil,lalu menerima fatwa mereka yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Mereka menyakinkan orang ramai bahawa perbuatan mereka tidak terkeluar dari roh Syari‘ah,pada hakikatnya terkeluar dari Syari‘ah Allah.Orang ramai menerimanya.Perkataan Syari‘ah yang digunakan oleh mereka pula bukan bererti al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw sahaja.
Malah menggunakan istilah-istilah lain untuk mengkaburkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw dari diamalkan.Umpamanya mereka mengatakan khalifah Umar tidak memberi saham Muallaf adalah untuk menjaga Maqasid asy Syari‘ah.Sepatutnya Maqasid asy-Syari‘ah adalah penerusan pemberian zakat kepada Muallaaf, tetapi khalifah Umar telah menahan pemberian tersebut dengan alasan Muallaf tidak memerlukanya lagi.Mereka memuji tindakan khalifah Umar yamg menyalahi al-Qur’an itu sebagai tindakan yang bijak dan mereka memujinya pula.Sepatutnya mereka menjaga Maqasidu l-Qur’an yang meneruskan pemberan zakat kepada Muallaf, tetapi disebabkan mereka lebih meredhai sunnah Umar daripada hukum Allah, maka mereka mencari jalan bagi menutup kesalahannya.Dan kesalahannya pula menjadi sunnah/hukum yang menangguh/membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Sehingga sekarang mereka mempertahankan perbuatan/sunnah Abu Bakr dan Umar meskipun ia bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.Malah mereka memaksa orang ramai mengamalkan sunnah tersebut di dalam peribadatan mereka.
justeru itu sesiapa yang percaya dan mengamalkan hukum al-Qur’an 100 peratus akan dikira sesat/menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenar kerana mereka menolak sunnah khalifah Abu Bakr dan Umar yang menyalahi al-Qur’an.Jika sesiapa yang tidak menerima sunnah tersebut mereka menganggapnya terkeluar daripada agama Islam sebenar ;menyeleweng/sesat, dan perlu kepada pemulihan/pemurnian akidah kerana ia mengancam keselamatan negara.Sepatutnya mereka yang mengamalkan sunnah Abu Bakr dan Umar yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) lebih perlu kepada pemulihan akidah mereka kepada akidah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) dengan meninggalkan sunnah mereka berdua.Tetapi percayalah bahawa mereka akan meneruskan sunnah Abu Bakr dan Umar yang menyalahi al-Qur’an.
Mereka tidak akan menyerah kepada hukum Allah sepenuhnya sebagaimana firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman,taatlah kamu kepada Allah,dan taatlah kepada Rasul dan Uli l-Amri min-kum.Jika kamu bertelagah di dalam sesuatu perkara,maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nyajikakamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat.Demikian itu lebih baik dan sebaik-baik jalan” (al-Nisa’(4):59).Dan firman-Nya “Tidakkah kamu mengetahui bahawa mereka yang mendakwa bahawa mereka beriman kepada (al-Qur’an) yang diturunkan kepada engkau dan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelum engkau; mereka hendak meminta hukum kepada Thaghut(berhala),sedang kan mereka diperintahkan supaya menentang thaghut .Syaitan menghendaki supaya ia menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh” (al-Nisa’(4):60).Justeru itu ajaran Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah adalah menyeleweng dari ajaran al-Qur’an.
4. Melebihkan taraf Abu Bakr dan Umar daripada Rasulullah (Saw.) dari segi pelaksanaan hukum. Mereka lebih mentaati sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar daripada sunnah Rasulullah saw.Sebaliknya mereka menyesatkan orang yang tidak mentaati sunnah mereka berdua sekalipun bertentangan dengan sunnah Rasulullah (Saw.).Jika sesiapa mengamalkan Sunnah Rasulullah 100 peratus adalah dikira sesat, dan menyeleweng dari Islam yang sebenar, kerana menolak sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar yang menyalahi sunnah Rasulullah (Saw.) Oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah.Mereka percaya bahawa khalifah Abu Bakr dan Umar lebih mengetahui daripada Rasulullah saw.
Lantaran itu mereka menggunakan istilah-istilah Masalih Mursalah,Maslahah,Ihsan, Maqasidu sy-Syari‘ah, ijtihad dan lain-lain bagi membatalkan/menangguh/menggantikan sebahagian Sunnah Rasulullah (Saw.).Justeru itu mereka menyalahi Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65)Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”(al-Ma ‘idah(5):44).
Dan firman-Nya “Barang siapa yang menentang Rasul,sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikut bukan jalan orang-orang Mukmin,maka kami biarkan dia memimpin dan kami memasukkan dia ke dalam nereka Jahannam.Itulah sejahat-jahat tempat kembali”(Al-Nisa ‘(4);115).
5. Mengharamkan nikah Mut‘ah yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.Kerana Umar mengharamkannya.Dengan pengharaman tersebut banyak gejala masyarakat timbul dan tidak dapat di atasi.Lantaran itu kita dapati di dalam masyarakat Ahlu s-Sunnah wa l–Jama‘ah perzinayan, perogolan banyak berlaku.Bapa berzina dengan anak perempuannya,iparya,emak saudaranya dan lain-lain.Oleh itu tidak hairanlah jika Imam Ali a.s berkata: “perzinayan yang berlaku,adalah ekoran pengharaman nikah Mut‘ah”. Mereka mentaati Umar lebih dari mentaati Allah swt. Dan Rasul-Nya dari segi pelaksanaan hukum.
Al-Suyuti berkata:Umarlah orang pertama yang mengharamkan nikah Mut‘ah (Tarikh al-Khulafa’,hlm.137) Kenyataan al-Suyuti bererti:
a) Nikah mut’ah adalah halal menurut Islam.
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut’ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah (Saw.), khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.
c) Umar mempunyai kuasa veto yang boleh memansuhkan atau membatalkan hukum nikah mut’ah sekalipun ianya halal di sisi Allah dan Rasul-Nya. Al-Suyuti seorang Mujaddid Ahlil Sunnah abad ke-6 Hijrah mempercayai bahawa nikah mut’ah adalah halal, kerana pengharamannya adalah dilakukan oleh Umar dan bukan oleh Allah dan RasulNya.Kenyataan al-Suyuti adalah berdasarkan kepada al-Qur’an dan kata-kata Umar sendiri.
Sebenarnya para ulama Ahlul Sunnah sendiri telah mencatat bahawa Umarlah yang telah mengharamkan nikah mut’ah sepertiberikut:
a) Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar,”Dua mut’ah yang dilakukan pada masaRasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ahperempuan dan mut’ah haji.
b) Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah:”Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut’ah.”Dia menjawab:”Umar al-Khatab.”Dia bertanya lagi,”Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya.”Dia menjawab:”Mengikut riwayat yang sahih bahawa dia menaiki mimbar masjid dan berkata:Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut’ah tetapi aku aku mengharamkan kedua-duanya (mut’ah perempuan dan mut’ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya.”
c) Daripada Jabir bin Abdullah, dia berkata:”Kami telah melakukan nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kes Umru bin Harith.[Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VIII, hlm.294]
d) Daripada Urwah bin al-Zubair,”Sesungguhnya Khaulah bt. Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata:”Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata:”Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya awal-awal lagi nescaya aku merejamnya.”Isnad hadith ini adalah tsiqah, dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta’, II, hlm. 30;al-Syafi’i, al-Umm, VII, hlm. 219;al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206]
e) Kata-kata Ali (a.s),”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah nescaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140].
Kata-kata Ali (a.s) ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahawa Ali telah melarang nikah mut’ah kerana beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa’ (4):24.
f) Daripada Ibn Juraij, daripada ‘Ata’ dia berkata:”Aku mendengar Ibn Abbas berkata:Semoga Allah merahmati Umar, mut’ah adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad dan jika ia tidak dilarang (oleh Umar) nescaya seorang itu tidak perlu berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Jassas, al-Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 179; al-Zamakhshari, al-Fa'iq, I, hlm. 331;al-Qurtubi, Tafsir, V, hlm. 130]
Riwayat Ibn Abbas tersebut menafikan dakwaan orang yang mengatakan Ibn Abbas telah menarik balik kata-katanya mengenai mut’ah. Walau bagaimanapun halalnya mut’ah tidak berpandu kepada pendapat Ibn Abbas tetapi berpandu kepada Surah al-Nisa (4): 24 yang tidak dimansuhkan.
Di sini disebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in yang telah mengamalkan nikah mut’ah atau mempercayai ia halal seperti berikut:
1. Umran b. al-Hasin.
2. Jabir b. Abdullah.
3. Abdullah b. Mas’ud.
4. Abdullah b. Umar.
5. Muawiyah b. Abi Sufyan.
6. Abu Said al-Khudri.
7. Salman b. Umaiyyah b, Khalf
8. Ma’bad b. Umaiyyah.
9. al-Zubair bin al-Awwam yang mengahwini Asma’ bt khalifah Abu Bakar secara mut’ah selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak lelaki bernama Abdullah da Urwah.
10. Khalid b. Muhajir.
11. Umru b. Harith.
12. Ubayy b. Ka’ab.
13. Rabi’ah b. Umaiyyah.
14. Said b. Jubair.
15. Tawwus al-Yamani.
16. ‘Ata’ Abu Muhammad al-Madani.
17. al-Sudi.
18. Mujahid.
19. Zufar b. Aus al-Madani.
20. Ibn Juraij.
21. Ali bin Abi Talib.
22. Umar b. al-Khattab sebelum dia mengharamkannya dan diakui leh anaknya Abdullah bin Umar.
Nama-nama tersebut adalah diambil dari buku-buku Hadith Ahlul Sunnah dan lain-lain di mana saya tidak memberi rujukan lengkap kerana kesempitan ruang, lihatlah umpamanya buku-buku sahih bab nikah mut’ah dan lain-lain.
Di sini diperturunkan pendapat-pendapat Ahlul Sunnah yang mengatakan nikah mut’ah telah dimansuhkan, kemudian, diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kembali. Ia mempunyai 15 pendapat yang berbeza-beza sepertiberikut:
1. Nikah mut’ah diharuskan pada permulaan Islam, kemudian Rasulullah (Saw.) menegahnya di dalam Peperangan Khaibar.
2. Ia boleh dilakukan ketika darurat di masa-masa tertentu kemudian diharamkan pada akhir tahun Haji Wida’.
3. Ia diharuskan selama 3 hari sahaja.
4. Diharuskan pada tahun al-Autas kemudian diharamkan.
5. Diharuskan pada Haji Wida’ kemudian ditegah semula.
6. Diharuskan, kemudian diharamkan pada masa pembukaan Mekah.
7. Ia harus, kemudiannya ditegah dalam Perang Tabuk.
8. Diharuskan pada pembukaan Mekah dan diharamkan pada hari itu juga.
9. Ia dihalalkan pada Umrah al-Qadha’.
10. Ia tidak pernah diharuskan di dalam Islam. Pendapat ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah Nabi (Saw.), Ahlul Baytnya dan sahabat-sahabat.
11. Ia diharuskan kemudian dilarang pada Perang Khaibar kemudian diizin kembali pada masa pembukaan Mekah kemudian diharamkannya selepas tiga hari.
12. Diharuskan pada permulaan Islam kemudian diharuskan pada Perang Khaibar kemudian diharuskan pada Perang Autas, kemudian diharamkan.
13. Diharuskan pada permulaan Islam pada tahun Autas, pembukaan Mekah dan Umrah al-Qadha’ dan diharamkan pada Peperangan Khaibar dan Tabuk.
14. Ia telah diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kemudian dimansuhkan.
15. Diharuskan 7 kali, dimansuhkan 7 kali, dimansuhkan pada Peperangan Khaibar, Hunain, ‘Umra al-Qadha’, tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida’.[al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 183; Muslim, Sahih, I, hlm. 394;Ibn Hajr, Fath al-Bari, IX, hlm. 138; al-Zurqani, Syarh al-Muwatta', hlm. 24].
Lihatlah bagaimana perselisihan pendapat telah berlaku tentang nikah mut’ah di mana mereka sendiri tidak yakin bilakah ia dimansuhkan atau sebaliknya. Walau bagaimanapun pendapat-pendapat tersebut memberi erti bahawa hukum nikah mut’ah boleh dipermainkan-mainkan kerana ia mengandungi beberapa proses pengharusan dan pengharaman, oleh itu ianya tidak mungkin dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ianya telah dilakukan oleh al-Zubair bin al-Awwam dengan Asma’ bt. khalifah Abu Bakar selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak mut’ah.
Sebenarnya pengharusan nikah mut’ah itu berasal daripada al-Qur’an, firman-Nya (Surah al-Nisa (4):24:”
Maka isteri-isteri kamu yang kamu nikmati (mut’ah) di atas mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajipan.” Menurut al-Zamakhsyari, ayat ini adalah Muhkamah, iaitu tidak dimansuhkan [al-Kasysyaf,I hlm. 190] iaitu nikah mut’ah adalah halal.
Al-Qurtubi menyatakan, penduduk Mekah banyak melakukan nikah mut’ah [Tafsir,V, hlm. 132]. Fakhruddin al-Razi berkata:”Mereka berselisih pendapat tentang ayat ini, sama ada ia dimansuhkan ataupun tidak, tetapi sebahagian besar berpendapat ayat ini tidak dimansuhkan dan nikah mut’ah adalah harus.”[Mafatih al-Ghaib, III, hlm. 200] Abu Hayyan berkata:”Selepas menukilkan hadith yang mengharuskan nikah mut’ah, sekumpulan daripada Ahlul Bayt dan Tabi’in berpendapat nikah mut’ah adalah halal.”Ibn Juraij (w.150H) pula berpendapat bahawa nikah mut’ah adalah harus. Imam Syafi’I menegaskan bahawa Ibn Juraij telah bernikah mut’ah dengan 72 orang perempuan, sementara al-Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut’ah dengan 90 orang perempuan.[Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408].
Perhatikanlah bahawa Ibn Juraij adalah seorang daripada Tabi’in dan imam masjid Mekah, telah berkahwin secara mut’ah dengan 90 orang perempuan dan dia juga telah meriwayatkan hadith yang banyak di dalam sahih-sahih Ahlul Sunnah seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain. Ini bererti kitab-kitab sahih tersebut telah dikotori (mengikut bahawa lawan) dan ia tidak menjadisahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut’ah itu dianggap penzina.
Ayat tersebut tidak dimansuhkan oleh Surah al-Mukminun ayat 6 dan Surah al-Ma’arij ayat 30, kerana kedua-dua ayat tersebut,
adalah Makkiyyah dan ayat Makkiyyah tidak boleh memansuhkan ayat Madaniyyah, begitu juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat al-Mirath (pusaka) kerana dalam nikah biasa sekalipun mirath tidak boleh berlaku jika si isteri melakukan nusyuz terhadap suaminya atau isterinya seorang kitabiyah. Sebagaimana juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat Talaq, kerana nikah mut’ah dapat ditalak (dapat dibatalkan) dengan berakhirnya masa. Ia juga tidak boleh dimansuhkan dengan hadith mengiku jumhur ulama.
Imam Zulfar berpendapat walaupun ditetapkan, tetapi ia tidak membatalkan akad nikah. Imam Malik pula mengatakan nikah mut’ah adalah harus hingga terdapatnya dalil yang memansuhkannya. Imam Muhammad al-Syaibani mengatakan nikah mut’ah adalah makruh. [al-Sarkhasi, al-Mabsut, V, hlm. 160] Demikianlah beberapa pendapat yang menunjukkan nikah mut’ah adalahharus tetapi ia diharamkan oleh khalifah Umar al-Khattab. Adapun syarat-syarat nikah mut’ah menurut Islam adalah seperti berikut:
i. Mahar.
ii. Ajal (tempoh)
iii. Akad yang mengandungi ijab dan kabul dan ianya sah dilakukan secara wakil
iv. Perceraian selepas tamatnya tempoh
v. Iddah
vi. Sabitnya nasab (keturunan)
vii. Tidak sabitnya pusaka di antara suami dan isteri jika ia tidak syaratkan.
Inilah syarat-syarat nikah mut’ah mengikut Ahlul Sunnah dan Syiah dan inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Adapun kata-kata bahawa ‘nikah mut’ah boleh dilakukan dengan isteri orang’ adalah satu pembohongan yang besar dan ianya menyalahi nas. Oleh itu para Imam Ahlul Bait (a.s) dan para ulama Syiah mengharamkannya. Disebabkan ijab sebarang nikah, sama ada nikah mut’ah ataupun da’im (biasa) adalah dipihak perempuan atau wakilnya, maka perempuan tersebut atau wakilnya mestilah mengetahui bahawa ‘dia’ bukanlah isteri orang, jika tidak, ia tidak boleh melafazkan ijab, “aku nikahkan diriku akan dikau dengan mas kahwinnya sebanyak satu ribu ringgit selama tiga tahun.”Umpamanya lelaki menjawab:”Aku terimalah nikah.
Imam Baqir dan Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) berkata bahawa pihak lelaki tidak wajib bertanya adakah siperempuan itu isteri orang atau tidak, kerana sudah pasti mengikut hukum syarak perempuan yang akan berkahwin mestilah bukan isteri orang. Jika didapati ia isteri orang maka nikah mut’ah atau nikah biasa itu adalah tidak sah. Walau bagaimanapun adalah disunatkan seorang itu bertanya keadaan perempuan itu sama ada masih isteri orang atau sebagainya.
Mengenai wali Ahlul Sunnah tidak sependapat sama ada wali adalah wajib bagi perempuan yang ingin berkahwin. Abu Hanifah umpamanya menyatakan wali adalah tidak wajib bagi janda dan anak dara yang sudah akil baligh dengan syarat ia berkahwin dengan seorang yang sekufu dengannya.[Malik, al-Muwatta', I, hlm. 183] Abu Yusuf dan al-Syaibani pula berpendapat wali adalah peru tetapi bapa tidak ada hak untuk memaksa anak perempuannya melainkan ia di bawah umur.[Ibn Hazm, al-Muhalla, hlm. 145].
Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) berpendapat wali tidak wajib dalam nikah kecuali bagi anak dara. Tetapi ia adalah digalakkan di dalam semua keadaan bagi penentuan harta dan keturunan.[al-Tusi, Tahdbib al-Ahkam, VII, hlm. 262].
Sebenarnya idea wali nikah menurut Imam Malik adalah dikaitkan dengan khalifah Umar al-Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin al-Musayyab, bahawa seorang tidak dibenarkan berkahwin tanpa kebenaran walinya atau keluarganya yang baik atau pemerintah [Sahnun, al-Mudawwannah al-Kubra, IV, hlm. 16].
Mengenai saksi di dalam nikah, Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) tidak mewajibkan saksi di dalam nikah mut’ah atau nikah biasa, tetapi ia disunatkan berbuat demikian bagi pengurusan harta dan penentuan nasab keturunan.[al-Tusi, al-Istibsar, III, hlm. 148].
Tidak terdapat di dalam al-Qur’an ayat yang mewajibkan wali dan saksi di dalam nikah, umpamanya firman Allah dalam Surah al-Nisa (4):3…..”maka kahwinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga dan empat.” Ini bererti Allah tidak mewajibkan saksi dan wali di dalam perkahwinan kerana untuk memberi kemudahan kepada umat manusia tetapi Dia mewajibkan saksi di dalam perceraian, firmanNya dalam Surah al-Talaq (65):2….”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.”.
Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) mengatakan bahawa dua saksi di dalam talak adalah wajib. Walau bagaimanapun beliau tidak menafikan bahawa saksi adalah digalakkan, lantaran itu hadith “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi” adalah hadith yang lemah. Itulah nikah mut’ah yang dipercayai oleh mazhab Ja’fari dan ia adalah sama seperti yang dilakukan pada zaman Nabi (Saw.) dan zaman sahabatnya, dengan penjelasan ini, semoga ianya dapat dibezakan di antara pelacuran dan nikah mut’ah.
Kesimpulannya, nikah mut’ah adalah halal sehingga Hari Kiamat berdasarkan Surah al-Nisa (4):24. Ia adalah ayat muhkamah yang tidak dimansuhkan, hanya khalifah Umar sahaja yang memansuhkan nikah mut’ah pada masa pemerintahannya. Oleh ituijtihadnya adalah menyalahi nas, dengan itu kata-kata al-Suyuti bahawa khalifah Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut’ah adalah wajar dan menepati nas. Walau bagaimanapun saya sekali-kali tidak menggalakkan sesiapa pun untuk melakukannya walau di mana sekalipun.
7. Khalifah tidak diwasiatkan oleh Rasulullah saw,tetapi khalifah Abu Bakr telah berwasiat kepada Umar,dan Umar telah berwasiat kepada Uthman secara tersusun. Lantaran itu Abu Bakr tidak mentaati Rasulullah saw kerana meninggalkan wasiat, begitu juga Umar.Sebenarnya Rasulullah saw telah berwasiat kepada Ali a.s. “Siapa yang telah menjadikan aku maulanya , maka Ali adalah maulanya” Lantaran itu Ali dan sebelas para imam Ahlu l-Bait Rasulullah saw menuntutnya.
Lantaran itu,jika mereka mendakwa Rasulullah tidak meninggalkan wasiat,tetapi mereka berdua telah berwasiat,bererti mereka telah menyalahi Sunnah Rasulullah saw yang tidak berwasiat menurut pendapat mereka.Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Rasulullah saw.Dan jika Rasulullah saw telah berwasiat-tentu beliau berwasiat-Mereka juga telah menyalahi Sunnah Rasulullah saw,kerana beliau telah berwasiatkan kepada Ali,Hasan ,Husain sehinggalah kepada Imam al-Mahdi a.s. dan bukan kepada mereka berdua.( al-Qunduzi al-Hanafi,Yanabi‘ al-Mawaddah,hlm.124-5) Justeru itu Ahlu s-Sunnah yang menolak hadis Imam Dua Belas sepatutnya meneleweng,bukan Syi‘ah yang mempercayainya.
8. Tidak memahami konsep ilmu Allah tentang al-Bada’ di dalam konteks “Dia menghapuskan apa yang dikehendaki dan menetapkan(yamhu Llahu ma yasya‘ wa yuthbit) dan di sissi-Nya Ummu l-Kitab’ (al-Ra‘d(13):39) Dan firman-Nya “ Kami tidak mengubah mana mana ayat ( ma nansakhu min ayatin) atau kami lupakan(kepada kamu) kami datangkan (gantiannya) dengan lebih baik daripadanya(na’ti bi-kharin min-ha) atau yang seumpamanya( au mithli-ha)” (Al-Baqarah(2):106) Oleh itu, Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah tidak memahami konsep al- Bada’ , nasikh dan mansukh sehingga mereka mempercayai bahawa Abu Bakr dan Umar boleh membatalkan/mengubah hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw dengan alasan maslahah ,lalu memtaati mereka berdua.
9. Tidak mempercayai Muhammad bin Hasan al-Askari sebagai imam al-mahdi al-muntazar.Sikap penentangan ini semata-mata penentangan mereka terhadap hadis Dua Belas Imam (al-Qunduzi l-Hanafi,Yanabi ‘ al-Mawaddah,hlm.148-9).
10. Memartabatkan majoriti para sahabat Nabi saw yang telah menjadi kafir-murtad dengan sendiri.Sedangkan Rasulullah saw mengatakan bahawa majoriti mereka telah menjadi kafir murtad selepas kewafatannya, kerana mereka telah mengubah /membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Hanya sedikit sahaja bilangan mereka terselamat.Syi‘ah tidak mengkafirkan mereka tetapi al-Bukhari dan Muslim telah mencatat di dalam Sahih Sahih mereka mengenai perkara tersebut.
Definisi kekafiran
Perkataan “kekafiran” adalah pecahan daripada perkataan “kafir”. Menurut Kamus Dewan, perkataan “kekafiran” memberi pengertian sifat-sifat kafir.Dan kafir adalah orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Sementara perkataan “mengkafir/mengafir” bererti menganggap kafir/mengatakan kafir (Kamus Dewan, Kuala Lumpur,1991, hlm.514).Perkataan “murtad” bererti seorang keluar daripada agamanya,tidak setia kepada agamanya (Kamus Dewan, Kuala Lumpur,1991, hlm.846) Justeru itu orang Islam yang menjadi kafir atau murtad adalah orang yang keluar agama Islam.
Kajian mengenai para sahabat yang telah menjadi kafir-murtad selepas kewafatan Nabi (Saw.) amat mencemaskan,tetapi ianya suatu hakikat yang tidak dapat dinafikan oleh sesiapapun kerana ia telah dicatat oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam Sahih-Sahih mereka di mana kedua dua kitab tersebut dinilai sebagai kitab yang paling Sahih selepas al-Qur’an oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sendiri. Di samping itu ia juga telah dicatat oleh pengumpul-pengumpul Hadis daripada mazhab Ahlu l-Bait(a.s) di dalam buku-buku mereka.
Amatlah dikesali bahawa kaum Wahabi yang menyamar sebagai Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sentiasa menyamarakkan sentimen anti Syi‘ah dengan slogan “Syi‘ah mengkafirkan para sahabat” bagi mendapatkan sokongan orang ramai kepada gerakan mereka.Walau bagaimanapun rencana ringkas ini sekadar mendedahkan hakikat sebenar bagi menjawab tuduhan tersebut,dan tidak sekali-kali bertujuan meresahkan kaum Muslimin di rantau ini.
Sekiranya al-Bukhari dan Muslim telah mencatat kekafiran majoriti para sahabat selepas kewafatan Nabi (Saw.) di dalam Sahih-Sahih mereka, kenapa kita menolaknya dan melemparkan kemarahan kepada orang lain pula? Dan jika mereka berdua berbohong, merekalah yang berdosa dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (swt)Dan jika kita Ahlu s-Sunnah Nabi (Saw.), nescaya kita menerimanya.Jika tidak, kitalah Ahli anti Sunnah/Hadis Nabi (Saw.)
Definisi sahabat
Berbagai pendapat mengenai definisi sahabat telah dikemukakan. Ada pendapat yang mengatakan: “Sesiapa yang bersahabat dengan Nabi (Saw.) atau melihatnya daripada orang-orang Islam, maka ia adalah daripada para sahabatnya.”.
Definisi inilah yang dipegang oleh al-Bukhari di dalam Sahihnya(al-Bukhari, Sahih, v , hlm.1). Sementara gurunya Ali bin al-Madini berpendapat: Sesiapa yang bersahabat dengan Nabi (Saw.) atau melihatnya, sekalipun satu jam di siang hari, adalah sahabatnya(Ibid). Manakala al-Zain al-Iraqi berkata: “Sahabat adalah sesiapa yang berjumpa dengan Nabi sebagai seorang Muslim, kemudian mati di dalam Islam.” Said bin Musayyab berpendapat: “Sesiapa yang tinggal bersama Nabi selama satu tahun atau berperang bersamanya satu peperangan.”.
Pendapat ini tidak boleh dilaksanakan kerana ianya mengeluarkan sahabat-sahabat yang tinggal kurang daripada satu tahun bersama Nabi (Saw.) dan sahabat-sahabat yang tidak ikut berperang bersamanya.Ibn Hajar berkata:”Definisi tersebut tidak boleh diterima(Ibn Hajr, Fath al-Bari, viii, hlm.1).
Ibn al-Hajib menceritakan pendapat ‘Umru bin Yahya yang mensyaratkan seorang itu tinggal bersama Nabi (Saw.)dalam masa yang lama dan “mengambil (hadith) daripadanya(Syarh al-Fiqh al-‘Iraqi,hlm.4-3) Ada juga pendapat yang mengatakan:”Sahabat adalah orang Muslim yang melihat Nabi (Saw.) dalam masa yang pendek(Ibid).
Kedudukan para sahabat
Kedudukan para sahabat di bahagikan kepada tiga:
1. Sahabat semuanya adil dan mereka adalah para mujtahid.Ini adalah pendapat Ahlu s- Sunnah wa l-Jama‘ah.
2. Sahabat seperti orang lain, ada yang adil dan ada yang fasiq kerana mereka dinilai berdasarkan perbuatan mereka.Justeru itu yang baik diberi ganjaran kerana kebaikannya.Sebaliknya yang jahat dibalas dengan kejahatannya.Ini adalah pendapat mazhab Ahlu l-Bait Rasulullah (Saw.)/Syi‘ah/Imam Dua belas.
3. Semua sahabat adalah kafir-semoga dijauhi Allah-Ini adalah pendapat Khawarij yang terkeluar daripada Islam.
Dikemukan dibawah ini lima hadis daripada Sahih al-Bukhari (Al-Bukhari, Sahih, (Arabic-English), by Dr.Muhammad Muhammad Muhsin Khan, Islamic University, Medina al-Munawwara, Kazi Publications, Chicago, USA1987, jilid viii, hlm.378-384(Kitab ar-Riqaq,bab fi l-Haudh)dan enam hadis dari Sahih Muslim Muslim,Sahih, edisi Muhammad Fuad ‘Abdu l-Baqi, Cairo,1339H,
Terjemahan hadis-hadis dari Sahih al-Bukhari
1. Hadis no.578.Daripada Abdullah bahawa Nabi(Saw.) bersabda:Aku akan mendahului kamu di Haudh dan sebahagian daripada kamu akan dibawa di hadapanku.Kemudian mereka akan dipisahkan jauh daripadaku.Aku akan bersabda: wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku (ashabi).Maka dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).
2. Hadis no.584.Daripada Anas daripada Nabi (Saw.) bersabda: Sebahagian daripada sahabatku akan datang kepadaku di Haudh (Sungai/Kolam Susu) sehingga aku mengenali mereka,lantas mereka dibawa jauh daripadaku.Kemudian aku akan bersabda:Para sahabatku(ashabi)!Maka dia (Malaikat) berkata: Anda tidak mengetahui apa yang lakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la adri ma ahdathu ba‘da-ka).
3. Hadis no.585.Abu Hazim daripada Sahl bin Sa‘d daripada Nabi (Saw.) Nabi (Saw.) bersabda: Aku akan mendahului kamu di Haudh.Dan siapa yang akan melaluinya akan miminumnya.Dan siapa yang meminumnya tidak akan dahaga selama-lamanya.Akan datang kepadaku beberapa orang yang aku kenali,dan mereka juga mengenaliku.Kemudian dihalang di antaraku dan mereka.Abu Hazim berkata : Nu‘man bin Abi ‘iyasy berkata selepas mendengarku: Adakah anda telah mendengar sedemikian daripada Sahl? Aku menjawab:Ya.Aku naik saksi bahawa aku telah mendengar Abu Sa ‘id al-Khudri berkata perkara yang sama,malah dia menambah:Nabi (Saw.) bersabda:Aku akan bersabda: mereka itu adalah daripadaku (ashabi).Maka dijawab: “Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka Aku akan bersabda:Jauh!Jauh! (daripada rahmat Allah) /ke Neraka mereka yang telah mengubah/menukarkan (hukum Allah dan Sunnahku) selepasku (suhqan suhqan li-man ghayyara ba‘di) ”.
Abu Hurairah berkata bahawa Rasulullah (Saw.) bersabda: Sekumpulan daripada para sahabatku akan datang kepadaku di Hari Kiamat.kemudian mereka akan diusir jauh dari Haudh.Maka aku akan bersabda:Wahai Tuhanku!mereka itu adalah para sahabatku (ashabi).Dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang mereka lakukan selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la ‘ilma la-ka bima ahdathu ba‘da-ka)Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad kebelakang (irtaddu ‘ala a‘qabi-bi-himu l-Qahqariyy).
4. Hadis no.586.Daripada Ibn Musayyab bahawa Nabi (Saw.) bersabda: Sebahagian daripada para sahabatku akan mendatangiku di Haudh, dan mereka akan dipisahkan dari Haudh.Maka aku berkata:Wahai Tuhanku! Mereka adalah para sahabatku (ashabi), maka akan dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka.Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad ke belakang selepas anda meninggalkan mereka (inna-hum irtaddu ba ‘da-ka ‘ala Adbari-ka l-Qahqariyy).
5. Hadis no.587. Daripada Abu Hurairah bahawa Nabi (Saw.)bersabda: Manakala aku sedang tidur,tiba-tiba sekumpulan (para sahabatku) datang kepadaku.Apabila aku mengenali mereka,tiba-tiba seorang lelaki(Malaikat) keluar di antara aku dan mereka. Dia berkata kepada mereka :Datang kemari.Aku bertanya kepadanya:Ke mana? Dia menjawab:Ke Neraka,demi Allah.Aku pun bertanya lagi:Apakah kesalahan mereka?Dia menjawab:Mereka telah menjadi kafir-murtad selepas kamu meninggalkan mereka( inna-hum irtaddu ba‘da-ka ‘ala Adbari-himi l-Qahqariyy). Justeru itu aku tidak melihat mereka terselamat melainkan (beberapa orang sahaja) sepertilah unta yang tersesat/terbiar daripada pengembalanya(fala ara-hu yakhlusu min-hum illa mithlu hamali n-Na‘ am).
Terjemahan hadis-hadis dari Sahih Muslim
1. Hadis no.26.(2290)Daripada Abi Hazim berkata: Aku telah mendengar Sahlan berkata:Aku telah mendengar Nabi (Saw.) bersabda:Aku akan mendahului kamu di Haudh.Siapa yang melaluinya, dia akan meminumnya.Dan siapa yang meminumnya,dia tidak akan dahaga selama-lamanya.Akan datang kepadaku beberapa orang yang aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku(para sahabatku).Kemudian dipisahkan di antaraku dan mereka.Abu Hazim berkata:Nu‘man bin Abi ‘Iyasy telah mendengarnya dan aku telah memberitahu mereka tentang Hadis ini.Maka dia berkata:Adakah anda telah mendengar Sahlan berkata sedemikian? Dia berkata: Ya.
(2291)Dia berkata:Aku naik saksi bahawa aku telah mendengar Abu Sa‘id al-Khudri menambah:Dia berkata:Sesungguhnya mereka itu adalah daripadaku(inna-hum min-ni).Dan dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).Maka aku (Nabi (Saw.) bersabda:Jauh !Jauh! (daripada rahmat Allah)/ke Neraka mereka yang telah mengubah/menukarkan (hukum Tuhanku dan Sunnahku) selepasku ( Suhqan suhqan li-man baddala ba‘di).
2. Hadis no.27(2293)Dia berkata:Asma‘ binti Abu Bakr berkata:Rasulullah (Saw.) bersabda:Sesungguhnya aku akan berada di Haudh sehingga aku melihat mereka yang datang kepadaku dikalangan kamu(man yaridu ‘alayya min-kum).Dan mereka akan ditarik dengan pantas (daripadaku), maka aku akan bersabda:Wahai Tuhanku!Mereka itu daripada (para sahabat)ku dan daripada umatku. Dijawab: Tidakkah anda merasai/menyedari apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (amma sya‘arta ma ‘amilu ba‘da-ka)?Demi Allah, mereka sentiasa mengundur ke belakang (kembali kepada kekafiran) selepas anda meninggalkan mereka(Wa Llahi!Ma barihu ba‘da-ka yarji‘un ‘ala a‘qabi-him)Dia berkata:Ibn Abi Mulaikah berkata: “ Wahai Tuhanku!Sesungguhnya kami memohon perlindungan daripadaMu supaya kami tidak mengundur ke belakang (kembali kepada kekafiran) atau kami difitnahkan tentang agama kami”.
3. Hadis no.28.(2294) Daripada ‘Aisyah berkata:Aku telah mendengar Nabi (Saw.) bersabda ketika beliau berada di kalangan para sahabatnya(ashabi-hi):Aku akan menunggu mereka di kalangan kamu yang akan datang kepadaku. Demi Allah! Mereka akan ditarik dengan pantas dariku.Maka aku akan bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka adalah daripada(para sahabat)ku dan daripada umatku. Dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ‘amilu ba‘da-ka).Mereka sentiasa mengundur ke belakang(kembali kepada kekafiran)(Ma zalu yarji‘un ‘ala a‘qabi-him).
4. Hadis no.29(2295)Daripada Abdullah bin Rafi‘; Maula Ummi Salmah;isteri Nabi (Saw.)Rasulullah (Saw.) bersabda:Sesungguhnya aku akan mendahului kamu di Haudh. Tidak seorang daripada kamu(para sahabatku) akan datang kepadaku sehingga dia akan dihalau/diusir daripadaku(fa-yudhabbu ‘anni) sebagaimana dihalau/diusir unta yang tersesat(ka-ma yudhabbu l-Ba‘iru dh-Dhallu).Aku akan bersabda:apakah salahnya? Dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka)Maka aku bersabda:Jauh!(daripada rahmat Allah) (suhqan).
5. Hadis no.32(2297)Daripada Abdillah, Rasulullah (Saw.) bersabda: Aku akan mendahului kamu di Haudh.Dan aku akan bertelagah dengan mereka (aqwaman).Kemudian aku akan menguasai mereka.Maka aku bersabda:Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku.Mereka itu adalah para sahabatku(Ya Rabb!Ashabi,ashabi).Lantas dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).
6. Hadis no.40.(2304)Daripada Anas bin Malik bahawa Nabi (Saw.) bersabda:Akan datang kepadaku di Haudh beberapa lelaki(rijalun) daripada mereka yang telah bersahabat denganku(mimman sahabani) sehingga aku melihat mereka diangkat kepadaku.Kemudian mereka dipisahkan daripadaku.Maka aku akan bersabda:Wahai Tuhanku!Mereka adalah para sahabatku.Mereka adalah para sahabatku (Usaihabi)Akan dijawab kepadaku:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).
Perkataan-perkataan yang penting di dalam hadis-hadis tersebut.
Daripada hadis-hadis di atas kita dapati al-Bukhari telah menyebut perkataan:
a. Ashabi (para sahabatku) secara literal sebanyak empat kali.
b. Inna-ka la tadri/la ‘ilma la-ka ma ahdathu ba‘da-ka (Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan(ahdathu) oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka) sebanyak tiga kali.Perkataan ahdathu bererti mereka telah melakukan bid‘ah-bid‘ah/inovasi yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah nabi (Saw.).
c. Inna-hum Irtaddu(Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad) sebanyak empat kali.
d. Suhqan suhqan li-man gyayara ba‘di (Jauh! Jauh!(daripada rahmat Allah) /ke Nerakalah mereka yang telah mengubah/menukarkan-hukum Tuhanku dan Sunnahku- selepasku) satu kali.perkataan “Ghayyara” bererti mengubah/ menukarkan hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
e. Fala arahu yakhlusu minhum mithlu hamali n-Na‘am (Aku tidak fikir mereka terselamat melainkan(beberapa orang sahaja) sepertilah unta yang tersesat/terbiar daripada pengembalanya) satu kali.
Sementara Muslim telah menyebut perkataan:
a. Ashabi (para sahabatku) secara literal satu kali.
b. Ashabi-hi (para sahabatnya) satu kali,
c. Sahaba-ni ( bersahabat denganku) satu kali
d. Usaihabi (para sahabatku) dua kali.
e. Innaka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka (sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan(ahdathu) oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka) tiga kali.
f. Inna-ka la tadri/sya‘arta ma ‘amilu ba‘da-ka (Sesungguhnya anda tidak mengetahui/menyedari apa yang dilakukan(ma ‘amilu) oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka) tiga kali .Perkataan “Ma ‘amilu”(Apa yang dilakukan oleh mereka) adalah amalan-amalan yang menyalahi hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya..
g. Ma barihu/Ma zalu Yarji‘un ‘ala a‘qabi-him (mereka sentiasa kembali kepada kekafiran) dua kali
h. Suhqan suhqan li-man baddala ba‘di (Jauh! Jauh! (daripada rahmat Allah)/ ke Nerakalah mereka yang telah mengganti/ mengubah/ menukar-hukum Tuhanku dan Sunnahku- selepasku) satu kali. Perkataan “Baddala” bererti mengganti/mengubah/menukar hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
Justeru itu sebab-sebab mereka menjadi kafir-murtad menurut al-Bukhari dan Muslim adalah kerana mereka:
(1) Ahdathu=Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
(2) ‘Amilu =Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
(3) Ghayyaru=Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
(4) Baddalu=Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
Ini bererti mereka yang telah mengubah hukum-Nya dan Sunnah Nabi-Nya dilaknati(mal‘unin). Lantaran itu sebarang justifikasi (tabrirat) seperti Maslahah, Masalihu l-Mursalah, Saddu dh-Dhara’i‘,Maqasidu sy-Syari‘ah‘, dan sebagainya bagi mengubah/menukar/menangguh/membatalkan sebahagian hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya adalah bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Saw.).Jika mereka terus melakukan sedemikian, maka mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (Saw.), malah mereka adalah Ahli anti Sunnah nabi (Saw.).
Sebab utama yang membawa mereka menjadi kafir-murtad (Irtaddu/La yazalun yarji‘un ‘ala a‘qabi-him) di dalan hadis-hadis tersebut adalah kerana mereka telah mengubah sebahagian hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya (baddalu wa ghayyaru) dengan melakukan berbagai bid‘ah (ahdathu) dan amalan-amalan (‘amilu) yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Saw.). Perkara yang sama akan berlaku kepada kita di abad ini jika kita melakukan perkara yang sama.Menurut al-Bukhari dan Muslim,hanya sebilangan kecil daripada mereka terselamat seperti bilangan unta yang tersesat/terbiar (mithlu hamali n-Na‘am) .Justeru itu konsep keadilan semua para sahabat yang diciptakan oleh Abu l-Hasan al-Asy‘ari (al-Asy‘ari, al-Ibanah, cairo,1958, hlm.12) dan dijadikan akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah adalah bertentangan dengan hadis-hadis tersebut.
Walau bagaimanapun hadis-hadis tersebut adalah bertepatan dengan firma-Nya di dalam Surah al-Saba’(34):131 “Dan sedikit daripada hamba-hambaKu yang bersyukur”, firman-Nya di dalam Surah Yusuf (12):103 “Dan kebanyakan manusia bukanlah orang-orang yang beriman, meskipun engkau harapkan”,dan firman-Nya di dalam Surah Sad (38):24 “Melainkan orang-orang yang beriman,dan beramal salih,tetapi sedikit (bilangan) mereka” Dia berfirman kepada Nuh di dalam Surah hud(11):40 “ Dan tiadalah beriman bersamanya melainkan sedikit sahaja.” Mukminun adalah sedikit.Justeru itu tidak hairanlah jika di kalangan Para sahabat ada yang telah mengubah Sunnah Nabi (Saw.), tidak meredhai keputusan yang dibuat oleh Nabi (Saw.) Malah mereka menuduh beliau melakukannya kerana kepentingan diri sendiri dan bukan kerana Allah (swt).
Al-Bukhari di dalam Sahihnya, Jilid IV, hlm. 47 bab al-Sabr ‘Ala al-Adha meriwayatkan bahawa al-A’masy telah memberitahu kami bahawa dia berkata:”Aku mendengar Syaqiq berkata: “Abdullah berkata:Suatu hari Nabi (Saw.) telah membahagikan-bahagikan sesuatu kepada para sahabatnya sebagaimana biasa dilakukannya. Tiba-tiba seorang Ansar mengkritiknya seraya berkata: “Sesungguhnya pembahagian ini bukanlah kerana Allah (swt). Akupun berkata kepadanya bahawa aku akan memberitahu Nabi (Saw.) mengenai kata-katanya. Akupun mendatangi beliau ketika itu beliau berada bersama para sahabatnya. Lalu aku memberitahukan beliau apa yang berlaku. Tiba-tiba mukanya berubah dan menjadi marah sehingga aku menyesal memberitahukannya. Kemudian beliau bersabda:”Musa disakiti lebih dari itu tetapi beliau bersabar.”.
Perhatikanlah bagaimana perlakuan (ma ‘amilu) sahabat terhadap Nabi (Saw.)! Tidakkah apa yang diucapkan oleh Nabi (Saw.) itu adalah wahyu? Tidakkah keputusan Nabi (Saw.) itu harus ditaati?Tetapi mereka tidak mentaatinya kerana mereka tidak mempercayai kemaksuman Nabi (Saw.).
Al-Bukhari di dalam Sahihnya, Jilid IV, Kitab al-Adab bab Man lam yuwajih al-Nas bi l-‘Itab berkata:”Aisyah berkata:Nabi (Saw.) pernah melakukan sesuatu kemudian membenarkan para sahabat untuk melakukannya. Tetapi sebahagian para sahabat tidak melakukannya. Kemudian berita ini sampai kepada Nabi (Saw.), maka beliau memberi khutbah memuji Allah kemudian bersabda:”Kenapa mereka menjauhi dari melakukannya perkara yang aku melakukannnya. Demi Allah, sesungguhnya aku lebih mengetahui dari mereka tentang Allah dan lebih takut kepadaNya dari mereka.”.
Al-Bukhari juga di dalam Sahihnya Jilid IV, hlm. 49 bab al-Tabassum wa al-Dhahak (senyum dan ketawa) meriwayatkan bahawa Anas bin Malik telah memberitahukan kami bahawa dia berkata:”Aku berjalan bersama Rasulullah (Saw.) di waktu itu beliau memakai burdah (pakaian) Najrani yang tebal. Tiba-tiba datang seorang Badwi lalu menarik pakaian Nabi (Saw.) dengan kuat.” Anas berkata:”Aku melihat kulit leher Nabi (Saw.) menjadi lebam akibat tarikan kuat yang dilakukan oleh Badwi tersebut. Kemudian dia (Badwi) berkata:Wahai Muhammad! Berikan kepadaku sebahagian dari harta Allah yang berada di sisi anda. Maka Nabi (Saw.) berpaling kepadanya dan ketawa lalu menyuruh sahabatnya supaya memberikan kepadanya.”.
Di kalangan mereka ada yang telah menghina Nabi (Saw.)dan mempersendakan Nabi (Saw.) dengan mengatakan bahawa Nabi (Saw.) “Sedang meracau” di hadapan Nabi (Saw.)“ Kitab Allah adalah cukup dan kami tidak perlu kepada Sunnah Nabi (Saw.)” .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) “Sunnah Nabi (Saw.) mendatangkan perselisihan dan pertengkaran kepada Umat [Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I , hlm.3]” “ Mereka telah mengepung dan membakar rumah anak perempuan Nabi (Saw.)Fatimah (a.s) dan berkata: “Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai’ah kepada Abu Bakar.”[Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida”,Tarikh, I, hlm. 156] merampas Fadak daripada Fatimah (a.s) yang telah diberikan kepadanya oleh Nabi (Saw.) semasa hidupnya(Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi, Balaghah al-Nisa’, II ,hlm.14;Umar Ridha Kahalah, A’lam al-Nisa’, III, hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm.79,92),menyakiti hati Fatimah, Ali, al-Hasan dan al-Husain,kerana Rasulullah (Saw.) bersabda “Siapa menyakiti Fatimah, dia menyakitiku, dan siapa menyakitiku ,dia menyakiti Allah” “Siapa menyakiti Ali, sesungguhnya dia menyakitiku,dan siapa yang menyakitiku, dia menyakiti Allah” “al-Hasan dan al-Husain kedua-dua mereka adalah pemuda Syurga” (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm.129-131 dan lain-lain).
Mereka telah membakar Sunnah Nabi (Saw.) (Ibn Sa’d, Tabaqat, V , hlm. 140), “ menghalang orang ramai dari meriwayatkan Sunnah Nabi (Saw.) ” [al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I ,hlm. 7], mengesyaki Nabi (Saw.) sama ada berada di atas kebenaran atau kebatilan [Muslim, Sahih, IV, hlm.12,14; al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111] , mengubah sebahagian hukum Allah dan sunnah Nabi (Saw.) (al-Suyuti,Tarikh al-Khulafa’ hlm.136).
Al-Bukhari meriwayatkan bahawa al-Musayyab berkata: Aku berjumpa al-Barra’ bin ‘Azib (r.a), lalu aku berkata: Alangkah beruntungnya anda kerana anda telah bersahabat (Sahabta) dengan Nabi (Saw.) dan membaiahnya di bawah pokok. Lantas dia menjawab: Wahai anak saudaraku! Sebenarnya anda tidak mengetahui apa yang kami lakukan (Ahdathna-hu) selepasnya (al-Bukari, Sahih, v, hlm.343 (Hadis no.488).
Kesemua hadis-hadis tersebut adalah menepati ayat al-Inqilab firman-Nya di dalam Surah Ali Imran (3): 144:”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang(murtad), maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur.” Dan bilangan yang sedikit sahaja yang “terselamat” adalah menepati firman-Nya di dalam Surah Saba’ (34): 13:”Dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang berterima kasih.”
Kesimpulan:
Kekafiran majoriti para sahabat selepas kewafatan Nabi (Saw.) sebagaimana dicatat oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam Sahih-Sahih mereka amat menakutkan sekali. Dan ianya menyalahi akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang menegaskan bahawa semua para sahabat adalah adil (kebal). Lantaran itu mana-mana Muslim sama ada dia seorang yang bergelar sahabat, tabi‘I, mufti, kadi dan kita sendiri,tidak boleh mengubah/ menannagguhkan/melanggar/ membatalkan mana-mana hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya dengan alasan Maqasidu sy-Syari‘ah, Maslahah, dan sebagainya.Kerana Allah dan Rasul-Nya tidak akan meridhai perbuatan tersebut.Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35)
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65)Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”(al-Ma ‘idah(5):44).
Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”(al-Ma ‘idah(5):45) Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq”(al-Ma‘idah(5):47)
Dan firman-Nya “Barang siapa yang menentang Rasul,sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikut bukan jalan orang-orang Mukmin,maka kami biarkan dia memimpin dan kami memasukkan dia ke dalam nereka Jahannam.Itulah sejahat-jahat tempat kembali”(Al-Nisa ‘(4);115).
Semoga semua orang Islam sama ada sahabat atau tidak,dahulu dan sekarang,akan diampun dosa mereka dan dimasukkan ke dalam Syurga-Nya.Amin.
11. Membuang perkataan “Hayya ‘ala khairi l ‘amal ” di dalam azan dan iqamah, dan menambah “al-Salatu kharun mina-n-Naum” di dalam azan subuh.(al-Suyuti,Tarikh al-Khulafa’, hlm.137 dll.).Mereka melakukan Dua Syahadat bukan di dalam ertikata yang sebenar, kerana mereka menjadikan sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar lebih tinggi dari hukum Allah dan Sunnah Muhammah (Saw.).Sementara Syi‘ah Ja‘fariyyah/Imam Dua Belas/Mazhab Ahlu l-Bait (a.s) Dua Syahadat di dalam ertikata yang sebenar.Mereka tidak menjadikan sunnah Abu Bakr dan Umar lebih tinggi dari hukum Allah dan Rasul-Nya dari segi pelaksanaan.
Sementara ungkapan “penyaksian mereka bahawa Ali adalah wali Allah” disebutkan di dalam azan dan iqamah oleh sebahagian Syi‘ah, mereka tidak menjadikannya sebahagian dari azan dan iqamah.Mereka menyebutnya kerana mengisytiharkan bahawa Ali adalah wali Allah”.Umpamanya Ayatullah al-Khoei tidak menyebutnya di dalam azan dan iqamah.Sementara Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah mempercayai azan dan iqamah yang mereka lakukan sekarang adalah azan dan iqamah Rasulullah (Saw.).Mereka kurang/tidak mengetahui bahawa azan/iqamah tersebut telah dibuang perkataan “Hayya ‘ala khairi l ‘amal” dan ditambah perkataan “As-Salatu kharun mina n-Naum” oleh khalifah Umar.Justeru itu Syahadat yang dilakukan oleh Syi‘ah adalah dua Syahadat di dalam sembahyang mereka.Hanya Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang tidak mengetahuinya.
12. Membuang /memperkecilkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para Imam Ahlu l-Bait sekalipun Mutawatir dan bertepatan dengan al-Qur’an.Dan menerima/memperbesarkan hadis hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sekalipun menyalahi al-Qur’an.
13. Menolak hukum-hukum al-Qur’an yang menyalahi sunnah Abu Bakr , Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah.
14. Menolak Sunnah Rasulullah yang menyalahi sunnah Abu Bakr , Umar,Uthman,danMu‘awiyah.
15. Menjadikan sunnah Abu Bakr, sunnah Umar, sunnah Uthman,dan sunnah Mu‘awiyah lebih tinggi dari al-Qur’an dari segi pelaksanaan .
16. Menjadikan sunnah Abu Bakr, sunnah Umar, sunnah Uthman,dan sunnah Mu‘awiyah lebih tinggi dari Sunnah Rasulullah (Saw.) dari segi pelaksanaan.
17. Memulih/memurnikan akidah mereka yang menolak sunnah Abu Bakr, Umar,Uthman dan Mu‘awiyah yang berlawanan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) sehingga mereka menolak hukum/ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) dengan alasan maslahah, keselamatan negara,perpaduan dan sebagainya.Sepatutnya mereka yang menolak sebahagian hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya patut dipulih/dimurnikan akidah mereka sehingga mereka menolak sunnah Abu Bakr , Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah yang bertentangan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
18. Menjadikan berbagai-bagai istilah seperti Maslahah, Istihsan, masalihu l-Mursalah, Maqasidu sy-Syari‘ah, Saddu dh-Dhari‘ah,Ijtihad, Ijmak, Qiyas, dan lain-lain biasanya bagi membatal/menangguh/mengilak/ mengubah/ mengeliru/ menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Orang ramai menerimanya,kerana kejahilan mereka.Sepatutnya istilah-istilah tersebut digunakan 100 peratus bagi mentaati hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya,tetapi apa yang berlaku adalah sebaliknya.
19. Mereka memusuhi orang yang menolak sunnah Abu Bakr,Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah yang menyalahi hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.Sebaliknya mencintai orang yang menolak hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya,tetapi menerima sunnah-sunnah mereka tersebut.
20. Mereka menjadikan sunnah Abu Bakr,Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya sebagai amal ibadat harian,bulanan,dan tahunan mereka bagi bertaqarrub kepada Allah (swt).Mereka meninggi diri dan berkata :inilah akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah;kumpulan yang berjaya (firqah Najiyah).Sementara kumpulan yang lain ke Neraka.
21. Mereka menggunakan perkataan al-Sunnah/Sunnah bagi menggambarkakan Sunnah Rasulullah (Saw.) sahaja, tetapi pada hakikatnya ia meliputi sunnah Abu Bakr, Umar,Uthman, dan Mu‘awiyah.Begitu juga mereka mengguna perkataan “Ahlu s-Sunnah” bagi mempamirkan kepada orang ramai bahawa apa yang mereka maksudkan dengan perkataan tersebut adalah “Ahlu s-Sunnah Rasulullah (Saw.) sahaja”;merekalah yang menjaga,dan pengamal Sunnah Rasulullah (Saw.)yang sebenarnya,tetapi pada hakikatmya ia meliputi sunnah Abu Bakr, Umar, Uthman, dan Mu‘awiyah yang menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya,dan merekalah pengamalnya.Orang ramai disebabkan kejahilan dan kefanatikan mereka,tidak dapat membezakan di antara Sunnah Rasulullah (Saw.) dan sunnah-sunnah mereka berempat.Lalu mereka mentaati sunnah-sunnah tersebut, dan menjadikanya ibadat bagi menghampiri diri kepada Allah (swt).
22. Mereka membenci/memulau/memisahkan orang yang yang ingin membezakan di antara Sunnah Rasulullah (Saw.) dan sunnah Abu Bakr, Umar, Uthman dan Mu‘awiyah.Kerana mereka khuatir orang ramai akan mengetahuinya, dan mungkin akan mentaati hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Justeru itu mereka akan menolak sunnah-sunnah mereka.Lantaran itu mereka popularkan hadis “Ikutlah Sunnahku dan sunnah khulafa’ Rasyidin selepasku” Mereka menjadi kesamaran,lalu mereka mengikuti sunnah-sunnah khalifah yang menyalahi hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasul-Nya.Kemudian mereka meredhainya dan beramal ibadat dengannya dan menjadikannya sebagai penilai kebenaran yang mengatasi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Orang ramai menerimanya, kerana kejahilan dan kefanatikan mereka. Mereka berkata:Inilah akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah.Dan siapa yang menyalahi Akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah adalah sesat dan menyeleweng.Dengan mengguna polar pemikiran tersebut bahawa mereka yang mengikuti 100 peratus hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya dikira sesat dan menyeleweng oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah.
23. Mereka memuji dan memuja orang yang melebih-lebihkan sunnah Abu Bakr,Umar,Uthman,dan Mu‘awiah ke atas hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasul-Nya.Mereka melantik mereka kejawatan yang tinggi bagi menangguh/membatalkan sebahagian hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
B. Penyelewengan dari sudut Syari‘at (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).
1. Menerima ijmak ulama Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sahaja walau pun menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.Umpamanya mereka berijmak menyalahi firman-Nya “ Talak (yang dapat dirujukkan) dua kali” dengan menghukum bahawa talak tiga sekali gus jatuh tiga.Sedangkan di dalam al-Qur’an ia jatuh satu. Di dalam hadis juga jatuh satu.Khalifah Umar telah bertanya Rasulullah saw tentang talak tiga sekali gus:Jika ia menceraikan isterinya tiga kali sekali gus?Beliau bersabda:Anda telah mendurhakai Tuhan anda”(A‘lamu l-Muwaqqa‘in,iv,hlm.349)Justeru itu mereka telah menggunakan Ijmak (ulama Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah) bagi membatalkan hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasul-nya.Dan bukan untuk mentaati hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw sepenuhnya.Orang ramai menerimanya kerana kejahilan dan kefanatikan mereka.
2. Menerima Qiyas sekalipun menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.Bagaimana dikiaskan saksi kepada “pembunuhan” yang memerlukan dua saksi sementara saksi kepada “perzinayan” memerlukan kepada empat saksi.Manakah yang lebih berat pembunuhan atau perzinayan?Justeru itu Qiyas tidak boleh dijadikan sumber hukum.Dan sumber hukum pula tidak boleh menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.Kerana Allah dan Rasul-Nya tidak meredhainya. Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65)
3. Membiarkan perzinayan berlaku dengan memperketatkan syarat nikah yang tidak disyaratkan oleh Rasulullah saw firman-Nya “ Maka kahwinilah olehmu perempuan-perempuan yang baik hati, berdua, bertiga atau berempat orang” (Al-Nisa’(4):3).Kemudian mepermudahkan pencerian tanpa saksi sedangkan ia adalah syarat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw .Firman-Nya “ Dan persaksikanlah dengan dua saksi yang adil di antara kamu” ((al-Talaq(65):2),dan mengharamkan nikah Mut‘ah yang dihalalkan dan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, Umar, Umran bin Hasin, Ibn Juraij dan lain-lain.Ali a.s berkata: Jika Umar tidak melarangnya,nescaya tidak akan berzina melainkan orang yang celaka”. “Mereka memaafkan penzina-penzina mereka, tetapi mereka membunuh orang yang melakukan nikah mut‘ah”.
4. Menerima ‘Aul yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.Umarlah orang yang pertama mengenakan ‘Aul di dalam pesaka.(al-Suyuti,Tarikh al-Khulafa’,137).Lantaran itu,mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Rasulullah saw, malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar.Kerena mereka menghukum sesat/menyeleweng orang yang menolak ‘Aul yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.
5. Menjadikan pendapat Abu Bakr,Umar,Uthman dan Mu‘awiyah lebih tinggi daripada hukum Allah swt dan mentaati mereka pula sekalipun mereka menyalahi hukum Allah.Justeru itu,tidak hairanlah jika Imam Ali mengatakan “mereka” adalah berhala Quraisy.Kerana Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah mentaati sunnah mereka lebih dari mentaati hukum Allah . (al-Majlisi, Biharu l-Anwar, Bairut 1991, xxx ,hlm.393).
6.Menjadikan pendapat Abu Bakr Umar,Uthman dan Mu ‘awiyah lebih tinggi daripada Sunnah Rasulullah saw.Bererti mereka adalah seperti berhala Qurasy yang disembah.Kerana mereka mentaati mereka berempat lebih daripada Allah swt di dalam pelaksanaan hukum.Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sanggup menolak hukum Allah daripada hukum mereka .Ini bererti orang yang menolak hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. (al-Majlisi, Biharu l-Anwar, Bairut 1991, xxx ,hlm.393). Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65).
7. Mereka mendakwa bahawa Rasulullah saw tidak mengumpul al-Qur’an. Hanya Abu Bakr,Umar dan Uthman yang mengumpul al-Qur’an yang ada sekarang.Uthman telah mnegambil mushaf Umar dan Umar mengambilnya daripada Abu Bakr.Penafian tersebut memberi implikasi bahawa Rasulullah saw adalah seorang yang cuai,tidak mementingkan umatnya sedangkan tiga khalifah selepas beliau telah mengumpulkan al-Qur’an.Apakah peranan Rasulullah saw sendiri tentang al-Qur’an?Mereka menganggap taraf tiga khalifah tersebut melebihi Rasulullah saw di dalam pengumpulan al-Qur’an sekalipun mereka menghalang penyibaran Sunnah Rasulullah saw dan membakarnya. (al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz,I,hlm.3 dll.] Lalu mereka mengamalkan sunnah-sunnah mereka serndiri. Kemudian mereka berkata :Rasulullah saw tidak meninggalkan wasiat.Lantarn itu,apa yang beliau tinggal?Justeru itu mereka menganggap tiga khalifah lebih tinggi daripada Rasulullah saw dari segi pelaksanaan hukum. Lalu mereka mengamalkan sunnah-sunnah mereka yang berlawanan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya .
C. Pelbagai Penyelewengan Umum
1. Menziarah kubur Rasulullah saw bukan sahaja tidak dapat pahala, malah ia adalah perbuatan syirik.Ianya bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw yang mengharuskannya (al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal,iii,hlm.78).Dan ia juga bertentangan dengan naluri manusia yang mencintai seseorang berterusan hingga ke kuburnya.
2. Bergembira/berfesta kerana keshahidan Husain bin Ali di Karbala’, malah menghina orang yang memperingati kesyahidannya.Kerana Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ahlah yang telah membunuhnya.Justeru itu mereka turut membenci mereka yang bersimpati dengannya.Sedangkan Rasulullah saw bersabda “ Husain adalah daripadaku dan aku adalah daripada Husain” (Muslim,Sahih,iv,hlm 1800)Ini bererti pembunuh Husain bin Ali a.s adalah pembunuh Rasulullah saw. Pembeci kepada Husain bin Ali a.s adalah pembenci kepada Rasulullah saw.Jika mereka berkata bahawa mereka mencintai Husain bin Ali a.s, kenapa mereka berada bersama musuhnya,membantu musuhnya dan mementang Syi ‘ah Husain bin Ali a.s?
3. Menghormati Abu Bakr,Umar, ‘Aisyah dan Hafsah sekalipun mereka menghina/mempersedakan /menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya dengan mengatakan bahawa Nabi (Saw.) “Sedang meracau” di hadapan Nabi saw sendiri“ Kitab Allah adalah cukup dan kami tidak perlu kepada Sunnah Nabi saw” .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) “Sunnah nabi (Saw.) mendatangkan perselisihan dan pertengkaran kepada Umat [Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I , hlm.3]” “ mereka telah mengepung dan membakar rumah anak perempuan Nabi (Saw.)Fatimah (a.s) dan berkata: “Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai’ah kepada Abu Bakar.”[Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida” ,Tarikh, I, hlm. 156] merampas Fadak daripada Fatimah (a.s) yang telah diberikan kepadanya oleh Nabi (Saw.) semasa hidupnya(Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi, Balaghah al-Nisa’, II ,hlm.14;Umar Ridha Kahalah, A’lam al-Nisa’, III, hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm.79,92),menyakiti hati Fatimah, Ali, al-Hasan dan al-Husain,kerana Rasulullah (Saw.) bersabda “Siapa menyakiti Fatimah, dia menyakitiku, dan siapa menyakitiku ,dia menyakiti Allah” “Siapa menyakiti Ali, sesungguhnya dia menyakitiku,dan siapa yang menyakitiku, dia menyakiti Allah” “al-Hasan dan al-Husain kedua-dua mereka adalah pemuda Syurga” (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm.129-131 dll).
4. Tidak mengharuskan jamak sembahyang di dalam semua keadaan Sekalipun al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw membenarkannya.Firman-Nya “Dirilah sembahyang dari gelincir matahari sehingga gelap malam” (al-Isra’(17):78)Ibn Abbas berkata: Rasulullah saw telah menjamak sembahyang Zuhr dan ‘Asr, maghrib dan ‘Isya’ secara berjama‘ah tanpa sakit atau musafir” (Muslim,Sahih,iii,hlm.254).Mereka memusuhi orang yang menjamak sembahyang, tetapi mereka memaafkan orang yang meninggalkan sembahyang dikalangan mereka.
5. Melakukan sembahyang Dhuha yang telah diharamkan oleh Rasulullah saw. ‘Aisyah berkata:Sesungguhnya Nabi saw tidak pernah sembahyang Dhuha.Abdullah bin Umar berkata:Sembahyang Dhuha adalah bid‘ah dari segala bid‘ah (Ahmad bin Hanbal,al-Musnad, ii, hlm. 129, al-Musnad, vi,hlm.30, Malik, al-Muwatta’,i ,hlm. 167) .Justeru itu,mereka yang menyeleweng /sesat adalah mereka melakukan sembahyang Dhuha dan bukan sebaliknya.
6. Membuang/membatalkan prinsip Khums untuk Ahlu l-Bait Rasulullah saw yang diwajibkan di dalam al-Qur’an, tetapi Khalifah Abu Bakar telah menghentikan pemberian khums kepada keluarga Rasulullah (Saw.).Kemudian sunnahnya diikuti oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah .Sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Anfal (8):41 “ Ketahuilah, apa yang kamu perolehi seperlima adalah untuk Allah,Rasul-Nya,Kerabat,anak-anak yatim,orang miskin,dan orang musafir” dan berlawanan dengan Sunnah Rasulullah (Saw.) yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat tersebut. [Lihat umpamanya al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ,II , hlm.127]. Lantaran itu mengamal ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw yang bertentangan dengan sunnnah Abu Bakr dan Umar dikira sesat dan menyeleweng oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah dari Islam yang sebenar. Sepatutnya mereka yang yang membuang/membatalkan hukum Khums yang menyeleweng/sesat, bukan mereka yang mengamalkannya.Inilah ajaran Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang menyesatkan mereka yang menolak sunnah Abu Bakr dengan mematuhi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).
7. Menjadikan Imamah dan khilafah soal yang kecil,dan tidak penting.Tetapi dari segi kenyataan mereka telah menjadikan jawatan khalifah seperti barangan yang perlu direbut.Siapa yang cepat,maka dialah yang dapat sekalipun dengan menggunakan kekerasan penipuan dan kezaliman.Mereka sanggup membunuh, berbohong kerana merebut jawatan tersebut.Hukum Allah dan Sunnah Rasulullah (Saw.) bukan menjadi pengukuranya.Justeru itu ianya menyalahi firman-Nya “Janganlah kamu cenderung kepada orang yang melakukan kezaliman, lantas kamu akan disambar oleh api neraka.Dan tidak ada bagimu wali selain daripada Allah,kemudian kamu tiada mendapat pertolongan” (Hud(11):113).
8. Menafikan taklif sembahyang ke atas orang kafir.Ini bererti mereka menolak firman-Nya “Apakah yang membuat kalian memasuki Saqar? Mereka menjawab:kami tidak termasuk mereka yang mengerjakan sembahyang” Itulah ucapan orang-orang kafir kepada Tuhan.Mereka tidak berkata:Kami kafir,kenapa bertanya kepada kami?.Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah mengingkari orang kafir ditaklifkan sembahyang, begitu juga dengan Haji.Justeru itu mereka bukan Ahlu s-Sunnah Rasulullah (Saw.), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr/Umar/Uthman /Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
9. Wajib membasuhi dua kaki dan tidak memadai menyapu kedua –dua kaki tersebut.Justeru itu mereka kurang mengetahui firman-Nya “…dan sapulah kepala kamu dan kaki kamu (Wa msa-hu bi-Ru’usi-kum wa arjula-kum/arjuli-kum)…” (al-Ma’idah(5):6) Huruf “al-Wau” dikaitkan dengan perkataan yang paling hampir kepadanya.Imam Ali Ridha berkata:Bukti dua basuh dan dua sapu adalah jelas di dalam Tayammum.Kerana Tayammum dilakukan ditempat basuh.Dan tidak dilakukan di tempat sapu(Wasa’il al-Syi‘ah ii,hlm.127dll).
Imam Khomeini dan Persatuan Islam.
“Hari ini, keamanan dunia adalah sedemikian rupa sehingga semua negara berada di bawah pengaruh politik negara kuasa besar, mereka memantau kawalan di semua negara dan mempunyai skim untuk mengalahkan setiap kumpulan yang menentang mereka. Hasil kerja mereka yang kerap dapat kita sedari ialah menyebarkan perselisihan di antara saudara-saudara seagama Islam.
Muslim harus berjaga, umat Islam harus sentiasa waspada bahawa jika berlaku perselisihan antara Sunni dan Syiah bersaudara, ini berbahaya bagi kita semua, ini berbahaya bagi semua Muslim. Mereka yang menabur fitnah bukanlah dari kalangan Sunni atau Syiah, tetapi mereka adalah agen-agen dari negara kuasa besar dan bekerja untuk mereka.
Mereka yang berusaha untuk menyebabkan perselisihan di antara kami, saudara-saudara Sunni dan Syiah adalah orang-orang yang bersubahat untuk musuh-musuh Islam dan menginginkan kemenangan musuh-musuh Islam ke atas kaum Muslim. Mereka adalah penyokong Amerika dan beberapa penyokong Kesatuan Soviet.
Saya berharap bahawa dengan mempertimbangkan ajaran Islam ini – iaitu bahawa semua muslim adalah bersaudara – semua negara-negara Islam akan menang di dalam usaha mereka melawan kuasa-kuasa jahat ini dan berjaya dalam mewujudkan semua tata cara Islam.
Muslim adalah bersaudara dan tidak akan dipisahkan melalui propaganda yang ditaja oleh elemen-elemen korup. Sumber dari masalah ini – bahawa Syi’ah harus berada pada satu sisi dan Sunni di sisi lain – adalah satu sisi kebodohan dan di sisi lain ianyaadalah sebuah propaganda asing untuk memecahbelahkan umat Islam.
Jika perasaan persaudaraan antara umat Islam datang ke permukaan di antara semua negara-negara Islam,maka ia akan menjadi sebuah kekuatan besar yang tidak ada kekuatan global yang akan mampu mengatasinya.
Saudara-saudara Syi’ah dan Sunni harus mengelak dari setiap jenis pertikaian. Hari ini, perpecahan di antara kita hanya akan menguntungkan orang-orang yang tidak mengikuti Shi’iah atau Hanafi. Mereka tidak mahu ini atau itu ada, dan tahu cara untuk menabur perselisihan antara anda dan kami. Kita harus memikirkan bahawa kita semua adalah Muslim dan kita semua percaya dalam Al-Quran; kita semua mempercayai dalam Tauhid dan harus bekerja untuk melayani kehendak Al-Quran dan tauhid pada Allah swt. “.
(Syiahali/Dialog-Sunnah-Syiah/Sunni-Syiah/Al-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
إذَا أطلق أهلُ السنة والجَماعة فالمراد بِهِم الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
Maksudnya: “Jika dikatakan Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah, maka yang dimaksudkan ialah al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah”. [Ithafus-Sadatil-Muttaqin, juz. 2, hlm. 6].
Tradisi ilmiah hidup terus di Cina; Tsung Dao Lee, Chen Ning Yang dan Chien Shiung Wu adalah contoh produknya. Dua nama pertama adalah pemenang hadiah nobel fisika tahun 1957. Lee dan Yang masing-masing kelahiran Shanghai dan Hofei masih berusia 31 dan 35 tahun ketika menerima hadiah tersebut. Sedangkan nama ketiga merupakan wanita penemu penyimpangan paritas dalam peluruhan beta. Salah satu akselerator partikel besar dunia ada di Cina. BEPC (Beijing Electron Positron Collider) adalah kolider versi SLAC (Stanford Linear Accelerator Center) SPEAR yang diupgrade. Akselerator ini menghasilkan sejumlah besar quark charm, lepton tau, dan telah membuat pengukuran masa lepton tau.
Reputasi paling aktual dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Cina adalah penerbangan ruang angkasa 15 Nopember 2003 lalu. Prestasi ini telah direkam dalam video CD dengan judul Flying Dream Fulfilled dan sudah beredar di pasaran. CD ini meneritakan 20 tahun perjalanan Cina mengejar impian dan ambisi mengarungi ruang angkasa. Sen Zhou 5 dan awaknya Yang Li Wei meneguhkan Cina sebagai negara ketiga yang sukses melakukan penerbangan ruang angkasa setelah Rusia dan Amerika.
Banyak tradisi dan semangat masyarakat Cina yang jauh lebih berguna ditampilkan di negeri kita. Khususnya impian, ambisi serta usaha Cina untuk sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Jauh-jauh hari pun kita dipesan utlubil ilma walau bissin, tuntutlah ilmu walau sampai di negeri bambu ini.
Perspektif Teologis.
Belajar dari pengalaman negeri yang kini lebih maju dari kita seperti Cina, Jepang, Korea, Malaysia, bahkan Vietnam, kata kuncinya adalah ilmu pengetahuan atau sains. Bangunan sains kealaman khususnya didirikan di atas pondasi keteraturan jagad raya dan penerimaan hukum kausalitas.
Namun, penerimaan prinsip kausalitas terkait erat dengan pandangan teologis. Teologi merupakan bagian utama dari pandangan dunia (world view) yang melukiskan kaitan antara Sang Pencipta dan yang dicipta. Itu sebabnya masalah pengembangan sains bukan sekedar persoalan kapital melainkan juga persoalan teologis. Persisnya, efek dari pandangan teologi.
Teologi atau ilmu kalam yang diajarkan di dunia islam termasuk Indonesia adalah aliran Asy’ariyah atau sering disebut sebagai ahl sunnah wal jamaah. Padahal pandangan Asy’ariyah cenderung berseberangan dengan landasan sains yang disebutkan di atas.
Aliran kalam lain yaitu Mu’tazilah cenderung berpandangan rasional liberal. Aliran ini berpandangan bahwa alam bahkan Tuhan sendiri terikat oleh hukum alam yang tidak berubah. Mu’tazilah berpandangan setiap benda mempunyai nature-nya sendiri, menimbulkan efek tertentu dan tidak dapat menghasilkan efek lain. Api tidak menghasilkan sesuatu kecuali panas, dan es tidak menghasilkan sesuatu kecuali dingin.
Dan, efek yang ditimbulkan oleh setiap benda bukan perbuatan Tuhan. Keseragaman peristiwa alamiah itulah yang dikenal sebagai hukum kausalitas. Abu al-Hasan al-Asy’ari yang mulanya pengikut Mu’tazilah tidak setuju ide nature dan efeknya yang khas. Api tidak mempunyai sifat panas dan daya bakar, buktinya nabi
Ibrahim tidak hangus saat dibakar. Asy’ariyah juga menolak kausalitas; dan menurutnya keseragaman peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak memiliki eksistensi obyektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekedar kontruksi mental atau kebiasaan dalam pikiran.
Asy’ariyah juga menolak pandangan Mu’tazilah tentang kehendak bebas dan daya manusia. Ide ini difahami Asy’ariyah sebagai adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang pada gilirannya juga bermakna manusia tidak lagi berhajat kepada Tuhan. Dengan demikian Mu’tazilah jatuh dalam kekafiran.
Mengenai perbuatan manusia, agar tidak seperti Mu’tazilah tetapi juga tidak jatuh pada pandangan jabbariyah Asy’ariyah memperkenalkan ide al-kasb (perolehan). Al-kasb merupakan perbuatan yang terletak di dalam lingkungan daya yang diciptakan, dan diwujudkan dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan demikian daya manusia turut serta dalam perwujudan manusia, karenanya manusia tidak sepenuhnya pasif.
Konsep ini cukup sulit difahami orang kebanyakan dan simplifikasinya tetap membawa pada ide fatalistik. Asy’ariyah memang berangkat dari aksioma superioritas Tuhan. Kausalitas hanya akan menurunkan peran dan derajat kesakralan Tuhan. Sikap ekstrim ini, menurut perenialis Frithj of Schuon membawa pada paradoks dan absurditas. Menjadi hampa makna dan absurd ketika Tuhan menjanjikan surga tetapi Dia dengan sewenang-wenang boleh melanggarnya sebagaimana ide Asy’ariyah.
Schuon juga memperlihatkan argumen penolakan Asy’ariyah pada nature segala sesuatu misalnya api yang panas dan membakar tertolak. Seandainya api tidak mempunyai nature demikian maka Tuhan tidak akan memerintah api menjadi dingin (QS 21:69).
Pengalaman Fisika.
Pandangan Mu’tazilah selaras dengan sains secara umum. Sungguhpun demikian, penerimaan kausalitas dan Mu’tazilah tidak berarti harus membuang Asy’ariyah seperti saat ini yaitu menerima Asy’ariyah tetapi mengkafirkan serta menolak Mu’tazilah. Atomisme Asy’ariyah yang sepenuhnya berangkat dari teks kitab suci, orisinil dan unik.
Al-Baqillani menyatakan bahwa alam terdiri dari atom-atom yang tidak mempunyai ukuran, homogen dan berjumlah berhingga. Meskipun tak berdimensi atom-atom terpadu membentuk benda yang berdimensi. Atom-atom juga tercipta dan musnah seketika karenanya tidak ada konsep jarak. Tuhan terus menerus mencipta (QS 30:11) atom-atom dengan sifat yang sama selama Dia menginginkan benda yang sama. Ternyata gagasan ini dekat dengan atomisme kuantum.
Mu’tazilah dan Asy’ariyah berseberangan tetapi keduanya juga menawarkan kebenaran. Fisika dapat mendamaikan antara kausalitas yang mengikat Tuhan ala Mu’tazilah dan penciptaan serta pemusnahan oleh kesewenang-wenangan Tuhan versi Asy’ariyah. Dunia makroskopik memenuhi hukum kausalitas deterministik Newtonian sedangkan di dunia mikro berlaku hukum probabilistik. Mekanika klasik tidak mampu mendiskripsikan perilaku mikro sedangkan mekanika kuantum tidak efektif menjelaskan penampakan makro. Keduanya dikaitkan oleh prinsip korespondensi Bohr, wilayah makro merupakan limit ekstrim gambaran mikro.
Keduanya mampunyai domain berbeda, saling melengkapi dan dalam bahasa teologi sama-sama memerlukan kehadiran aktor tunggal yaitu Tuhan. KemunculanNya saja yang berbeda, pada wilayah makro muncul dalam bentuk sunnatullah yang tetap, sedangkan di wilayah mikro dalam ketentuan yang tak dapat dipastikan kecuali kemungkinanNya.
Selanjutnya untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak aspek kita perlu membuat breakthrough ala Bacon yang sangat anti metafisika dan logika Aristotelian yang hanya bertumpu pada silogisme dan menggantinya dengan metoda ilmiah yang bertumpu pada eksperimen.
Berdialog dengan Asy’ariyah dan Mu’tazilah.
Dialog interfaith dan intrafaith merupakan dialog yang harus intens dikembangkan pada setiap pemeluk kepercayaan. Keyakinan yang dianut oleh sebuah agama atau mazhab untuk mampu berjajal dengan realitas harus dikomunikasikan dan diekspresikan pada bursa ideologi. Karena ketika keyakinan atau kredo itu dipandang sebagai sebuah pilihan, setelah melakukan penelusuran dengan menggunakan piranti akal dan nurani, ia harus dipandang sebagai sebuah kebenaran yang menyediakan lahan bagi para pemeluknya untuk melesak meraih kesempurnaan insani dan kebahagiaan hakiki. Karena mencapai dan meraup kesempurnaan merupakan tuntutan fitrah manusia, apapun agamanya.
Islam yang merupakan sebuah agama samawi semenjak kemunculannya menyambut dawuh dialog interfaith dan intrafaith ini. Islam yang diyakini oleh para pemeluknya tidak terkecuali harus turut dikomunikasi dan diekspresikan. Mengingat keyakinan kepada sesuatu berpotensi membahagiakan sekaligus menelantarkan. Namun bagaimana menemukan formula dan teraju untuk menjamin bahwa keyakinan tersebut merupakan sebuah keyakinan yang 100 % mengandung kebenaran dan tak lekang oleh panas serta tak lapuk oleh hujan. Artinya ia harus kokoh dengan argumen-argumen rasional dan filosofikal, dalam berjajal dengan agama-agama lainnya. Islam menantang setiap agama-agama untuk menyodorkan argumen dengan nada “Qul Haatu Burhanakum inkuntum Shadiqin.” Sodorkan argumenmu sekiranya engkau merupakan orang yang benar.”
Demikian juga termasuk kepada pemeluk agama Islam sendiri, karena titah Ilahi ini bersifat umum, diseru kepada siapa saja karena keyakinan bukan warisan dari leluhur dimana hal ini sangat dicela oleh kitab suci agama Islam. Keyakinan harus Anda rengkuh sendiri dengan argumen sederhana sekalipun. Sebagaimana seorang renta pemintal benang ditanya oleh Nabi Agung Saw bagaimana engkau mengenal Tuhan, sang renta menjawab bahwa benang yang aku pintal ini menunjukkan aku sebagai pemintalnya dimana tidak mungkin ia ada dan tertata rapi tanpa aku yang mengadakan dan merapikannya apatah lagi semesta raya yang serba canggih ini tentu menunjukkan kepada sosok yang menciptakannya dan kita sebut sosok itu sebagai Tuhan Sang Pencipta.
Di samping ajakan untuk berdialog ini, Islam juga mengajarkan tata cara dan etika berdialog, dimana dawuh Ilahi menegaskan “Jadilhum billati Hiya Ahsan” Berdialog dan berdialektikalah kalian dengan mereka (siapapun) dengan cara yang lebih baik.
Pembaca yang budiman, kolom diberi judul Teologi Komparatif yang stressing lebih pada poin-poin ajaran penting dari setiap agama, ajaran dan isme dan perbandingannya dengan Islam atau mazhab pilihan. Perbandingan ini tentu saja meniscayakan telaah dan kajian dari obyek yang dikaji. Pada kesempatan ini, kita akan melakukan komparasi antara teologi mazhab yang ada dalam Islam, dimana tiga pokok keyakinan yang menjadi obyek komparasi, Determinisme-Kebebasan Mutlak-In Between, Teori Kasb dan Tauhid dalam Penciptaan Asy’ariah, Mu’tazilah dalam sorotan teologi Imamiyah. Dimana dalam tulisan ringan ini, penulis juga berusaha menjelaskan (tabyin) dua pokok pemikiran Asy’ariah terkait dengan kebebasan manusia dan determinisme yang bertautan erat dengan masalah hukum kausalitas sekaligus melakukan perbandingan dua pokok pemikiran Asy’ariah secara global dengan mazhab Imamiyah. Tulisan ringan ini sengaja diturunkan buah dari “dialog intrafaith” dengan salah seorang pengguna budiman site ini namun di samping menjelaskan, karena pengguna yang dimaksud belum mengelaborasi dua pokok pemikiran yang dibelanya ini, dan menanggapi pandangan pengguna tersebut, tulisan ini juga bersifat impersonal artinya dialamatkan kepada siapa saja yang berselera mengetahui konsep-konsep pemikiran Asy’ariah, minimal ihwal konsep determinisme dan dua konsep yang dimaksud. Adapun ayat yang disebutkan pada tanggapan bag. Pertama tidak lebih dari sekedar menukil dan membacakan ayat bagi penulis yang kemudian tetap disebut sebagai klaim oleh penulis. Pembuktian yang dimaksud tidak disertai dengan argumen-argumen logis dan filosofis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seperti penukilan bahwa Tuhan itu pencipta segala sesuatu, bahwa dengan izin Tuhan segala sesuatu berlaku, dan semisalnya tanpa mengelaborasi bahwa yang dimaksud pencipta dan penciptaan di sini apa? Dengan izin Tuhan segala sesuatu itu berlaku, maksudnya apa? Etc. Namun penulis berharap penanggap dapat menyediakan hal tersebut supaya melepaskan diri Anda dari tudingan klaim, menukil dan sekedar membacakan ayat sahaja. Ala Kulli Hall…
Masalah Kebebasan Mutlak, Determinisme dan In Between
Kalau tidak salah, beberapa postingan telah lewat ihwal Kebebasan dan Determinisme ini. Namun di sini dengan corak dan warna yang berbeda, kepada pembaca disuguhkan pandangan-pandangan Asy’ariyah dan Mu’tazilah yang digagas oleh para pembesar mereka dengan sandaran kitab-kitab induk teologinya, sekaligus kritikan dari Imamiyah.
Diriwayatkan bahwa Ghilan ad-Dimisyqi, yang berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), berkata pada Rabi’ah ar-Ra’i, ilmuwan yang beraliran Jabariyah (determinisme): “Andakah yang menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?” Rabi’ah segera menjawab: “Andakah yang menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara paksa?” Demikian juga pada suatu hari terjadi baku gea (dialektika), antara Abu Ishaq al-Farayini, pendukung aliran jabariyah (determinisme), yang duduk dalam majlis Shahib bin Abbad, dan al-Qadhi Abdul-Jabbar yang datang ke tempat itu, seorang tokoh Mu’tazilah yang mengingkari pengaruh takdir umum, berlawanan dengan pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu Ishaq, segera ia berkata: “Subhana man Tanazzaha anil Fahsya (Mahasuci Allah yang terjauhkan dari perbuatan keji!” Ucapannya ini ditujukan sebagai sindiran kepada Abu Ishaq yang menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas: “Subhana man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.” (Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) Jawaban ini menyindir al-Qadhi Abdul Jabbar bahwa seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak dikehendaki oleh Allah swt, yakni perbuatan keji dan sebagainya.Apakah Tuhan menghendaki para hamba-Nya bermaksiat? Apakah para hamba lebih unggul dari Tuhan dan melakukan maksiat? Katakan kepadaku apakah jika Tuhan menahan hidayah dariku dan memutuskan aku terpuruk dalam jurang kebinasaan, apakah Dia melakukan kebaikan atau keburukan bagiku?[1]
Baku gea (dialektika) ini merupakan singgungan salah satu masalah yang terpenting dalam pembahasan teologi yang senantiasa menyita perhatian seluruh manusia khususnya kaum agamawan. Apakah manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam perbuatannya? Apakah kehendak dan kemauan manusia tidak dikalahkan oleh kehendak dan kemauan Tuhan? Apakah kehendak Tuhan termasuk seluruh perisitiwa dan perbuatan dan tiada satu pun dari peristiwa dan perbuatan ini keluar dari kehendak Tuhan?Apabila kehendak Tuhan bersifat umum, lantas bagaimana menjelaskan kebebasan manusia? Qadhi ‘Abdul Jabbar Mu’tazili meyakini kebebasan mutlak manusia dan memandang bahwa seluruh perbuatan mandiri dan bebas manusia berada di luar kekuasaan Tuhan. Sebagai kebalikannya, Abu Ishaq al-Farayini meyakini bahwa kehendak umum dan tanpa kecuali Tuhan, qadha dan qadar (dengan penafsiran deterministiknya) dengan redaksi “Subhana man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.” (Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) merupakan sindiran yang ditujukan kepada Qadhi Abdul Jabbar yang beranggapan bahwa segala sesuatu berada di luar kekuasaan Tuhan. Dan tukasan dan isykalan Qadhi terhadap Abu Ishaq adalah bahwa apabila kehendak dan kemauan Tuhan kita pandang sebagai kehendak umum dan tiada satu pun perbuatan yang keluar dari ranah perbuatan Tuhan, dimana konsekuensi dari cara berkeyakinan seperti ini adalah keniscayaan penyandaran seluruh perbuatan buruk dan tercela kepada Tuhan.
Masalah determinasi dan kebebasan manusia semenjak dahulu kala merupakan masalah yang penting dalam bidang teologi. Determinisme adalah bahwa manusia dalam seluruh perbuatannya ia tidak memiliki kehendak dan kebebasan. Seluruh perbuatan manusia kesemuanyam terlaksana berkat kehendak dan kekuasaan Tuhan dimana kebebasan merupakan poin yang berseberangan secara interminis dengan pandangan ini. Seperti pada ayat “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang suatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan (dan dalil untuk masalah ini)? Kemukakanlah Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu hanyalah mengira-ngira.” (Qs. Al-An’am [6]:148) Dimana keyakinan deterministik tersebar di kalangan kaum Musyrikin yang menjadikan ayat ini sebagai pembenaran atas perbuatan-perbuatan tercela mereka. Dan juga patut disayangkan bahwa pemikiran semacam ini juga tersebar di kalangan kaum Muslimin dikarenakan beragam dalil di antara adalah alasan politis, sebagaiman yang disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], sehingga menyebabkan mereka tercengkram paham jabariyah (deterministik).
Determinisme Mutlak
Kini tiba saatnya menjelaskan paham jabariyah menurut kitab-kitab mereka. Pandangan determinisme mutlak ini disandarkan kepada Jahim bin Shafwan founding father firqah Jahimiyyah. Firqah ini adalah firqah yang pertama kali memperkenalkan ajaran determinisme mutlak. Menurut pandangan Jahimiyyah manusia sama sekali tidak memiliki kekuasaan dan dalam perbuatannya ia terpaksa (majbur) dan hampa kebebasan dan kehendak. Seluruh perbuatan manusia sebagaimana pengaruh-pengaruh tumbuh-tumbuhan merupakan makhluk Tuhan dan manusia sama sekali tidak memiliki peran dalam mewujudkan pengaruh-pengaruh tersebut. Adapun penyandaran perbuatan itu kepada manusia merupakan penyandaran figuratif (majazi) bukan hakiki.[2]
Ucapan berikut ini adalah ucapan puak Jahimiyyah bahwa “Tiada satu pun perbuatan bagi setiap orang selain Allah dan perbuatan-perbuatan penyandarannya kepada makhluk hanya bersifat majazi.”[3]
Kasb (Perolehan)
Konsep determinisme mutlak tidak mendapatkan banyak pengikut. Banyak kelemahan dan borok dalam konsep ini dapat dijumpai dan pertentangannya dengan ayat-ayat lahir Qur’an. Sebagian berusaha, sembari bersikukuh dengan kekuasaan mutlak dan kehendak azali Tuhan, menjauh dari konsep determinisme mutlak ini. Sedemikian sehingga tetap ingin membuktikan pengaruh dan peran manusia dalam perbuatan dan pekerjaannya. Untuk menelurkan pandangan eskapis ini, teori perolehan (kasb) ini mengemuka. Mazhab teologi yang paling popular mengikuti, menyokong dan membela teori kasb ini adalah mazhab Asy’ariah, meski sebelum Asy’ariah tersebut mazhab Najjariyah (pengikut Husain bin Muhammad bin Abdullah an-Najjar(330 H) dan juga Dharuriyah (pengikut Dharar bin Amr) yang menyokong teori kasb ini.
Dasar teori ini adalah bahwa Tuhan merupakan pencipta segala perbuatan dan manusia hanya merupakan yang mewadahi dan memperoleah perbuatan-perbuatan tersebut. Dan mizan ketaatan dan maksiat juga bersandar kepada teori kasb (perolehan) ini, bukan penciptaan. Sejatinya, setiap perbuatan yang dilakukan manusia memiliki dua sisi:
1. Penciptaan yang bersumber dari Tuhan dan disandarkan kepada-Nya.
2. Perolehan (kasb) dari sisi manusia dan dinisbahkan kepadanya.
Dalam menjelaskan secara utuh teori perolehan atau wadah ini, terdapat banyak penafsiran dimana di sini kita akan menyebutkan sebagian dari penafsiran tersebut kemudian melakukan kajian kritis atas setiap penafsiran tersebut.
1. Asy’ari[4] menyatakan bahwa hakikat kasb adalah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan hadis (yang dihasilkan) manusia yang merupakan pelaku dari perbuatan tersebut. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa perolehan pengaruh kekuasaan (kekuatan) yang bersumber dari manusia dalam mewujudkan sebuah perbuatan.
2. Fadhil Qausyaji berkata bahwa “kasb adalah simultannya perbuatan manusia dengan kekuasaan dan kehendak manusia; artinya Tuhan secara bersamaan dan simultan dengan kekuasaan dan kekuatan manusia mengadakan sebuah perbuatan, tanpa adanya pengaruh atau interfensi kekuasaan manusia dalam mengadakan perbuatan tersebut.”[5]
3. Qadhi Baqilani (wafat 403 H) berkata: “Setiap perbuatan terdiri dari dua sisi:
a. Wujudnya perbuatan.
b. Julukan atau titel perbuatan yang merupakan turunan atas perbuatan tersebut dan kekuasaan manusia tidak memiliki kelayakan pengaruh pada wujud dan terolahnya perbuatan, melainkan hanya memiliki pengaruh pada julukan perbuatan. Atas alasan ini pengaruh pada julukan yang memiliki kelayakan untuk mendapatkan ganjaran atau hajaran. Sejatinya, wujudnya perbuatan makhluk Tuhan dan julukan perbuatan misalnya, julukan atau titel menunaikan shalat, berdusta, dan sebagainya merupakan perolehan manusia dan disandarkan kepada manusia. Baqilani dalam menjelaskan definisi yang diutarakan berkata: “Setiap orang orang menemukan perbedaan nyata di antara dua jumlah kalimat:
A. Mengadakan, kalimat seperti shalat (shalli), mengerjakan puasa (shama), dan berdiri (qama). Yang layak disandarkan kepada Tuhan kalimat-kalimat dan karakteristik bagian pertama dan julukan-julukan bagian kedua tidak patut disandarkan kepada Tuhan, melainkan disandarkan kepada manusia.”[6]
4. Taftazani menulis: “Kasb, penyandaran kekuasaan dan kehendak dari sisi manusia dan terciptanya perbuatan setelah itu dari sisi Tuhan, penciptaanya. Di sini maqdur (yang dikuasai) yang tunggal berada di bawah dua kekuasaan, akan tetapi dengan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, perbuatan dari sisi penciptaan yang dikuasai (maqdur) berasal dari Tuhan dan dari sisi wadah yang dikuasai berasal dari hamba (manusia).”[7]
Pada kesempatan ini, tentu tidak memungkinkan bagi kita untuk membahas dan mengkritisinya secara detil dan jeluk seluruh redaksi para pembesar Asy’ariah tentang teori wadah atau perolehan ini. Kita hanya akan menyinggung beberapa poin yang layak untuk dipertimbangkan.
Mengkaji Penafsiran Kasb.
Masing-masing dari penafsiran kasb yang disampaikan di atas memiliki cela dan borok dimana di sini kita akan menyinggung sebagian darinya. Sebagaimana yang telah disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], bahwa memahami teori kasb ini sama peliknya dengan memahami konsep trinitas dalam tradisi agama Kristen. Namun berdasarkan dari definisi yang disebutkan di atas mari kita lihat betapa rancunnya teori kasb ini.
Dalam mengkritisi penafsiran pertama, kita boleh bertanya apa peran kekuasaan yang dihasilkan manusia? Apabila penciptaan dan pengadaan perbuatan dalam artian yang sebenarnya kembali kepada Tuhan dan penyandaran kepada selain Tuhan adalah tidak benar, maka bagaimana kekuasaan yang dihasilkan manusia dapat berpengaruh? Apabila kekuasaan manusia memiliki pengaruh maka hal ini meniscayakan perbuatan itu juga merupakan ciptaan manusia. Dengan kata lain, apabila kekuasaan manusia disejajarkan secara vertical dengan kekuasaan Tuhan, maka ucapan puak-puak Asy’ariah meniscayakan bergabungnya dua kekuasaan atas sesuatu atau satu perbuatan (maqdur, yang dikuasai) dimana hal ini merupakan perkara yang absurd dan perbedaan sisi atau dimensinya tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Dan apabila dipandang kekuasaan manusia berada secara vertikal, top-down dengan kekuasaan Tuhan maka hal itu memestikan secara hakiki bahwa manusia juga memiliki kekuasaan dalam mengadakan sebuah perbuatan dan inilah konsep kebebasan (ikhtiar) dimana hal ini ditolak dan diingkari oleh puak-puak Asy’ariah.
Dalam mengkritisi penafsiran kedua dapat dikatakan bahwa, berdasarkan penafsiran ini, peran manusia hanya bersamaan dan simultan kehendak dan kekuasaanya dengan pengadaan perbuatan. Dan simultannya kehendak dan kekuasaan manusia dengan terwujudnya sebuah perbuatan yang merupakan makhluk Tuhan, tidak dapat menjadi pembenaran atas penyandaran perbuatan manusia, ganjaran (tsawab) dan hajaran (’iqab). Apabila puak-puak Asy’ariah menerima bahwa kehendak dan kekuasaan manusia dalam proses ini, kehendak dan kekuasaan sejatinya, maka dalam hal ini mereka harus mengakui bahwa manusia secara hakiki berada dalam silsilah sebab-sebab (‘ilal) terwujudnya perbuatan. Dan perbuatan tidak melulu merupakan makhluk Tuhan dan namun sayang seribu sayang, puak Asy’ariah tidak menerima keniscayaan ini. Namun apabila kehendak dan kekuasaan manusia ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang real oleh puak Asy’ariah, maka mereka harus menerima figuratifnya kehendak dan kekuasaan manusia dan memandang ada dan tiadanya kehendak dan perbuatan manusia itu harus dipandang sama dan sebagai konsekuensinya bermuara pada determinisme mutlak.
Kini mari kita beralih ke penafsiran ketiga. Isykalan yang patut diacungkan kepada Qadhi Baqilani dan orang-orang yang sepaham dengannya adalah apabila titel-titel yang mengikut pada perbuatan-perbuatan haruslah perkara eksistensial, dalam hal ini (berdasarkan pandangan Asy’ariah dalam masalah tauhid dalam penciptaan) titel-titel ini merupakan makhluk-makhluk Tuhan dan manusia secara asasi tidak memiliki peran dalam terwujudnya sebuah perbuatan, namun apabila titel-titel ini merupakan perkara-perkara mental (dzihni), yang memang demikian adanya, maka teori kasb ini juga akan kosong dari segala realitas dan semata-mata merupakan perkara wahmi (delusif) dan non-real yang dikembangkan dan disebarkan oleh puak-puak Asy’ariah.
Adapun kritik atas penafsiran keempat juga seperti isykalan-isykalan di atas. Sejatinya menyandarkan kehendak dan kekuasaan, dalam pengadaan perbuatan pengaruh dan interfensi real atau tidak real meniscayakan sesuatu yang telah dijelaskan pada kritikan atas penafsiran pertama dan kedua, juga dapat diacungkan kepada penafsiran keempat ini.
Dengan memperhatikan poin-poin di atas akan menjadi jelas bahwa pertentangan teori kasb dengan akal sehat atau tidak kompatibelnya teori kasb dengan akal sehat. Masalah ini terkadang secara selintasan diakui oleh pembesar Asy’ariah; misalnya Taftazani dengan redaksi di bawah ini mengakui kekurangan dalam menjelaskan dan memahamkan teori kasb ini. Ia berkata “Makna yang kami berikan atas teori kasb (di atas) sekedar yang penting saja, kendati kami tidak mampu meringkas redaksi dari hakikat bahwa perbuatan-perbuatan manusia yang memiliki kekuasaan, kehendak dan kebebasan yang ia miliki merupakan makhluk Tuhan.”[8]
Pelbagai isykalan yang tergeletak pada teori kasb ini telah menyebabkan sebagian ulama besar Asy’ariah mengingkari dan menafikan teori ini; misalnya Imam al-Haramain Abu al-Mu’ali Juwaini yang menegaskan adanya pengaruh real kekuasaan manusia dalam perbuatan dan keberadaan selaksa kausalitas di alam semesta, sebagaimana Imamiyah. Dan menafikan kekuasaan dan peran mandiri manusia dalam perbuatannya adalah bertentangan dengan akal sehat dan perasaan.[9] Syaikh Sya’rani (w 973) juga senada dengan Juwaini menerima pandangan ini.[10] Demikian juga, tokoh seperti Muhammad Abduh (w 1323) yang menolak teori kasb ini dan mengakui pengaruh, peran dan kekuasaan real manusia dalam penciptaan perbuatan. Ahmad Amin memandang teori kasb ini sebagai istilah dan bentuk baru dari determinisme (mutlak).[11]
Tafwidh
Mu’tazilah bertolak belakang sine qua non dengan Asy’ariah yang memilih konsep tafwidh (pendelegasian). Berdasarkan pandangan ini Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahkan kekuasaan dan kebebasan untuk mengerjakan segala perbuatan. Tuhan dalam hal ini telah mendelegasikan (tafwidh) kekuasaan dan kebebasan kepada manusia. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan segala sesuatu dan keberpengaruhan didelegasikan kepadanya dan dengan demikian, Tuhan tidak memiliki peran pengaruh sama sekali dalam hukum kausalitas.[12]
Berdasarkan pandangan ini seluruh manusia dalam mengerjakan perbuatannya merdeka dan manusia sebagai satu-satunya sebab dari seluruh perbuatannya. Konsekuensinya adalah Tuhan sama sekali tidak ada campur tangan dalam pengadaan perbuatan manusia.Tuhan menghendaki bahwa seluruh manusia beriman kepada kebebasan yang dimilikinya. Demikian juga memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauh dari perbuatan buruk. Manusia juga dengan kebebasan yang ia miliki mengerjakan perbuatan baik dan menjauh dari perbuatan buruk. Dengan penjelasan ini pertama Tuhan terbebas dari perbuatan-perbuatan buruk; kedua, fungsi taklif, janji dan ancaman, ganjaran dan hajaran manusia tetap terpelihara.
Mu’tazilah dalam membela pemikiran dan keyakinannya mengemukakan pelbagai argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli). Sebagaimana Jurjani menulis, argumen rasional Mu’tazilah berpijak pada landasan bahwa apabila manusia dalam mengerjakan seluruh perbuatannya tidak merdeka dan bebas, maka taklif akan rontok dan gugur. Demikian juga mengajarkan adab kepada manusia yang menjadi tujuan penciptannya akan runtuh; karena manusia apabila ia tidak merdeka dan bebas, secara asasi perbuatannya tidak akan dapat disandarkan kepadanya. Dan pengutusan para nabi akan sia-sia. Karena asumsinya adalah manusia bukan pelaku atas setiap perbuatannya dan dengan demikian ia tidak layak untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran. Demikian juga penyandaran seluruh perbuatan buruk kepada Tuhan.
Mu’tazilah, di samping argumen rasional, juga berpijak pada dalil-dalil referensial (naqli) misalnya, “ Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri..” (Qs. Al-Baqarah [2]:79), “ Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu..” (Qs. At-Taubah [9]:105), “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:11).
Argumen-argumen rasional dan referensial Mu’tazilah mendapatkan kritikan tajam dari puak teolog Asy’ariah.[13] Pada kesempatan lain kita akan membahas ayat-ayat yang dijadikan sandaran referensial. Namun sandaran rasionalnya patut mendapatkan perhatian sebagaimana poin di bawah ini:
A.Keniscayaan keyakinan tafwidh adalah manusia berada pada tataran kepelakuan mutlak dan sama sekali tidak memiliki hajat kepada Tuhan dimana hal ini tidak selaras dengan tauhid perbuatan; karena menjadi penyebab pembuktian dualisme dan sesuai redaksi Mulla Shadra membuktikan mitra dan sekutu yang tak berbilang bagi Tuhan. Mulla Shadra berkata bahwa keyakinan tafwidh lebih buruk dari keyakinan bahwa berhala-berhala mampu memberikan syafaat.[14]
B. Manusia dan segala perbuatan, segala fenomena dan dimensi yang berasal darinya merupakan bagian dari mumkinul wujud, dan perkara mumkinul wujud untuk mewujudkan dirinya ia berhajat kepada wajibul wujud. Apabila seluruh perbuatan manusia (mumkinul wujud) – kendati melalui pelaku merdeka – tidak bersandar kepada Tuhan (wajibul wujud), sekali-kali perbuatan ini tidak akan pernah terwujud. Maka tiada jalan lain selain menyandarkan perbautan manusia kepada Tuhan (wajibul wujud). Penyandaran ini sebagaimana yang akan dijelaskan ke depan adalah penyandaran vertical dan tidak berujung kepada determinisme.
C. Penyandaran perbuatan buruk kepada Tuhan dapat terjadi apabila seluruh perbuatan buruk itu kita sandarkan kepada Tuhan tanpa media, akan tetapi dengan perantara manusia merdeka sekali-kali perbuatan buruk tersebut tidak dapat disandarkan kepada manusia. Pada hakikatnya, Tuhan menghendaki manusia melakukan perbuatan baik sesuai dengan kebebasan yang ia miliki dan melarangnya untuk tidak melakukan perbuatan buruk sesuai dengan kebebasan yang ia miliki.
Kebebasan.
Kini mari kita telisik pandangan yang tidak menafikan kebebasan juga tidak memutlakkan kebebasan. Dengan mengadopsi posisi in between ini tauhid perbuatan dan keadilan Ilah dapat tetap terjaga sekaligus kebebasan manusia serta menghindar dari keniscayaan invalidnya seperti invaliditas pengutusan para nabi, penetapan taklif (dalam pandangan Asy’ariah) dan syirik dan dualism (dalam pandangan Mu’tazilah).
Para teolog Imamiyah dengan inspirasi dari ajaran Ahlulbait As memilih konsep al-amr baina amrain. Sebuah konsep dimana untuk memahaminya secara jeluk harus dikuliti dalam sebagian pembahasan pelik filsafat, namun kandungan dari konsep tersebut dapat dijelaskan secara sederhana bahwa perbuatan-perbuatan manusia secara hakiki dapat dinisbatkan kepada manusia sekaligus kepada Tuhan. Perbuatan-perbuatan manusia dapat disandarkan kepada manusia karena berdasarkan kekuasaan dan kehendak perbuatan itu terjewantahkan. Dan sekaligus dapat disandarkan kepada Tuhan lantaran seluruh eksistensi dan pengaruh manusia – sebagai akibat Tuhan- bergantung kepada Tuhan dan bersumber darinya. Pada hakikatnya, manusia sebagai penyebab dan pelaku dari perbuatannya dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, secara hakiki, namun tidak sejajar secara horizontal dengan kesebaban Tuhan, melainkan berdiri secara vertikal, top-down dan bergradasi. Untuk menjelaskan perbedaan pandangan tiga mazhab teologi terbesar dalam Islam ini, ada baiknya kita memperhatikan contoh yang baik yang diutarakan oleh salah seorang teolog dan juris Imamiyah, Ayatullah Khui Ra:
Anggaplah seseorang lantaran penyakit syaraf tangannya senantiasa bergetar sedemikian sehingga ia tidak memiliki kendali atas tangannya sendiri. Dan apabila sebilah pedang diletakkan di tangannya kapan saja pedang tersebut bisa jatuh dan melukai orang di sekitarnya. Kini apabila seseorang dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap realitas ini, diletakkan sebilah pedang di tangannya dan pedang tersebut terjatuh sehingga merebut nyawa seseorang lainnya, dalam kasus ini yang bertanggung jawab adalah orang tersebut karena pedang tersebut berada di tangannya, bukan pada orang yang tidak memiliki kontrol atas anggota badannya.
Sekarang perkara ini kita ilustrasikan pada seseorang yang sehat dan mampu mengendalikan seluruh anggota badannya. Apabila pedang ditaruh di tangannya dan ia juga terjerembab dalam perbuatan membunuh, pembunuhan ini disandarkan kepadanya bukan kepada orang yang diletakkan pedang di tangannya. Dan terakhir, anggaplah seseorang yang tangannya tidak bergetar, melainkan secara keseluruhan lumpuh dan tidak lagi bekerja secara aktif. Namun alat elektronik diberikan kepadanya dan ia dapat apabila alat tersebut menyala, maka ia dapat menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan. Anggaplah tombol untuk memfungsikan alat tersebut berada di tangan orang lain sedemikian sehingga sepanjang orang tersebut tidak menekan ON pada tombol tersebut, maka alat itu tidak akan beroperasi. Apabila seseorang yang memegang remote control mengoperasikan alat elektronik itu dan orang yang lumpuh seluruh anggota badanya melakukan perbuatan membunuh maka dalam hal ini perbuatan itu disandarkan kepada keduanya; lantaran ia sendiri memilih untuk menggunakan alat tersebut dan dengan kebebasan yang ia miliki ia melakukan tindakan pembunuhan ini. Dari sisi lain, disandarkan kepada orang yang memegang remote kontrol karena ia telah mengoperasikan seseorang yang lumpuh kekuataannya dan ia dapat kapan saja mematikan alat tersebut dan mencegah orang lumpuh itu dari perbuatannya.
Dengan memperhatikan tiga contoh kasus di atas menjadi jelas bahwa puak determinisme dan juga Asy’ariahyah – yang mengusung teologi determinisme – hubungan manusia dengan perbuatannya seperti contoh kasus pertama dan Mu’tazilah pada contoh kasus kedua. Adapun Imamiyah dapat ditinjau pada contoh kasus ketiga. Pandangan ini mungkin dapat dijelaskan dalam frame sistem filsafat Hikmah Muta’aliyah dengan tiga kaidah utama seperti berikut ini:
a. Wujud yang memiliki kehakikian (asil) bukan mahiyyat (kuiditas). Pada hakikatnya, yang diciptakan secara esensial dan hakiki adalah wujud. Dan tiada sesuatu yang lain kecuali pemahaman yang menjadi penjelas batasan-batasan seluruh wujud mumkin.
b. Wujud segala mumkinul wujud (seluruh makhluk di alam semesta) adalah ain rabt (murni hubungan) dan faqir mutlak; artinya seluruh makhluk tidak lain bersandar, bergantung dan berhubungan dengan wajibul wujud. Dan berangkat dari hal ini, ia tidak memiliki kemandirian dalam keberadaanya dan keberadaan seluruh makhluk itu tidak dapat digambarkan tanpa adanya ketergantungan kepada wajibul wujud.
c. Penciptaan atau pengadaan merupakan cabang dari wujud. Sebagaimana esensi dan keberadaan mumkinul wujud (seluruh makhluk) adalah ain rabt dan bergantung sepenuhnya kepada wajibul wujud, pengaruh dan perbuatan seluruh makhluk tersebut demikian adanya; karena sebuah fenomena sebagaimana ia maujud juga merupakan sumber pengaruh. Dengan demikian, apabila mereka mandiri dalam dzatnya, maka dalam kepelakuan juga akan memiliki kemandirian. Dan apabila pada dzatnya seluruh makhluk merupakan ain rabt (murni hubungan) dan bergantung, maka dalam kepelakuannya juga demikian adanya. Oleh karena itu, asumsi kemandirian sebuah fenomena dalam arsy perbuatan dan asumsi hubungan dan kebergantungannya pada tataran dzat merupakan dua asumsi yang kontradiktif dan tidak masuk akal.
Dari ketiga kaidah ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia disandarkan kepada manusia pada saat yang sama disandarkan kepada Tuhan; karena perbuatan-perbuatan manusia merupakan turunan dari keberadaanya dan tanpa syak bahwa keberadaannya di samping ia merupakan wujudnya sendiri, merupakan ain rabt dan bersandar kepada Tuhan.
Berdasarkan hal ini, manusia adalah ain rabt dan bergantung kepada Tuhan dan pada setiap detiknya memerlukan emanasi energi, kekuatan dan kehidupan darinya. Dengan demikian manusia pada detik ia mengerjakan sebuah perbuatan, dengan energi dan kehidupan ia melakukan perbuatan yang bersumber dari emanasi energi dan emanasi kehidupan dari Tuhan. Sejatinya perbuatan yang dilakukan manusia memiliki dua sandaran hakiki; Pertama, bersandar kepada manusia; karena bersumber dari dirinya sendiri dan berdasarkan kebebasan dan kekuasaan yang ia miliki; Kedua, bersandar kepada Tuhan; karena Tuhan pada setiap detiknya, bahkan detik ketika perbuatan itu dilakukan Dia menganugerahkan kehidupan dan kekuasaan kepada manusia. Dari sini perbuatan manusia merupakan perbuatannya sendiri pada saat yang sama juga merupakan perbuatan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini keberadaan manusia tidak lain kecuali hubungan mutlak kepada Tuhan.[15] Secara asasi di seantero semesta dari dimensi bahwa mereka bergantung dan berhubungan mutlak, mereka merupakan manifestasi kekuasaan dan kehendak, ilmu Tuhan dan inilah maksud al-amru baina amrain, manzilah baina manzilatain yang termaktub dalam riwayat.[16]
Tauhid dalam Penciptaan.
Kendati masalah ini telah dibahas pada postingan sebelumnya, namun nampaknya kini pembahasan tersebut harus dikuliti lagi di sini sembari menyebutkan beberapa penafsiran dari tiga mazhab besar teologi dalam Islam.
Tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang mendapat penegasan al-Qur’an dan Sunnah. Tauhid dalam penciptaan ini disepakati oleh seluruh firqah dan mazhab teologi dalam Islam; akan tetapi yang menjadi titik perbedaan, bagaimana menafsirkan dan menginferensi ajaran ini. Secara umum terdapat tiga penafsiran penting berkenaan dengan masalah ini. Penafsiran Asy’ariah, Mu’tazilah dan Imamiyah. Telaah global dari penafsiran ini menunjukkan bahwa penafsiran yang disuguhkan Asy’ariah merupakan penafsiran yang berbau deterministic. Dan penafsiran Mu’tazilah menyangsikan keumuman kekuasaan Ilahi dan tauhid dalam penciptaan.
Penasiran Asy’ariah
Sebelumnya telah dikemukakan teori kasb yang diintrodusir oleh puak-puak Asy’ariah dalam membela dan mempertahankan “kemurnian” tauhid dalam penciptaan. Menurut Asy’ariah pengadaan dan penciptaan secara mutlak terbatas kepada Tuhan dan dalam tataran wujud, tiada satu pun yang berpengaruh dan berkreasi selain Tuhan. Segala sesuatu selain-Nya tidak memilik peran dan pengaruh dalam penciptaan dan pengadaannya baik secara mutlak atau secara ikutan. Asy’ariah berdasarkan pandangan ini telah mangkir dari hukum kausalitas dan proses pengaruh-mempengaruhi (ta’tsir dan ta’atstsur) seluruh maujud dan segala sesuatu di alam semesta. Menurut mereka pengaruh yang terlihat pada setiap fenomena adalah bersumber dari Tuhan. Misalnya membakar bukan merupakan pengaruh dan akibat dari api dan apabila dikatakan bahwa api itu membakar hal ini hanyalah merupakan kebiasaan Tuhan yang berlaku dimana dengan adanya api maka ia akan memunculkan panas dan membakar. Kalau bukan karena kebiasaan Tuhan maka tidak aka nada hubungan antara panas dan api. Dengan demikian dalam tataran eksistensi hanya terdapat satu yang berpengaruh dan satu sebab. Tuhan tidak menunjukkan kekuasaannya melalui pengadaan mekanisme kausalitas, namun Dia menjadi pengganti seluruh sebab dan musabab. Asy’ariah memandang perkara ini berlaku pada segala hal. Dan berdasarkan pandangan ini mereka mengambil kesimpulan bahwa seluruh perbuatan manusia juga, secara langsung merupakan perbuatan Tuhan dan manusia semata-mata memperoleh (kasb) atau menjadi wadah atas perbuatan ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas teori kasb ini meniscayakan tiadanya peran dan campur tangan hakiki manusia pada seluruh perbuatannya.
Padahal, mangkir dari hukum kausalitas dan peran pengaruh manusia dan fenomena semesta pada penciptaan pada beragam masalah bertolak belakang dengan nurani, akal sehat dan penemuan syuhudi manusia; Mengapa? Karena:
1. Dalam banyak perkara kita menemukan diri kita sebagai yang berpengaruh misalnya pelaku dan pengada segala konsepsi dan pemikiran mental (dzihni) kita adalah diri kita sendiri. Jelas bahwa bukti nurani merupakan sebaik-baik dalil dalam membuktikan hukum kausalitas.
2. Ketika seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan hendak (iradah) menciptakan menara Monas dalam benaknya, ia dapat dengan mudah mengerangka sekaligus menghancurkannya dalam benaknya, mengusungnya dan menempatkannya di mana saja di belantara dunia dalam benaknya dimana hal ini menunjukkan peran mandiri pelaku orang tersebut dan wujud mental yang diciptakan tersebut eksis karena diwujudkan oleh pelaku tersebut dan hal ini membuktikan peran kekuasaan dan pengaruh pelaku manusia dalam penciptaan.
3. Menerima konsep kebebasan manusia dan hukum kausalitas, seperti klaim penanggap, namun mengingkari peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena meniscayakan kontradiksi. Menerima kebebasan manusia dan hukum kausalitas meniscayakan peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena.
4. Apabila hukum kausalitas dinafikan maka probabilitas untuk membuktikan wujud Tuhan menjadi tidak tersedia. Karena salah satu argumen dalam membuktikan wujud Tuhan adalah bersandar kepada hukum kausalitas. Karena Dialah Prima Causa (illatul ilal).
5. Penafian hukum kausalitas – atau menafikan peran kepelakuan manusia dan sepenuhnya menyandarkannnya kepada Tuhan meniscayakan gugurnya seluruh proposisi-proposisi turunnya wahyu, pengutusan para nabi, adanya ganjaran (tsawab) dan hajaran (iqab), karena semua perbuatan Tuhanlah yang melakukan.
6. Akal sehat tanpa teks-teks agama sekalipun turut menyokong hukum kausalitas. Maksudnya Anda Asy’ariahyyun tidak dapat meyakinkan kepada manusia yang tidak beragama dan tidak meyakini adanya Tuhan bahwa penyebab segala sesuatu itu adalah Tuhan, bersandarkan kepada kitab suci, bahwa Tuhan itu khaliq kullu syai, bagaimana Anda Asy’ariahyyun menjawab mereka yang tidak beriman kepada Tuhan, dengan al-Qur’an tentu meniscayakan circular reasoning (daur) dan tentu saja hal ini absurd. Namun dengan common sense, tanpa bersandar kepada teks-teks agama dapat membuktikan hal tersebut.
7. Teks-teks agama ternyata terbukti menyokong hukum kausalitas ini. Sejatinya tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang bersumber dari agama. Berangkat dari sini, harus diperhatikan bahwa apa sebenarnya pandangan al-Qur’an dalam masalah ini? Apakah penafsiran Asy’ariah selaras dan senada dengan ayat-ayat al-Qur’an atau tidak? Apakah benar-benar al-Qur’an menafikan hukum kausalitas? Dengan memperhatikan dengan seksama ayat-ayat Qur’an maka akan menjadi jelas bahwa al-Qur’an mengakui secara resmi hukum kausalitas dan peran kepelakuan fenomena. Dan dalam banyak perkara hukum kausalitas disandarkan kepada perkara-perkara natural; misalnya pada ayat “Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. (Qs. Al-Baqarah [2]:22) Ba dalam redaksi bihi (dengan perantara) di sini bermakna penyebab; artinya sebab tumbuhnya segala jenis tumbuh-tumbuhan adalah air dan apabila tidak ada air maka tidak akan ada buah-buahan. Dan juga pada ayat “Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama… “ (Qs. Ar-Ra’ad [13]:4) Redaksi “disirami dengan air yang sama” menujukkan peran penciptaan air dan pengaruhnya dalam tumbuh dan berkembangnya pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Di samping ayat-ayat yang telah disebutkan dengan beberapa pendahuluan filsafat dan logika, pada postingan Lagi tentang Determinisme dan Kebebasan Manusia, menegaskan penerimaan al-Qur’an terhadap hukum kausalitas. Dan tentu saja tidak akan menjadikan Anda musyrik sebagaimana keyakinan Asy’ariah yang telah dibuktikan absdurditasnya.
Penafsiran Mu’tazilah
Mu’tazliah berkebalikan dari Asy’ariah menerima hukum kausalitas dan pengaruh-mempengaruhi sebab di antara belantara akibat natural. Akan tetapi seluruh perbuatan mandiri manusia disandarkan hanya kepada manusia. Menurut mereka perbuatan-perbuatan manusia bukan merupakan makhluk Tuhan. Berdasarkan hal ini Mu’tazilah acapkali disebut sebagai “Mufawwidha”; karena mereka berkeyakinan bahwa setelah Tuhan menciptakan manusia, Tuhan mendelegasikan (tafwidh) kebebasan kepada manusia dalam perbuatannya.
Penafsiran ini kendati memelihara peran kepelakuan sebab-sebab natural dan pelaku-pelaku insan, namun kritikan fundamental yang patut diacungkan kepada Mu’tazilah adalah mereka mengingkari tauhid dalam penciptaan; karena Tuhan tidak memiliki peran sama sekali dalam perbuatan-perbuatan mandiri manusia. Di samping itu, pensyariatan hukum-hukum, perintah dan larangan dari sisi Tuhan tidak lagi memiliki makna. Demikian juga pendelegasian (tafwidh) ini hanya dapat digambarkan ketika Tuhan tidak lagi dipandang sebagai penguasa mutlak dan kepenguasaan-Nya dinegasikan dari yang dikuasai-Nya (ma yamluk).
Nampaknya sumber kesalahan kedua penafsiran ini memandang kepelakuan dan pengaruh sebab-sebab dan pelaku-pelaku natural berada sejajar secara horizontal dengan kepelakuan Tuhan, padahal berdasarkan pada kaidah tepat akal konsepsi semacam ini adalah konsepsi salah kaprah. Sebagaimana yang akan disebutkan belakangan dengan penafsiran valid dan sahih, baik kepelakuan Tuhan dan juga kepelakuan sebab-sebab yang lain dapat tetap terjaga.
Penafsiran Imamiyah
Para teolog Imamiyah dengan ilham dan inspirasi dari ajaran para maksum As memandang bahwa penafsiran Asy’ariah ihwal tauhid penciptaan sebagai sikap ifrath dan Mu’tazilah sebagai tafrith (ekstrem). Imamiyah menawarkan konsep in between (laa jabr wa la tafwidh,,wal amru baina amrain). Menurut teolog Imamiyah dari tauhid penciptaan ini adalah bahwa tiada pencipta, pelaku mandiri mutlak dan secara esensial (dzati) selain Tuhan, dari sisi lain kepelakuan dan peran penciptaan pelaku-pelaku dan sebab-sebab natural dan manusia juga tidak dapat diingkari. Kepelakuan yang lain seperti pelaku-pelaku di antaranya manusia dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, merupakan kepelakuan hakiki dimana pada saat yang sama berada secara vertikal, top-down, dengan kepelakuan Tuhan. Dengan memperhatikan ayat dan riwayat para maksum As tauhid dalam penciptaan ini dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini:
A. Sebagaiman yang telah lewat, dengan memperhatikan ayat-ayat Qur’an akan menjadi jelas bahwa dalam banyak perkara pengaruh yang disandarkan kepada sesuatu dan perkara-perkara natural; misalnya air yang menjadi penyebab tumbuh-berkembangnnya tumbuh-tumbuhan, pepohonan dan madu sebagai penyembuh (syifa).
B. Al-Qur’an menisbatkan perbuatan-perbuatan kepada manusia dan memandang pelakunya adalah manusia dimana penyandaran secara langsung tanpa media (on the spot) kepada Tuhan adalah penisbatan salah kaprah, seperti berjalan, minum, tidur, menunaikan shalat, etc. Perbuatan-perbuatan semacam ini bertautan dengan manusia dan selainnya tiada pelaku lain.
C. Tuhan menitahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mentaati-Nya serta melarang manusia mengerjakan perbuatan buruk dan tercela. Masing-masing dari perbuatan baik ini diganjari dengan kenikmatan dan perbuatan buruk dihajar dengan azab. Nah, apabila manusia tidak memiliki peran dalam perbuatan-perbuatan baik dan buruk maka niscaya keseluruhan ganjaran dan hajaran ini tidak akan memiliki makna.
Sebagaimana tiga poin berikut ini di samping ayat seperti:
قُلِ اللهُ خالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَ هُوَ الْواحِدُ الْقَهَّارُ
“Katankanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Qs. Ar-Raad [13]:16).
Yang menjelaskan universalitas dan keumuman kepelakuan Tuhan pada segala sesuatu dan kita sampai pada kesimpulan bahwa sistem penciptaan dan segala jenis ciptaan yang eksis di dalamnya memiliki andil dalam mewujudkan peran pengaruhnya, akan tetapi peran pengaruh ini sesuai dengan izin dan taqdir Ilahi:
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَما تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Shaffat [37]:96).
الَّذي أَعْطى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدى
“Yang telah memberikan kepada makhluk-Nya segala sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi petunjuk kepada mereka.” (Qs. Thaha [20]:50).
الَّذي قَدَّرَ فَهَدى
“Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (Qs. A’la [87]:3).
Dan terakhir:
وَ ما رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَ لكِنَّ اللهَ رَمى
“Bukan kamu (hai Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Qs. Al-Anfal [8]:17).
Sejatinya wujud segala sesuatu dan juga perbuatan, pengaruh, gerakan, diamnya bermuara pada qadha dan qadar Ilahi yang merupakan episode selanjutnya dari silsilah pembahasan di site ini. Tuhan menciptakan mekanisme eksistensi dan menjadikannya mengikut kepada hukum kausalitas dan faktor-faktor hakiki. Dengan demikian segala sesuatu berada secara vertikal, top-down dengan kehendak Tuhan memiliki peran penciptaan dan pengaruh pada perbuatan-perbuatan tersebut. So, proposisi “ada..tapi” tentu dengan pembuktian-pembuktian di atas tiada bermasalah dengan kemurnian Tauhid pada Penciptaan. Ajakan penanggap untuk tidak mengotak-atik masalah tauhid adalah ajakan yang tidak boleh diamini, karena dalam masalah tauhid sekalipun Asy’ariah sangat bermasalah. Jadi, saran penulis alih-alih Anda menghabiskan waktu untuk merekonstruksi teologi Imamiyah ihwal Tauhid dalam Penciptaan, yang sangat logis dan argumentatif, sebaiknya Anda menyelesaikan PR sendiri berupa borok dan cela teologi Asy’ariyah tentang Tuhan, Qur’an, Nabi, nasib manusia dan lain sebagainya. Nantikan saja bagaimana kami membuktikan kemusykilan Asy’ariah dalam masalah tauhid, pandangannya terhadap al-Qur’an dan nabi, qadha dan qadar. Tapi sebelum itu, penulis meminta kepada Anda atau siapa saja yang sepaham dengan Anda untuk menyuguhkan secara sistematis pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang bakalan menjamin terpeliharanya tradisi ilmiah dan dialog interaktif. Tentunya pihak redaksi akan senang hati memuat tulisan dan pembelaan Anda atas mazhab yang Anda yakini. Wellcome.
Referensi:
[1]. Fathul Bari, al-Askalani, jil. 13, hal. 384, al-Qausyaji, Syarh Tajrid al-Aqa’id, hal. 340.
[2]. Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 78, Abul Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, jil. 1, hal. 312.
[3]. Al-Baghdadi, al-Firaq bain al-Firaq, hal. 194.
[4] . Al-Asy’ari, Abul Hasan, al-Lam’e fii ar-Rad ‘ala Ahli az-Zaigh wa al-Bida’, hal. 76.
[5] . Qausyaji, Syarh Tajrid al-‘Aqa’id, hal. 341.
[6] . Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 97-98.
[7]. Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah, hal. 117.
[8] . Syarh al-‘Aqâid an-Nasafiyah, hal. 117.
[9]. Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 98-99.
[10]. Risâlah at-Tauhid, hal. 59-62.
[11]. Dhuhâ al-Islâm, jil. 3, hal. 57.
[12] . Lub al-Atsar fi al-Jabr wa al-Qadr, hal. 38.
[13]. Sa’ad ad-Din Taftazani, Syarh al-Maqasid, jil. 4, hal. 253-362.
[14] . Shadra al-Muta’allihin, al-Hikmah al-Muta’aliyah, jil. 6, hal. 370.
[15]. Ja’far Subhani, Jabr wa Ikhtiar, hal. 289-291.
[16]. Ruhullah Khomeini Ra, Thalab wa Iradah, hal. 74.
____________________________________________
In this Muslim-majority country, it's OK to be Christian, Buddhist or Hindu. But not Shiite.
Malaysian religious police raided a three-story shop-house last month and detained more than 100 Shiites who had gathered to mark the death of one of their most beloved saints, Prophet Muhammad's grandson, who was killed in the year 680.
It was one of the largest such sweeps in years, sparking outrage and fear in the country's small but growing Shiite community. Some religious scholars see it as a worrying sign that Islamic authorities are becoming more hard-line.
"Malaysia is trying to become a country a la Taliban that only allows one school of thought," said prominent scholar Asri Zainul Abidin.
Despite its reputation for religious tolerance, Malaysia has been quietly discriminating against its own for years. The government recognizes only the Sunni branch of Islam and prohibits all others including Shiites, the world's second largest Islamic group.
Shiites face discrimination elsewhere, but Malaysia appears to be the only place that actually outlaws them.
"We are the oppressed people," said Kamil Zuhairi Abdul Aziz, the Iranian-trained religious leader for the Lovers of the Prophet's Household, the Shiite group raided by the religious police on Dec. 15.
The event they were commemorating, the death of Prophet Muhammad's grandson in the seventh century, helped seal the split between the majority Sunnis and the Shiites, whose strongest base today is in Iran.
Kamil estimates there are at least 40,000 Shiites among Malaysia's 16 million Muslims, though the number could be higher as many conceal their faith to avoid trouble. A few have been detained in the past, and some sent to faith rehabilitation centers, but there is no official data on the number of arrests.
Malaysia's ban was issued in 1996 by the National Fatwa Council of top Islamic clerics and seen as unusual in the Muslim world. The council comes under the government's Islamic Advancement Department, so its decrees are de facto law.
The 3 million Shiites in neighboring Indonesia are able to practice freely, though they are often harassed on hard-line Sunni websites. In Bahrain, the government cracks down on Shiite activists, fearing they could be a backdoor for Iranian influence.
Sunni extremists have bombed Shiite gatherings in Pakistan, and much of the violence in Iraq has been between Sunni and Shiite militias as the two sides vie for power.
It's not clear what prompted the recent raid in Malaysia, but Islamic officials defend the ban as crucial to prevent unrest among Muslims.
"Shia is an Iranian sect," said leading cleric Harussani Zakaria, a member of the National Fatwa Council. "It has expanded secretly and now has many supporters who are starting to practice their faith in public. We don't want any religious differences. They are a threat to Muslim unity in Malaysia."
In defense of the raid, several Islamic officials said Shiism could give rise to fanatics as it permits the killing of Muslims from other sects, a claim denied by the Iranian embassy and Shiites here. Home Minister Hishammuddin Hussein, responding to reporters, said that Shiites don't pose a threat to national security.
The Iranian embassy issued a statement urging the government to prevent the spread of such false information. "Currently, there are about 400 million followers of the radiant path ... in the world and such baseless statements are utter disrespect to all of them," the statement read in part.
Some Malaysian Shiite families have practiced for generations while many others were exposed and subsequently converted to Shiism after the 1979 Islamic Revolution in Iran.
Many meet in one of 40 "hauzars," or "houses of knowledge." The one that Kamil leads, the most prominent and largest with 500 members, is on the top floor of a shop-house in a suburb of the city of Kuala Lumpur.
On Dec. 15, religious police arrived in trucks and detained about 125 people, including some 30 foreigners, mostly from Pakistan. Most were released on bail and given hearing dates at the Shariah court, which adjudicates religious cases.
Officials have said the foreigners are expected to be let off, but the Malaysians could be charged with following the teachings of a deviant movement, which carries a penalty of up to two years in prison.
Kamil has been charged with insulting Islamic officials, with his hearing set for Feb. 17.
His group has turned to the government-backed Human Rights Commission of Malaysia to demand the right to worship freely .
Mastura Ahmad, a 46-year-old homemaker among those detained, said she became a follower after marrying her Shiite husband, whose ancestors are from Indonesia.
"I feel comfortable with Shia. There is more guidance given and I feel safer. But I don't declare my faith openly because people don't understand. My neighbors will gossip about it and label us as deviants and we may be ostracized," she said.
Followers still gather at Kamil's hauzar, but iron grills have been installed at the entrance, in part because of concerns that drugs or explosives could be planted in the center to undermine the group.
Some 100 followers filed in for prayers on the first Tuesday of the new year. A wall mural depicting Noah's Ark greeted them as they entered a long carpeted hall draped with banners in Arabic and separated into sections for men and women.
During the one-hour session, Kamil led prayers over a loudspeaker. Then, poems were read to continue the mourning for the grandson of Prophet Muhammad.
"Here in Malaysia, they cannot accept the differences," Rashid Ahmad, a 46-year-old follower, said before the service. "There has been a campaign of demonizing us by the religious authorities. They are jealous of our influence. In the whole world, Shia is awakening."
He requested not to be photographed to protect his identity as his child is receiving a government scholarship, and he fears it could be withdrawn.
_______________________________________
In this Muslim-majority country, it’s OK to be Christian, Buddhist or Hindu. But not Shiite.
Syiah Malaysia: Reaksi Keras Lembaga Internasional Ahlul Bait Atas Kejahatan Wahabi
Bisimihi ta‘âlâ.
Kepada Yth:
Anggota Majelis Umum Lembaga Internasional Ahlul Bait as.
Assalamualaikum Wr. Wb.
A‘zdama-Allâhu ujûronâ wa ujûrokum bi mushôbinâ Al-Husain as.
Teriring belasungkawa dalam rangka mengenang hari-hari dukacita baginda dan penghulu para syahid, Abu Abdillah Husain as, kami sampaikan bahwa aparat keamanan negara bagian Selangor, Malaysia, di malam Asyura Husaini melalui putusan pengadilan syariah dan hasutan agen-agen Wahhabi dalam departemen agama setempat, telah melakukan penangkapan sekelompok dari saudara-saudari peserta majelis dukacita melalui sebuah aksi penggerebekan yang keji terhadap Husainiyah Al-Ridha as. dengan tujuan membubarkan majelis dukacita untuk sosok kelima dari keluarga Al-Kisa’. Selain aksi penistaan terhadap kehormatan majelis dan tempat yang mulia itu, mereka juga telah menyita buku-buku keagamaan, Al-Quran, Mafâtîh Al-Jinân, termasuk turbah, poster, dan atribut-atribut azadari ‘dukacita’.
Aksi penistaan dan pengadilan terhadap sejumlah peserta majelis dukacita yang ditangkap itu segera disusul oleh gelombang besar pemberitaan palsu yang dikerahkan oleh agen-agen yang terkait dengan Wahhabisme di bawah arahan kekuatan arogansi internasional terhadap Syiah di dunia maya dan media-media massa Malaysia; dibubuhi dengan berbagai fitnah pemikiran dan tuduhan kosong yang tak berdasar dan tak didukung oleh satu argumentasi atau referensi apa pun dalam Islam, Al-Quran, dan Sunnah Rasulullah Saw.
Lembaga Internasional Ahlul Bait as. (Majma-e Jahani-e Ahl-e Bayt as), seraya mengutuk aksi penistaan terhadap kehormatan majelis dan acara Asyura Husaini serta simbol-simbol suci agama, tidak dapat menerima aksi pemicu pertikaian demikian itu terhadap Syiah dan menyatakan tegas bahwa aksi-aksi yang diambil oleh kelompok-kelompok takfir ‘juru pengkafir’ serta kaum Wahhabi terhadap Syiah hingga kini masih berlangsung dalam upaya menghasut sentimen anti-Islam pihak musuh dan menyulut api perselisihan di antara Ahli Sunnah dan Syiah sebagai cara mereka membuktikan jasanya dalam melayani imperialisme.
Penghasutan dan penyulutan ini bertujuan untuk melemahkan tubuh umat Islam dan, walaupun sudah berlangsung lama, namun dalam beberapa tahun belakangan ini, upaya itu terus dilaksanakan secara lebih gencar dalam berbagai modus dan cara melalui anasir Wahhabisme dan kroni-kroni kekuatan arogan, selain juga didukung oleh bantuan finansial dan media massa yang kini dikuasai oleh pihak-pihak konspirator. Akan tetapi, sikap bijak kalangan ulama dan tokoh-tokoh Ahli Sunnah dan Syiah dalam membongkar konspirasi tersebut berpengaruh positif lebih dari sebelumnya dalam kondisi dimana umat Islam tengah membutuhkan persatuan.
Untuk itu, diminta kepada Anda sebagai anggota terhormat Majelis Umum agar, di samping mengutuk aksi penistaan keji tersebut, menyatakan protes secara tertulis kepada kedutaan besar kerajaan Malaysia di negara masing-masing.
Terima kasih
Lembaga Internasional Ahlul Bait as.
14 Muharam Al-Haram 1432
Ya Aba Abdillah
Zaynab – pake jilbab, kayuh sepeda, hidup di Montreal
Imam Baqir has said: The one who is unaware of the oppression done upon us, the one who is oblivious of the snatching away of our rights and one who is unaware of the misbehavior of the Ummah towards us- surely he is amongst those oppressors. [Bihar al Anwar, V 55, p 77; Eqaabul Aamaal, pg 208].
‘Kami mendokong wilayatul Faqih’
Lelaki Ini
Kupegang teguh kalimah ‘La ilaha illallah’ dan kecintaan kepada Ahmad dan Ali. Beruntung Anjing karena mencintai Ashhabul Kahfi mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi.
Wahai Abul Qosim, wahai rasulullah, wahai imam pembawa rahmat, wahai junjungan dan pemimpin kami, sesungguhnya kami menghadap, meminta syafaat dan bertawassul denganmu kepada Allah serta mengajukan padamu keperluan-keperluan kami, wahai yang terpandang di sisi Allah, berilah kami syafaat di sisi Allah.
Imam Syafi’i berujar, ‘Jika mencintai Ahl ul Bait disebut Rafidi (Syiah), ketahuilah bahwa saya seorang Rafidi’.
Dialog Sunni Syiah .
Mengapa dan Bagaimana.
Keganasan antara Syiah-Sunni telah menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun kebelakangan ini, khususnya di Iraq dan Pakistan. Setiap bulan, tampaknya, puluhan warga Syiah dan Sunni menjadi korban dalam serangan keji antara ekstremis di kedua belah pihak. Kebanyakan mangsa korban tewas ketika mereka sedang beribadat, berdoa danu berada dalam masjid.
Insiden-insiden ini menyukarkan koeksistensi dan kerja sama di antara Syiah-Sunni. Di Iraq, dianggarkan bahawa sehingga 30 peratus daripada perkahwinan adalah antara Shiah dan Sunni; juga dilihat ialah,keluarga mangsa korban kekerasan antara kedua kumpulan sering menghadiri pengebumian antara satu sama lain dan satu kumpulan sering membantu korban yang lain selepas insiden. Ini menunjukkan bahaw majoriti penduduk dan masyarakat Sunni dan Syiah secara dasarnya mampu menerima dan berupaya untuk hidup secara berdamai di antara mereka.
Majoriti senyap ini harus datang bersama-sama dan bersatu melalui dialog untuk menewaskan pengganas yang telah bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut.
Tujuh alasan mengapa sebuah dialog antara Syiah dan Sunni sangat diperlukan:
1. Perbezaan dan pertelingkahan antara Syiah dan Sunni adalah sudah terlalu tua dan adalah lebih elok bagi kita meninggalkan perkara ini kepadai Allah untuk dihakimi, karena Dia paling mengetahui dan mengatakan dalam Quran bahawa Dia adalah hakim akhir pertikaian agama. Pembunuhan warga Syiah atau Sunni tidak akan menyelesaikan pertikaian tersebut.
2. Prinsip “tidak ada paksaan dalam hal iman” (Al-Quran 2:256) tidak hanya terhad di dalam hubungan Muslim-non-Muslim. Tafsiran ini juga merangkumi perhubungan di dalam masyarakat Islam. Perintah Allah ini berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam untuk tidak memaksakan penafsiran seseorang pada orang lain. Itulah sebabnya sepanjang sejarah, kita melihat bukan sahaja Shafii dan Hanafi dapat bekerja diantara satu sama lain meskipun wujud banyaknya perbezaan-perbezaan, malah Shiah dan Sunni juga telah hidup dan bekerja berdampingan antara satu sama lain.
3. Apabila manusia duduk dan berbicara antara satu sama lain, mereka belajar untuk saling menghormati antara satu sama lain.
4. Dialog memberikan kefahaman yang lebih baik dengan membolehkan peserta untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung mengenai keyakinan dan kedudukan sesuatu pihak dan bukan hanya berdasarkan propaganda dan dakwaan stereotaip. (Quran 49:6-12)
5. Dialog akan mengasingkan antara orang yang berfikiran konservatif dan ekstremis. Adalah menjadi dosa besar untuk membunuh seorang manusia. Membunuh seorang manusia adalah sama seperti membunuh seluruh umat manusia. Dengan berbicara antara satu sama lain, Shiah dan Sunni akan dapat menyelamatkan nyawa, yang dapat digambarkan seperti menyelamatkan seluruh umat manusia. (Quran 5:32)
6. Bahkan jika terdapat segelintir Shiah dan Sunni yang saling menganggap pihak berlawanan sebagai musuh, Quran meminta kita bersikap adil bahkan terhadap satu lagi musuh “Wahai orang beriman Menonjol tegaslah untuk Allah, bersaksilah dengan adil, dan janganlah kebencian orang lain kepada kamu membuat kamu mengelak kepada kesalahan dan menyeleweng dari keadilan. kerana adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan: dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan semua yang kamu lakukan. “ [Quran 5:8]
Beberapa pertimbangan untuk dialog:
Komuniti Syiah seperti juga Sunni adalah pelbagai. Ada banyak perbezaan antara satu kelompok Syiah dan yang lainnya. Ini sebabnya telah menjadi satu isu yang penting bahawa dialog antara Sunni dan Shiah menjadi suatu gerakan dan satu proses pendidikan di setiap lapisan masyarakat, bukan hanya menunggu untuk satu dialog peringkat tinggi untuk menghasilkan beberapa keputusan di peringkat kepimpinan. Berikut adalah beberapa pemikiran asas tentang bagaimana sebuah dialog antara Shiah dan Sunni dapat bermanfaat bagi pihak masing-masing.
Objektif dari dialog
Walaupun saya menganggap bahawa sebuah dialog adalah sangat bermanfaat bagi semua, adalah penting bagi setiap orang yang terlibat mengiktiraf sebahagian daripada manfaat yang jelas dari dialog ini. Berikut adalah objektif yang dapat dicapai dari dialog Syiah-Sunni.
1. Mengembangkan agenda keprihatinan umum
2. Mencari isu konflik
3. Mengeluarkan Fatwa bersama terhadap pembunuhan kepuakan
4. Mengasingkan ekstremis di setiap sisi
5. Mencegah potensi konflik atau pengantaraan konflik yang sudah ada
6. Pendidikan untuk memperjelaskan fitnah antara satu sama lain
7. Menyiapkan senarai tugas bersama untuk menangani masalah-masalah yang luar biasa
Siapa yang harus menyertai dalam dialog
1. Siswa madrasah atau pusat pembelajaran agama
2. Mahasiswa Universiti
3. Kepemimpinan agama peringkat kebangsaan
4. Media Syiah dan Sunni
5. Ahli-ahli perniagaan Syiah dan Sunni
Kesimpulan:
Konflik kepuakan Syiah dan Sunnah telah mencarik kesatuan komuniti kita.
Al-Quran, Nabi Muhammad(saaw), Kaabah dan lima rukun Islam adalah sama bagi warga Syiah dan Sunni. Itu sebabnya tidak ada seorang pun dalam sejarah Islam telah memberhentikan Shiah dari Haji, meskipun Ka’bah selalu berada dalam kawalan Sunni. Bahkan sehingga saat ini, ketika Kaabah di kawal oleh golongan Salaf yang sangat memandang negative terhadap Syiah, Syiah seperti umat Islam lain bebas untuk melakukan Haji. Shiah, dengan cara yang sama, sejak revolusi Iran tahun 1979, diperintahkan oleh Imam Khomeini untuk berdoa di belakang Imam Salafi bersama-sama beliau dan bukannya berdoa secara berasingan.
Perkataan “penyelewengan” bererti perbuatan menyeleweng,penyimpangan dari dasar, memisahkan seseorang dari hakikat pengajaran agama.(Kamus Dewan,Kuala lumpur,1991,hlm.1145)Sementara perkataan “ kesesatan” bererti perihal sesat.Dan “sesat” adalah tidak mengikuti jalan yang betul,tersalah jalan,terkeliru,menyimpan dari jalan yang benar(Ibid, hlm.1191).
Perkataan Dhalal (kesesatan) di dalam al-Qur’an dikaitkan kepada penderhakaan terhadap Allah (swt) dan Rasul-Nya, kerana menyalahi, menolak, mengubah, dan menangguhkan hukum-Nya.Firman-Nya “ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya(wa man ya ‘si Llaha Rasula-hu),maka ianya telah sesat(Dhalla) dengan kesesatan yang nyata (Dhalalan)” (Al-Ahzab(33):35) dan ikutan(Taqlid) kepada orang yang mulia dan pembesar-pembesar yang melakukan perkara yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.)Firman-Nya “ Mereka berkata:Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati orang yang mulia kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan Engkau( fa-adhallu-na s-Sabila)” (Al-Ahzab(33):67).
Ini bererti sesiapa yang menyalahi, membelakangi, mengganti, membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya sama ada secara sukarela atau ikutan(taqlid) kepada orang yang mulia dan pembesar-pembesar mereka yang melakukan perkara tersebut dahulu dan sekarang (salaf dan khalaf) adalah termasuk golongan yang sesat/menyeleweng dari Islam yang sebenar.Dan maksud “Islam yang sebenar” adalah Islam yang bertepatan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Dan bukan sebaliknya.
A. Penyelewengan dari sudut Akidah
Dikemukan dibawah ini sebahagian dari penyelewengan Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah dari segi Akidah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.)seperti berikut:
1. Imam tidak maksum.Siapa sahaja boleh menjadi Imam sama ada orang yang zalim, fasiq, si jahil, pembohong, perampas, pembunuh dan lain-lain.Ianya menyeleweng daripada firman Tuhan “ Sesungguhnya aku menjadikan mereka Imam.Dia(Ibrahim) berkata: Semua zuriyatku?Dia berfirman: Janjiku tidak termasuk orang-orang yang zalim” (al-Baqarah(2):124). Lantaran itu orang yang zalim tidak boleh menjadi Imam.Tetapi Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah menyokong orang-orang yang zalim menjadi pemimpin dan kemaksuman mereka tidak perlu.Kemudian mereka mewajibkan orang ramai supaya mentaati pemimpin-pemimpin tersebut.Justeru itu mereka telah menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenar:al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Lantaran itu mereka telah memisahkan agama dengan politik. Mereka percaya bahawa Rasulullah (Saw.) kurang tahu urusan dunia kerana beliau bersabda “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu” (antum a‘lamu bi-umuri dunya-kum) (Muslim, Sahih , ii, hlm. 875).
2. Berterus terang menyokong pemimpin-pemimpin yang zalim,tanpa berpura-pura.Dan menentang Mustadh‘afin, tanpa berpura-pura.Lantaran itu akidah mereka menyeleweng dari Firman-Nya “ Janganlah kamu cenderung kepada orang yang melakukan kezaliman, lantas kamu akan disambar oleh api neraka.Dan tidak ada bagimu wali selain daripada Allah,kemudian kamu tiada mendapat pertolongan” (Hud(11):113).
3. Melebihkan taraf Abu Bakr dan Umar daripada Allah(swt) dari segi pelaksanaan hukum. Mereka memperaktikkan sunnah Abu Bakr dan Umar yang berlawanan dengan hukum Allah.Dan barang siapa yang menyalahi sunnah mereka berdua dikira menyeleweng/sesat dari Islam sebenar.Mereka maksudkan dengan Islam yang sebenar itu adalah Islam yang mematuhi sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar sekalipun ianya bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).
Ini bererti orang yang percaya dan mengamal keseluruhan hukum al-Qur’an adalah dikira sesat, dan menyeleweng dari Islam sebenar, kerana menolak sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar.Kemudian mereka mengadakan program pemulihan/ kemurnian akidah bagi memaksa orang ramai mentaati sunnah mereka berdua. Mereka jadikan Masa’il al-Mursalah, Maslahah,Ihsan Sadd dh-Dhara‘i‘, ijmak, ijtihad, dan Qiyas bagi membatal/menukar/ mengubah hukum Allah (swt).
Kemudian mereka memberitahu orang-ramai perlakuan sedemikian adalah kerana menjaga maqasid asy-Syari‘ah,bukan menentang hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Orang ramai adalah jahil,lalu menerima fatwa mereka yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Mereka menyakinkan orang ramai bahawa perbuatan mereka tidak terkeluar dari roh Syari‘ah,pada hakikatnya terkeluar dari Syari‘ah Allah.Orang ramai menerimanya.Perkataan Syari‘ah yang digunakan oleh mereka pula bukan bererti al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw sahaja.
Malah menggunakan istilah-istilah lain untuk mengkaburkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw dari diamalkan.Umpamanya mereka mengatakan khalifah Umar tidak memberi saham Muallaf adalah untuk menjaga Maqasid asy Syari‘ah.Sepatutnya Maqasid asy-Syari‘ah adalah penerusan pemberian zakat kepada Muallaaf, tetapi khalifah Umar telah menahan pemberian tersebut dengan alasan Muallaf tidak memerlukanya lagi.Mereka memuji tindakan khalifah Umar yamg menyalahi al-Qur’an itu sebagai tindakan yang bijak dan mereka memujinya pula.Sepatutnya mereka menjaga Maqasidu l-Qur’an yang meneruskan pemberan zakat kepada Muallaf, tetapi disebabkan mereka lebih meredhai sunnah Umar daripada hukum Allah, maka mereka mencari jalan bagi menutup kesalahannya.Dan kesalahannya pula menjadi sunnah/hukum yang menangguh/membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Sehingga sekarang mereka mempertahankan perbuatan/sunnah Abu Bakr dan Umar meskipun ia bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.Malah mereka memaksa orang ramai mengamalkan sunnah tersebut di dalam peribadatan mereka.
justeru itu sesiapa yang percaya dan mengamalkan hukum al-Qur’an 100 peratus akan dikira sesat/menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenar kerana mereka menolak sunnah khalifah Abu Bakr dan Umar yang menyalahi al-Qur’an.Jika sesiapa yang tidak menerima sunnah tersebut mereka menganggapnya terkeluar daripada agama Islam sebenar ;menyeleweng/sesat, dan perlu kepada pemulihan/pemurnian akidah kerana ia mengancam keselamatan negara.Sepatutnya mereka yang mengamalkan sunnah Abu Bakr dan Umar yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) lebih perlu kepada pemulihan akidah mereka kepada akidah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) dengan meninggalkan sunnah mereka berdua.Tetapi percayalah bahawa mereka akan meneruskan sunnah Abu Bakr dan Umar yang menyalahi al-Qur’an.
Mereka tidak akan menyerah kepada hukum Allah sepenuhnya sebagaimana firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman,taatlah kamu kepada Allah,dan taatlah kepada Rasul dan Uli l-Amri min-kum.Jika kamu bertelagah di dalam sesuatu perkara,maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nyajikakamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat.Demikian itu lebih baik dan sebaik-baik jalan” (al-Nisa’(4):59).Dan firman-Nya “Tidakkah kamu mengetahui bahawa mereka yang mendakwa bahawa mereka beriman kepada (al-Qur’an) yang diturunkan kepada engkau dan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelum engkau; mereka hendak meminta hukum kepada Thaghut(berhala),sedang kan mereka diperintahkan supaya menentang thaghut .Syaitan menghendaki supaya ia menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh” (al-Nisa’(4):60).Justeru itu ajaran Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah adalah menyeleweng dari ajaran al-Qur’an.
4. Melebihkan taraf Abu Bakr dan Umar daripada Rasulullah (Saw.) dari segi pelaksanaan hukum. Mereka lebih mentaati sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar daripada sunnah Rasulullah saw.Sebaliknya mereka menyesatkan orang yang tidak mentaati sunnah mereka berdua sekalipun bertentangan dengan sunnah Rasulullah (Saw.).Jika sesiapa mengamalkan Sunnah Rasulullah 100 peratus adalah dikira sesat, dan menyeleweng dari Islam yang sebenar, kerana menolak sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar yang menyalahi sunnah Rasulullah (Saw.) Oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah.Mereka percaya bahawa khalifah Abu Bakr dan Umar lebih mengetahui daripada Rasulullah saw.
Lantaran itu mereka menggunakan istilah-istilah Masalih Mursalah,Maslahah,Ihsan, Maqasidu sy-Syari‘ah, ijtihad dan lain-lain bagi membatalkan/menangguh/menggantikan sebahagian Sunnah Rasulullah (Saw.).Justeru itu mereka menyalahi Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65)Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”(al-Ma ‘idah(5):44).
Dan firman-Nya “Barang siapa yang menentang Rasul,sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikut bukan jalan orang-orang Mukmin,maka kami biarkan dia memimpin dan kami memasukkan dia ke dalam nereka Jahannam.Itulah sejahat-jahat tempat kembali”(Al-Nisa ‘(4);115).
5. Mengharamkan nikah Mut‘ah yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.Kerana Umar mengharamkannya.Dengan pengharaman tersebut banyak gejala masyarakat timbul dan tidak dapat di atasi.Lantaran itu kita dapati di dalam masyarakat Ahlu s-Sunnah wa l–Jama‘ah perzinayan, perogolan banyak berlaku.Bapa berzina dengan anak perempuannya,iparya,emak saudaranya dan lain-lain.Oleh itu tidak hairanlah jika Imam Ali a.s berkata: “perzinayan yang berlaku,adalah ekoran pengharaman nikah Mut‘ah”. Mereka mentaati Umar lebih dari mentaati Allah swt. Dan Rasul-Nya dari segi pelaksanaan hukum.
Al-Suyuti berkata:Umarlah orang pertama yang mengharamkan nikah Mut‘ah (Tarikh al-Khulafa’,hlm.137) Kenyataan al-Suyuti bererti:
a) Nikah mut’ah adalah halal menurut Islam.
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut’ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah (Saw.), khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.
c) Umar mempunyai kuasa veto yang boleh memansuhkan atau membatalkan hukum nikah mut’ah sekalipun ianya halal di sisi Allah dan Rasul-Nya. Al-Suyuti seorang Mujaddid Ahlil Sunnah abad ke-6 Hijrah mempercayai bahawa nikah mut’ah adalah halal, kerana pengharamannya adalah dilakukan oleh Umar dan bukan oleh Allah dan RasulNya.Kenyataan al-Suyuti adalah berdasarkan kepada al-Qur’an dan kata-kata Umar sendiri.
Sebenarnya para ulama Ahlul Sunnah sendiri telah mencatat bahawa Umarlah yang telah mengharamkan nikah mut’ah sepertiberikut:
a) Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar,”Dua mut’ah yang dilakukan pada masaRasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ahperempuan dan mut’ah haji.
b) Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah:”Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut’ah.”Dia menjawab:”Umar al-Khatab.”Dia bertanya lagi,”Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya.”Dia menjawab:”Mengikut riwayat yang sahih bahawa dia menaiki mimbar masjid dan berkata:Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut’ah tetapi aku aku mengharamkan kedua-duanya (mut’ah perempuan dan mut’ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya.”
c) Daripada Jabir bin Abdullah, dia berkata:”Kami telah melakukan nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kes Umru bin Harith.[Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VIII, hlm.294]
d) Daripada Urwah bin al-Zubair,”Sesungguhnya Khaulah bt. Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata:”Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata:”Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya awal-awal lagi nescaya aku merejamnya.”Isnad hadith ini adalah tsiqah, dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta’, II, hlm. 30;al-Syafi’i, al-Umm, VII, hlm. 219;al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206]
e) Kata-kata Ali (a.s),”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah nescaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140].
Kata-kata Ali (a.s) ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahawa Ali telah melarang nikah mut’ah kerana beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa’ (4):24.
f) Daripada Ibn Juraij, daripada ‘Ata’ dia berkata:”Aku mendengar Ibn Abbas berkata:Semoga Allah merahmati Umar, mut’ah adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad dan jika ia tidak dilarang (oleh Umar) nescaya seorang itu tidak perlu berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Jassas, al-Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 179; al-Zamakhshari, al-Fa'iq, I, hlm. 331;al-Qurtubi, Tafsir, V, hlm. 130]
Riwayat Ibn Abbas tersebut menafikan dakwaan orang yang mengatakan Ibn Abbas telah menarik balik kata-katanya mengenai mut’ah. Walau bagaimanapun halalnya mut’ah tidak berpandu kepada pendapat Ibn Abbas tetapi berpandu kepada Surah al-Nisa (4): 24 yang tidak dimansuhkan.
Di sini disebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in yang telah mengamalkan nikah mut’ah atau mempercayai ia halal seperti berikut:
1. Umran b. al-Hasin.
2. Jabir b. Abdullah.
3. Abdullah b. Mas’ud.
4. Abdullah b. Umar.
5. Muawiyah b. Abi Sufyan.
6. Abu Said al-Khudri.
7. Salman b. Umaiyyah b, Khalf
8. Ma’bad b. Umaiyyah.
9. al-Zubair bin al-Awwam yang mengahwini Asma’ bt khalifah Abu Bakar secara mut’ah selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak lelaki bernama Abdullah da Urwah.
10. Khalid b. Muhajir.
11. Umru b. Harith.
12. Ubayy b. Ka’ab.
13. Rabi’ah b. Umaiyyah.
14. Said b. Jubair.
15. Tawwus al-Yamani.
16. ‘Ata’ Abu Muhammad al-Madani.
17. al-Sudi.
18. Mujahid.
19. Zufar b. Aus al-Madani.
20. Ibn Juraij.
21. Ali bin Abi Talib.
22. Umar b. al-Khattab sebelum dia mengharamkannya dan diakui leh anaknya Abdullah bin Umar.
Nama-nama tersebut adalah diambil dari buku-buku Hadith Ahlul Sunnah dan lain-lain di mana saya tidak memberi rujukan lengkap kerana kesempitan ruang, lihatlah umpamanya buku-buku sahih bab nikah mut’ah dan lain-lain.
Di sini diperturunkan pendapat-pendapat Ahlul Sunnah yang mengatakan nikah mut’ah telah dimansuhkan, kemudian, diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kembali. Ia mempunyai 15 pendapat yang berbeza-beza sepertiberikut:
1. Nikah mut’ah diharuskan pada permulaan Islam, kemudian Rasulullah (Saw.) menegahnya di dalam Peperangan Khaibar.
2. Ia boleh dilakukan ketika darurat di masa-masa tertentu kemudian diharamkan pada akhir tahun Haji Wida’.
3. Ia diharuskan selama 3 hari sahaja.
4. Diharuskan pada tahun al-Autas kemudian diharamkan.
5. Diharuskan pada Haji Wida’ kemudian ditegah semula.
6. Diharuskan, kemudian diharamkan pada masa pembukaan Mekah.
7. Ia harus, kemudiannya ditegah dalam Perang Tabuk.
8. Diharuskan pada pembukaan Mekah dan diharamkan pada hari itu juga.
9. Ia dihalalkan pada Umrah al-Qadha’.
10. Ia tidak pernah diharuskan di dalam Islam. Pendapat ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah Nabi (Saw.), Ahlul Baytnya dan sahabat-sahabat.
11. Ia diharuskan kemudian dilarang pada Perang Khaibar kemudian diizin kembali pada masa pembukaan Mekah kemudian diharamkannya selepas tiga hari.
12. Diharuskan pada permulaan Islam kemudian diharuskan pada Perang Khaibar kemudian diharuskan pada Perang Autas, kemudian diharamkan.
13. Diharuskan pada permulaan Islam pada tahun Autas, pembukaan Mekah dan Umrah al-Qadha’ dan diharamkan pada Peperangan Khaibar dan Tabuk.
14. Ia telah diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kemudian dimansuhkan.
15. Diharuskan 7 kali, dimansuhkan 7 kali, dimansuhkan pada Peperangan Khaibar, Hunain, ‘Umra al-Qadha’, tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida’.[al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 183; Muslim, Sahih, I, hlm. 394;Ibn Hajr, Fath al-Bari, IX, hlm. 138; al-Zurqani, Syarh al-Muwatta', hlm. 24].
Lihatlah bagaimana perselisihan pendapat telah berlaku tentang nikah mut’ah di mana mereka sendiri tidak yakin bilakah ia dimansuhkan atau sebaliknya. Walau bagaimanapun pendapat-pendapat tersebut memberi erti bahawa hukum nikah mut’ah boleh dipermainkan-mainkan kerana ia mengandungi beberapa proses pengharusan dan pengharaman, oleh itu ianya tidak mungkin dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ianya telah dilakukan oleh al-Zubair bin al-Awwam dengan Asma’ bt. khalifah Abu Bakar selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak mut’ah.
Sebenarnya pengharusan nikah mut’ah itu berasal daripada al-Qur’an, firman-Nya (Surah al-Nisa (4):24:”
Maka isteri-isteri kamu yang kamu nikmati (mut’ah) di atas mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajipan.” Menurut al-Zamakhsyari, ayat ini adalah Muhkamah, iaitu tidak dimansuhkan [al-Kasysyaf,I hlm. 190] iaitu nikah mut’ah adalah halal.
Al-Qurtubi menyatakan, penduduk Mekah banyak melakukan nikah mut’ah [Tafsir,V, hlm. 132]. Fakhruddin al-Razi berkata:”Mereka berselisih pendapat tentang ayat ini, sama ada ia dimansuhkan ataupun tidak, tetapi sebahagian besar berpendapat ayat ini tidak dimansuhkan dan nikah mut’ah adalah harus.”[Mafatih al-Ghaib, III, hlm. 200] Abu Hayyan berkata:”Selepas menukilkan hadith yang mengharuskan nikah mut’ah, sekumpulan daripada Ahlul Bayt dan Tabi’in berpendapat nikah mut’ah adalah halal.”Ibn Juraij (w.150H) pula berpendapat bahawa nikah mut’ah adalah harus. Imam Syafi’I menegaskan bahawa Ibn Juraij telah bernikah mut’ah dengan 72 orang perempuan, sementara al-Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut’ah dengan 90 orang perempuan.[Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408].
Perhatikanlah bahawa Ibn Juraij adalah seorang daripada Tabi’in dan imam masjid Mekah, telah berkahwin secara mut’ah dengan 90 orang perempuan dan dia juga telah meriwayatkan hadith yang banyak di dalam sahih-sahih Ahlul Sunnah seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain. Ini bererti kitab-kitab sahih tersebut telah dikotori (mengikut bahawa lawan) dan ia tidak menjadisahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut’ah itu dianggap penzina.
Ayat tersebut tidak dimansuhkan oleh Surah al-Mukminun ayat 6 dan Surah al-Ma’arij ayat 30, kerana kedua-dua ayat tersebut,
adalah Makkiyyah dan ayat Makkiyyah tidak boleh memansuhkan ayat Madaniyyah, begitu juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat al-Mirath (pusaka) kerana dalam nikah biasa sekalipun mirath tidak boleh berlaku jika si isteri melakukan nusyuz terhadap suaminya atau isterinya seorang kitabiyah. Sebagaimana juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat Talaq, kerana nikah mut’ah dapat ditalak (dapat dibatalkan) dengan berakhirnya masa. Ia juga tidak boleh dimansuhkan dengan hadith mengiku jumhur ulama.
Imam Zulfar berpendapat walaupun ditetapkan, tetapi ia tidak membatalkan akad nikah. Imam Malik pula mengatakan nikah mut’ah adalah harus hingga terdapatnya dalil yang memansuhkannya. Imam Muhammad al-Syaibani mengatakan nikah mut’ah adalah makruh. [al-Sarkhasi, al-Mabsut, V, hlm. 160] Demikianlah beberapa pendapat yang menunjukkan nikah mut’ah adalahharus tetapi ia diharamkan oleh khalifah Umar al-Khattab. Adapun syarat-syarat nikah mut’ah menurut Islam adalah seperti berikut:
i. Mahar.
ii. Ajal (tempoh)
iii. Akad yang mengandungi ijab dan kabul dan ianya sah dilakukan secara wakil
iv. Perceraian selepas tamatnya tempoh
v. Iddah
vi. Sabitnya nasab (keturunan)
vii. Tidak sabitnya pusaka di antara suami dan isteri jika ia tidak syaratkan.
Inilah syarat-syarat nikah mut’ah mengikut Ahlul Sunnah dan Syiah dan inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Adapun kata-kata bahawa ‘nikah mut’ah boleh dilakukan dengan isteri orang’ adalah satu pembohongan yang besar dan ianya menyalahi nas. Oleh itu para Imam Ahlul Bait (a.s) dan para ulama Syiah mengharamkannya. Disebabkan ijab sebarang nikah, sama ada nikah mut’ah ataupun da’im (biasa) adalah dipihak perempuan atau wakilnya, maka perempuan tersebut atau wakilnya mestilah mengetahui bahawa ‘dia’ bukanlah isteri orang, jika tidak, ia tidak boleh melafazkan ijab, “aku nikahkan diriku akan dikau dengan mas kahwinnya sebanyak satu ribu ringgit selama tiga tahun.”Umpamanya lelaki menjawab:”Aku terimalah nikah.
Imam Baqir dan Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) berkata bahawa pihak lelaki tidak wajib bertanya adakah siperempuan itu isteri orang atau tidak, kerana sudah pasti mengikut hukum syarak perempuan yang akan berkahwin mestilah bukan isteri orang. Jika didapati ia isteri orang maka nikah mut’ah atau nikah biasa itu adalah tidak sah. Walau bagaimanapun adalah disunatkan seorang itu bertanya keadaan perempuan itu sama ada masih isteri orang atau sebagainya.
Mengenai wali Ahlul Sunnah tidak sependapat sama ada wali adalah wajib bagi perempuan yang ingin berkahwin. Abu Hanifah umpamanya menyatakan wali adalah tidak wajib bagi janda dan anak dara yang sudah akil baligh dengan syarat ia berkahwin dengan seorang yang sekufu dengannya.[Malik, al-Muwatta', I, hlm. 183] Abu Yusuf dan al-Syaibani pula berpendapat wali adalah peru tetapi bapa tidak ada hak untuk memaksa anak perempuannya melainkan ia di bawah umur.[Ibn Hazm, al-Muhalla, hlm. 145].
Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) berpendapat wali tidak wajib dalam nikah kecuali bagi anak dara. Tetapi ia adalah digalakkan di dalam semua keadaan bagi penentuan harta dan keturunan.[al-Tusi, Tahdbib al-Ahkam, VII, hlm. 262].
Sebenarnya idea wali nikah menurut Imam Malik adalah dikaitkan dengan khalifah Umar al-Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin al-Musayyab, bahawa seorang tidak dibenarkan berkahwin tanpa kebenaran walinya atau keluarganya yang baik atau pemerintah [Sahnun, al-Mudawwannah al-Kubra, IV, hlm. 16].
Mengenai saksi di dalam nikah, Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) tidak mewajibkan saksi di dalam nikah mut’ah atau nikah biasa, tetapi ia disunatkan berbuat demikian bagi pengurusan harta dan penentuan nasab keturunan.[al-Tusi, al-Istibsar, III, hlm. 148].
Tidak terdapat di dalam al-Qur’an ayat yang mewajibkan wali dan saksi di dalam nikah, umpamanya firman Allah dalam Surah al-Nisa (4):3…..”maka kahwinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga dan empat.” Ini bererti Allah tidak mewajibkan saksi dan wali di dalam perkahwinan kerana untuk memberi kemudahan kepada umat manusia tetapi Dia mewajibkan saksi di dalam perceraian, firmanNya dalam Surah al-Talaq (65):2….”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.”.
Imam Ja’far al-Sadiq (a.s) mengatakan bahawa dua saksi di dalam talak adalah wajib. Walau bagaimanapun beliau tidak menafikan bahawa saksi adalah digalakkan, lantaran itu hadith “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi” adalah hadith yang lemah. Itulah nikah mut’ah yang dipercayai oleh mazhab Ja’fari dan ia adalah sama seperti yang dilakukan pada zaman Nabi (Saw.) dan zaman sahabatnya, dengan penjelasan ini, semoga ianya dapat dibezakan di antara pelacuran dan nikah mut’ah.
Kesimpulannya, nikah mut’ah adalah halal sehingga Hari Kiamat berdasarkan Surah al-Nisa (4):24. Ia adalah ayat muhkamah yang tidak dimansuhkan, hanya khalifah Umar sahaja yang memansuhkan nikah mut’ah pada masa pemerintahannya. Oleh ituijtihadnya adalah menyalahi nas, dengan itu kata-kata al-Suyuti bahawa khalifah Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut’ah adalah wajar dan menepati nas. Walau bagaimanapun saya sekali-kali tidak menggalakkan sesiapa pun untuk melakukannya walau di mana sekalipun.
7. Khalifah tidak diwasiatkan oleh Rasulullah saw,tetapi khalifah Abu Bakr telah berwasiat kepada Umar,dan Umar telah berwasiat kepada Uthman secara tersusun. Lantaran itu Abu Bakr tidak mentaati Rasulullah saw kerana meninggalkan wasiat, begitu juga Umar.Sebenarnya Rasulullah saw telah berwasiat kepada Ali a.s. “Siapa yang telah menjadikan aku maulanya , maka Ali adalah maulanya” Lantaran itu Ali dan sebelas para imam Ahlu l-Bait Rasulullah saw menuntutnya.
Lantaran itu,jika mereka mendakwa Rasulullah tidak meninggalkan wasiat,tetapi mereka berdua telah berwasiat,bererti mereka telah menyalahi Sunnah Rasulullah saw yang tidak berwasiat menurut pendapat mereka.Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Rasulullah saw.Dan jika Rasulullah saw telah berwasiat-tentu beliau berwasiat-Mereka juga telah menyalahi Sunnah Rasulullah saw,kerana beliau telah berwasiatkan kepada Ali,Hasan ,Husain sehinggalah kepada Imam al-Mahdi a.s. dan bukan kepada mereka berdua.( al-Qunduzi al-Hanafi,Yanabi‘ al-Mawaddah,hlm.124-5) Justeru itu Ahlu s-Sunnah yang menolak hadis Imam Dua Belas sepatutnya meneleweng,bukan Syi‘ah yang mempercayainya.
8. Tidak memahami konsep ilmu Allah tentang al-Bada’ di dalam konteks “Dia menghapuskan apa yang dikehendaki dan menetapkan(yamhu Llahu ma yasya‘ wa yuthbit) dan di sissi-Nya Ummu l-Kitab’ (al-Ra‘d(13):39) Dan firman-Nya “ Kami tidak mengubah mana mana ayat ( ma nansakhu min ayatin) atau kami lupakan(kepada kamu) kami datangkan (gantiannya) dengan lebih baik daripadanya(na’ti bi-kharin min-ha) atau yang seumpamanya( au mithli-ha)” (Al-Baqarah(2):106) Oleh itu, Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah tidak memahami konsep al- Bada’ , nasikh dan mansukh sehingga mereka mempercayai bahawa Abu Bakr dan Umar boleh membatalkan/mengubah hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw dengan alasan maslahah ,lalu memtaati mereka berdua.
9. Tidak mempercayai Muhammad bin Hasan al-Askari sebagai imam al-mahdi al-muntazar.Sikap penentangan ini semata-mata penentangan mereka terhadap hadis Dua Belas Imam (al-Qunduzi l-Hanafi,Yanabi ‘ al-Mawaddah,hlm.148-9).
10. Memartabatkan majoriti para sahabat Nabi saw yang telah menjadi kafir-murtad dengan sendiri.Sedangkan Rasulullah saw mengatakan bahawa majoriti mereka telah menjadi kafir murtad selepas kewafatannya, kerana mereka telah mengubah /membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Hanya sedikit sahaja bilangan mereka terselamat.Syi‘ah tidak mengkafirkan mereka tetapi al-Bukhari dan Muslim telah mencatat di dalam Sahih Sahih mereka mengenai perkara tersebut.
Definisi kekafiran
Perkataan “kekafiran” adalah pecahan daripada perkataan “kafir”. Menurut Kamus Dewan, perkataan “kekafiran” memberi pengertian sifat-sifat kafir.Dan kafir adalah orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Sementara perkataan “mengkafir/mengafir” bererti menganggap kafir/mengatakan kafir (Kamus Dewan, Kuala Lumpur,1991, hlm.514).Perkataan “murtad” bererti seorang keluar daripada agamanya,tidak setia kepada agamanya (Kamus Dewan, Kuala Lumpur,1991, hlm.846) Justeru itu orang Islam yang menjadi kafir atau murtad adalah orang yang keluar agama Islam.
Kajian mengenai para sahabat yang telah menjadi kafir-murtad selepas kewafatan Nabi (Saw.) amat mencemaskan,tetapi ianya suatu hakikat yang tidak dapat dinafikan oleh sesiapapun kerana ia telah dicatat oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam Sahih-Sahih mereka di mana kedua dua kitab tersebut dinilai sebagai kitab yang paling Sahih selepas al-Qur’an oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sendiri. Di samping itu ia juga telah dicatat oleh pengumpul-pengumpul Hadis daripada mazhab Ahlu l-Bait(a.s) di dalam buku-buku mereka.
Amatlah dikesali bahawa kaum Wahabi yang menyamar sebagai Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sentiasa menyamarakkan sentimen anti Syi‘ah dengan slogan “Syi‘ah mengkafirkan para sahabat” bagi mendapatkan sokongan orang ramai kepada gerakan mereka.Walau bagaimanapun rencana ringkas ini sekadar mendedahkan hakikat sebenar bagi menjawab tuduhan tersebut,dan tidak sekali-kali bertujuan meresahkan kaum Muslimin di rantau ini.
Sekiranya al-Bukhari dan Muslim telah mencatat kekafiran majoriti para sahabat selepas kewafatan Nabi (Saw.) di dalam Sahih-Sahih mereka, kenapa kita menolaknya dan melemparkan kemarahan kepada orang lain pula? Dan jika mereka berdua berbohong, merekalah yang berdosa dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (swt)Dan jika kita Ahlu s-Sunnah Nabi (Saw.), nescaya kita menerimanya.Jika tidak, kitalah Ahli anti Sunnah/Hadis Nabi (Saw.)
Definisi sahabat
Berbagai pendapat mengenai definisi sahabat telah dikemukakan. Ada pendapat yang mengatakan: “Sesiapa yang bersahabat dengan Nabi (Saw.) atau melihatnya daripada orang-orang Islam, maka ia adalah daripada para sahabatnya.”.
Definisi inilah yang dipegang oleh al-Bukhari di dalam Sahihnya(al-Bukhari, Sahih, v , hlm.1). Sementara gurunya Ali bin al-Madini berpendapat: Sesiapa yang bersahabat dengan Nabi (Saw.) atau melihatnya, sekalipun satu jam di siang hari, adalah sahabatnya(Ibid). Manakala al-Zain al-Iraqi berkata: “Sahabat adalah sesiapa yang berjumpa dengan Nabi sebagai seorang Muslim, kemudian mati di dalam Islam.” Said bin Musayyab berpendapat: “Sesiapa yang tinggal bersama Nabi selama satu tahun atau berperang bersamanya satu peperangan.”.
Pendapat ini tidak boleh dilaksanakan kerana ianya mengeluarkan sahabat-sahabat yang tinggal kurang daripada satu tahun bersama Nabi (Saw.) dan sahabat-sahabat yang tidak ikut berperang bersamanya.Ibn Hajar berkata:”Definisi tersebut tidak boleh diterima(Ibn Hajr, Fath al-Bari, viii, hlm.1).
Ibn al-Hajib menceritakan pendapat ‘Umru bin Yahya yang mensyaratkan seorang itu tinggal bersama Nabi (Saw.)dalam masa yang lama dan “mengambil (hadith) daripadanya(Syarh al-Fiqh al-‘Iraqi,hlm.4-3) Ada juga pendapat yang mengatakan:”Sahabat adalah orang Muslim yang melihat Nabi (Saw.) dalam masa yang pendek(Ibid).
Kedudukan para sahabat
Kedudukan para sahabat di bahagikan kepada tiga:
1. Sahabat semuanya adil dan mereka adalah para mujtahid.Ini adalah pendapat Ahlu s- Sunnah wa l-Jama‘ah.
2. Sahabat seperti orang lain, ada yang adil dan ada yang fasiq kerana mereka dinilai berdasarkan perbuatan mereka.Justeru itu yang baik diberi ganjaran kerana kebaikannya.Sebaliknya yang jahat dibalas dengan kejahatannya.Ini adalah pendapat mazhab Ahlu l-Bait Rasulullah (Saw.)/Syi‘ah/Imam Dua belas.
3. Semua sahabat adalah kafir-semoga dijauhi Allah-Ini adalah pendapat Khawarij yang terkeluar daripada Islam.
Dikemukan dibawah ini lima hadis daripada Sahih al-Bukhari (Al-Bukhari, Sahih, (Arabic-English), by Dr.Muhammad Muhammad Muhsin Khan, Islamic University, Medina al-Munawwara, Kazi Publications, Chicago, USA1987, jilid viii, hlm.378-384(Kitab ar-Riqaq,bab fi l-Haudh)dan enam hadis dari Sahih Muslim Muslim,Sahih, edisi Muhammad Fuad ‘Abdu l-Baqi, Cairo,1339H,
Terjemahan hadis-hadis dari Sahih al-Bukhari
1. Hadis no.578.Daripada Abdullah bahawa Nabi(Saw.) bersabda:Aku akan mendahului kamu di Haudh dan sebahagian daripada kamu akan dibawa di hadapanku.Kemudian mereka akan dipisahkan jauh daripadaku.Aku akan bersabda: wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku (ashabi).Maka dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).
2. Hadis no.584.Daripada Anas daripada Nabi (Saw.) bersabda: Sebahagian daripada sahabatku akan datang kepadaku di Haudh (Sungai/Kolam Susu) sehingga aku mengenali mereka,lantas mereka dibawa jauh daripadaku.Kemudian aku akan bersabda:Para sahabatku(ashabi)!Maka dia (Malaikat) berkata: Anda tidak mengetahui apa yang lakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la adri ma ahdathu ba‘da-ka).
3. Hadis no.585.Abu Hazim daripada Sahl bin Sa‘d daripada Nabi (Saw.) Nabi (Saw.) bersabda: Aku akan mendahului kamu di Haudh.Dan siapa yang akan melaluinya akan miminumnya.Dan siapa yang meminumnya tidak akan dahaga selama-lamanya.Akan datang kepadaku beberapa orang yang aku kenali,dan mereka juga mengenaliku.Kemudian dihalang di antaraku dan mereka.Abu Hazim berkata : Nu‘man bin Abi ‘iyasy berkata selepas mendengarku: Adakah anda telah mendengar sedemikian daripada Sahl? Aku menjawab:Ya.Aku naik saksi bahawa aku telah mendengar Abu Sa ‘id al-Khudri berkata perkara yang sama,malah dia menambah:Nabi (Saw.) bersabda:Aku akan bersabda: mereka itu adalah daripadaku (ashabi).Maka dijawab: “Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka Aku akan bersabda:Jauh!Jauh! (daripada rahmat Allah) /ke Neraka mereka yang telah mengubah/menukarkan (hukum Allah dan Sunnahku) selepasku (suhqan suhqan li-man ghayyara ba‘di) ”.
Abu Hurairah berkata bahawa Rasulullah (Saw.) bersabda: Sekumpulan daripada para sahabatku akan datang kepadaku di Hari Kiamat.kemudian mereka akan diusir jauh dari Haudh.Maka aku akan bersabda:Wahai Tuhanku!mereka itu adalah para sahabatku (ashabi).Dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang mereka lakukan selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la ‘ilma la-ka bima ahdathu ba‘da-ka)Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad kebelakang (irtaddu ‘ala a‘qabi-bi-himu l-Qahqariyy).
4. Hadis no.586.Daripada Ibn Musayyab bahawa Nabi (Saw.) bersabda: Sebahagian daripada para sahabatku akan mendatangiku di Haudh, dan mereka akan dipisahkan dari Haudh.Maka aku berkata:Wahai Tuhanku! Mereka adalah para sahabatku (ashabi), maka akan dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka.Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad ke belakang selepas anda meninggalkan mereka (inna-hum irtaddu ba ‘da-ka ‘ala Adbari-ka l-Qahqariyy).
5. Hadis no.587. Daripada Abu Hurairah bahawa Nabi (Saw.)bersabda: Manakala aku sedang tidur,tiba-tiba sekumpulan (para sahabatku) datang kepadaku.Apabila aku mengenali mereka,tiba-tiba seorang lelaki(Malaikat) keluar di antara aku dan mereka. Dia berkata kepada mereka :Datang kemari.Aku bertanya kepadanya:Ke mana? Dia menjawab:Ke Neraka,demi Allah.Aku pun bertanya lagi:Apakah kesalahan mereka?Dia menjawab:Mereka telah menjadi kafir-murtad selepas kamu meninggalkan mereka( inna-hum irtaddu ba‘da-ka ‘ala Adbari-himi l-Qahqariyy). Justeru itu aku tidak melihat mereka terselamat melainkan (beberapa orang sahaja) sepertilah unta yang tersesat/terbiar daripada pengembalanya(fala ara-hu yakhlusu min-hum illa mithlu hamali n-Na‘ am).
Terjemahan hadis-hadis dari Sahih Muslim
1. Hadis no.26.(2290)Daripada Abi Hazim berkata: Aku telah mendengar Sahlan berkata:Aku telah mendengar Nabi (Saw.) bersabda:Aku akan mendahului kamu di Haudh.Siapa yang melaluinya, dia akan meminumnya.Dan siapa yang meminumnya,dia tidak akan dahaga selama-lamanya.Akan datang kepadaku beberapa orang yang aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku(para sahabatku).Kemudian dipisahkan di antaraku dan mereka.Abu Hazim berkata:Nu‘man bin Abi ‘Iyasy telah mendengarnya dan aku telah memberitahu mereka tentang Hadis ini.Maka dia berkata:Adakah anda telah mendengar Sahlan berkata sedemikian? Dia berkata: Ya.
(2291)Dia berkata:Aku naik saksi bahawa aku telah mendengar Abu Sa‘id al-Khudri menambah:Dia berkata:Sesungguhnya mereka itu adalah daripadaku(inna-hum min-ni).Dan dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).Maka aku (Nabi (Saw.) bersabda:Jauh !Jauh! (daripada rahmat Allah)/ke Neraka mereka yang telah mengubah/menukarkan (hukum Tuhanku dan Sunnahku) selepasku ( Suhqan suhqan li-man baddala ba‘di).
2. Hadis no.27(2293)Dia berkata:Asma‘ binti Abu Bakr berkata:Rasulullah (Saw.) bersabda:Sesungguhnya aku akan berada di Haudh sehingga aku melihat mereka yang datang kepadaku dikalangan kamu(man yaridu ‘alayya min-kum).Dan mereka akan ditarik dengan pantas (daripadaku), maka aku akan bersabda:Wahai Tuhanku!Mereka itu daripada (para sahabat)ku dan daripada umatku. Dijawab: Tidakkah anda merasai/menyedari apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (amma sya‘arta ma ‘amilu ba‘da-ka)?Demi Allah, mereka sentiasa mengundur ke belakang (kembali kepada kekafiran) selepas anda meninggalkan mereka(Wa Llahi!Ma barihu ba‘da-ka yarji‘un ‘ala a‘qabi-him)Dia berkata:Ibn Abi Mulaikah berkata: “ Wahai Tuhanku!Sesungguhnya kami memohon perlindungan daripadaMu supaya kami tidak mengundur ke belakang (kembali kepada kekafiran) atau kami difitnahkan tentang agama kami”.
3. Hadis no.28.(2294) Daripada ‘Aisyah berkata:Aku telah mendengar Nabi (Saw.) bersabda ketika beliau berada di kalangan para sahabatnya(ashabi-hi):Aku akan menunggu mereka di kalangan kamu yang akan datang kepadaku. Demi Allah! Mereka akan ditarik dengan pantas dariku.Maka aku akan bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka adalah daripada(para sahabat)ku dan daripada umatku. Dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ‘amilu ba‘da-ka).Mereka sentiasa mengundur ke belakang(kembali kepada kekafiran)(Ma zalu yarji‘un ‘ala a‘qabi-him).
4. Hadis no.29(2295)Daripada Abdullah bin Rafi‘; Maula Ummi Salmah;isteri Nabi (Saw.)Rasulullah (Saw.) bersabda:Sesungguhnya aku akan mendahului kamu di Haudh. Tidak seorang daripada kamu(para sahabatku) akan datang kepadaku sehingga dia akan dihalau/diusir daripadaku(fa-yudhabbu ‘anni) sebagaimana dihalau/diusir unta yang tersesat(ka-ma yudhabbu l-Ba‘iru dh-Dhallu).Aku akan bersabda:apakah salahnya? Dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka)Maka aku bersabda:Jauh!(daripada rahmat Allah) (suhqan).
5. Hadis no.32(2297)Daripada Abdillah, Rasulullah (Saw.) bersabda: Aku akan mendahului kamu di Haudh.Dan aku akan bertelagah dengan mereka (aqwaman).Kemudian aku akan menguasai mereka.Maka aku bersabda:Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku.Mereka itu adalah para sahabatku(Ya Rabb!Ashabi,ashabi).Lantas dijawab:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).
6. Hadis no.40.(2304)Daripada Anas bin Malik bahawa Nabi (Saw.) bersabda:Akan datang kepadaku di Haudh beberapa lelaki(rijalun) daripada mereka yang telah bersahabat denganku(mimman sahabani) sehingga aku melihat mereka diangkat kepadaku.Kemudian mereka dipisahkan daripadaku.Maka aku akan bersabda:Wahai Tuhanku!Mereka adalah para sahabatku.Mereka adalah para sahabatku (Usaihabi)Akan dijawab kepadaku:Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka).
Perkataan-perkataan yang penting di dalam hadis-hadis tersebut.
Daripada hadis-hadis di atas kita dapati al-Bukhari telah menyebut perkataan:
a. Ashabi (para sahabatku) secara literal sebanyak empat kali.
b. Inna-ka la tadri/la ‘ilma la-ka ma ahdathu ba‘da-ka (Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan(ahdathu) oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka) sebanyak tiga kali.Perkataan ahdathu bererti mereka telah melakukan bid‘ah-bid‘ah/inovasi yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah nabi (Saw.).
c. Inna-hum Irtaddu(Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad) sebanyak empat kali.
d. Suhqan suhqan li-man gyayara ba‘di (Jauh! Jauh!(daripada rahmat Allah) /ke Nerakalah mereka yang telah mengubah/menukarkan-hukum Tuhanku dan Sunnahku- selepasku) satu kali.perkataan “Ghayyara” bererti mengubah/ menukarkan hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
e. Fala arahu yakhlusu minhum mithlu hamali n-Na‘am (Aku tidak fikir mereka terselamat melainkan(beberapa orang sahaja) sepertilah unta yang tersesat/terbiar daripada pengembalanya) satu kali.
Sementara Muslim telah menyebut perkataan:
a. Ashabi (para sahabatku) secara literal satu kali.
b. Ashabi-hi (para sahabatnya) satu kali,
c. Sahaba-ni ( bersahabat denganku) satu kali
d. Usaihabi (para sahabatku) dua kali.
e. Innaka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka (sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan(ahdathu) oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka) tiga kali.
f. Inna-ka la tadri/sya‘arta ma ‘amilu ba‘da-ka (Sesungguhnya anda tidak mengetahui/menyedari apa yang dilakukan(ma ‘amilu) oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka) tiga kali .Perkataan “Ma ‘amilu”(Apa yang dilakukan oleh mereka) adalah amalan-amalan yang menyalahi hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya..
g. Ma barihu/Ma zalu Yarji‘un ‘ala a‘qabi-him (mereka sentiasa kembali kepada kekafiran) dua kali
h. Suhqan suhqan li-man baddala ba‘di (Jauh! Jauh! (daripada rahmat Allah)/ ke Nerakalah mereka yang telah mengganti/ mengubah/ menukar-hukum Tuhanku dan Sunnahku- selepasku) satu kali. Perkataan “Baddala” bererti mengganti/mengubah/menukar hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
Justeru itu sebab-sebab mereka menjadi kafir-murtad menurut al-Bukhari dan Muslim adalah kerana mereka:
(1) Ahdathu=Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
(2) ‘Amilu =Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
(3) Ghayyaru=Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
(4) Baddalu=Irtaddu/ yarji‘un ‘ala a‘qabi-him.
Ini bererti mereka yang telah mengubah hukum-Nya dan Sunnah Nabi-Nya dilaknati(mal‘unin). Lantaran itu sebarang justifikasi (tabrirat) seperti Maslahah, Masalihu l-Mursalah, Saddu dh-Dhara’i‘,Maqasidu sy-Syari‘ah‘, dan sebagainya bagi mengubah/menukar/menangguh/membatalkan sebahagian hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya adalah bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Saw.).Jika mereka terus melakukan sedemikian, maka mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (Saw.), malah mereka adalah Ahli anti Sunnah nabi (Saw.).
Sebab utama yang membawa mereka menjadi kafir-murtad (Irtaddu/La yazalun yarji‘un ‘ala a‘qabi-him) di dalan hadis-hadis tersebut adalah kerana mereka telah mengubah sebahagian hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya (baddalu wa ghayyaru) dengan melakukan berbagai bid‘ah (ahdathu) dan amalan-amalan (‘amilu) yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Saw.). Perkara yang sama akan berlaku kepada kita di abad ini jika kita melakukan perkara yang sama.Menurut al-Bukhari dan Muslim,hanya sebilangan kecil daripada mereka terselamat seperti bilangan unta yang tersesat/terbiar (mithlu hamali n-Na‘am) .Justeru itu konsep keadilan semua para sahabat yang diciptakan oleh Abu l-Hasan al-Asy‘ari (al-Asy‘ari, al-Ibanah, cairo,1958, hlm.12) dan dijadikan akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah adalah bertentangan dengan hadis-hadis tersebut.
Walau bagaimanapun hadis-hadis tersebut adalah bertepatan dengan firma-Nya di dalam Surah al-Saba’(34):131 “Dan sedikit daripada hamba-hambaKu yang bersyukur”, firman-Nya di dalam Surah Yusuf (12):103 “Dan kebanyakan manusia bukanlah orang-orang yang beriman, meskipun engkau harapkan”,dan firman-Nya di dalam Surah Sad (38):24 “Melainkan orang-orang yang beriman,dan beramal salih,tetapi sedikit (bilangan) mereka” Dia berfirman kepada Nuh di dalam Surah hud(11):40 “ Dan tiadalah beriman bersamanya melainkan sedikit sahaja.” Mukminun adalah sedikit.Justeru itu tidak hairanlah jika di kalangan Para sahabat ada yang telah mengubah Sunnah Nabi (Saw.), tidak meredhai keputusan yang dibuat oleh Nabi (Saw.) Malah mereka menuduh beliau melakukannya kerana kepentingan diri sendiri dan bukan kerana Allah (swt).
Al-Bukhari di dalam Sahihnya, Jilid IV, hlm. 47 bab al-Sabr ‘Ala al-Adha meriwayatkan bahawa al-A’masy telah memberitahu kami bahawa dia berkata:”Aku mendengar Syaqiq berkata: “Abdullah berkata:Suatu hari Nabi (Saw.) telah membahagikan-bahagikan sesuatu kepada para sahabatnya sebagaimana biasa dilakukannya. Tiba-tiba seorang Ansar mengkritiknya seraya berkata: “Sesungguhnya pembahagian ini bukanlah kerana Allah (swt). Akupun berkata kepadanya bahawa aku akan memberitahu Nabi (Saw.) mengenai kata-katanya. Akupun mendatangi beliau ketika itu beliau berada bersama para sahabatnya. Lalu aku memberitahukan beliau apa yang berlaku. Tiba-tiba mukanya berubah dan menjadi marah sehingga aku menyesal memberitahukannya. Kemudian beliau bersabda:”Musa disakiti lebih dari itu tetapi beliau bersabar.”.
Perhatikanlah bagaimana perlakuan (ma ‘amilu) sahabat terhadap Nabi (Saw.)! Tidakkah apa yang diucapkan oleh Nabi (Saw.) itu adalah wahyu? Tidakkah keputusan Nabi (Saw.) itu harus ditaati?Tetapi mereka tidak mentaatinya kerana mereka tidak mempercayai kemaksuman Nabi (Saw.).
Al-Bukhari di dalam Sahihnya, Jilid IV, Kitab al-Adab bab Man lam yuwajih al-Nas bi l-‘Itab berkata:”Aisyah berkata:Nabi (Saw.) pernah melakukan sesuatu kemudian membenarkan para sahabat untuk melakukannya. Tetapi sebahagian para sahabat tidak melakukannya. Kemudian berita ini sampai kepada Nabi (Saw.), maka beliau memberi khutbah memuji Allah kemudian bersabda:”Kenapa mereka menjauhi dari melakukannya perkara yang aku melakukannnya. Demi Allah, sesungguhnya aku lebih mengetahui dari mereka tentang Allah dan lebih takut kepadaNya dari mereka.”.
Al-Bukhari juga di dalam Sahihnya Jilid IV, hlm. 49 bab al-Tabassum wa al-Dhahak (senyum dan ketawa) meriwayatkan bahawa Anas bin Malik telah memberitahukan kami bahawa dia berkata:”Aku berjalan bersama Rasulullah (Saw.) di waktu itu beliau memakai burdah (pakaian) Najrani yang tebal. Tiba-tiba datang seorang Badwi lalu menarik pakaian Nabi (Saw.) dengan kuat.” Anas berkata:”Aku melihat kulit leher Nabi (Saw.) menjadi lebam akibat tarikan kuat yang dilakukan oleh Badwi tersebut. Kemudian dia (Badwi) berkata:Wahai Muhammad! Berikan kepadaku sebahagian dari harta Allah yang berada di sisi anda. Maka Nabi (Saw.) berpaling kepadanya dan ketawa lalu menyuruh sahabatnya supaya memberikan kepadanya.”.
Di kalangan mereka ada yang telah menghina Nabi (Saw.)dan mempersendakan Nabi (Saw.) dengan mengatakan bahawa Nabi (Saw.) “Sedang meracau” di hadapan Nabi (Saw.)“ Kitab Allah adalah cukup dan kami tidak perlu kepada Sunnah Nabi (Saw.)” .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) “Sunnah Nabi (Saw.) mendatangkan perselisihan dan pertengkaran kepada Umat [Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I , hlm.3]” “ Mereka telah mengepung dan membakar rumah anak perempuan Nabi (Saw.)Fatimah (a.s) dan berkata: “Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai’ah kepada Abu Bakar.”[Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida”,Tarikh, I, hlm. 156] merampas Fadak daripada Fatimah (a.s) yang telah diberikan kepadanya oleh Nabi (Saw.) semasa hidupnya(Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi, Balaghah al-Nisa’, II ,hlm.14;Umar Ridha Kahalah, A’lam al-Nisa’, III, hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm.79,92),menyakiti hati Fatimah, Ali, al-Hasan dan al-Husain,kerana Rasulullah (Saw.) bersabda “Siapa menyakiti Fatimah, dia menyakitiku, dan siapa menyakitiku ,dia menyakiti Allah” “Siapa menyakiti Ali, sesungguhnya dia menyakitiku,dan siapa yang menyakitiku, dia menyakiti Allah” “al-Hasan dan al-Husain kedua-dua mereka adalah pemuda Syurga” (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm.129-131 dan lain-lain).
Mereka telah membakar Sunnah Nabi (Saw.) (Ibn Sa’d, Tabaqat, V , hlm. 140), “ menghalang orang ramai dari meriwayatkan Sunnah Nabi (Saw.) ” [al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I ,hlm. 7], mengesyaki Nabi (Saw.) sama ada berada di atas kebenaran atau kebatilan [Muslim, Sahih, IV, hlm.12,14; al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111] , mengubah sebahagian hukum Allah dan sunnah Nabi (Saw.) (al-Suyuti,Tarikh al-Khulafa’ hlm.136).
Al-Bukhari meriwayatkan bahawa al-Musayyab berkata: Aku berjumpa al-Barra’ bin ‘Azib (r.a), lalu aku berkata: Alangkah beruntungnya anda kerana anda telah bersahabat (Sahabta) dengan Nabi (Saw.) dan membaiahnya di bawah pokok. Lantas dia menjawab: Wahai anak saudaraku! Sebenarnya anda tidak mengetahui apa yang kami lakukan (Ahdathna-hu) selepasnya (al-Bukari, Sahih, v, hlm.343 (Hadis no.488).
Kesemua hadis-hadis tersebut adalah menepati ayat al-Inqilab firman-Nya di dalam Surah Ali Imran (3): 144:”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang(murtad), maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur.” Dan bilangan yang sedikit sahaja yang “terselamat” adalah menepati firman-Nya di dalam Surah Saba’ (34): 13:”Dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang berterima kasih.”
Kesimpulan:
Kekafiran majoriti para sahabat selepas kewafatan Nabi (Saw.) sebagaimana dicatat oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam Sahih-Sahih mereka amat menakutkan sekali. Dan ianya menyalahi akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang menegaskan bahawa semua para sahabat adalah adil (kebal). Lantaran itu mana-mana Muslim sama ada dia seorang yang bergelar sahabat, tabi‘I, mufti, kadi dan kita sendiri,tidak boleh mengubah/ menannagguhkan/melanggar/ membatalkan mana-mana hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya dengan alasan Maqasidu sy-Syari‘ah, Maslahah, dan sebagainya.Kerana Allah dan Rasul-Nya tidak akan meridhai perbuatan tersebut.Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35)
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65)Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”(al-Ma ‘idah(5):44).
Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”(al-Ma ‘idah(5):45) Firman-Nya “Barang siapa yang tidak menghukum menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq”(al-Ma‘idah(5):47)
Dan firman-Nya “Barang siapa yang menentang Rasul,sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikut bukan jalan orang-orang Mukmin,maka kami biarkan dia memimpin dan kami memasukkan dia ke dalam nereka Jahannam.Itulah sejahat-jahat tempat kembali”(Al-Nisa ‘(4);115).
Semoga semua orang Islam sama ada sahabat atau tidak,dahulu dan sekarang,akan diampun dosa mereka dan dimasukkan ke dalam Syurga-Nya.Amin.
11. Membuang perkataan “Hayya ‘ala khairi l ‘amal ” di dalam azan dan iqamah, dan menambah “al-Salatu kharun mina-n-Naum” di dalam azan subuh.(al-Suyuti,Tarikh al-Khulafa’, hlm.137 dll.).Mereka melakukan Dua Syahadat bukan di dalam ertikata yang sebenar, kerana mereka menjadikan sunnah Abu Bakr dan sunnah Umar lebih tinggi dari hukum Allah dan Sunnah Muhammah (Saw.).Sementara Syi‘ah Ja‘fariyyah/Imam Dua Belas/Mazhab Ahlu l-Bait (a.s) Dua Syahadat di dalam ertikata yang sebenar.Mereka tidak menjadikan sunnah Abu Bakr dan Umar lebih tinggi dari hukum Allah dan Rasul-Nya dari segi pelaksanaan.
Sementara ungkapan “penyaksian mereka bahawa Ali adalah wali Allah” disebutkan di dalam azan dan iqamah oleh sebahagian Syi‘ah, mereka tidak menjadikannya sebahagian dari azan dan iqamah.Mereka menyebutnya kerana mengisytiharkan bahawa Ali adalah wali Allah”.Umpamanya Ayatullah al-Khoei tidak menyebutnya di dalam azan dan iqamah.Sementara Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah mempercayai azan dan iqamah yang mereka lakukan sekarang adalah azan dan iqamah Rasulullah (Saw.).Mereka kurang/tidak mengetahui bahawa azan/iqamah tersebut telah dibuang perkataan “Hayya ‘ala khairi l ‘amal” dan ditambah perkataan “As-Salatu kharun mina n-Naum” oleh khalifah Umar.Justeru itu Syahadat yang dilakukan oleh Syi‘ah adalah dua Syahadat di dalam sembahyang mereka.Hanya Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang tidak mengetahuinya.
12. Membuang /memperkecilkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para Imam Ahlu l-Bait sekalipun Mutawatir dan bertepatan dengan al-Qur’an.Dan menerima/memperbesarkan hadis hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sekalipun menyalahi al-Qur’an.
13. Menolak hukum-hukum al-Qur’an yang menyalahi sunnah Abu Bakr , Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah.
14. Menolak Sunnah Rasulullah yang menyalahi sunnah Abu Bakr , Umar,Uthman,danMu‘awiyah.
15. Menjadikan sunnah Abu Bakr, sunnah Umar, sunnah Uthman,dan sunnah Mu‘awiyah lebih tinggi dari al-Qur’an dari segi pelaksanaan .
16. Menjadikan sunnah Abu Bakr, sunnah Umar, sunnah Uthman,dan sunnah Mu‘awiyah lebih tinggi dari Sunnah Rasulullah (Saw.) dari segi pelaksanaan.
17. Memulih/memurnikan akidah mereka yang menolak sunnah Abu Bakr, Umar,Uthman dan Mu‘awiyah yang berlawanan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) sehingga mereka menolak hukum/ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.) dengan alasan maslahah, keselamatan negara,perpaduan dan sebagainya.Sepatutnya mereka yang menolak sebahagian hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya patut dipulih/dimurnikan akidah mereka sehingga mereka menolak sunnah Abu Bakr , Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah yang bertentangan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
18. Menjadikan berbagai-bagai istilah seperti Maslahah, Istihsan, masalihu l-Mursalah, Maqasidu sy-Syari‘ah, Saddu dh-Dhari‘ah,Ijtihad, Ijmak, Qiyas, dan lain-lain biasanya bagi membatal/menangguh/mengilak/ mengubah/ mengeliru/ menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.Orang ramai menerimanya,kerana kejahilan mereka.Sepatutnya istilah-istilah tersebut digunakan 100 peratus bagi mentaati hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya,tetapi apa yang berlaku adalah sebaliknya.
19. Mereka memusuhi orang yang menolak sunnah Abu Bakr,Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah yang menyalahi hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.Sebaliknya mencintai orang yang menolak hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya,tetapi menerima sunnah-sunnah mereka tersebut.
20. Mereka menjadikan sunnah Abu Bakr,Umar,Uthman,dan Mu‘awiyah yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya sebagai amal ibadat harian,bulanan,dan tahunan mereka bagi bertaqarrub kepada Allah (swt).Mereka meninggi diri dan berkata :inilah akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah;kumpulan yang berjaya (firqah Najiyah).Sementara kumpulan yang lain ke Neraka.
21. Mereka menggunakan perkataan al-Sunnah/Sunnah bagi menggambarkakan Sunnah Rasulullah (Saw.) sahaja, tetapi pada hakikatnya ia meliputi sunnah Abu Bakr, Umar,Uthman, dan Mu‘awiyah.Begitu juga mereka mengguna perkataan “Ahlu s-Sunnah” bagi mempamirkan kepada orang ramai bahawa apa yang mereka maksudkan dengan perkataan tersebut adalah “Ahlu s-Sunnah Rasulullah (Saw.) sahaja”;merekalah yang menjaga,dan pengamal Sunnah Rasulullah (Saw.)yang sebenarnya,tetapi pada hakikatmya ia meliputi sunnah Abu Bakr, Umar, Uthman, dan Mu‘awiyah yang menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya,dan merekalah pengamalnya.Orang ramai disebabkan kejahilan dan kefanatikan mereka,tidak dapat membezakan di antara Sunnah Rasulullah (Saw.) dan sunnah-sunnah mereka berempat.Lalu mereka mentaati sunnah-sunnah tersebut, dan menjadikanya ibadat bagi menghampiri diri kepada Allah (swt).
22. Mereka membenci/memulau/memisahkan orang yang yang ingin membezakan di antara Sunnah Rasulullah (Saw.) dan sunnah Abu Bakr, Umar, Uthman dan Mu‘awiyah.Kerana mereka khuatir orang ramai akan mengetahuinya, dan mungkin akan mentaati hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Justeru itu mereka akan menolak sunnah-sunnah mereka.Lantaran itu mereka popularkan hadis “Ikutlah Sunnahku dan sunnah khulafa’ Rasyidin selepasku” Mereka menjadi kesamaran,lalu mereka mengikuti sunnah-sunnah khalifah yang menyalahi hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasul-Nya.Kemudian mereka meredhainya dan beramal ibadat dengannya dan menjadikannya sebagai penilai kebenaran yang mengatasi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).Orang ramai menerimanya, kerana kejahilan dan kefanatikan mereka. Mereka berkata:Inilah akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah.Dan siapa yang menyalahi Akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah adalah sesat dan menyeleweng.Dengan mengguna polar pemikiran tersebut bahawa mereka yang mengikuti 100 peratus hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya dikira sesat dan menyeleweng oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah.
23. Mereka memuji dan memuja orang yang melebih-lebihkan sunnah Abu Bakr,Umar,Uthman,dan Mu‘awiah ke atas hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasul-Nya.Mereka melantik mereka kejawatan yang tinggi bagi menangguh/membatalkan sebahagian hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
B. Penyelewengan dari sudut Syari‘at (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).
1. Menerima ijmak ulama Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sahaja walau pun menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.Umpamanya mereka berijmak menyalahi firman-Nya “ Talak (yang dapat dirujukkan) dua kali” dengan menghukum bahawa talak tiga sekali gus jatuh tiga.Sedangkan di dalam al-Qur’an ia jatuh satu. Di dalam hadis juga jatuh satu.Khalifah Umar telah bertanya Rasulullah saw tentang talak tiga sekali gus:Jika ia menceraikan isterinya tiga kali sekali gus?Beliau bersabda:Anda telah mendurhakai Tuhan anda”(A‘lamu l-Muwaqqa‘in,iv,hlm.349)Justeru itu mereka telah menggunakan Ijmak (ulama Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah) bagi membatalkan hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasul-nya.Dan bukan untuk mentaati hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw sepenuhnya.Orang ramai menerimanya kerana kejahilan dan kefanatikan mereka.
2. Menerima Qiyas sekalipun menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.Bagaimana dikiaskan saksi kepada “pembunuhan” yang memerlukan dua saksi sementara saksi kepada “perzinayan” memerlukan kepada empat saksi.Manakah yang lebih berat pembunuhan atau perzinayan?Justeru itu Qiyas tidak boleh dijadikan sumber hukum.Dan sumber hukum pula tidak boleh menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.Kerana Allah dan Rasul-Nya tidak meredhainya. Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65)
3. Membiarkan perzinayan berlaku dengan memperketatkan syarat nikah yang tidak disyaratkan oleh Rasulullah saw firman-Nya “ Maka kahwinilah olehmu perempuan-perempuan yang baik hati, berdua, bertiga atau berempat orang” (Al-Nisa’(4):3).Kemudian mepermudahkan pencerian tanpa saksi sedangkan ia adalah syarat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw .Firman-Nya “ Dan persaksikanlah dengan dua saksi yang adil di antara kamu” ((al-Talaq(65):2),dan mengharamkan nikah Mut‘ah yang dihalalkan dan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, Umar, Umran bin Hasin, Ibn Juraij dan lain-lain.Ali a.s berkata: Jika Umar tidak melarangnya,nescaya tidak akan berzina melainkan orang yang celaka”. “Mereka memaafkan penzina-penzina mereka, tetapi mereka membunuh orang yang melakukan nikah mut‘ah”.
4. Menerima ‘Aul yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.Umarlah orang yang pertama mengenakan ‘Aul di dalam pesaka.(al-Suyuti,Tarikh al-Khulafa’,137).Lantaran itu,mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Rasulullah saw, malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar.Kerena mereka menghukum sesat/menyeleweng orang yang menolak ‘Aul yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.
5. Menjadikan pendapat Abu Bakr,Umar,Uthman dan Mu‘awiyah lebih tinggi daripada hukum Allah swt dan mentaati mereka pula sekalipun mereka menyalahi hukum Allah.Justeru itu,tidak hairanlah jika Imam Ali mengatakan “mereka” adalah berhala Quraisy.Kerana Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah mentaati sunnah mereka lebih dari mentaati hukum Allah . (al-Majlisi, Biharu l-Anwar, Bairut 1991, xxx ,hlm.393).
6.Menjadikan pendapat Abu Bakr Umar,Uthman dan Mu ‘awiyah lebih tinggi daripada Sunnah Rasulullah saw.Bererti mereka adalah seperti berhala Qurasy yang disembah.Kerana mereka mentaati mereka berempat lebih daripada Allah swt di dalam pelaksanaan hukum.Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah sanggup menolak hukum Allah daripada hukum mereka .Ini bererti orang yang menolak hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. (al-Majlisi, Biharu l-Anwar, Bairut 1991, xxx ,hlm.393). Firman-Nya“ Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah(hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).
Firman-Nya “Tidak,demi Tuhan,mereka tidak juga beriman sehingga mereka mengangkat engkau menjadi hakim untuk mengurus perselisihan di kalangan mereka,kemudian mereka tiada keberatan di dalam hati mereka menerima keputusan engkau,dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya”(Al-Nisa’(4):65).
7. Mereka mendakwa bahawa Rasulullah saw tidak mengumpul al-Qur’an. Hanya Abu Bakr,Umar dan Uthman yang mengumpul al-Qur’an yang ada sekarang.Uthman telah mnegambil mushaf Umar dan Umar mengambilnya daripada Abu Bakr.Penafian tersebut memberi implikasi bahawa Rasulullah saw adalah seorang yang cuai,tidak mementingkan umatnya sedangkan tiga khalifah selepas beliau telah mengumpulkan al-Qur’an.Apakah peranan Rasulullah saw sendiri tentang al-Qur’an?Mereka menganggap taraf tiga khalifah tersebut melebihi Rasulullah saw di dalam pengumpulan al-Qur’an sekalipun mereka menghalang penyibaran Sunnah Rasulullah saw dan membakarnya. (al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz,I,hlm.3 dll.] Lalu mereka mengamalkan sunnah-sunnah mereka serndiri. Kemudian mereka berkata :Rasulullah saw tidak meninggalkan wasiat.Lantarn itu,apa yang beliau tinggal?Justeru itu mereka menganggap tiga khalifah lebih tinggi daripada Rasulullah saw dari segi pelaksanaan hukum. Lalu mereka mengamalkan sunnah-sunnah mereka yang berlawanan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya .
C. Pelbagai Penyelewengan Umum
1. Menziarah kubur Rasulullah saw bukan sahaja tidak dapat pahala, malah ia adalah perbuatan syirik.Ianya bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw yang mengharuskannya (al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal,iii,hlm.78).Dan ia juga bertentangan dengan naluri manusia yang mencintai seseorang berterusan hingga ke kuburnya.
2. Bergembira/berfesta kerana keshahidan Husain bin Ali di Karbala’, malah menghina orang yang memperingati kesyahidannya.Kerana Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ahlah yang telah membunuhnya.Justeru itu mereka turut membenci mereka yang bersimpati dengannya.Sedangkan Rasulullah saw bersabda “ Husain adalah daripadaku dan aku adalah daripada Husain” (Muslim,Sahih,iv,hlm 1800)Ini bererti pembunuh Husain bin Ali a.s adalah pembunuh Rasulullah saw. Pembeci kepada Husain bin Ali a.s adalah pembenci kepada Rasulullah saw.Jika mereka berkata bahawa mereka mencintai Husain bin Ali a.s, kenapa mereka berada bersama musuhnya,membantu musuhnya dan mementang Syi ‘ah Husain bin Ali a.s?
3. Menghormati Abu Bakr,Umar, ‘Aisyah dan Hafsah sekalipun mereka menghina/mempersedakan /menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya dengan mengatakan bahawa Nabi (Saw.) “Sedang meracau” di hadapan Nabi saw sendiri“ Kitab Allah adalah cukup dan kami tidak perlu kepada Sunnah Nabi saw” .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) “Sunnah nabi (Saw.) mendatangkan perselisihan dan pertengkaran kepada Umat [Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I , hlm.3]” “ mereka telah mengepung dan membakar rumah anak perempuan Nabi (Saw.)Fatimah (a.s) dan berkata: “Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai’ah kepada Abu Bakar.”[Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida” ,Tarikh, I, hlm. 156] merampas Fadak daripada Fatimah (a.s) yang telah diberikan kepadanya oleh Nabi (Saw.) semasa hidupnya(Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi, Balaghah al-Nisa’, II ,hlm.14;Umar Ridha Kahalah, A’lam al-Nisa’, III, hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm.79,92),menyakiti hati Fatimah, Ali, al-Hasan dan al-Husain,kerana Rasulullah (Saw.) bersabda “Siapa menyakiti Fatimah, dia menyakitiku, dan siapa menyakitiku ,dia menyakiti Allah” “Siapa menyakiti Ali, sesungguhnya dia menyakitiku,dan siapa yang menyakitiku, dia menyakiti Allah” “al-Hasan dan al-Husain kedua-dua mereka adalah pemuda Syurga” (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm.129-131 dll).
4. Tidak mengharuskan jamak sembahyang di dalam semua keadaan Sekalipun al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw membenarkannya.Firman-Nya “Dirilah sembahyang dari gelincir matahari sehingga gelap malam” (al-Isra’(17):78)Ibn Abbas berkata: Rasulullah saw telah menjamak sembahyang Zuhr dan ‘Asr, maghrib dan ‘Isya’ secara berjama‘ah tanpa sakit atau musafir” (Muslim,Sahih,iii,hlm.254).Mereka memusuhi orang yang menjamak sembahyang, tetapi mereka memaafkan orang yang meninggalkan sembahyang dikalangan mereka.
5. Melakukan sembahyang Dhuha yang telah diharamkan oleh Rasulullah saw. ‘Aisyah berkata:Sesungguhnya Nabi saw tidak pernah sembahyang Dhuha.Abdullah bin Umar berkata:Sembahyang Dhuha adalah bid‘ah dari segala bid‘ah (Ahmad bin Hanbal,al-Musnad, ii, hlm. 129, al-Musnad, vi,hlm.30, Malik, al-Muwatta’,i ,hlm. 167) .Justeru itu,mereka yang menyeleweng /sesat adalah mereka melakukan sembahyang Dhuha dan bukan sebaliknya.
6. Membuang/membatalkan prinsip Khums untuk Ahlu l-Bait Rasulullah saw yang diwajibkan di dalam al-Qur’an, tetapi Khalifah Abu Bakar telah menghentikan pemberian khums kepada keluarga Rasulullah (Saw.).Kemudian sunnahnya diikuti oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah .Sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Anfal (8):41 “ Ketahuilah, apa yang kamu perolehi seperlima adalah untuk Allah,Rasul-Nya,Kerabat,anak-anak yatim,orang miskin,dan orang musafir” dan berlawanan dengan Sunnah Rasulullah (Saw.) yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat tersebut. [Lihat umpamanya al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ,II , hlm.127]. Lantaran itu mengamal ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw yang bertentangan dengan sunnnah Abu Bakr dan Umar dikira sesat dan menyeleweng oleh Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah dari Islam yang sebenar. Sepatutnya mereka yang yang membuang/membatalkan hukum Khums yang menyeleweng/sesat, bukan mereka yang mengamalkannya.Inilah ajaran Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang menyesatkan mereka yang menolak sunnah Abu Bakr dengan mematuhi al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Saw.).
7. Menjadikan Imamah dan khilafah soal yang kecil,dan tidak penting.Tetapi dari segi kenyataan mereka telah menjadikan jawatan khalifah seperti barangan yang perlu direbut.Siapa yang cepat,maka dialah yang dapat sekalipun dengan menggunakan kekerasan penipuan dan kezaliman.Mereka sanggup membunuh, berbohong kerana merebut jawatan tersebut.Hukum Allah dan Sunnah Rasulullah (Saw.) bukan menjadi pengukuranya.Justeru itu ianya menyalahi firman-Nya “Janganlah kamu cenderung kepada orang yang melakukan kezaliman, lantas kamu akan disambar oleh api neraka.Dan tidak ada bagimu wali selain daripada Allah,kemudian kamu tiada mendapat pertolongan” (Hud(11):113).
8. Menafikan taklif sembahyang ke atas orang kafir.Ini bererti mereka menolak firman-Nya “Apakah yang membuat kalian memasuki Saqar? Mereka menjawab:kami tidak termasuk mereka yang mengerjakan sembahyang” Itulah ucapan orang-orang kafir kepada Tuhan.Mereka tidak berkata:Kami kafir,kenapa bertanya kepada kami?.Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah mengingkari orang kafir ditaklifkan sembahyang, begitu juga dengan Haji.Justeru itu mereka bukan Ahlu s-Sunnah Rasulullah (Saw.), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr/Umar/Uthman /Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
9. Wajib membasuhi dua kaki dan tidak memadai menyapu kedua –dua kaki tersebut.Justeru itu mereka kurang mengetahui firman-Nya “…dan sapulah kepala kamu dan kaki kamu (Wa msa-hu bi-Ru’usi-kum wa arjula-kum/arjuli-kum)…” (al-Ma’idah(5):6) Huruf “al-Wau” dikaitkan dengan perkataan yang paling hampir kepadanya.Imam Ali Ridha berkata:Bukti dua basuh dan dua sapu adalah jelas di dalam Tayammum.Kerana Tayammum dilakukan ditempat basuh.Dan tidak dilakukan di tempat sapu(Wasa’il al-Syi‘ah ii,hlm.127dll).
Imam Khomeini dan Persatuan Islam.
“Hari ini, keamanan dunia adalah sedemikian rupa sehingga semua negara berada di bawah pengaruh politik negara kuasa besar, mereka memantau kawalan di semua negara dan mempunyai skim untuk mengalahkan setiap kumpulan yang menentang mereka. Hasil kerja mereka yang kerap dapat kita sedari ialah menyebarkan perselisihan di antara saudara-saudara seagama Islam.
Muslim harus berjaga, umat Islam harus sentiasa waspada bahawa jika berlaku perselisihan antara Sunni dan Syiah bersaudara, ini berbahaya bagi kita semua, ini berbahaya bagi semua Muslim. Mereka yang menabur fitnah bukanlah dari kalangan Sunni atau Syiah, tetapi mereka adalah agen-agen dari negara kuasa besar dan bekerja untuk mereka.
Mereka yang berusaha untuk menyebabkan perselisihan di antara kami, saudara-saudara Sunni dan Syiah adalah orang-orang yang bersubahat untuk musuh-musuh Islam dan menginginkan kemenangan musuh-musuh Islam ke atas kaum Muslim. Mereka adalah penyokong Amerika dan beberapa penyokong Kesatuan Soviet.
Saya berharap bahawa dengan mempertimbangkan ajaran Islam ini – iaitu bahawa semua muslim adalah bersaudara – semua negara-negara Islam akan menang di dalam usaha mereka melawan kuasa-kuasa jahat ini dan berjaya dalam mewujudkan semua tata cara Islam.
Muslim adalah bersaudara dan tidak akan dipisahkan melalui propaganda yang ditaja oleh elemen-elemen korup. Sumber dari masalah ini – bahawa Syi’ah harus berada pada satu sisi dan Sunni di sisi lain – adalah satu sisi kebodohan dan di sisi lain ianyaadalah sebuah propaganda asing untuk memecahbelahkan umat Islam.
Jika perasaan persaudaraan antara umat Islam datang ke permukaan di antara semua negara-negara Islam,maka ia akan menjadi sebuah kekuatan besar yang tidak ada kekuatan global yang akan mampu mengatasinya.
Saudara-saudara Syi’ah dan Sunni harus mengelak dari setiap jenis pertikaian. Hari ini, perpecahan di antara kita hanya akan menguntungkan orang-orang yang tidak mengikuti Shi’iah atau Hanafi. Mereka tidak mahu ini atau itu ada, dan tahu cara untuk menabur perselisihan antara anda dan kami. Kita harus memikirkan bahawa kita semua adalah Muslim dan kita semua percaya dalam Al-Quran; kita semua mempercayai dalam Tauhid dan harus bekerja untuk melayani kehendak Al-Quran dan tauhid pada Allah swt. “.
(Syiahali/Dialog-Sunnah-Syiah/Sunni-Syiah/Al-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email