Pesan Rahbar

Home » » Citra Yesus dalam Pandangan Islam Sunni

Citra Yesus dalam Pandangan Islam Sunni

Written By Unknown on Friday, 2 January 2015 | 03:58:00

Yesus Kristus

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum bagi semua umat Islam, salah satu pilar atau soko-guru doktrin Islam adalah percaya kepada semua nabi/rasul yang datang sebelum Nabi Muhammad, serta semua kitab suci yang diterima oleh para nabi terdahulu. Oleh karena itu, kedudukan nabi-nabi sebelum Muhammad sangat penting dalam Islam. Sekurang-kurangnya ada lima nabi yang dianggap istimewa dalam Islam karena perjuangan mereka dalam menegakkan doktrin monoteisme atau tauhid, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi Muhammad sendiri. Kelima nabi itu disebut sebagai “ulu ‘l-azmi”, artinya mereka yang memiliki keteguhan dalam membawa pesan profetik dan kerasulan.

Di antara empat nabi sebelum Muhammad, kedudukan Nabi Isa atau Yesus sangat menonjol dalam Islam, terutama dalam apa yang disebut sebagai tradisi kesalehan (piety). Pandangan Islam mengenai Yesus tentu pertama-tama dibentuk melalui Qur’an dan tradisi kenabian (hadith). Dalam Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang menggambarkan figur Yesus serta keajaiban (mu’jizat) yang ia peragakan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Ada sejumlah keajaiban Yesus yang disebut oleh Qur’an dan paralel dengan apa yang digambarkan dalam Perjanjian Baru atau Injil, tetapi ada pula keajaiban yang disebut Qur’an tetapi tak ditemui dalam kitab suci umat Kristen itu. Dalam Qur’an juga terdapat sebuah bab atau surah yang dinamakan Maryam atau Maria, yakni ibu Yesus. Ini memperlihatkan betapa besar respek dan penghormatan yang diberikan oleh Islam kepada agama Kristen serta figur-figurnya. Dalam surah Maryam ini kita jumpai kisah yang agak panjang mengenai kelahiran Yesus.

Sekedar selingan: Jika Qur’an menaruh respek yang begitu tinggi pada Yesus dan Maria, tentu tak ada salahnya jika umat Islam melakukan hal yang sama pula dengan cara memberikan ucapan selamat kepada umat Kristiani pada saat hari raya Natal sebagai bentuk penghormatan pada Yesus, nabi yang memiliki kedudukan khusus dalam Qur’an itu.

Tetapi, citra mengenai Yesus dalam Islam tidaklah semata-mata dibentuk melalui Qur’an dan hadis, tetapi lebih penting lagi adalah melalui proses pelan-pelan yang memakan waktu panjang di mana umat Islam mengalami perjumpaan langsung dengan umat Kristen di daerah-daerah yang mereka taklukkan, seperti Syam, Irak, Mesir, dan daerah Maghrib. Keempat kawasan itu bisa kita sebut sebagai wilayah Kristen yang sekaligus juga mewarisi peradaban Yunani. Ekspansi kekuasaan politik Islam ke wilayah-wilayah itu membuat umat Islam mengenal langsung dari dekat agama Kristen dengan pelbagai sekte dan denominasinya. Perjumpaan ini mengenalkan kepada mereka sejumlah aspek dalam ajaran Kristen yang tak mereka jumpai dalam Qur’an. Salah satu hasil dari perjumpaan ini adalah munculnya figur Yesus sebagai tokoh penting, terutama dalam tradisi pietisme yang dikenal dengan tasawwuf atau zuhud.

Kalangan mistik Islam banyak sekali mengutip ucapan-ucapan atau tindakan Yesus sebagai contoh dari praktek kesalehan. Salah satu studi yang menarik mengenai citra Yesus dalam Islam ini dilakukan oleh Prof. Tarif Khalidi dalam bukunya, “The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature” yang terbit pada 2001. Dalam buku ini, Prof. Khalidi mencoba melacak perkembangan figur Yesus dalam sejarah Islam, dan bagaimana umat Islam, terutama pada masa-masa awal Islam, mengembangkan suatu citra tertentu mengenai Yesus. Studi ini sangat menarik karena umat Islam, terutama kalangan yang menekankan praktek pietisme atau kesalehan, memberikan tempat yang khusus pada figur Yesus. Ada 303 ucapan dan tindakan Yesus yang dikutip dan disebut dalam sejumlah karya para sarjana Islam. Dari tradisi semacam ini, Prof. Khalidi mencoba menggambarkan figur Yesus versi Islam, atau apa yang ia sebut sebagai “The Muslim Jesus”. Dalam studi ini pula, bahkan Prof. Khalidi mengemukakan sebuah pengamatan yang menarik, yakni munculnya apa yang ia sebut sebagai “the Muslim Bible”, atau Injil versi Islam.

Studi Prof. Khalidi ini penting sekali untuk menunjukkan bahwa “dialog Islam dan Kristen” secara sembunyi-sembunyi sudah berlangsung sejak masa perdana Islam. Apresiasi umat Islam atas agama Kristen, terutama melalui figur Yesus, sudah berkembang sejak awal di luar tradisi yang dibangun oleh Qur’an sendiri.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengutip sejumlah ucapan dan kisah tentang Yesus yang beredar di kalangan Islam, sebagaimana diulas dengan panjang lebar oleh Prof. Khalidi. Apa yang saya tulis ini bersumber sepenuhnya dari buku Prof. Khalidi di atas. Di sana-sini, tentu saya memberikan interpretasi dan keterangan saya sendiri yang tak ada dalam buku itu.

(1) Yesus pernah melihat seseorang yang mencuri. Ia bertanya kepada orang itu, “Apakah kamu pernah mencuri?” Orang itu menjawab, “Sama sekali tak pernah! Saya bersumpah demi Dia yang tak seorang pun layak disembah kecuali Dia.” Yesus kemudian berkata, “Aku percaya kepada Tuhan dan membohongkan mataku.”

Kisah ini termuat dalam Sahifat Hammam ibn Munabbih karya Hammam ibn Munabbih (w. 748 M). Hammam ibn Munabbih adalah saudara kandung dari Wahb ibn Munabbih, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi) terkenal asal Yaman yang dianggap sebagai sumber penting berkenaan dengan kisah-kisah Isra’iliyyat, yaitu kisah yang berkenaan dengan agama Kristen dan Yahudi. Perlu diketahui bahwa umat Islam memperoleh informasi mengenai agama Yahudi dan Kristen melalui banyak sumber, terutama sumber-sumber ekstra-Qur’anik, sebab Qur’an sendiri tak memuat keterangan yang detil mengenai dua agama itu. Salah satu sumber itu adalah orang-orang “mu’allaf”, yakni orang Yahudi atau Kristen yang masuk Islam seperti Wahb ibn Munabbih dan saudaranya, Hammam ibn Munabbih, itu. Sahifat Hammam ibn Munabbih dianggap sebagai salah satu karya awal yang memuat koleksi mengenai hadis dan athar. Bahwa ucapan Yesus ini dimuat dalam sebuah karya semacam ini memperlihatkan bahwa umat Islam sudah bersentuhan dengan tradisi Yudeo-Kristiani sejak dini. Tentu juga menarik untuk dicatat bahwa ucapan Yesus ini diinkorporasi atau dimasukkan dalam sebuah “sahifah” atau koleksi hadis–memperlihatkan bahwa Yesus menjadi sumber normatif dalam Islam.

(2) Jibril bertemu dengan Yesus lalu mengucapkan salam kepadanya, “Semoga kedamaian ada pada kamu, wahai Roh Tuhan.” “Dan kedamaian juga semoga ada pada kamu, wahai Roh Tuhan,” jawab Yesus. Kemudian Yesus bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, kapankah Waktu (maksudnya hari kiamat) tiba?” Sayap Jibril berkepak dan ia kemudian menjawab, “Orang yang ditanya (maksudnya dirinya sendiri, yakni Jibril) tak tahu lebih banyak mengenai masalah ini ketimbang yang bertanya (maksudnya Yesus). Kiamat telah memberat di langit dan bumi; ia akan datang kepadamu secara tiba-tiba.” Atau Jibril mengatakan, “Hanyalah Tuhan yang akan menyingkapkan (rahasia) kiamat itu pada saatnya tiba.”

Kisah ini termuat dalam buku karya Abdullah ibn al-Mubarak (w. 797), “Al-Zuhd”.

(3) Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Sebagaimana raja-raja meninggalkan kebijaksanaan kepada kalian, maka kalian juga seharusnya meninggalkan dunia untuk mereka.”

Ucapan Yesus ini termuat dalam karya Abdullah ibn al-Mubarak yang sama. Ucapan ini sebetulnya paralel dengan ucapan Yesus yang terkenal sebagaimana termuat dalam Injil Lukas 20:25, “Then render to Caesar the things that are Caesar’s, and to God the things that are God’s”, berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hakNya pula.” Makna ucapan Yesus itu kira-kira adalah: Kebijaksanaan dan ajaran moral adalah milik orang-orang beriman, sementara harta benda dan dunia adalah milik para raja.

(4) Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Wahai muridku, raihlah cinta Tuhan dengan cara membenci para pendosa; raihlah kedekatan dengan Dia dengan pekerjaan yang membuat kalian menjauh dari mereka (para pendosa) itu; dan raihlah kerelaanNya dengan cara marah kepada mereka (para pendosa).” Dia (Malik, perawi atau orang mengisahkan cerita ini) berkata, “Saya tak terlalu yakin perintah (commandment) yang mana yang lebih dulu.” Murid-murid Yesus kemudian bertanya, “Wahai Roh Tuhan, siapa yang layak kami jadikan teman?” Dia (Yesus) menjawab, “Ambillah sebagai teman orang yang demi melihatnya engkau akan ingat pada Tuhan, yang perkataannya menambah pengetahuanmu, yang tindakannya membuatmu lebih condong kepada kehidupan kelak (di akhirat).”

Ucapan Yesus ini termuat dalam karya Abdullah ibn al-Mubarak di atas. Nama Malik yang disebut dalam riwayat di atas adalah Malik ibn Mighwal (w. 776), seorang perawi hadis dari Kufah yang kerap menceritakan ucapan-ucapan Yesus.

(5) Yesus berkata kepada para pengikutnya, “Jadikanlah masjid sebagai rumah kalian, dan rumah-rumah (kalian) sebagai tempat perhentian. Makanlah dari tetumbuhan liar, dan larilah dari dunia ini.” Sharik (perawi kisah ini) berkata, “Ketika aku menunjukkan (ucapan Yesus) ini kepada Sulaiman, ia menambahkan, ‘dan minumlah air putih.'”

Ucapan ini termuat dalam karya Abdullah ibn al-Mubarak di atas. Ucapan ini dikutip oleh al-Mubarak tentu untuk menekankan pentingnya etika zuhd atau menjauhi dunia. Sharik (w. 794 M) dalam kisah di atas adalah seorang perawi dan hakim (qadhi) yang terkenal. Sementara yang dimaksud dengan Sulaiman di atas adalah Sulaiman ibn al-Mughira (w. 782 M), seorang ahli hadis dari Basrah.

(6) Yesus berkata, “Kalian bekerja untuk (memperoleh) dunia ini, padahal kalian akan diberikannya (oleh Tuhan) walau tanpa kerja; sementara kalian tak bekerja untuk kehidupan nanti (akhirat), padahal kalian tak akan memperolehnya tanpa bekerja (untuknya).”

Ucapan ini termuat dalam Al-Bayan wa al-Tabyin karya Abu ‘Uthman al-Jahiz (w. 868), seorang sastrawan besar Islam yang merintis tradisi penulisan prosa (nathr) dalam sastra Arab klasik.

(7) Dalam Injil tertulis, “Barangsiapa menabur kejahatan akan menuai penyesalan.”

Kutipan dari Injil ini termuat dalam kitab Tanbih al-Ghafilin karya Abu ‘l-Laith al-Samarqandi (w. 983 M), kitab yang dikenal dan dikaji luas di pesantren-pesantren Jawa.

Ini hanyalah beberapa contoh yang bisa saya kutip dari buku Prof. Khalidi. Ada beberapa hal yang layak kita perhatikan dari kutipan-kutipan dari Yesus yang termuat dalam karya-karya sarjana Islam klasik ini:

(1) Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Khalidi dalam pengantar bukunya ini, figur Yesus memainkan peranan sentral dalam konteks pietisme atau tradisi kesalehan yang berkembang di kalangan para pengamal tasawwuf. Dengan kata lain, Yesus menjadi ilham bagi etika hidup sederhana dan asketisme. Yesus sama sekali tidak menjadi model normatif dalam konteks tradisi fiqh. Ini yang menjelaskan kenapa di kalangan mistik Islam, apresiasi pada agama Kristen jauh lebih mudah dikembangkan ketimbang di kalangan sarjana ahli fikih. Karena peran ulama ahli fikih sejak dulu selalu lebih kuat ketimbang para mistikus Muslim, maka kita boleh menduga bahwa sikap-sikap antidialog yang berkembang di sebagian kalangan Islam mungkin bersumber dari sana. Saya tak ingin mengatakan bahwa ulama fikih tak mampu mengembangkan etika dialog antaragama. Tetapi, berdasarkan tradisi yang berkembang, kalangan mistik Islam memang jauh lebih mendalam dalam memberikan apresiasi pada agama Kristen. Contoh terbaik untuk hal ini tentu adalah figur Ibn Arabi.

(2) Abdullah ibn al-Mubarak adalah ulama yang sangat dihormati dalam Islam. Bahwa ia memuat kutipan-kutipan dari Yesus tentu sangat menarik sekaligus mengagumkan. Saya katakan mengagumkan jika kita tengok keadaan umat Islam saat ini. Saya jarang sekali melihat ulama, kiai, ustaz atau da’i yang saat ini mengutip ucapan Yesus, bukan dalam rangka mengadakan polemik terhadap agama Kristen, tetapi untuk memberikan apresiasi kepadanya. Kita semua tahu bahwa Injil memuat ajaran-ajaran moral yang sangat mulia, dan karena itulah Abu ‘l-Laith al-Samarqandi, seorang mistikus Islam yang bukunya sangat luas dibaca di madrasah dan pesantren-pesantren itu, mengutip sebuah ayat dari Injil. Kenapa praktek mengutip seperti ini sekarang tidak ada lagi? Saya khawatir jika seorang da’i mengutip sebuah ayat dalam Injil akan dipandang aneh, atau malah dianggap ingin mengaburkan iman umat Islam.

Dari segi ini, kita melihat kemunduran umat Islam dalam memberikan apresiasi kepada agama lain.

Wa ‘l-Lahu a’lam bi ‘l-shawab.

(minhaj-al-aqilin/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: