Terakhir sekali Nabi mengangkat Imam Ali di Ghadirkhum yang disaksikan ratusan ribu orang tapi kebanyakan mereka berpatahbalik. Ini terbukti apa yang dikatakan Rasulullah saww: “Musa dan Harun adalah pelajaran yang paling tepat untuk anda hai Ali”. Kalau Imam Ali dibelakangi Ummah Muhammad ketika beliau wafat, Harun ditinggalkan Ummah Nabi Musa ketika beliau masih hidup lagi. Ini adalah pelajaran yang paling penting juga buat kita yang hidup di zaman sekarang ini.
Ketika Abubakar dimarahi Fatimah az Zahara, beliau menangis dan mengatakan kepada pengikutnya agar tidak memaksakan dia untuk jabatan khalifah, disebabkan Fatimah tidak redha. Abubakar masih ingat ketika Rasulullah berkata: “Barang siapa menyayangi fatimah sama dengan telah menyayangi diriku, barang siapa menyakiti hati fatimah sama dengan sudah menyakiti hatiku dan baranng siapa yang membuat Fatimah tidak redha sama dengan telah membuat aku tidak redha “. Ironisnya Umar mendesak Abubakar dengan alasan negara akan kacau-balau kalau Abubakar meletakkan jabatan. Ketika Abubakar sakratul maut yang cukup mengerikan, beliau menyesali gara-gara Umar yang mendesak dia agar menjauhkan Imam Ali dari kedudukannya yang sah.
Sebelum Abubakar meninggalkan Dunia dia menunjuk Umar sebagai penggantinya. Aneh memang, kebanyakan orang mengira Rasulullah tidak punya hak mengangkat penggantinya, betapa lugunya cara orang berpikir seperti itu.
Ketika Umar ditikam Abu Luk-lu-ah, Umar secara politis memberikan jabatan kepada Usman bukan kepada Imam Ali, melalui keluguan Abdur Rahman bin Auf.
Ketika Umar berkuasa, memberikan gaji yang tinggi kepada orang-orang yang dikiranya senior dalam Islam. Kebiasaan dimasa Umar itu diteruskan oleh Usman bin Affan. Malah Usman lebih parah lagi, menggunakan uang negara bagaikan menggunakan milik pribadinya sendiri. Ketimpangan di masa Usman juga merembes kepada korupsi yang membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, sebagaimana kita saksikan dalam system taghut Indonesia, Irak Saddam, Iran Syah Palevi dan lain sebagainya di zaman kita ini. Itu adalah duplikat Umar bin Af fan, Muawiyah dan Yazid.
Yang sangat proaktif kepada kaum dhuafa kala itu adalah Abu Dzar Ghifari. Beliau berani menentang penguasa Zalim ketika itu. Muawiyah bin Abi Sofyan adalah sepupu Usman dan mendapat kedudukan sebagai Gubernur Syam secara nepotisme. Diantara para koruptor kala itu Muawiyah adalah nomor wahid. Abu Dzar al Ghifari sedikitpun tidak takut kepada Muawiyah, bukan saja dalam dakwahnya di kampung-kampung dan Kota tapi juga berani menunjuk langsung kemata Muawiyah sendiri. Muawiyah, mengirim Surat kepada Usman dan mengatakan bahwa apabila beliau tidak ingin kehilangan kekuasaan, itu Abu Dzar Ghifari perlu dibereskan agar tidak menyebar “fitnah” keseluruh negara. Usman memanggil Abu Dzar dan memintanya agar tinggal saja bersamanya di Istana. Abu Dzar lah namanya yang tidak dapat disogok dengan cara bagaimanapun. Akhirnya Abu Dzar dibuang Usman ke Rawadhah yang tidak berpenghuni seorangpun kala itu, hingga Abu Dzar mati kelaparan.
Ketika Abu Dzar Ghifari mau diberangkatkan, seorangpun tidak dibenarkan Usman untuk menjumpainya. Yang pantang mematuhi amaran yang bathil itu tidak ada lain kala itu kecuali Imam Ali, Hasan dan Hussein, Salman Al Farisi dan Al Miqdad. Ketika Ahlulbayt Rasulullah dan sahabat setianya berbicara dengan Abu Dzar, Marwan bin Hakam, menantu Usman datang dengan untanya sambil berteriak: “Tidakkah kalian dengar bahwa khalifah melarang berbicara dengan orang itu?”
Seketika itu juga Imam Ali menampar unta tunggangan Marwan, “gedegap”. Marwan jatuh bersama Untanya. Dia bangkit dan mengadu kepada Usman apa yang terjadi. Usman memanggil Imam dan memintakan agar Imam mendengar apa yang dikatakan Marwan. Imam bertanya apakah harus didengar juga walau perkataannya tidak benar? Usman menanyakan apakah Imam Ali lebih baik daripada Marwan. Imam menjawab: “Bahkan saya lebih baik daripada kamu”.
Di zaman kita sekarang masih banyak orang yang mengetahui bahwa Abu Dzar mati kelaparan tetapi mereka tidak tau kenapa Abu Dzar al Ghifari mati kelaparan dan siapa yang membuatnya demikian menderita. Mereka itu seperti orang yang hanya mengetahui rimbunnya Rimba di lereng-lereng gunung tapi tidak tau kenapa bisa demikian dan kenapa Allah menjadikan rimba demikian rimbunnya.
Sebahagian orang mengatakan pada saya agar tidak mengungkap peristiwa seperti itu, dikhawatirkan terjadi permusuhan. Saya katakan hal itu sama juga seperti pendakwah berislah, membongkar kedhaliman penguasa. Kalau tidak kita bongkar sama dengan kita telah membiarkan kaum dhuafa tertindas dengan sepakterjang penguasa secara aman. Justru ketimpangan dimasa lampau terulang lagi sepanjang sejarah sebagaimana kita saksikan sekarang ini di Asia dan Afrika. Orang alimpalsu dizaman sekarang sangat tidak setuju kita ungkap kedhaliman Usman dengan alasan itu sahabat Nabi. Mereka tidak sanggup berpikir bahwa ketika kita menutup kezaliman Usman, disaat yang sama kita telah menzalimi Abu Dzar Ghifari. Ironisnya alimpalsu seperti itu bersatupadu dalam system yang sama dhalimnya dengan Usman bin Affan, Mua wiyah bin Abi Sofyan dan Yazid bin Muawiyah, kenapa?
Jadi ketika alimpalsu membela Usman, Muawiyah dan Yazid, secara tidak langsung mereka telah membela diri mereka sendiri. Mereka bertanya kenapa Hanya Abu Dzar Ghifari saja yang menentang khalifah Usman? Pertanyaan ini sama juga dengan pertanyaan, kenapa hanya sedikit saja orang Acheh yang memusuhi Indonesia? Kenapa banyak dari mereka hanya berdiam diri saja menyaksikan kemungkaran dan kezaliman? Lupakah kita kata Allah dalam Qur-an bahwa kebanyakan manusia tidak beriman illa kalil. Kecuali sedikit saja yang beriman. Perlu kita jelaskan bahwa semua orang yang bersatupadu ketika Usman, Muawiyah dan Yazid berkuasa, mereka akan ditempatkan Allah bersama Usman, Mu awiyah dan Yazid kelak.
Ketika Usman mengawinkan anaknya dengan Marwan bin Hakam banyak mengambil uang negara. Abu Ayyub pemegang kas negara memprotes sepakterjang Usman. Usman bertanya apakah anda cemburu disebabkan aku mengambil Marwan sebagai menantuku? Abu Ayyub menjawab bukan, tapi terlalu banyak anda menghabiskan uang negara hingga aku mengira anda mengambil kembali apa yang telah anda infakkan kepada Rasulullah dulu. Usman sambil menghardik, menendang Abu Ayyub hingga lama tinggal dikatil, sampai meninggal dunia. Lalu bandingkan dengan Saddam yang juga menembak sendiri dengan senjata setiap orang yang berbeda pendapat dengannya, mengapa? Saddam meniru Usman sebagai teladannya. Suharto tidak menembak sendiri oposisinya tapi diperintahkan kepada tentara dan polisi plus Golkar tunggangan politiknya untuk menghabisi oposisi.
Ketika Imam Ali memimpin negara, kebiasaan Umar dan Usman yang tidak adil itu dikembalikan kepada masa Rasulullah sendiri dimana semua orang mendapat hak yang sama dari negara. Inilah yang namanya negara milik Rakyat bukan milik penguasa sebagaimana kita saksikan di Indonesia sejak dulu hingga sekarang yang ujungnya berakibat: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Mereka mengaku beragama Islam dan mendapat support dari ulamasuk serta alimpalsu jenis lainnya.
Disinilah kuncinya persoalan kita sekarang. Imam Ali ditentang oleh pengikutnya sendiri, orang yang pertama sekali membai’atnya (baca Talhah bin Ubaidillah, Zubeir bin Awwam dan semacamnya). Kenapa mereka menen tangnya? Inilah yang kita alami sekarang dimana orang-orang yang bertype macam Imam Ali dijauhkan dari kepemimpinan, kenapa? Agar mereka dapat menguasai kekayaan negara sebagai kekayaan moyangnya, minimal mereka memiliki gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Ketimpangan pikiran Talhah dan Zubeir dimanfaatkan Muawiyah hingga Aisyah sendiri tidak mampu mengendalikan diri, demikian hebatnya pengaruh Muawiyah yang bermain dibelakang layar. Talhah dan Zubeir beralasan bahwa Imam tidak bermusyawarah dengan mereka ketika mengambil kebijaksanaan negara. Imam menjawab: “Kalau ada hal yang tidak kuketahui barulah kuajak kalian bermusyawarah”.
Imamlah namanya yang sangat paham bagaimana kebiasaan Rasulullah dulu melaksanakan keadilan. Lalu Talhah dan Zubeir mengatakan bahwa Imam telah menyamakan gaji mereka dengan orang yunior. Imam menjawab bahwa semasa Rasulullah ada orang yang lebih senior dari mereka, tetapi Rasulullah tidak pernah memberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji para yunior. Kelebihannya nanti diterima di Akhirat, kata Rasulullah. Kemudian tampil lagi yang lainnya mengatakan bahwa Imam telah banyak menyakiti hati mereka, termasuk telah membunuh orang tua mereka. Imam menjawab bahwa bukan dia yang membunuhnya. Ketika kebenaran datang orang tua mereka menentangnya lalu berhadapanlah dengan pedang Zulfikarnya.
Jadi inilah persoalan yang membuat kita selalu tertinggal jauh dibelakang walau dibandingkan dengan system non Muslim sekalipun.
Jadi kesimpulannya bahwa fenomena yang terjadi dimasa Rasulullah terulang lagi di di masa kita sekarang. Sebagaimana sebagian besar orang dulu membela penguasa dhalim, terulang juga di masa kita sekarang walaupun sudah kita jelaskan, mereka tetap bersatupadu dengan penguasa dhalim. Kalau dulu penguasa menzalimi orang-orang seperti Abu Dzar Ghifari, di zaman kita juga banyak kaum dhuafa yang terzalimki dan orang-orang yang tidak punya pikiran menganggap enteng saja ketika menyaksikan kaum dhuafa sekarang. Mereka tidak sadar kalau mereka secara tidak langsung telah membela penguasa dhalim.
Mereka tidak mengenal Imam yang diutus Allah sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah. Mereka tidak ber beda dengan ummah nabi Musa yang tidak mengenal pemimpin yang haq untuk diikuti, kecuali “Samiri-samiri” di zaman kita sekarang.
(Syiah-Ali/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email