Pesan Rahbar

Home » » CATATAN KEMANUSIAAN “TREGEDI SYIAH SAMPANG” DARI SEORANG WARTAWAN

CATATAN KEMANUSIAAN “TREGEDI SYIAH SAMPANG” DARI SEORANG WARTAWAN

Written By Unknown on Monday, 20 July 2015 | 04:55:00


Mereka hidup di ruang dan waktu yang sama dengan orang-orang sekitar. Tapi, realitas yang mereka hadapi seakan melempar ke lorong waktu yang berbeda. Seperti yang terlihat Kamis sore lalu (9/7). Kehidupan yang mereka jalani begitu kontras dengan orang-orang di sekitar tempat mereka tinggal di Flat Puspa Agro, Taman, Sidoarjo.

Sore itu, di sepanjang Jalan Raya Jemundo yang hanya selemparan batu dari tempat mereka tinggal, berjajar puluhan penjual makanan dan minuman untuk takjil. Ada gorengan, aneka lauk-pauk, kolak, dan juga es degan. Orang-orang banyak yang keluar rumah untuk berburu makanan yang dijajakan di sepanjang jalan itu. Suasananya cukup riuh. Apalagi, waktu berbuka puasa memang tinggal satu jam lagi sore itu.

Tapi, keriuhan itu tak terlihat di Flat Puspo Agro. Memang ada beberapa anak kecil yang bermain. Beberapa anak muda juga nongkrong di depan flat. Orang-orang tua ngobrol ringan di dekat tangga. Beberapa lainnya memilih bersandar di pagar-pagar flat. Namun, suasananya begitu dingin. Tak ada keceriaan seperti yang terlihat di sepanjang Jalan Raya Jemundo.

Tak ada pula aneka makanan untuk takjil saat berbuka. Dapur-dapur di beberapa ruang memang tampak mengepulkan asap. Namun, tak banyak yang dimasak untuk bersantap dikala buka puasa yang akan segera menyapa. ”Beginilah hari-hari yang kami jalani. Kami benar-benar terasing di negeri kami sendiri,” ungkap Iklil Al-Milal.

Iklil tidak sedang berhiperbola dengan kehidupannya. Tapi, begitulah hari-hari yang dijalani para pengungsi Syiah asal Sampang, Madura yang tinggal di Flat Puspa Agro. Iklil merupakan satu diantara 320 jiwa pengungsi Syiah yang ”tinggal” di penampungan yang terletak di pasar induk milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu. Iklil sekaligus menjadi orang yang dituakan dalam kelompok tersebut.

Kehidupan para pengungsi Syiah memang jauh dari kata bahagia. Sudah tiga tahun mereka terusir dari kampung halamannya. Sebelum dipindah ke Puspa Agro pada 20 Juni 2013, selama setahun mereka tinggal di Gedung Olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang. Orang-orang itu merupakan korban tragedi kemanusian pada Agustus 2012.

Ketika itu, perkampungan mereka di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karangpenang diserang orang tak dikenal. Satu orang tewas. Tak kurang dari 47 rumah dibakar. Setelah peristiwa itu mereka tak lagi bisa menetap di kampung halamannya. Setelah diungsikan ke GOR Wijaya Kusuma, mereka lalu dipindah ke Puspa Agro hingga saat ini.

”Harapan kami masih sama. Kami ingin kembali ke kampung halaman. Kami ini bagian dari negara ini yang patut mendapat perlakukan yang sama,” tegas Iklil. Harapan itu disebut Iklil juga sebagai wujud keinginan mereka agar kelompok masyarakat lainnya yang minoritas tidak mengalami hal seperti yang dialami pengikut Syiah Sampang. ”Yang minoritas juga layak mendapat jaminan kehidupan yang layak,” imbuhnya.

Iklil dan saudara-saudaranya merasa tidak bisa terus-menerus hidup di pengungsian. Mereka juga tidak ingin terus-menerus berpangku tangan. Saat ini, mereka memang mendapat bantuan dari pemerintah setiap bulannya. Setiap jiwa mendapat bantuan Rp 700 ribu. Yang dewasa kini juga telah mendapat pekerjaan di Puspa Agro. Mereka dipekerjakan sebagai tukang kupas kelapa. Sebijinya dihargai Rp 150. Dalam sehari mereka bisa mengantongi upah Rp 30 ribu.

”Sampai kapan kami seperti ini? Sampai kapan pemerintah mengucurkan bantuan? Kalau mereka menghentikan, lalu mau kemana kami. Karena itu, kembalikan kami ke kampung halaman,” kata Iklil.

Mereka ingin kembali hidup normal. Mereka ingin anak-anaknya bisa bersekolah lagi. Memang saat ini yang SD masih tetap bisa bersekolah. Tapi, waktu dan ruangnya terbatas. Anak-anak pengungsi Syiah hanya bersekolah di pengungsian. Setiap harinya jam pelajarannya cuma satu jam. Itupun kelasnya dicampur. Kelas 1, 2, 3 belajar di satu ruangan. Begitupula yang kelas 4, 5, dan 6.

Situasi itu sangat tidak menguntungkan. Karena itu, mereka tidak ingin terus terasing di negerinya sendiri. Bagi mereka hidup di kampung halaman jauh lebih nyaman. ”Kalau di kampung setiap harinya memang kami tidak selalu memegang uang. Tapi, selalu ada tabungan untuk pendidikan dan untuk makan,” ujar Iklil.

Untuk makan misalnya. Kalau tidak memiliki lauk, mereka bisa memetik sayur di kebun atau di sawah. Ayam pun sama. Sebab, di kampung mereka bisa memeliharanya dan bisa memasaknya jika menginginkannya. Itulah yang membuat mereka selalu merindukan kampung halamannya. Lebih-lebih saat Ramadah seperti ini.

Iklil menyebut kalau saat Ramadan seperti ini di kampung mereka bisa menikmati aneka masakan. Bisa menyiapkan takjil sesuai yang diinginkan. Sebab, bahannya tersedia dan mudah didapatkan. Murah pula. ”Di sini semua harus beli dan uang kami tidak seberapa. Jadi untuk buka atau sahur ya makan seadanya,” paparnya.

Lebaran tak jauh berbeda. Tak ada baju baru. Termasuk untuk anak-anak. Padahal, saat di kampung halaman, anak-anak selalu mendapat jatah baju baru ketika lebaran. ”Itu adalah kebanggaan mereka setahun sekali. Tapi, di sini kebanggaan itu tidak bisa mereka dapatkan,” aku Iklil.

(Mahdi-News/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: