Pesan Rahbar

Home » » Mengapa Saudi Membenci Iran?

Mengapa Saudi Membenci Iran?

Written By Unknown on Friday 14 November 2014 | 16:07:00


Sebut saja, misalnya, para pajabat Saudi yang secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap sanksi ekonomi dan politik yang dilakukan negara-negara barat terhadap Iran.

Para pejabat Saudi bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa sasaran utama mereka dalam melibatkan diri dalam konflik di Suriah bukanlah pemerintahan Bashar al Assad, melainkan Iran yang merupakan sekutu stategis Suriah.

Dalam satu wawancara dengan media Amerika New York Times pada bulan Desember 2013 lalu, Dubes Saudi untuk Inggris Mohammed bin Nawaf bin Abdulaziz al Saud bahkan secara membabi buta dan tanpa disertai bukti apapun menuduh Iran telah “mendanai dan melatih milisia-milisia Irak, teroris Hizbollah Lebanon, dan para militan Bahrain dan Yaman.”

Hal ini tentu sangat ironis, mengingat bahwa Saudi Arabia-lah yang telah dikenal luas sebagai pendukung kelompok-kelompok teroris seperti al-Qaeda, Jabhat al Nusra, dan ISIS, sebagaimana juga diktator Al Khalifa di Bahrain.


Menurut analisis politik Finian Cunningham dalam tulisannya di Press TV beberapa hari lalu berjudul “Why House of Saud fears/hates Iran?”, kebencian Saudi kepada Iran adalah bentuk kebencian yang akut.
Lalu, mengapa demikian?

Menurut Cunningham, jawaban singkatnya adalah “self-preservation” atau jaga diri. Namun sebenarnya setidaknhya ada 3 alasan spesifik tentang hal ini.

Pertama adalah agama. Agama resmi Saudi Arabia adalah Wahhabism. Dalam pendangan agama ini Syiah dipandang sebagai sebuah “penyimpangan yang tidak bisa ditolerir”. Menurut mereka, Syiah lebih buruk daripada “kafir”, yang biasa mereka tuduhkan tidak saja kepada orang-orang non-Muslim, namun juga kepada penganut Islam non-Wahabi. Padahal status “kafir” sendiri sudah cukup membuat seseorang dijatuhi hukuman berat hingga hukuman mati. Secara historis Iran merupakan pusat dari agama Syiah, dan karenanya menjadi pusat kebencian Saudi.

Faktor kedua, menurut Cunningham, adalah Revolusi Islam Iran tahun 1979. Kebernasilan sebuah “revolusi rakyat” terhadap penguasa kerajaan yang otoriter tentu menjadi model yang sangat dibenci Saudi. Saudi, sebagaimana rezim Shah Reza Pahlevi, adalah model pemerintahan kerajaan yang otoriter. Maka Revolusi Iran dianggap menjadi ancaman serius yang suatu saat dapat menjungkalkan rezim Saudi. Tidaklah mengherankan jika Saudi menjadi pendukung utama Irak saat negara ini menyerbu Iran tahun 1980 dan menandatangani pakta pertahanan bersama negara-negara kerajaan di kawasan Teluk Parsi, yaitu Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman dan Uni Emirat Arab.

Tentu saja kebencian Saudi terhadap Iran makin kuat setelah terjadinya Revolusi Iran. Model negara ideal, perpaduan antara demokrasi barat pemerintahan Islam dengan kepemimpinan tertinggi di tangan para ulama, membuat pemerintahan Saudi sebagai model yang ketinggalan jaman. Dan semakin kuatnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah, semakin besar pula kebencian Saudi terhadapnya, sebagaimana diekspresikan oleh Dubes Saudi untuk Inggris di atas.

Adapun faktor ketiga adalah ekonomi. Dari 12 anggota organisasi produsen minyak bumi OPEC, 3 produsen terbesarnya adalah Saudi, disusul Irak dadn Iran. Iran memang tertinggal dibandingkan Saudi dalam hal produksi minyak. Namun Iran memiliki sumber energi potensial lainnya yang kemudian menjadi ancaman hegemoni Saudi, yaitu gas alam.

Gas alam merupakan sumber energi utama masa depan. Lebih efisien menghasilkan energi, lebih mudah dialirkan dengan jaringana pipa, dan lebih dari itu ramah lingkungan karena gas alam sangat sedikit menimbulkan residu pembakaran sebagaimana minyak fosil.

Para ahli memperkirakan Iran adalah pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia. Jika hubungan perdagangan dan ekonomi Iran pulih kembali setelah dicabutnya sanksi-sanksi ekonomi oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, tidak diragukan lagi Iran bakal menjadi kekuatan energi raksasa dunia mengalahkan Saudi.

Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi Saudi yang selama ini menggunakan kekuatan energinya untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan dan di antara negara-negara Islam di dunia. Jika kekuatan energi Iran meningkat dan melampaui Saudi, maka otomatis pengaruh Saudi pun akan bergeser menjadi milik Iran.

Atas alasan itulah, maka Saudi dengan segala daya berupaya agar sanksi ekonomi terhadap Iran tetap dipertahankan. Saudi kini hidup dalam “masa pinjaman”. Cepat atau lambat sumber minyak Saudi akan mengering sementara gas alam Iran justru semakin membuncah. Dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi dan suara-suara ketidak puasan di kalangan masyarakat yang semakin garang digaungkan, penguasa Saudi merasa, masa depan mereka berada dalam ancaman serius.

Namun bukannya mencari cara cerdas untuk mengatasi ancaman tersebut, penguasa Saudi justru melampiaskan semua ketakutan mereka dengan memupuk kebencian terhadap Iran.

Sampai sejauh ini Saudi masih bisa bertahan karena dukungan Amerika yang selama ini pun menikmati keuntungan besar dari produksi minyak Saudi. Namun, setidaknya Amerika pun telah mulai menyadari, bahwa mengandalkan Saudi sebagai mitra strategis adalah membahayakan Amerika sendiri. Dan kini, tanda-tanda Amerika mulai meninggalkan sekutu utamanya di Timur Tengah setelah Israel itu, telah terlihat nyata. Dalam konflik Suriah, misalnya, Amerika sama sekali tidak meminta pendapat Saudi untuk membatalkan rencana serangan militernya, serta keputusan untuk memerangi kelompok-kelompok pemberontak terkait Al Qaida yang selama ini menjadi agen kepentingan kedua negara.

Sebaliknya terhadap Iran, dunia kini menyaksikan bagaimana Amerika berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan Iran.

(LiputanIslam/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: