Pesan Rahbar

Home » » Berdoa Dan Makna Dalam Islam

Berdoa Dan Makna Dalam Islam

Written By Unknown on Sunday, 21 December 2014 | 20:19:00


Oleh: Mustofa Bisri

Anda pernah berdo’a? Sebagai orang yang beriman, pastilah Anda, bukan hanya pernah, tapi sering berdo’a. bahkan boleh jadi do’a sudah merupakan ‘pekerjaan’ rutin.

Lalu apa saja yang Anda baca dalam berdo’a? Atau permohonan apa sajakah yang bisa Anda panjatkan? Mohon selamat? Rezeki? Masuk surga? Dihindari dari api neraka? Bahagia dunia akhirat?

Pernahkah Anda berdo’a secara khusus kepada Allah sehubungan dengan kepentingan yang mendesak? Ditagih utang kanan-kiri, misalnya? Bagaimana pengalaman Anda selama ini; berapakah prosentase do’a Anda yang makbul?

Memang, disamping membaca Al-Qur’an, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah merupakan suatu amalan yang sangat dianjurkan terutama dalam bulan suci Ramadhan.

Berdo’a, selain merupakan salah satu ibadat yang dipujikan, adalah sarana kita untuk memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Memiliki dan Mahamurah. Allah berfirman dalam kitab sucinya, “Ud’uunil astajib lakum” (Berdo’alah kamu kepada-ku, maka Aku akan mengabulkan untukmu.”) (Q.s. 40: 60).

Berdo’a, secara langsung atau tidak, juga bisa berarti pengakuan hamba akan kelemahannya dihadapan Tuhan Penciptanya.

Kalau dikalangan sufi banyak yang menolak berdo’a – karena bagi mereka, berdo’a sama saja dengan meragukan pengetahuan Tuhan terhadap hajat dan aspirasi hamba-hambaNya – bagi kita berdo’a justru merupakan tradisi misal yang luar biasa. Boleh jadi karena umumnya kita ini banyak mempunyai kepentingan dan keinginan – sedangkan tangan kita untuk meraihnya terbatas – berdo’a lalu menjadi amalan ibadat favorit. Apalagi dijaman yang tidak semakin menjanjikan terpuasinya aspirasi ini. Lihatlah, dimana-mana orang berdo’a. tidak hanya sendiri-sendiri. Seringkali beramai-ramai seperti ‘mendemonstrasi’ Tuhan saja. Mulai dari memohon hujan; memohon selamat dari banjir dan bencana alam; memohon kemenangan tim olah raga yang kurang latihan; memohon agar jagonya jadi lagi; hingga ber-istighatsah memohon agar organisasinya tidak digoyang OTB, organisasi tanpa bentuk.

(Cara berdo’a pun macam-macam. Do’a yang bersifat instansional biasanya juga dengan gaya bahasa laporan dinas atau laporan komendan kepada inspektur upacara; misalnya begini, “Ya Allah ya Tuhan kami; hari ini kami semua berkumpul di bangunan yang baru saja selesai dengan biaya… untuk melepas kontingen olah raga kami yang akan berjuang membela nama baik tanah air kami ke negeri orang. Ya Tuhan, berilah kemenangan kepada mereka, sehingga mereka dapat meraih medali sebanyak-banyaknya atas ridho-Mu ya Allah…” Atau begini, “Ya Allah ya Tuhan kami; hari ini kami memperingati hari ulang tahun organisasi kami….dan seterusnya.: atau, “Ya Allah ya Tuhan kami dalam pemilu yang akan dating….dan seterusnya.” Atau….).

Pertanyaan penting yang sering mengusik kemudian ialah: kita ini sudah berdo’a sekian lama – minta ini minta itu untuk diri kita sendiri atau untuk kepentingan umum – namun kok sepertinya tak ada tanda-tanda do’a kita dikabulkan-Nya? Bahkan kita sudah berdo’a di saat-saat suci, ketika berpuasa, seperti sekarang ini dan tampaknya do’a kita hanya seperti angin lalu saja.

Apakah etika berdo’a kita yang belum benar sehingga Allah belum berkenan mendengarkan do’a kita, atau bagaimana? Atau seperti kata ulama yang cukup menghibur itu: setiap do’a pasti dikabulkan, cuma kapan dan berupa apa hanya Allah sendiri yang menentukan dan mengetahuiNya.

Wallahu a’lam.


Orang-orang Bashrah (Irak) tempo deoloe pernah mengajukan pertanyaan seperti itu kepada zahid mereka yang terkenal, Ibrahim bin Adham (hidup sekitar abad VIII Masehi) dan apa jawabannya? Tokoh sufi itu menjawab, “Itu disebabkan karena hati kalian mati dalam sepuluh hal:

(1) Kalian mengenal Allah, tapi tidak menunaikan hak-hak-Nya;

(2) Kalian membaca kitab Allah, tapi tidak mengamalkannya;

(3) Kalian mengaku mencintai Rasul Allah saw, tapi tidak mengikuti sunnahnya;

(4) Kalian mengaku membenci setan, tapi selalu menyetujuinya;

(5) Kalian yakin mati itu pasti, tapi tak pernah mempersiapkannya;

(6) Kalian bilang takut neraka, tapi terus membiarkan diri kalian ke sana;

(7) Kalian bilang mendambagan surga, tapi tak pernah beramal untuknya;

(8) Kalian sibuk dengan aib-aib orang lain dan mengabaikan aib-aib kalian sendiri;

(9) Kalian menikmati anugerah-anugerah tuhan, tapi tidak mensyukurinya;

(10) Kalian setiap kali mengubur jenazah-jenazah, tapi tak pernah mengambil pelajaran darinya.”.


Nah, apakah jawaban Ibrahim bin Adham ini ada gunanya buat Anda yang suka berdo’a? Selamat berdo’a!

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: