Pesan Rahbar

Home » » Memahami Perenialisme Frithjof Schuon

Memahami Perenialisme Frithjof Schuon

Written By Unknown on Wednesday, 31 December 2014 | 12:21:00


Menyebut nama Frithjof Schuon selalu dikaitkan dengan gagasannya yang tertuang dalam buku fenomenalnya: ‘The Transcendent Unity Of Religions’. Sebuah buku yang dijadikan rujukan layaknya kitab suci oleh para penganut faham pluralisme agama.

Pluralisme adalah sebuah faham tentang pluralitas. Sedang Pluralisme Agama adalah jalan kepercayaan yang berbeda menuju kesempurnaan yang sama. Tak ada satu agamapun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar. Klaim kebenaran atas agama merupakan sumber konflik antar umat beragama yang akan melahirkan sikap anti pluralitas dan anti toleransi. Frithjof Schuon adalah salah satu tokoh yang dianggap ‘Nabi’-nya para kaum pluralis.


Latar Belakang Kehidupannya

Frithjof Schuon dilahirkan di Basle, Swiss pada 18 Juni 1907. Dari keturunan ayah berdarah Jerman, dan ibu berasal dari Asaltia. Saat Schuon belia, ayahnya meninggal dunia. Schuon kecil hijrah bersama ibunya ke Mulhouse, Perancis. Tatkala menginjak usia 16 th, Schuon telah melalap karya Rene Guenon sang pelopor Filsafat Abadi: “Orient et Occident”, selain mengkaji karya-karya Plato. Lantaran terobsesi oleh pemikiran Rene Guenon, ia memberanikan diri berkorespondensi dengan tokoh panutannya tersebut selama hampir 20 tahun lamanya.

Rene Guenon ternyata adalah murid dari Gerard Encausse yang lebih dikenal dengan sebutan Papus, seorang Freemason yang mendirikan “Free School Of Hermetic Scienes” yang mengkaji ilmu mistis. Lewat ajaran Rene Guenon yang aktif menggelar seminar, konggres, diskusi tentang mistis dan freemasonry di Paris. Frithjof Schuon menjadi mahfum tentang hikmah tradisional, simbolisme, ritual dan kebenaran abadi yang terkandung pada tradisi agama.

Setelah menetap di Paris manakala menjalani Wajib Militer, Schuon sekaligus mencoba menjadi desainer tekstil. Pada suatu kesempatan di salah satu masjid di Paris, Schuon mempelajari bahasa arab. Tahun 1931 ia berkelana hingga ke Aljazair, di sana bertemu dengan seorang sufi yang bernama Syaikh Ahmad Al Alawi. Pengembaraannya dilanjutkan ke Afrika Utara hingga ke timur sampai ke India. Di tempat-tempat tersebut Schuon berjumpa dengan tokoh sufi Islam, Hindu dan Buddha. Akhirnya pada tahun 1938 Schuon bertemu dengan mahaguru spiritual idolanya: Rene Guenon di Mesir, pada momen itulah terjadi transfer ilmu dari guru kepada muridnya secara langsung.

Tahun 1939 saat perang dunia ke II meletus, Schuon kembali mengikuti Wajib Militer. Ia tertangkap oleh pasukan Jerman, nasib baik masih berpihak padanya, Ia berhasil melarikan diri dan mencari suaka politik ke Swiss. Di negara inilah Frithjof Schuon menelorkan karyanya berupa buku-buku dan puisi bernafaskan spiritual. Schuon mempelajari prinsip-prinsip metafisika tradisional serta mengeksplorasi dimensi esoteris agama.

Pada tahun 1939, perkenalannya dengan gadis pelukis berdarah Jerman-Swiss mengantarkannya sampai ke gerbang pelaminan. Sepasang suami istri tersebut mempunyai cita rasa sama untuk mendalami prinsip metafisika tradisional. Perjalanan spiritual mereka lakukan hingga ke berbagai belahan dunia sampai ke Amerika. Dari beberapa kunjunganya ke Amerika, mereka meneliti kehidupan suku Indian Crow. Ajaran tentang ritual ibadah dan falsafah hidup suku Crow mereka jalani dengan serius. Mulai saat itulah Schuon berminat menggali Hikmah Kuno (Ancient Wisdom). Setelah menjalani passing over, dari satu agama ke agama lain, sampai suatu saat Schuon memeluk Islam, dan dikenal dengan nama: Isa Nuruddin Ahmad Al Shadili Al Darquwi al Alawi Al Maryami. Ia menjadi seorang yang tersohor dalam bidang religio perennis (agama abadi).


Paradigma Pemikirannya

Menurut perspektif Frithjof Schuon, intisari agama adalah “a common ground” meski hukum, dogma, ritual dari agama-agama tersebut berbeda. Schuon memaparkan teori bahwa dalam ego manusia terdapat entitas: badan (body), otak (brain) dan hati (heart), yang masing-masing diasosiasikan pada fisik, fikiran dan intelek. Bila dihubungkan dengan realitas, intelek bisa diasosiasikan dengan esensi Tuhan dan langit. Fikiran dan badan di bawah kendali intelek. Hal ini lebih disebabkan karena intelek adalah the centre of human being yang berada dalam hati. Di dunia fisik, intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Melalui intuisi manusia berusaha memahami kebenaran, sedang intelek dasar dari intuisi.


Dimensi Eksoterik dan Esoterik

Schuon berargumen di dalam agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik yang bisa digali lewat intelektualitas. Agama-agama bertemu pada level esoterik bukan eksoterik. Eksoterik adalah aspek eksternal, dogmatis, ritual, etika dan moral suatu agama. Eksoterik berada pada maya, kosmos yang tercipta. Menurut paradigma eksoterik, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan sebagai Esensi. Sejatinya Eksoterik berada dalam maya yang relatif dalam hubungannya dengan atma. Frithjof Schuon memaparkan gagasannya bahwa falsafah eksoterik mempunyai keharusan mutlak bagi keselamatan individu. Inti dari eksoterik adalah kepercayaan pada dogma eksklusifistik dan kepatuhan pada hukum ritual dan moral. Eksoterisme muncul dari Tuhan. Esoterik adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Melalui esoterisme manusia menemukan dirinya yang benar, yang diimpilkasikan dengan nilai-nilai ketuhanan. Esensi dari esoterisme adalah kebenaran total yang tidak teredusir pada eksoterisme yang mempunyai keterbatasan.

Pandangan Schuon tentang formulasi kesamaan agama dalam level esoterik adalah hasil interaksi dengan para tokoh freemasonry dan theosofi yamg merelevansikan agama mistis, yahudi dan hikmah kuno ke zaman modern.

Ajaran Schuon dikembangkan hingga mendapatkan pengakuan ilmiah yang setaraf dengan filsafat modern oleh Sayyed Hossen Nasr dalam karyanya: Knowledge and the sacred. Dalam buku Islam and the perennial philosophy, Schuon melukiskan kenyataan sejarah bahwa St. John dari Damaskus membela agamanya dengan tegar meski memegang tampuk jabatan dalam kekhalifahan Umawiyah.

Kesimpulan dari hal ini menunjukkan bahwa yang mutlak atau absolut baik dalam Islam maupun agama lainnya adalah dimensi esoterik, sedangkan dimensi eksoterik harus relatif berkoeksistensi dengan agama besar yang lain.

Schuon memperoleh pencerahan dari seorang lelaki dari Marabaout. Lelaki tersebut menggambar sebuah lingkaran di tanah dan membuat titik pusat di lingkaran tersebut. Hal ini merupakan manisfestasi dari Tuhan yang berada di pusat, dan seluruh jalan menuju padaNya.

Filosofi ini mengispirasi bapak Pluralisme agama: Nurcholish Majid dalam memaparkan gagasannya. Ibarat roda, pusat roda adalah Tuhan dan jari-jarinya adalah jalan berbagai agama. Oleh sebab itu satu agama berbeda dengan yang lain pada level eksoterik, relatif sama pada level esoterik. Bisa diartikan satu Tuhan banyak jalan.

Pada galibnya, berawal dari pemikiran Rene Guenon yang diamini oleh Frithjof Schuon, gagasan pluralisme mendapatkan ruhnya. Falsafah keliru tersebut, saat ini diyakini kaum pluralis sebagai sebuah pandangan hidup.

Pada tahun 1998, Schuon meninggal dunia namun faham sesat yang disebarkannya yakni doktrin pluralisme agama semakin diminati kaum pluralis sebagai suatu konsep dalam kehidupan beragama. Gagasan tersebut sejatinya adalah faham yang gagal memahami perbedaan partikularitas dan hakikat tentang sesuatu. Menurut pandangan kaum pluralis agama ibarat manifestasi eksternal yang beragam dari satu hakikat yang sama, jalan yang beragam menuju puncak yang sama. Semua agama adalah sama dan setara pada kebenaran relatif.

Menurut perpektif Islam, solusi dari masalah tersebut terletak pada identitas keagamaan, pemberdayaan hubungan antar-agama, serta tidak menafikkan terhadap peran agama. Sejatinya pluralisme agama adalah agenda besar dari ideologi sekularisasi dan globalisasi. Dan kelompok elitis Freemasonry berperan aktif di balik wacana pluralisme agama.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: