“Para mubaligh bisa hadir aktif di situs-situs jejaring sosial dan mengontrol setiap isu dan kritik yang dilontarkan. Lantas mereka bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Tentu, tanggung jawab berat ini tidak bisa dipikul oleh setiap mubaligh.”
Begitu hal ini disampaikan oleh Ja‘far Rahmani salah seorang ahli kebudayaan di Universitas Internasional al-Mustafa kepada wartawan Shabestan hari ini.
Situs-situs jejaring sosial ini, lanjut Rahmani, adalah kesempatan sebagai sebuah fasilitas untuk menyebarkan informasi keagamaan.
Banyak member di situs-situs ini, tukas Rahmani, termasuk golongan yang sangat komitmen terhadap agama. Dengan merujuk kepada sumber-sumber otentik Islam, mereka bisa menjawab setiap syubhat dan kritikan yang dilontarkan.
“Tapi tidak sedikit para member yang mungkin tidak beriman. Hanya saja, mereka mungkin memiliki banyak pertanyaan dan kritikan yang perlu dijawab. Dan tidak sedikit pula dari mereka yang memang menjadi member hanya untuk menciptakan fitnah,” ungkap Rahmani.
Dalam atmosfir seperti inilah, tegas Rahmani, para mubaligh akan tampil lebih kentara dan matang. Dengan demikian, mereka bisa mengambil langkah-langkah yang lebih bisa berpengaruh.
“Mereka yang hadir di situs-situs jejaring sosial dengan tujuan untuk merusak keyakinan masyarakat tak ubahnya seperti virus yang menyerang masyarakat. Di sinilah para mubaligh harus tampil sebagai pahlawan. Tentu, mereka juga harus berbekal diri dengan mengenal lawan bicara mereka.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email