Kali pertama Republik Islam Iran menggelar konferensi khusus untuk wanita dengan tema “Conference of women and Islamic Awakening. Berlokasi di aula konferensi, Menara Milad, Teheran, konferesi yang dihelat pada 10-11, Juli tersebut dihadiri sekitar 300 delegasi dari lebih 20 negara.
Penyelenggaraan acara tersebut digagas oleh Sekretaris Jendral Islamic Awakering, Ali Akbar Velayati .”Dasar utama pemikiran acara ini ialah untuk kembali mengangkat kehormat umat Islam yang menghargai kemanusiaan. Peran terbesar ada di tangan wanita, karena wanita adalah pembentuk generasi awal,” ujar mantan menteri luar negeri (1981-1997) saat memberi sambutan pembuka, Selasa (10/7), seperti dilaporkan wartawan Republika Online, Ajeng Ritzki Pitakasari.
Menurut Ali Akbar Velayati, kebangkitan itu ditandai dengan sikap percaya diri Umat Islam dan kesadaran terhadap kondisi dunia. “Saat ini adalah gelombang baru dalam pegerakan Islam, sehingga dibutuhkan genarasi lebih mulia dan lebih baik untuk perubahan.”
Presiden Iran, Ahmadinejad juga hadir dalam pembukaan konferensi tersebut. Ia pun memberikan sambutan selama 30 menit setelah Velayati menyelesaikan pidatonya.
Konferensi ini cukup unik. Selain bertema wanita pertama kali di Iran, seluruh panita sepenuhnya adalah wanita.
Indonesia termasuk dalam salah datu delegasi yang hadir dalam konferensi tersebut. Total ada 15 orang dengan latar pekerja LSAM dan pengajar perguruan tinggi yang mewakili Indonesia dalam konferensi tersebut . Mereka diundang penyelenggara, yakni Kementrian Luar Negeri Iran, setelah sebelumnya mengirim makalah untuk diseleksi terlebih dahulu.
Salah satu delegasi dari Indonesia, Titin Nurhayati, 42 tahun, yang menyatakan diri dosen dari Universitas Padjajaran, ialah salah satu delegasi yang terpilih untuk berangkat. Makalahnya yang berjudul “Dinamika dan Perang Orang Sunda: Kearifan Lokal Menurut Prespektif Islam” lolos seleksi dan membawanya terbang ke Iran. “Saya sangat antusias sekali untuk datang kemari, karena saya pikir ini acara yang sangat penting,” ujar Titin.
Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Reporter: ajeng ritzki pitakasari
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/07/10/m6xwzz-iran-gelar-konferensi-wanita-islam-pertama
Iran Selenggarakan Konferensi Internasional Perempuan Pertama
Menurut Kantor Berita ABNA, Republik Islam Iran untuk kesekian kalinya mengadakan konferensi tingkat Internasional bertemakan kebangkitan Islam yang kali ini mendatangkan lebih dari 1400 aktivis perempuan dari sekitar 85 negara. Berikut catatan Purkon Hidayat yang dirilis situs berita IRIB Indonesia mengenai konferensi tersebut:
Konferensi Internasional “Perempuan dan Kebangkitan Islam” digelar selama dua hari yang dihadiri lebih dari 1400 orang aktivis perempuan yang bergerak di bidang akademis, sosial, budaya dan politik dari berbagai negara dunia. Perhelatan akbar yang berlangsung sejak Selasa (10/7) ini menjadi bagian dari rangkaian acara Dewan Internasional Kebangkitan Islam yang dimulai sejak September tahun lalu.
Konferensi Internasional Kebangkitan Islam digelar di Tehran pada tanggal 17-18 September 2011. Adapun Konferensi Pemuda dan Kebangkitan Islam dilaksanakan pada tanggal 29-30 Januari 2012 dengan menghadirkan lebih dari 1.000 pemuda dan aktivis dari seluruh dunia. Pada kedua pertemuan itu, ratusan cendekiawan, pemikir, sosiolog, sejarawan, dan pemuda revolusioner dari berbagai negara dunia, terutama dunia Islam secara antusias mendiskusikan berbagai isu yang berhubungan dengan Kebangkitan Islam.
Sekretariat Dewan Internasional Kebangkitan Islam hingga kini berhasil menggelar tiga konferensi yaitu “Kebangkitan Islam”, “Pemuda dan Kebangkitan Islam”, serta “Penyair dan Kebangkitan Islam”. Ketiga konferensi itu mendapat perhatian besar dari aktivis, pemikir dan pengambil keputusan di berbagai bidang di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Terkait urgensi kebangkitan Islam Penasehat Ayatullah Sayid Ali Khamanei Bidang Internasional, Doktor Ali Akbar Velayati mengatakan, “Pada dasarnya, Kebangkitan Islam merupakan sebuah kesadaran luas dan mendalam yang berusaha membebaskan bangsa-bangsa Muslim dari perbudakan pikiran, politik, dan ekonomi. Gerakan itu berusaha mewujudkan kemajuan dan persatuan di tengah umat Islam.”
Penyelenggaran Konferensi internasional Perempuan dan Kebangkitan Islam digelar mengingat urgensi peran perempuan dalam transformasi kawasan. Isu perempuan dan kebangkitan Islam menarik untuk dikaji dari berbagai dimensi. Dan dalam konferensi kali ini diwujudkan melalui berbagai komisi terkait.
Kebangkitan Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dalam 18 bulan terakhir berhasil menumbangkan empat rezim despotik di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman. Transformasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan yang tidak kecil. Di sisi lain, tranformasi tersebut juga menentukan masa depan perempuan ke depan.
Menengok perjalanan jejak kedudukan perempuan dalam revolusi Iran, Revolusi Islam telah membuyarkan semua asumsi keliru tentang perempuan. Tidak bisa dipungkiri, perempuan Iran berada di garda depan dalam revolusi Islam. Revolusi ini jelas tidak mungkin terjadi tanpa kontribusi kaum perempuan Iran. Tanpa kehadiran perempuan, revolusi akan kehilangan separuh kekuatan revolusionernya.
Kaum perempuan Iran juga merupakan kekuatan budaya yang sangat berpengaruh dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Terkait hal ini, Bapak Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra berkata, “Seandainya kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam kebangkitan ini, revolusi Islam tidak akan berjaya.”
Kebangkitan Islam dan revolusi di bawah komando Imam Khomeini ra menempatkan kaum perempuan dalam poros aktivitas politik dan menyerahkan bendera revolusi kepada kaum perempuan tanpa sedikitpun mengusik ketentuan hijab, wibawa Islami, iffah dan kualitas ketakwaan mereka. Siapapun tidak pernah memberikan hak sedemikian besar kepada kaum perempuan Iran dan muslimah.
Berkat revolusi Islam, kaum perempuan Iran di tempatkan pada posisi idealnya. Mereka dapat berkecimpung di dunia sains dan akademik tanpa mengurangi sedikitpun kualitas keagamaan, iffah, ketakwaan, kepribadian dan martabatnya sebagai muslimah. Mereka juga tidak mendapat hambatan apapun di ranah ilmu keagamaan. Mereka sekarang bisa berkiprah di gelanggang politik, sosial, jihad, layanan publik dan lain sebagainya sambil tetap mempertahankan hijab dan wibawanya sebagai muslimah sejati. Kini, gerakan-gerakan Kebangkitan Islam telah memisahkan nasib mereka dari para penguasa tiran yang menjadi boneka AS dan bergerak di jalan kemerdekaan dan kebebasan dengan partisipasi kaum perempuan.
Islam memberikan perhatian khusus mengenai kedudukan perempuan. Agama ilahi ini mempertimbangkan berbagai faktor mulai dari struktur fisik, emosi dan naluri, hukum dan aspek perempuan lainnya. Meski perempuan pada dasarnya memiliki fisik yang lemah dan lembut, namun ia memiliki perasaan dan naluri yang kuat, yang diciptakan oleh Allah swt guna mengemban tugas pendidikan dan pengajaran masyarakat untuk menghantarkan umat manusia kepada kesempurnaan.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei menegaskan bahwa Islam sangat memuliakan perempuan. Rahbar mengatakan, “Dalam pandangan Islam, sebagai manusia, tidak ada sedikitpun perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, perempuan dan laki-laki sama dalam melangkah ke puncak ketinggian dan kedekatan kepada Allah.”
Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei menilai krisis wanita dewasa ini merupakan salah satu problema paling krusial bagi setiap peradaban, masyarakat dan negara. Rahbar menyebut perspektif Barat terhadap perempuan sebagai pandangan yang menyimpang, kesesatan yang nyata, penghinaan terbesar, dan penistaan terhadap kehormatan perempuan. Pernyataan itu disampaikan Rahbar Rabu malam (5/1) dalam seminar pemikiran strategis ketiga dengan tema ‘Perempuan dan Keluarga’.
Beliau mengatakan, “Tidak seperti yang dibayangkan, tindakan yang dilakukan orang-orang feminis ternyata justru merugikan kaum perempuan. Sebab, dengan melecehkan perempuan mereka menjadikannya sebagai alat pemuas nafsu. Dan sayangnya, opini umum di Barat memandang masalah ini sebagai fenomena yang lumrah dan bisa terima.”
Pemimpin Besar Revolusi Islam menyatakan bahwa musuh menjadikan masalah perempuan sebagai salah satu sasaran serangan politik dan propaganda terhadap pemerintahan Islam di Iran. Karena itu masalah perempuan harus mendapat perhatian penuh. Ditegaskannya, “Dengan melakukan pencerahan kepada opini umum masyarakat dunia, kita jangan memberi kesempatan kepada Barat untuk mewujudkan target para pembuat keputusan dan penyusun agendanya dalam menyerang dasar-dasar ajaran Islam dalam masalah perempuan.”
Tehran saat ini menjadi tamu para aktivis perempuan dari 80 negara dunia. Sekitar 70 persen dari mereka dari kalangan ahlus sunnah, sedangkan 30 persennya dari Syiah. Sebelum mengikuti seminar, mereka diajak menikmati perjalanan ke Isfahan, Qom dan Mashhad dengan tujuan mengetahui dari dekat kemajuan Iran dewasa ini terutama aktivitas Iran di bidang sosial, budaya dan politik serta olahraga.
Pada konferensi internasional dan kebangkitan Islam kali ini lebih dari 400 paper dikaji dalam enam komisi yang terdiri dari komisi “Pemikiran Islam, Potensi Perempuan dan Sikap Revolusioner”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Peluang dan Ancaman”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Capaian dan Harapan”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Interaksi dan Hubungan”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Keluarga dan Potensi Revolusi”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Perspektif dan Masa Depan.” Sambutan kaum perempuan muslim terhadap Kebangkitan Islam mendorong terwujudnya masa depan perempuan Muslim yang lebih cerah.
http://id.abna24.com/service/important/archive/2012/07/12/328506/story.html
Memecah Prasangka terhadap Iran (Catatan Perjalanan)
Oleh: Sirikit Syah*)
Jawa Pos, 20 Juli 2012
SETELAH sepuluh hari melihat Iran, banyak yang ingin saya ceritakan kepada pembaca Jawa Pos. Kita kerap membaca berita-berita tentang Iran dan kebanyakan sumber kita adalah media Barat. Bahkan, bila laporan itu kita baca melalui media di Indonesia, tetap saja, para redaktur kita mengutipnya dari media Barat. Sangat jarang redaktur media Indonesia mengutip IRNA, IRIB, atau Press TV, misalnya. Karena itu, jangan terkejut bila cerita saya berbeda dari pemahaman kita semua selama ini tentang Iran.
Perjalanan saya ke Iran merupakan momentum ’’breaking the prejudice’’, memecah prasangka. Sebagian di antara kita –rakyat Indonesia– mengira orang Iran adalah orang Arab, berwajah seram, perempuannya pakai burqa seperti kaum Taliban di Afghanistan, perempuannya tidak boleh ke mana-mana, serta negaranya miskin dan terbelakang.
Maaf, semua itu salah. Kedudukan perempuan, misalnya, kenyataannya sungguh berbalik 180 derajat dari asumsi saya. Peran pria Iran, menurut pandangan saya (orang Indonesia tapi mengenyam pendidikan Barat), juga amat unik dan menarik untuk dicatat.
Konferensi yang saya hadiri pertengahan Juli lalu bertajuk ’’International Moslem Women Conference and the Islamic Awakening’’. Tentu, maksudnya adalah bagaimana peran perempuan Islam sedunia dalam gerakan/gelombang kebangkitan Islam. Seluruh anggota panitia perempuan mengenakan chador, kain hitam menutup kepala sampai mata kaki, seperti selimut, hanya menyisakan wajah-wajah cantik perempuan Iran.
Di belakang mereka, siap siaga para pria Iran berwajah tampan berbadan tegap dengan pakaian Western (berpantalon dan berjas). Meski bergaya intelek dan elegan, para pria tersebut adalah ’’pembantu umum’’ yang membereskan persoalan dan kesulitan. Paling ekstrem, saya melihat mereka memasuki ruang makan dan makan paling akhir, ketika seluruh perempuan sudah selesai makan. Setelah 10 hari bersama mereka, saya mencatat, pria Iran adalah supporter atau backup yang luar biasa bagi kiprah perempuan Iran.
Para perempuan Iran bekerja secara profesional: ada dokter (kebanyakan dokter), lawyer, insinyur, pilot, dosen, guru, dan pegawai bank. Mereka dipertemukan dengan kami (para tamu dari negara asing), lalu bercerita tentang sulitnya membagi waktu antara famili-profesi-religi. Ya, orang Iran amat religius, sehingga agama selalu dinomorsatukan. Kesulitan mereka sama saja dengan kesulitan ibu-ibu di Indonesia dan di banyak negara lain.
Saya terkesan, mereka tidak mengatakan hidup mereka mudah atau baik-baik saja (kalau mereka bilang begini, akan saya anggap propaganda public relation). Mereka tak memiliki support-system seperti tetangga dan keluarga, sebagaimana di negara-negara Asia atau Afrika. Namun, sistem pemerintahan mereka men-support maksimal: cuti hamil 6 bulan sepenuh gaji, akan ditingkatkan jadi setahun. Lalu, selama dua tahun setelah masuk kerja, setiap hari bebas dua jam kerja untuk menyusui. Bahkan, perempuan yang memiliki orang tua, suami, atau anak difabel diminta tinggal di rumah dan digaji pemerintah untuk mengurusi/mendidik sang difabel tersebut.
Menilik ucapan dan gerak tubuh (gesture), perempuan Iran amat confident (percaya diri) dan berdiri sama tinggi dengan kaum prianya. Perempuan-perempuan berjubah hitam itu ’’keluyuran’’ sampai malam dan dini hari di kafe serta lobi hotel (karena urusan kepanitiaan) dan mereka seolah biasa saja melakukan itu. Cara pria dan perempuan berbincang juga sejajar, sama dengan kita di Indonesia.
Namun, pria Iran tampak lebih menaruh hormat kepada para perempuannya. Di jalan, para perempuan Iran memakai baju gaya Western, dengan kerudung yang menyisakan jambul/poni. Tak sedikit pula yang menyetir mobil.
Pecahnya prasangka atau praduga terhadap Iran tak hanya terjadi pada fisik (bahwa mereka ternyata lebih mirip orang kulit putih daripada orang Arab –mereka keturunan ras Aria seperti bangsa Eropa umumnya), tapi juga pada kedudukan pria-perempuan, tingginya peradaban mereka, majunya ekonomi negara, serta intelektualitas mereka yang mengagumkan.
Tingginya peradaban dapat kita saksikan dari situs-situs peninggalan. Masjid dan bangunan kuno lainnya telah memiliki pola arsitektur yang canggih pada zamannya. Intelektualitas juga tecermin saat kita berbicara dengan mereka. Tak mengherankan bila mereka menemukan teknologi nano, menciptakan hujan di padang pasir, bahkan merekayasa nuklir untuk kebutuhan listrik negaranya.
Pecahnya prasangka tersebut melahirkan kekaguman pada bangsa Iran. Apalagi, Iran membiayai Konferensi Perempuan Islam Sedunia ini 100 persen. Peserta datang dari 84 negara (termasuk Afrika, Amerika Latin, Eropa Utara). Jumlahnya sekitar 1.200 orang. Semua dibiayai dengan layanan VIP selama di Iran dan tiket pesawat pulang pergi dari negara masing-masing diganti. Kita akan berpikir: berapa besar biayanya? Mengapa Iran mau mengeluarkan biaya sebesar itu untuk sebuah konferensi?
Akhirnya, saya menyimpulkan sendiri: Bagi Iran, bukan konferensinya yang penting, tapi kemampuannya mengumpulkan para perempuan cendekia sedunia itulah yang ingin disuarakan ke seluruh dunia. Bahwa Iran bisa. Bahwa Iran akan didukung perempuan sedunia untuk menggelorakan kebangkitan Islam, suatu gerakan yang tak terbendung. Sebagaimana kita lihat, gerakan yang berawal dari akar rumput ini sudah berhasil menggulingkan pemerintahan yang korup di kawasan Timur Tengah, menggantikannya dengan tokoh dari Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim).
Bila memang itu tujuannya: image building, mungkin biaya tersebut sangat berarti. Iran yang mengalami sanksi ekonomi internasional selama 30 tahun terbukti menggeliat, survive. Rakyatnya menggunakan produk dalam negeri. Tidak apa-apa mobil-mobil di jalanan dan HP para tokoh tampak jadul (kuno) dan tidak ada McDonalds atau KFC di Teheran. Tapi, mereka berdiri dan menatap kita dengan kebanggaan. Mungkin kita bangsa Indonesia yang kaya raya tidak bisa bersikap penuh kebanggaan dan percaya diri seperti itu.
*) Dosen dan analis media
http://sirikitsyah.wordpress.com/2012/07/23/memecah-prasangka-terhadap-iran/
(Republika/ABNA/Sirikit-Syah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email