Ulama yang Menyimpang Lebih Buruk dari Tentara Yazid
Kaum Sunni yang mengetahui kefasikan secara jelas dan kefanatikan
yang sangat dari para fuqahanya, maka barang siapa di antara mereka
tetap mentaklidi fuqaha seperti itu, berarti mereka seperti awam-awam
Yahudi yang telah Allah Swt kecam karena mentaklidi kefasikan para
fuqahanya.
|
Mukaddimah
Tema pembahasan kita sehubungan dengan tafsir tematik yang ketiga ini adalah tentang seorang ulama atau seorang alim yang membelot dari jalan haq. Tadinya si alim tersebut berada di jalan yang benar dan lurus sehingga melalui jalan itu ia sampai kepada posisi yang sangat terhormat dan tinggi di sisi Allah Swt. Tetapi sedikit demi sedikit ia terperosok dan tergelincir ke dalam perangkap setan. Di dalam ayat yang akan kita kupas nanti, Allah Swt mengumpamakan orang alim ini seperti anjing penjilat yang sangat terhina. Semoga kiranya kita dan segenap kaum muslimin dapat mengambil pelajaran yang berharga dari tafsir tematik di bawah ini.
Tema ini sengaja saya angkat, mengingat banyaknya ulama –sejak dahulu hingga sekarang- yang menjilat penguasa dan raja hanya untuk memperoleh dan mempertahankan kedudukan, materi dan kenikmatan duniawi yang hanya sekejap saja. Sebagai contoh pada masa kita sekarang ini dan beritanya masih hangat misalnya, Mufti Saudi Arabia yang merupakan ulama mazhab Wahabi atau Salafi yang baru-baru ini teleh mengeluarkan fatwanya yang betul-betul menguntungkan musuh-musuh Islam dan muslimin. Fatwa provokasi seorang alim Wahabi/Salafi itu segera dijawab oleh seorang alim mazhab Ahlulbait As (Syiah Imamiyah) yang bernama Ayatullah Syekh Makarim Syirazi dengan penuh sopan dan bijak. Fatwa yang bersifat mengadu domba dan memecah belah barisan kaum muslimin yang hanya menguntungkan musuh-musuh Islam seperti ini yang dikelurkan oleh Mufti Wahabi, memang bukan yang pertama kali dikeluarkan. Para ulama Ahlulbait As, sejak dulu hingga sekarang, senantiasa mengajak mereka untuk berdialog secara terbuka dan mengajak mereka agar bersatu demi mempertahankan ajaran Islam yang murni dari berbagai serangan musuh-musuh Islam, tetapi ajakan yang disampaikan secara sopan itu tidak pernah mereka jawab[1].
Baiklah, sehubungan dengan tema di atas, yaitu ”Ulama Suu’ atau Ulama yang Menyimpang”, mari kita baca ayat Al-Qur’an al-Karim yang terdapat pada surat Al-A’raf, ayat: 175 – 177).
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. بسم الله الرحمن الرحيم.
”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim” (al-A`raf: 175, 176 & 177).
Sebab Turun Ayat
Terdapat pembahasan dan perdebatan di antara para mufassir tentang siapa orang alim yang dibicarakan dalam ayat tersebut. Mayoritas mereka meyakini bahwa ia adalah Bal`am bin Ba’ura; salah seorang ulama Bani Israil. Melalui ibadah-ibadahnya ia telah mencapai posisi tinggi hingga mencapai standar predikat nama Allah yang agung dan doanya pun pasti dikabulkan. Ketika Musa as diutus sebagai nabi, ia terjangkiti rasa sombong. Diutusnya nabi Musa membuat Bal`am hasud kepadanya. Rasa hasudnya semakin bertambah dari hari ke hari sehingga memakan kebaikan-kebaikannya sedikit demi sedikit. Rasa hasudnya dari satu sisi dan kecintaannya pada dunia telah membuatnya mencari perlindungan kepada Fir`aun, penguasa pada masa itu, dan mendatangi istananya untuk menjadi pendukungnya. Maka hilanglah seluruh kebanggaan-kebanggaannya karena efek keburukannya. Al-Qur’an mengungkap kembali orang alim ini agar kita dan kaum muslimin dapat mengambil pelajaran darinya.
Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengannya ialah Umayyah bin ash-Shalat, seorang penyair terkenal pada masa jahiliyah. Pada awalnya ia masuk Islam, namun kemudian ia berbalik dan menyimpang karena hasud kepada posisi kenabian Rasulullah Saw.
Sejumlah mufassir yang lain lagi meyakini bahwa yang dimaksud dengannya ialah Abu Amir an-Nashrânî, seorang pendeta Nasrani yang telah masuk Islam dan bergabung dengan orang-orang munafik. Kemudian ia pergi ke Roma untuk beraliansi dengan penguasanya, lalu kembali ke Madinah untuk memprovokasi orang-orang munafik dan membangun masjid ”Dhirar” yang terkenal itu.
Di antara ketiga pendapat ini, yang pertama adalah yang paling akurat, sementara dua lainnya terlalu jauh dari redaksi ayatnya: ”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami…, yang menunjukkan hubungan dengan kisah-kisah umat terdahulu[2].
Tafsir Ayat
Allah Swt berfirman: ”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab)”. Allah Swt meminta kepada Rasulullah Saw agar menceritakan kisah orang alim tersebut kepada para sahabatnya.
Maksud dari ayat-ayat tersebut ialah wejangan dan hukum-hukum Taurat. Sesungguhnya orang alim tersebut mengerti hukum-hukum Taurat dan wejangannya, dan juga mengamalkannya. Sebagian mufassir meyakini bahwa maksud ayat tersebut merujuk kepada nama agung. Untuk itu, Bal`am bin Ba’ura dikabukan doa-doanya, dan ia seseorang yang memiliki posisi terhormat dan agung di masyarakat.
Allah Swt berfirman: ”kemudian dia melepaskan diri (insalakha) dari pada ayat-ayat itu, lalu syaitan menjadikan dia mengikutinya (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat”.
Kata ”salakh” berarti melepas kulit binatang. Karena itu ia dipakai untuk seseorang yang sedang menguliti kulit domba. Namun kata ”lalu dia diikuti” di sini mengandung dua makna;
Pertama, tabi`a dan lahiqa (mengikuti dan membuntuti). Yakni syetan menjadikan orang alim tersebut sebagai pengikutnya.
Kedua, kata kerja tersebut dipakai dalam makna biasanya, sekalipun ia berbentuk kata sulatsi mujarrad (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf) sehingga maknanya menjadi bahwa setan mengikuti orang alim tersebut. Dengan kata lain, bahwa ia lebih dahulu tersesat sebelum disesatkan oleh setan. Perumpamaannya seperi seseorang yang melakukan perbuatan yang sangat buruk dengan cara terbaru dan ia selalu melaknat setan atas perbuatannya ini, lalu muncullah setan kepadanya dan berkata; laknat itu atasmu, bukan atasku, karena menyesatkan memang sudah keahlianku. Saya tidak tahu sebelumnya tipe maksiatmu ini, bahkan engkaulah yang mengajariku cara seperti ini.
Atas dasar ini, ayat tersebut berarti bahwa Bal`am bin Ba’ura lepas dari ayat-ayat Allah, maka ayat-ayat tersebut kemudian melepaskannya. Sekalipun ia menguasai seluruhnya, namun ia melepaskannya dan mengikuti setan atau setan mengikutinya. Itulah akibat kesesatan dan keburukan sehingga ia termasuk orang-orang yang sesat dan malang.
Allah Swt berfirman: ”Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu”. Yakni seandainya Kami berkehendak menjadikan ia tetap berada pada jalan yang benar, maka tentu Kami bisa untuk itu, namun Kami tidak melakukannya agar ia berbuat sesuai dengan pilihan dan kehendaknya sendiri, karena dalam Islam yang berlaku adalah ikhtiyar (pilihan) dan bukanjabr. Allah swt berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”[3].
Allah Maha Kuasa untuk menjadikan seluruh amal ibadah seperti haji, puasa, dan shalat sebagai bagian dari tabiat-tabiat seseorang sebagaimana ia menjadikan makan dan minum. Namun Ia tidak mau melakukannya, bahkan menciptakan manusia bebas dan punya pilihan sehingga di sana terjadi proses hidayah, penyempurnaan, berkembang, ujian, pahala, siksa dan lain-lain sehingga ajaran-ajaran ini tidak kehilangan maknanya.
Adapun di penghujungnya, ayat tersebut berarti; Kami tinggalkan Bal`am bin Ba’ura pada dirinya sendiri, namun orang alim yang menyimpang ini -yang lebih dahulu dan menjadi penyampai kuat bagi Musa as- mengikuti hawa nafsu dan keinginan yang tak pernah henti karena cinta dunia, hasud kepada Musa as, dan kepincut dengan janji-janji Fira`aun. Itu semua adalah efek dari terusir dari hamparan rabbani. Atas dasar ini, dua hal yang menjadi sebab kejatuhan Bal`am bin Ba’ura, yaitu; Pertama, kecintaan kepada dunia dan kecendrungan kepada Fira`un. Kedua, mengikuti hawa nafsu dan setan.
Allah Swt berfirman; ”maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)”.
Anjing biasanya terkenal memiliki peran besar dimana manusia mendapatkan manfaat darinya.Karena itu, dalam fiqh Islam memeliharanya diperkenankan. Hanya saja di samping kebaikannya itu, anjing terkadang gila dan selalu lahap. Inilah penyakit anjing-anjing. Penyakit yang menjadikannya selalu menjulurkan lidah dan bersuara memekik, mengeluarkan racun bakteri yang apabila mengenai manusia, ia akan mati, atau ia terkena penyakit anjing gila. Dalam kondisi seperti ini anjing sudah tidak lagi memiliki guna, dan karena itu tidak diperkenankan lagi memeliharanya karena dapat membahayangan jiwa orang lain.
Tanda-tanda penyakit ini pada anjing ialah ia selalu menjulurkan mulut dan menggerak-gerakkan lidahnya. Demikain itu agar berkurang rasa panas yang ia rasakan di dalam badannya. Gerakan lidahnya serupa dengan kipas angin yang berfungsi memasukkan udara ke dalam tubuh sehingga menjadi dingin. Di antara tanda lainnya ialah selalu kehausan. Alhasil, anjing seperti ini sangat berbahaya.
Al-Qur’an dengan perumpamaan yang cukup indah menyerupakan orang alim yang menyimpang ini (ulama suu’) dengan anjing yang tidak lagi memiliki nilai guna dan bahkan sangat berbahaya. Kecintaan kepada dunia, mengikuti hawa nafsu dan perasaan tidak pernah puas telah menggelincirkan orang alim tersebut hingga kehilangan pandangan dan penglihatan batinnya sehingga tidak lagi dapat membedakan antara kawan dan musuhnya.
Allah Swt berfirman: ”Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”[4].
Yakni ini benar-benar seperti sebuah komunitas masyarakat yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt, maka ceritakanlah wahai Nabi kepada orang-orang, khususnya Yahudi dan Nashrani kisah-kisah ini agar mereka dapat mengambil pelajaran darinya, juga agar mereka mengetahui apabila berani mendustakan ayat-ayat Allah, maka nasib akhir mereka akan sama seperti nasib akhir Bal`am bin Ba’ura.
Pesan-pesan Ayat
Bahaya Ulama yang Menyimpang
Bal`am bin Ba’ura telah jatuh dari posisi mulia karena kecintaannya kepada dunia dan keikutsertaannya kepada setan. Kejatuhannya diumpamakan oleh Al-Qur’an dengan anjing liar yang tidak peduli kepada siapapun hingga ia nampak seperti gila. Kecintaan kepada dunia dan keikutsertaan kepada setan telah menjadikan seorang alim yang telah mendapatkan nama terhormat menjadi gila. Kegilaannya nampak dalam bentuk selalu haus dunia dan tidak pernah terpuaskan selamanya. Orang alim seperti ini membawa bahaya besar, dan di antaranya adalah sebagai berikut;
1. Orang alim seperti ini benar-benar akan menjadi pembantu kezaliman, sebagaimana penjilat-penjilat para penguasa yang berkhidmat kepada para pelaku kezaliman di antara raja-raja dan penguasa. Yang jelas bahaya orang alim seperti ini tidak lebih sedikit dari bahaya kezaliman itu sendiri.
Para penguasa masa lalu berkeinginan menerapkan aturan khusus, maka ia meminta kepada para ulama negerinya untuk mengharmonikan kehendak Pembuat Syari`at (Allah Swt) dan syari`at versi kepentingannya. Maka seorang alim menjawabnya; sesungguhnya kehendak Sang Pembuat Syari`at adalah luas, dan urusannya bergantung kepada keputusan penguasa.Artinya ia dapat memberi jalan keluar atau justifikasi terhadap setiap keinginan penguasa. Memang benar ulama seperti ini memungkinkan untuk menjustifikasi kezaliman para penguasa.
Mereka adalah orang-orang yang menancapkan tonggak kezaliman. Mereka akan menepis setiap orang yang berusaha tidak setuju dengan kezaliman. Ulama-ulama seperti mereka leluasa pada masa pemerintahan Bani Umayyah memalsukan hadis-hadis Rasulullah Saw dan para imam As. Mereka pun menjilat beberapa penguasa zalim dari keturunan al-Ababs dan Bani Umayyah.
2. Ulama-ulama seperti ini benar-benar dapat menghancurkan pondasi-pondasi akidah manusia. Sesungguhnya orang-orang awam apabila menyaksikan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka keyakinan keagamaannya akan goncang. Bahkan mereka dapat saja menjadi ragu terhadap surga dan neraka, hari kiamat dan hisab. Mereka akan berkata kepada dirinya masing-masing; andaikan memang benar di sana ada hari kiamat, maka orang-orang alim itu tentu beramal untuk bekal hari itu. Atas dasar itu, apabila para penguasa menzalimi orang-orang atas dunia mereka, maka para ulama yang menyimpang itu menzalimi orang-orang atas akhiratnya.
3. Seorang alim yang menyimpang akan menjerumuskan orang-orang melakukan dosa. Negara-negara yang bersebrangan dengan Islam telah mendirikan pada abad-abad terakhir -untuk merongrong Islam- sekelompok penyesat. Untuk memperkuat kelompok boneka ini, mereka mendidik seorang alim gadungan yang dapat mengarang buku atau mengeluarkan fatwa yang berisikan propokasi perpecahan[5]. Ia pun menggunakan sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an untuk tujuan perpecahan ini. Buku dan fatwa tersebut adalah buku dan fatwa menyesatkan karena dipersiapkan untuk memperbanyak perpecahan sebagai pengabdian kepada negara-negara pendirinya.
Dari sini, para pengajar ajaran-ajaran agama hendaknya memberitahu bahwa sebab penyimpangan ini adalah karena tidakadanya keikhlasan. Sejumlah pelajar tidak belajar hanya untuk Allah, melainkan untuk tujuan-tujuan duniawi, seperti hawa nafsu dan kecintaan pada dunia. Dengan tujuan-tujuan inilah akhiratnya dihancurkan dan dirubah menjadi neraka Jahim.
Sekalipun seseorang telah mencapai sebuah posisi tinggi, maka hendaknya dia jangan terlebih dahulu merasa aman dari bisikan setan. Perasaan cukup aman ini adalah awal dari keterjerumusan dan penyimpangan. Ia hendaknya selalu berada antara harap dan takut. Takut dari hawa nafsu, merasakan tidak puas dan bisikan-bisikan setan, di samping berharap terhadap rahmat dan kelembutan Allah Swt. Dia Yang Paling Kasih di antara para pengasih.
Ulama di Mata Imam Hasan al-Askari
Sang faqih besar, Syeh Anshari dalam bukunya Farâidul Ushûl, mengutip sebuah hadis indah sebagai tafsir agung dari Imam al-`Askari as atas ayat, “Di antara mereka adalah orang-orang buta aksara yang tidak mengerti al-Kitab…”.
Seseorang bertanya kepada as-Shadiq as: “Apabila mereka itu dari Yahudi dan Nashrani yang tidak mengenal al-Kitab kecuali dari apa yang mereka dengar saja, dan para pemuka agama mereka tidak memiliki jalan selainnya. Lalu bagaimana ketaklidan mereka kepada para ulamanya dikecam. Apakah orang-orang awam Yahudi sama seperti orang-orang awam kita yang mentaklidi ulama-ulama mereka? Apabila taklid kepada para ulamanya tidak diperkenankan kepada orang-orang awam mereka, maka demikian juga tidak diperkenankan kepada awam-awam kita.”
Beliau as berkata: “Di antara orang-orang alim dan ulama kami dan di antara orang-orang awam Yahudi dan Nashrani dengan ulamanya terdapat perbedaan dari satu sisi dan kesamaan di sisi lain. Sisi kesamaannya ialah bahwa Allah Swt mencela orang-orang awam kita bertaklid kepada ulama-ulama mereka, sebagaimana juga Ia mencela awam-awam Yahudi dan Nashrani mentaklidi ulama-ulama mereka. Adapun dari sisi perpecahan mereka tidaklah sama.”
Ia bertanya: ”Jelaskan kepadaku, wahai putra Rasulullah!”
Beliau berkata: ”Sesungguhnya awam-awam Yahudi telah mengetahui kebohongan ulama-ulamanya dengan jelas, mereka memakan harta haram, berbuat zalim, merubah hukum, dan lain-lain. Karena itu, Allah mengecam mereka atas ketaklidannya kepada orang yang mereka ketahui tidak layak untuk ditaklidi pandangan-pandangannya, tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh beramal dengan ajaran yang sampai kepada mereka dari orang-orang yang tidak mereka saksikan. Mereka pun harus mengoreksi diri mereka tentang Rasulullah Saw.”
Demikian pula awam-awam umat kami. Apabila mereka mengetahui kefasikan secara jelas dan kefanatikan yang sangat dari para fuqahanya, maka barang siapa di antara mereka tetap mentaklidi fuqaha seperti itu, berarti mereka seperti awam-awam Yahudi yang telah Allah Swt kecam karena mentaklidi kefasikan para fuqahanya. Maka barang siapa mendapatkan di antara para fuqaha orang yang paling menjaga dirinya, menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya, dan taat terhadap perintah Tuhannya, maka hendaklah bagi orang-orang awam mentaklidinya. Demikian itu berarti hanya kepada sebagian fuqaha Syi`ah saja, bukan semuanya.
Adapun mereka yang melakukan perbuatan buruk dan terbiasa bohong kepada kita, maka mereka sesat atau menyesatkan, dan mereka jauh lebih berbahaya kepada kelompok awam syi`ah kami dari tentara Yazid yang telah memerangi al-Husein bin Ali as[6].
Pertanyaan: Kenapa para ulama yang menyimpang jauh lebih buruk dari tentara-tentara Yazid?
Jawab: Tentara Yazid menyatakan secara terang-terangan permusuhannya, sementara para ulama busuk (suu’) seperti serigala berbulu domba yang menghancurkan agama atas nama agama. Dan jelas bahaya mereka jauh lebih besar dari bahaya orang yang jelas-jelas menyatakan permusuhannya.
Adapun yang dibanggakan oleh orang-orang Syi`ah ialah mereka pada masa silam telah menjadi pengikut para ulama dan marja’ yang padanya terkumpul sayarat-syarat kemuliaan seperti dicirikan para Imam As. Mereka pun selalu ada di bawah bimbingan dan kelembutan kasih mereka.
Tentu tidak diragukan lagi bahwa bertaklid kepada seorang ulama zuhud dan bijak tidak hanya tidak tercela, bahkan itu wajib sebagaimana diperkuat oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat Ahlulbait As[7].[]
Konsep Taklid dalam Ajaran Ahlul Bait as
|
Mukaddimah
“Agama Islam – sebagaimana maklum – terdiri dari tiga unsur yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Tiga unsur utama itu adalah: aqidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah akidah ( ushuluddin ), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan seorang muslim bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini setiap muslim tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tuanya sendiri, artinya ia harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika ia ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, maka ia dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen yang sangat sederhana sekali; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini.”
Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu’uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan “darûriyyatuddin” seperti kewajiban shalat dll, kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok ‘Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok muhtath.
Sebelum kami menjelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtât, dan demi memperjelas pengertian “darûriyyatuddin“, baiklah akan kami jelaskan pembagian “Ahkam Syari’ah“.
Hukum-hukum syari’at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum darûriyah yang biasa juga disebutdarûriyyatuddîn artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma’ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum musliminin. Karena untuk mengetahuinya tidak perlu menguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukumdarûriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya seperti wajibnya salat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum musliminin telah meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau berlajar lama di Hawzah (pesantren).
2. Hukum-hukum syari’at yang bukan dlaruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut “Ahkam Ghairu Daruriyyah” yaitu selain hukum-hukum daruriyyah. Ahkam ghairu darûriyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti, tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) sehingga ia dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya. Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap ‘Ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakanijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para Mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkatijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul. Tingkat Bahtsul Kharij ini dapat dimasuki oleh seorang santri/thalabeh setelah melewati peringkat suthuh. Setidaknya Menurut hemat kami, mereka yang duduk dalam tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih atau minimalnya selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedang peringkat suthuh itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah ia dapat memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij.
Seorang Mujtahid Mutlak untuk dapat mencapai tingkat marja’iah (menjadi marja’ dan nara sumber hukum bagi masyarakat umum dan secara terbuka) biasanya ada syarat-syarat yang harus ia tempuh, seperti adanya kesaksian dari beberapa orang ulama (minimalnya dua orang ahli khibrah yang adil) dan telah menulis Risâlah ‘Amaliah. Seorang ‘Ulama Syi’ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahiddan telah mencapai tingkat marja’ berkata : ” Mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang “canggih”, keseriusan dan kerja keras yang istiqomah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang disebut dengan “taqlid “.
Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtât
Mujtahid ialah : Orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur’an dan Hadits.Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja’) bagi orang-orang awam dan kelompok muqallid.
Muqallid ialah : Orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan ber-taqlid kepada seorang Mujtahid atau Marja’ yang telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang Mujtahid. Sedang arti taqlid itu sendiri adalah beramal ibadah, ber-mu’amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sesuai denganfatwa-fatwa seorang Mujtahid atau marja’.
Muhtât ialah : Orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, tetapi lebih tinggi derajatnya dari mukallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fawa seorang Marja’dengan fawa-fatwa Marja’ lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muhtât adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muhtât jumlahnya sangat sedikit sekali, karena ber-ihtiyât adalah termasuk pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan ber-taqlid kepada seorang marja’.
Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim
Apabila Anda ditanya orang; Mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam madzhab Syi’ah Imamiah (Ahlul Bait As) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah ushuluddin- kepada orang lain sekalipun kepada ‘Ulama dan para mujtahid, tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan “daruriyyatuddin” -setiap muslim yang awam- diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid ataumarja’ ?
Jawabnya adalah : Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/aqidah dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga dalam masalah-masalah aqidah tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, tetapi dalam masalah-masalah fiqih /furu’uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hanya paraMujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja’.
Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari dengan kemajuan teknologi seperti pada masa sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja’ agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri. Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialisasi, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk kepada para mujtahid dan marja’ yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing atau orang Barat dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya akidah, iman dan akhlak Islami seorang muslim. Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adat istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalil-Dalil Keharusan Bertaqlid
Paling tidak ada lima argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam – dalam masalah-masalah fiqih – kepada seorang mujtahid atau marja’. Lima buah argumen itu ialah :
1. Sirah al-‘uqala (Tingkah laku orang-orang yang berakal)
Argumen terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argumen prilaku ‘uqala sepanjang sejarah kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahkan mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para ahli tersebut.
Janganlah coba-coba apabila Anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menservis komputer, karena pasti Anda tidak akan berhasil dan mayarakat umum pun akan mencaci maki Anda. Tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila Anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar ? atau kepada ahli bangunan ?
2. Al-Qur’an,
Artinya: ” Hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya”.(Qs. at-Taubah: 122).
Penjelasan :
Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan “indzar” (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para ‘ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam untuk bertaqlid kepada para ‘ulama, maraji’ danmujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian ‘Ulama Ahli Sunnah berkata: “Maka dengan demikian Allah Swt telah mewjibkan kaum muslimin untuk menerima “indzar” dan peringatan yang disampaikan oleh para ‘Ulama, dan hal itu berarti “taqlid” kepada mereka”.
3. Al-Qur’an,
Artinya: “Maka hendaklah kalian bertanya kepada “Ahli Dzikir” ( para ‘Ulama ) jika memang kalian tidak tahu”. (Qs.an-Nahl : 43).
Penjelasan:
Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si mukallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat tersebut?
Sehubungan dengan pengertian ahli dzikir, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik:
1. Ahli ilmu dan ahli Al-Qur’anul al- Karim
2. Ibnu Qayyim al-Jauzi berpendapat ” bahwa yang dimaksud dengan ahli dzikir ialah ahli tafsir dan ahli hadits” .
3. Ibn Hazm berkata ” ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para ‘ulama tentang hukum-hukum al-Qur’an ” .
Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad, diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para ‘Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa “ghaibah kubra“nya Imam Zaman As. Sedang “ahli dzikir” menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat Al-Qur’an lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma’shum yang jumlahnya ada dua belas orang. Ma’af, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.
4. Al-Qur’an,
Artinya: “Katakanlah pada mereka: ‘Taatilah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri dari kalian’“. (Qs.an-Nisa ayat : 59).
Penjelasan:
Sebagian ‘Ulama Ahli Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan : ” Sesungguhnya Allah Swt -dalam ayat ini- telah memerintahkan hamba-Nya agar mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan ‘Ulil Amri’ yaitu para ‘Ulama atau para ‘Ulama dan Umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya jika tidak ada taqlid, tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka”.
Para ‘Ulama Syi’ah Imamiah – berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahli Sunnah – mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Ulil Amri” dalam ayat tersebut adalah : “Para Imam Dua Belas” setelah wafatnya Rasulullâh saw dari mulai Imâm ‘Alî bin Abî Tâlib As sampai kepada Imâm Zaman al-Mahdi As. Dengan demikian ayat tersebut berarti : ” Hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya dan para Imam Ma’sum yang 12 orang”. Sedang pada masa ghaibah kubra Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian wajib mentaati “Wali Faqih” yaitu Imam Ali Khamene’i Hf dan marja’ kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat.
5. Riwayat Imam Hasan al-Askari As
Artinya: “Adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah “Maula“nya, maka diwajibkan bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya”.
Penjelasan:
Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang ini- kepada seorang marja’ dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan di dalam riwayat tersebut.
Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahli Sunnah di seluruh dunia pada masa sekarang ini – di dalam masalah fiqih – sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi’i, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Maliki, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu -dalam masalah furu’uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja’ tersebut.
Sedang para pengikut madzhab Syi’ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid – dalam masalah furu’uddinyang bukan daruriyyatuddîn dan pada masa ghaib kubra sekarang ini – kepada seorang mujtahid danmarja’ yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum al-Muqaddasah.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja’ yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ‘Ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:.
1. Telah mencapai peringkat mujtahid.
2. Adil.
3. Laki-laki.
4. Beriman ( Syi’i Imami ).
5. Bukan anak hasil zina.
6. Wara’.
7. Lebih alim dari mujtahid lainnya.
8. Dll.
Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataan sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara “Ahli Khibrah “. Ahli Khibrah ialah: Orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara Mujtahid dengan yang bukan/belum Mujtahid dan antara yang a’lam dengan yang tidak.
Menurut Imâm Khomeini Ra, Sayyid al-Qâid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orangAhli Khibrah yang adil[1] untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid ataumarja’. Dengan demikian si mukallaf atau mukallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja’nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya atas seorang marja’ itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja’ yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya daripada marja’ lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a’lamiah seorang marja’ adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbat dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah sosial, politik apalagi materinya.
Pembagian Taqlid
Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun dan secara rasional- tidak keluar dari empat macam,yaitu:
1. Taqlid seorang alim kepada alim lainnya.
2. Taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya.
3. Taqlid seorang alim kepada orang yang jahil.
4. Taqlid seorang yang jahil kepada orang alim.
Bagian pertama, yaitu taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui ( alim ) tentang suatu masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.
Bagian kedua, yaitu taqlid seorang jahil, bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta pula: “peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju ke suatu tempat di sana”.
Bagian ketiga, yaitu taqlid seorang ‘alim kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik minta bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta matanya.
Bagian keempat adalah: taqlid seorang jahil kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu. Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan sebagai “taqlid buta” yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al-Qur’an al-Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat kepada seorang dokter spesialisasi di bidangnya.
“Taqlid buta” adalah satu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argumen yang jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah Swt berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah Swt )” (Qs.Al-Baqarah : 170).
Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, tetapi walau pun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah Swt, ma’sum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur’an al-Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci dan para ‘ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami singgung di atas.
Para pembaca yang budiman, mengingat risalah ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada tempatnya untuk menjelaskan masalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama yang berhubungan dengan masalah “marja’iah” dan “a’lamiah“.
Secara singkat kami katakan, bagi Anda yang baru baligh atau baru masuk/pindah ke madzhab Syi’ah Imamiah pada masa sekarang ini, dimana tidak ada kata sepakat dari para Ahli Khibrah tentanga’lamiah seorang mujtahid atau marja’, jika ingin bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja’, maka carilah dua orang Ahli Khibrah yang menyaksikan dan menyatakan a’lamiahnya. Di samping itu pula, tentunya Anda dituntut untuk mengenal dan memeperhatikan Ahli Khibrah tersebut, baik dari sisi akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan cara-cara lainnya. Karena Ahli Khibrah itulah yang menyampaikan Anda kepada seorang mujtahid atau Marja’ Taqlid. Sedang Marja’ Taqlid itu menyampaikan dan menyambung tali hubungan Anda dengan Imam Zaman Ajf. Dan Imam Zaman Ajf adalah sebagai tali penghubung dan “Al-Urwah al-Wustqa” kepada Allah Swt bagi setiap mukallid, bahkan secara umum bagi setiap insan dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju al-Haq. Bahkan lebih dari itu, Imam Zaman Ajf yang berperan sebagai “al-Hujjah” di muka bumi pana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, “Lawlal Hujjah Lasaakhatil ardlu biahlihaa”, jika tanpa adanya “al-Hujjah” (Imam Zaman Ajf sebagai Imam Maksum yang ke 12), akan hancur luluhlah bumi ini dengan segenap penduduk dan isinya. Pembahasan tentang Imam Zaman ajf sebagai ‘al-Hujjah“, “Wasilah” dan “Al-‘Urwah al-Wutsqa” ini, berhubungan erat dengan pembahasan “hukum kausalitas, sebab akibat dan “Sunnatullah” di dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas dalam risalah sederahana ini. Namun Anda dapat menanyakannya kepada seorang Ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji akidah Syi’ah Imamiyah dengan baik dan mendalam.
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas sehubungan dengan peran penting kehadiran seorang marja’dan Imam Zaman Ajf dalam kehidupan kita sehari-hari, kami katakan bahwa kita tidak akan dapat mencapai makam “mardlatillah” yang murni dan sempurna tanpa mengenal Imam Zaman Ajf dan menapaki jalan-jalan syari’at dan bimbingan beliau. Sebagaimana pula kita yang awam ini tidak mungkin akan dapat mentaati dan melaksanakan segala perintah, syari’at dan bimbingan beliau tanpa menjalankan berbagai aturan dan tata cara beribadah, bermu’amalah, bermasyarakat dst yang telah dirangkum dalam “Risâlah ‘Amaliah” seorang mujtahid/marja’.
Dengan demikian, betapa urgen dan pentinganya kehadiran sebuah “Risâlah ‘Amaliah” Marja’ TaqlidAnda di sisi Anda. Bila hal ini dapat Anda pahami dengan baik dan benar, sehubungan dengan “Hablumminallah” dan “Hablumminannas“, maka tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk mengabaikan dan membiarkan “Risâlah ‘Amaliah” jauh keberadaannya dari sisi Anda, dan tidak mungkin pula Anda akan lebih mengutamakan membaca koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya hanya sekedar untuk mengorek-ngorek informnasi dan berita-berita dunia yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan keimanan Anda dan tidak ada kaitannya pula dengan nasib Anda di alam akhirat yang kekal abadi.
Tidaklah mengherankan apabila terdengar adanya satu dua orang yang dengan sengaja mengabaikan dan tidak mempedulikan kehadiran sebuah “Risâlah ‘Amaliah” dalam peraktik kehidupannya sehari-hari, dan mereka itu lebih mengutamakan sisi afkar (pemikiran) dan aqidah global dalam madzhab Syi’ah Imamiah, lantaran mereka belum dapat memahami dengan baik bagaimana menggapai keridlaan Imam Zaman Ajf sebagai langkah “wasilah” menuju titik sasaran utama dan terakhir “Mardlatillah Swt“.
Harapan dan do’a kami, semoga kini tidak terdengar lagi ungkapan-ungkapan seperti: “Yang penting kan pemikiran, fiqih itu tidak perlu”, atau “Untuk memjadi Syi’ah cukup dengan mempercayai dua belas Imam, dan tidak perlu mempraktikkan fiqih Syi’ah sebelum akidah kita mantap”. Padahal, sekedar mengkaji dan meyakini adanya dua belas Imam tidaklah ada artinya sama sekali, apabila dalam beramal ibadah masih meyakini dan mengikuti aturan-aturan yang datang dari selain meraka.
Demi untuk mempermudah para pecinta dan pengikut setia ajaran Ahlul Bait As di Tanah Air tercinta yang ingin bertaqlid kepada Imam Khamene’i Hf (Ayatullâh al-‘Uzma Sayyid Ali al-Khamene’i Hf), maka kini kami tunjukkan dua orang Ahli Khibrah yang telah menyaksikan dan menyatakan a’lamiah beliau. Dua orang Ahli Khibrah itu ialah: 1.Ayatullâh Syaîkh Muhammad Yazdi Hf. 2.Ayatullâh Sayyid Ja’far al-Karimi Hf. Informasi tentang dua orang Ahli Khibrah ini kami peroleh langsung dari kantor Sayyid al-Qa’id Hf pada tanggal 21 Rabi’ul Awwal Th. 1421 H. Isi surat yang kami ajukan dengan bahasa arab tersebut kurang lebih demikian isinya:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismihi Ta’ala
Dengan ini kami kabarkan kepada Antum (Petugas istiftaat) yang mulia – sesuai dengan pengetahuan kami yang dangkal – bahwa mayoritas mutasyayyi’in di negeri kami (Indonesia) bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh al-‘Uzma Sayyid Ali Khamene’i Hf.. Hal itu demi menghimpun pada pribadi beliau yang mulia antara Marja’iah dan Qiyadah atau Wilayah, dan nyatanya memang maslahatmenuntut demikian. Disamping itu pula bahwa beliau telah masyhur dengan predikat a’lam dari sisi politik, bahkan lebih dari itu, Imam Khomeini ra yang agung telah memberikan isyarat tentang kelayakan beliau dalam hal tersebut. Dan para mutasyayyi’in tersebut bertaqlid kepada beliau yang mulia tanpa muroja’ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah . Dan apabila Antum berpendapat bahwa taqlid semacam ini tidak dianggap sah, artinya: mereka itu harus muroja’ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah untuk mengokohkan a’lamiah beliau, maka hal itu merupakan tugas yang sulit buat mereka dan taklif yang tidak mampu untuk dipikul ( Lâ Yukallifullâhu nafsan illâ wus’ahaa ).
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada Antum yang terhormat agar kiranya dapat menunjukkan kami atau menyebutkan nama-nama Ahli Khibrah yang mendukung a’lamiah Ayatullâh al-‘Uzma Sayyid Ali Khamene’i Hf. Karena terus terang, kami sendiri tidak mampu untuk meneliti dan mohon penjelasan tentang a’lamiah beliau secara langsung dari Ahli Khibrah . Oleh karena itulah kamibertawassul kepada Antum untuk dapat bertaqlid kepada beliau yang mulia. Semoga Antum mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah Swt. Amin……
Qom al-Muqaddasah, 17 Jumaditsatsni 1420 H.
Abu Qurba
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Jawab:
Bismihi ta’ala
Setelah Ahli Khibrah seperti “Himpunan Guru-guru Hawzah” (Jamâ’atul Mudarrisin) – semoga Allah Swt memberkahi mereka – membuat kesaksian atas bolehnya bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh Sayyid Ali Khamene’i Hf bagi seluruh kaum muslimin dan bahwa bertaqlid kepada beliau dapat dipertanggung jawabkan dan juga setelah sekelompok dari mereka mengadakan kesaksian atas a’lamiah beliau seperti Ayatullâh Sayyid Ja’far al-Karimi dan Ayatullâh Muhammad Yazdi dan ‘Ulama-‘Ulama lainnya, maka setelah itu, tidak ada lagi peluang keraguan dan kesamaran atas sahnya taqlid mereka; seluruh ikhwan mu’minin di Indonesia, begitu pula kaum mu’minin di negara-negara lainnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Qom, 21 Rabi’ul Awwal 1421 H
Kantor istifta Sayid Imam Ali Khamene’ Hf
Appendix :
Menimbang dan mengingat:
1. Adanya hubungan erat antara pembayaran, penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumusdengan masalah taqlid.
2. Banyaknya pertanyaan yang sampai di Daftar Rahbar (kantor Ayatullâh Sayyid Imam Ali Khamene-i Hf) tentang masalah penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumus.
3. Demi memberikan petunjuk, bimbingan dan saran syar’i kepada kaum mutasyayyi’in di seluruh tanah air tercinta dan di belahan dunia lainnya agar menyerahkan uang khumus dan mengelolanya sesuai dengan aturan, ketentuan yang berlaku dan hukum syar’i.
4. Demi menghindari hal-hal yang tidak syar’i sehubungan dengan masalah khumus.
5. Risâlah ‘Amaliah tidak menjelaskan masalah ini dengan detail dan terkadang timbul salah paham dari pembaca atau pendengar tentang masalah yang bersangkutan.
Maka – menurut al-haqir – alangkah baiknya apabila risalah taqlid singkat dan sederhana ini kami tambahkan (appendix) dengan menjelaskan beberapa masalah yang berhubungan dengan pembayaran dan pengelolaan khumus.
Masalah Pertama
Hukumnya wajib membayar atau menyerahkan khumus (seperlima dari keuntungan atau kelebihan bersih, yaitu setelah digunakan untuk biaya hidup sehari-hari setelah masa satu tahun) kepada “Wali Urusan Khums” yaitu Marja’ Taqlid Anda masing-masing. Jelasnya adalah apabila Anda bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid ‘Alî Khamene-i Hf, maka Anda wajib menyerahkan khumus Anda kepada beliau, apabila si Fulan bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid Ali Sistani Hf, maka ia wajib menyerahkankhumusnya tersebut kepada beliau, dan begitulah seterusnya, sesuai dengan fatwa kebanyakan Marâji’.
Masalah Kedua
Saham (bagian) Imâm Ma’sum dan saham Sadat sekalipun, wajib diserahkan kepada Wali UrusanKhumus, dan tidak boleh menggunakan atau mengelola harta khumus tersebut tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Wali Urusan Khumus.
Masalah Ketiga
Apabila tidak memungkinkan bagi Anda untuk membayar atau menyerahkan uang khumus secara langsung kepada Marja’ Taqlid Anda, karena jauhnya tempat tinggal Anda misalnya, seperti kaum mutasyayyi’in yang tinggal di Indonesia dll, maka Anda boleh dan wajib menyerahkannya kepada wakilnya yang resmi yaitu yang telah mendapatkan surat izin dari marja’ yang bersangkutan untuk mengambil dan mengumpulkan khumus tersebut untuk nantinya diserahkan kepada marja’ yang bersangkutan.
Masalah Keempat
Apabila Anda merasa ragu; apakah seseorang yang akan Anda serahkan uang khumus itu betul-betul telah mendapatkan surat izin resmi dari Marja’ Taqlid Anda ataukah tidak, maka dalam hal ini hendaknya Anda memohon padanya dengan penuh hormat dan sopan agar ia bersedia memperlihatkan pada Anda surat izin tertulis dari Marja’ yang bersangkutan. Sudah tentu, jika memang ia betul-betul sebagai wakil pengumpul khumus resmi marja’ Anda, pasti ia akan menerima Anda dengan senyum penuh sopan dan senang hati untuk memperlihatkan surat izin tersebut pada Anda. Dan apabila ia menolak untuk memperlihatkan surat izin resmi tertulis terssebut, maka Anda bisa menghubungi Marja’ Taqlid Anda via telpon atau E-mail. Dan sebaiknya Anda tidak/jangan membayar khumus kepadanya
Masalah Kelima
Apabila Anda telah atau sudah pernah menyerahkan khumus kepada seseorang, kemudian Anda merasa ragu; jangan-jangan orang yang Anda serahkan khumus itu tidak atau belum memperoleh surat izin resmi dari marja’ Anda, ataupun Anda tidak merasa yakin kalau uang khumus tersebut ia sampaikan dan ia serahkan kepada marja’ Anda, maka dalam hal ini hendaknya dengan penuh hormat dan sopan pula Anda minta tanda bukti pemberian khumus yang telah di stempel oleh Marja’ Taqlid Anda. Karena biasanya dan pada umumnya, setiap orang dan setiap wakil urusan khumus yang menyerahkan harta atau uang khumus mutasyayyi’in kepada Marja’ Taqlid yang bersangkutan, akan dicatat dengan baik dan diberikan surat tanda bukti penyerahan khumus tersebut semacam kwitansi yang telah distempel atau di tandatangani. Apabila ia dapat membuktikan dan memperlihatkan surat tanda bukti pembayaran khumus tersebut, maka secara syar’i khumus Anda dinilai sah.
Masalah Keenam
Apabila Anda merasa yakin (dengan qârinah-qârinah dan bukti-bukti yang Anda lihat atau dengar) bahwa si Fulan bukan pengumpul khumus bagi Marja’ Taqlid Anda, atau ia tidak menyerahkannya kepada marja’ Anda, atau ia menggunakan dan mengelola harta khumus itu tanpa memperoleh izin dari marja’ Anda, maka dalam hal ini janganlah Anda menyerahkan khumus Anda kepada orang tersebut. Kemudian apabila pada kondisi semacam itu Anda tetap ngeyel dan menyerahkan khumuskepadanya, apakah dalam hal ini khumus Anda itu dianggap sah ataukah tidak? Kalau tidak dianggap sah, apakah Anda wajib mengulangi pembayaran khumus lagi ataukah tidak?. Nah, apabila hal semacam ini terjadi pada diri Anda, kami persilahkan Anda menanyakan masalah terebut kepadaMarja’ Taklid Anda via E-mail fatwa@leader.ir atau ke E-mail: telagahikmah@yahoo.com
Masalah Ketujuh
Biasanya dan sudah menjadi maklum serta merupakan satu kemestian bahwa setiap Marja’ Taqlidmempunyai wakil-wakil urusan/pengumpul khumus di negara-negara yang terdapat kaum mutasyayyi’inyang bertaqlid pada marja’ yang bersangkutan, tanpa kecuali negara kita Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa orang (bukan hanya satu orang) wakil urusan khumus, zakat, hak tasarruf dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai Umur Hisbiyah (Hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengumpulan khumus, kafarah, zakat, pengelolaan dan penggunaannya fi sabilillah dan fi mardlatillah, dll sesuai dengan wewenang yang telah diberikan), yang telah memperoleh surat izin resmi dari Marja’ Taqlid Ayatullâh Sayyid Imâm ‘Alî Khamene-i Hf. Maka sebaiknya, sewajarnya dan sudah semestinya Anda mengenal dan mengetahui dengan baik siapakah mereka itu. Bila Anda mendapatkan kesulitan dalam mengenal mereka, silahkan Anda melayangkan surat ke alamat di atas.
Bila Anda dapat memahami dan mengetahui betapa sulitnya seseorang mencapai peringkat mujtahid, terlebih lagi peringkat marja’, maka Anda akan memahami dan mengetahui pula betapa tinggi derajat dan mulia kedudukan orang-orang yang telah mencapai derajat tersebut. Bila Anda pun dapat mengerti dan mengetahui betapa sulitnya seorang Marja’ Taqlid dan wakil-wakilnya (termasuk Lajnah Istiftaat) dalam menjawab dan memecahkan berbagai persoalan dan problema masyarakat muqallidnya, maka Anda pun akan mengerti dan mengetahui pula betapa tinggi, mulia, suci dan sakralnya orang-orang yang menduduki kursi marja’iyah dan juga orang-orang yang menduduki kursiwikalahnya.
Harapan dan doa kami, semoga suatu saat nanti kita sudah mempunyai seorang mujtahid yang mampu menjadi penyambung lisan Wali Faqih dan Marja’ baik dalam tutur kata maupun dalam amal perbuatannya, sehingga dapat mengatasi dan menyelesaikan berbagai problema masyarakat kaum muslimin dan kaum mutasyayyi’in khususnya. Bukan seorang mujtahid yang malah membuat problem di tengah-tengah masyarakat Islam.
Akhi dan ukhti fillah, ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang telah mencapai peringkat mujtahiddan marja’ (dalam makna yang sebenarnya), adalah sebaik-baiknya manusia yang hidup di muka bumi ini (setelah Imâm Ma’sum tentunya), dan jauh lebih mulia dan tinggi kedudukannya dibandingkan malaikat Allâh Swt.
Sebagian dari masalah-masalah di atas, Anda dapat merujuknya pada kitab Istiftaat jilid 1,hal. 313 pada bab Wali amril khumus wa al wukala-i wa maurid as sharf. Dengan kata lain, beberapa masalah tersebut kami tulis sesuai dengan fatwa Rahbar kita (semoga Allah Swt senantiasa menjaga beliau dan orang-orang yang loyal kepadanya).[]
[1] . Yang dimaksud dengan ahli khibrah pada bab taklid adalah: Seseorang yang telah mampu menilai dan menetapkan kemujtahi dan kea’lamiyahan seseorang dan juga mampu menilai dan membedakan bahwa si fulan A sudah mencapai peringkat mujtahid atau marja’, sementara si fulan B belum. Atau si fulan A lebih alim dalam berijtihad dibandingkan dengan fulan B. kemampuannya itu diperoleh lantaran telah lama belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama seperti ushul fiqih, fiqih, tafsir dan lain-lain. Ahli khibrah itu tidak mesti mujtahid, artinya seseorang dapat mencapai derajat ahli khibrah sekalipun belum mencapai peringkat mujtahid. Tetapi jika seseorang telah mencapai peringkat mujtahid bisa diyakini telah mencapai maqam ahli khibrah. Hingga saat ini kami belum pernah mendengar atau menerima informasi bahwa ada di antara ikhwan kita yang telah mencapai peringkat ahli khibrah, baik ikhwan kita yang belajar di hauzah Qum al-Muqaddasah, apalagi yang tidak mengecap pendidikan hauzah ilmiah. Wallahu a’lam.
Referensi:
[1] . Doakan saya, semoga dalam waktu yang tidak lama, dapat menerjemahkan surat ajakan dialog tersebut yang ditulis oleh guru kami; Ayatullah Syekh Ja’far Subhani hf, insya Allah. Saya pikir, demi mencari dan membuktikan kebenaran, kiranya kaum muslimin dan khususnya para mahasiswa muslim, wajib mengkaji sejarah ajaran Wahabi yang kini telah terbongkar kedoknya, yaitu hubungan eratnya dengan Zionis Israel dan Amerika. Dan agar para pemuda muslim tidak tertipu dengan tampilan lahiriah mereka. Wallahu a’lam.
[2] Tidak diragukan lagi bahwa ayat tersebut dimaksudkan untuk siapa saja yang memiliki kriteria-kriteria yang disebutkan di dalamnya. Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke kitab tafsir Al-Amtsal, jil. 5, pembahasan akhir ayat 175.
[3] QS. Al-Insan: 3.
[4] Bentuk teks ayat tersebut menunjukkan pada kisah-kisah masa silam, bukan masa Nabi Saw. Karena itu ayat tersebut ditujukkan untuk kisah Bal`am bin Ba’ura dan bukan untul selainnya.
[5] .Kini nampak semakin jelas bagi umat Islam, bahwa musuh-musuh Islam, seperti Zionis dan Amerika, tidak akan mampu menghancurkan Islam dan melepaskan akidah Islam dari kaum muslimin.Karena itu mereka mendidik dan membayar ulama suu’ untuk membuat perpecahan dan menyebarkan akidah rusak di kalangan kaum muslimin. Kerjasama dalam kezaliman ini nampak disambut baik oleh para ulama Wahabi atau Salafi. Dan kebanyakan para pemuda, ikhwan dan akhwat yang mengikuti gerakan Wahabi ini, lantaran mereka tidak memahami ajaran Wahabi yang sebenarnya dan karena informasi yang sampai kepada mereka seringkali diputarbalikkan. Sementara itu, mereka diharamkan untuk menelaah buku-buku yang melemahkan akidah Wahabi. Sekiranya para ikhwan dan akhwat itu mengetahui kejahatan Wahabi sesungguhnya, pasti mereka akan meninggalkannya. Dan sekiranya ajaran Wahabi atau Salafi itu haq dan mempunyai argumen yang kuat, pasti mereka terbuka untuk berdiskusi dan berdialog dengan ajaran-ajaran lain, bukan malah lari dan menghindar dari dialog terbuka. Ustadz Allamah Sayyid Kamal Haidari hf, setiap malam Jum’at di TV al-Kautsar, membedah habis kedangkalan akidah Wahabi dan selalu mengajak ulama mereka untuk berdialog secara terbuka di hadapan masyarakat muslim dunia. Tetapi hingga kini tidak seorang ulama pun dari mereka yang berani mauju ke depan. Jika Anda mempunyai Parabola, Anda pun bisa mengiktuinya. Salah satu tanda bahwa ajaran itu haq, ketika ajaran itu sangat terbuka dan para ulamanya senantiasa siap berdialog dan adu argumen.
[6] Farâidul Ushûl, jil. 58 dalam edisi satu jilid.
[7] .Fiqih Ahlulbait As membahas secara luas masalah taklid dan mewajibkan pengikutnya agar bertaklid kepada para mujtahid atau marja’ yang telah memenuhi syarat. Hal ini berbeda dengan pandangan Ahlusunnah. Masalah taklid dalam ajaran Ahlulbait As, bisa Anda rujuk pada situs ABNA tercinta ini.
******
Para pembaca sekalian, mungkin banyak yang tidak mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya akidah wahabi-salafi, orang-orang awam pada umumnya hanya mengetahui bahwa akidah mereka menetapkan sifat-sifat Allah yang ada dalam al-Quran dan menghindari takwil karena takwil bagi mereka adalah perbuatan Yahudi.
Apalagi orang-orang yang telah menjadi doktrin mereka atau tertarik ajaran mereka sebab topeng yang mereka gunakan dengan slogan kembali pada Al-Quran dan Sunnah dan menjauhi segala bentuk kesyirikan, maka sudah pasti akan melihat ajaran dan akidah mereka murni ajaran tauhid yang suci. Usaha keras untuk memberantas segala bentuk kesyirikan yang ada dan telah merata di seluruh permukaan bumi ini.
Tapi tidak bagi kaum muslimin yang memiliki pondasi Tauhid Ahlus sunnah waljama’ah, mereka akan mampu mengetahui dan melihat misi jahat yang diselipkan di belakang slogan itu. Seiring waktu berjalan, semakin terlihat, semakin terbongkar akidah wahabi-salafi yang sesungguhnya, semakin tercium dan tampak persamaan akidah wahabi-salafi dan Yahudi. Mereka secara lahir menampakkan pada kaum muslimin permusuhan pada Yahudi, tapi secara sembunyi berteman akrab dengan Yahudi.
Pada kali ini, saya akan bongkar untuk pembaca akidah wahabi-salafi yang sesungguhnya yaitu “ AKIDAH WAHABI-SALAFI ADALAH AKIDAH YAHUDI “. Tidak perlu saya mengambil sumber dari kitab-kitab para ulama ahlus sunnah yang menceritakan akidah wahabi. Jika saya nukil dari para ulama ahlu sunnah tentang perkataan tasybih dan tajsim mereka, maka mungkin mereka masih bisa menolak dan mengelak, mereka akan mengatakan itu fitnah dan tuduhan yang tak berdasar pada syaikh-syaikh kami, tapi saya akan tampilkan dengan bukti-bukti kuat akurat yang bersumber dari kitab-kitab karya ulama mereka sendiri yang sudah mereka cetak, terutama Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, ad-Darimi (bukan ad-Darimi sunni pengarang kitab sunan), Albani, Ibnu Utsaimin dan yang lainnya, Yang tak akan mampu mereka bantah.
Saya hanya menampilkan bukti-bukti kongkrit ini semata-mata hanya untuk suadara-saudaraku yang telah terpengaruh dengan akidah wahabi. Dan petunjuk hanyalah dari Allah Swt.
Jika masih ada wahabi yang membantah bukti dan penjelasan nyata ini, maka ibarat orang yang berusaha menutupi cahaya matahari yang terang benderang di sinag hari dengan segenggam tangannya.
1. Akidah Yahudi:
Di dalam naskah kitab Taurat yang sudah dirubah yang merupakan asas akidah Yahudi yang mereka namakan “ SAFAR AL-MULUK “ Al-Ishah 22 nomer : 19-20 disebutkan :
و قال فاسمع إذاً كلام الرب قد رأيت الرب جالسا على كرسيه و كل جند السماء وقوف لديه عن يمينه و عن يساره“
Dan berkata “ Dengarkanlah, ucapan Tuhan..aku telah melihat Tuhanku duduk di atas kursinya dan semua pasukan langit berdiri di hadapannya dari sebelah kanan dan kirinya “.
Dalam kitab mereka yang berjudul “ SAFAR AL-MAZAMIR “ Al-Ishah 47 nomer 8 disebutkan :
الله جلس على كرسي قدسه
“ Allah duduk di atas kursi qudusnya “.
Akidah wahabi-salafi :
Di dalam kitab andalan wahabi-salafi yaitu Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyyah al-Harrani imam wahabi juz 4 halaman 374 :
إن محمدا رسول الله يجلسه ربه على العرش معه
“ Sesungguhnya Muhammad Rasulullah didudukkan Allah di atas Arsy bersama Allah “.
Di dalam kitab “ Syarh Hadits an-Nuzul “ halaman 400 cetakan Dar al-‘Ashimah disebutkan bahwasanya Ibnu Taimiyyah berkata :
فما جاءت به الأثار عن النبى من لفظ القعود و الجلوس فى حق الله تعالى كحديث جعفر بن أبى طالب وحديث عمر أولى أن لا يماثل صفات أجسام العباد
“ Semua hadits yang datang dari Nabi dengan lafadz qu’ud dan julus (duduk) bagi Allah seperti hadits Ja’far bin Abi Thalib dan hadits Umar, lebih utama untuk tidak disamakan dengan anggota tubuh manusia “.
Dalam halaman yang sama Ibnu Taimiyyah berkata :
إذا جلس تبارك و تعالى على الكرسي سمع له أطيط كأطيط الرحل الجديد
“ Jika Allah duduk di atas kursi, maka terdengarlah suara suara saat duduk sebagaimana suara penunggang bintang tunggangan karena beratnya ”
Kitab tersebut dicetak di Riyadh tahun 1993, penerbit Dar al-‘Ashimah yang dita’liq oleh Muhammad al-Khamis.
Di dalam kitab ad-Darimi (bukan ulama sunni al-Hafdiz ad-Darimi pengarang hadits sunan) halaman 73 disebutkan :
هبط الرب عن عرشه إلى كرسيه
“ Allah turun dari Arsy ke kursinya “
Kitab itu terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah yang dita’liq oleh Muhamamd Hamid al—Faqiy.
Kitab ad-Darimi (al-wahhabu) ini dipuji-puji oleh Ibnu Taimiyyah dan menganjurkannya untuk dipelajari, sebab inilah wahabi menjadi taqlid buta.
Tapi akidah mereka ini disembunyikan dan tidak pernah dipublikasikan ke khalayak umum.
Sekedar info : Lafadz duduk bagi Allah tidak pernah ada dalam al-Quran dan hadits.
2. Akidah Yahudi:
Di dalam naskah Taurat yang sudah ditahrif yang mereka namakan “ Safar at-Takwin Ishah pertama nomer : 26-28 disebutkan :
و قال الله نعمل الإنسان على صورتنا على شبهنا… فخلق الله الإنسان على صورته على صورة الله خلقه ذكرا و أنثى خلقهم
“ Allah berkata ; “ Kami buat manusia dengan bentuk dan serupa denganku…lalu Allah menciptakan manusia dengan bentuknya, dengan bentuk Allah, dia menciptakan laki-laki dan wanita “.
Akidah wahabi :
Di dalam kitab “ Aqidah ahlu Iman fii Khalqi Adam ‘ala shurati ar-Rahman “ karya Hamud bin Abdullah at-Tuajari syaikh wahabi, yang dicetak di Riyadh oleh penerbit Dar al-Liwa cetakan kedua, disebutkan dalam halama 16 :
قال ابن قتيبة: فرأيت في التوراة: إن الله لما خلق السماء و الأرض قال: نخلق بشرا بصورتنا
“ Berkata Ibnu Qathibah “ Lalu aku melihat di dalam Taurat : “ Sesungguhnya Allah ketika menciptakan langit dan bumi, Dia berkata : “ Kami ciptakan manusia dengan bentukku “.
Pada halaman berikutnya di halaman 17 disebutkan :
و في حديث ابن عباس: إن موسى لما ضرب الحجر لبني إسرائيل فتفجر و قال: اشربوا يا حمير فأوحى الله إليه: عمدت إلى خلق من خلقي خلقتهم على صورتي فتشبههم بالحمير ، فما برح حتى عوتب
“ Di dalam hadits Ibnu Abbas : “ Sesungguhnya Musa ketika memukul batu untuk Bani Israil lalu keluar air dan berkata : “ Minumlah wahai keledai, maka Allah mewahyukan pada Musa “ Engkau telah mencela satu makhluk dari makhlukku yang Aku telah ciptakan mereka dengan rupaku, lalu engkau samakan mereka dengan keledai “ Musa terus ditegor oleh Allah “.
Naudzu billah dari pendustaan pada Allah dan pada para nabi-Nya.
3. Akidah Yahudi:
Disebutkan dalam kitab Yahudi yang mereka namakan “ Safar Khuruj “ ishah 19 nomer : 3-6 :
فناداه الرب من الجبل … فالآن إن سمعتم لصوتي و حفظتم عهدي
“ Maka Tuhan memanggil kami dari bukit….sekarang jika kalian mendengar suaraku dan menjaga janjiku “.
Akidah wahabi :
Di dalam kitab “ Fatawa al-Aqidah “ karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin yang dicetak Maktabah as-Sunnah cetakan pertama tahun 1992 di Mesir, pada halaman 72 Ibnu Utsaimin berkata :
في هذا إثبات القول لله و أنه بحرف و صوت ، لأن أصل القول لا بد أن يكون بصوت فإذا أطلق القول
فلا بد أن يكون بصوت
“ Dalam hal ini dijelaskan adanya penetapan akan ucapan Allah Swt. Dan sesungguhnya ucapan Allah itu berupa huruf dan suara. Karena asli ucapan itu harus adanya suara. Maka jika dikatakan ucapan, maka sudah pasti ada suara “.
4. Akidah Yahudi:
Di dalam kitab taurat yang sudah ditahrif yang mereka namakan dengan “ SAFAR ISY’IYA “ Ishah 25 nomer 10, Yahudi berkata :
لأن يد الرب تستقر على هذا الجبل
“ Sesungguhnya tangan Tuhan istiqrar / menetap di gunung ini “
Akidah wahabi :
dalam kitab Fatawa al-Aqidah karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin yang diterbitkan oleh Maktabah as-Sunnah cetakan pertama halaman 90, al-Utsaimin berkata :
و على كل فإن يديه سبحانه اثنتان بلا شك ، و كل واحدة غير الأخرى ، و إذا وصفنا اليد الأخرى بالشمال فليس المراد أنها أنقص من اليد اليمنى
“ kesimpulannya, sesungguhnya kedua tangan Allah itu ada dua tanpa ragu lagi. Satu tangannya berlainan dari tangan satunya. Jika kita sifatkan tangan Allah dengan sebelah kiri, maka yang dimaksud bukanlah suatu hal yang kurang dari tangan kanannya “.
5. Akidah Yahudi:
Di dalam kitab Yahud “ Safar Mazamir “ Ishah 2 nomer : 4 disebutkan :
الساكن في السموات يضحك الرب
“ Yang tinggal di langit, Tuhan sedang tertawa “
Akidah wahabi :
Di dalam kitab “ Syarh Hadits an-Nuzul “ cetakan Dar al-’Ashimah halaman 182, Ibnu Taimiyyah berkata :
أن الله فوق السموات بذاته
“ Sesungguhnya Allah itu di atas langit dengan Dzatnya “
Di dalam kitab “ Qurrah Uyun al-Muwahhidin “ karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab (cicit Muhammad bin Abdul wahhab), cetakan Maktabah al-Muayyad tahun 1990 cetakan pertama, halaman 263 disebutkan :
أجمع المسلمون من أهل السنة على أن الله مستو على عرشه بذاته…استوى على عرشه بالحقيقة لا بالمجاز
“ Sepakat kaum muslimin dari Ahlus sunnah bahwa sesungguhnya Allah beristiwa di Arsy dengan dzat-Nya…Allah beristiwa di atas Arsy secara hakekat bukan majaz “.
Dan masih segudang lagi akidah-akidah wahabi-salafi yang meyakiniTuhannya dengan sifat-sifat makhluk-Nya sebagaimana akidah Yahudi.
Dan masih segudang lagi akidah-akidah wahabi-salafi yang meyakiniTuhannya dengan sifat-sifat makhluk-Nya sebagaimana akidah Yahudi. Dan jika saya beberkan semuanya, maka akan menjadi lembaran yang sangat banyak. Cukup yang singkat sedikit ini membuktikan bahwa akidah wahabi-salafi yang sesungguhnya adalah akidah Yahudi.
(Tour-Mazhab/ABNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email