Pertanyaan:
Dengan memperhatikan bahwa Tuhan adalah Mahatahu secara mutlak lalu untuk tujuan apa Tuhan menggelar ujian bagi manusia?
Jawaban Global:
Sebagaimana
yang mengedepan dalam pertanyaan terkait pelbagai ujian Ilahi bukanlah
bermaksud untuk menyingkap apa-apa yang tidak diketahui. Lantaran Tuhan
Mahatahu atas segala sesuatu, namun ketika kita merujuk kepada ayat dan
riwayat maka kita jumpai bahwa pelbagai ujian ini, merupakan sebuah
tradisi (sunnah) dan kanun Ilahi yang berpijak pada tradisi-tradisi
lainnya seperti, tarbiyah dan petunjuk umum Ilahi. Allah Swt, melalui
syariat yang ditetapkan bagi seluruh manusia dan berbagai peristiwa yang
terjadi, berkehendak bahwa semua ini tidak keluar dari bakat dan
potensi manusia. Dan barangsiapa yang dapat mengaktualkan seluruh
potensi ini maka ia akan terbimbing untuk sampai pada kesempurnaan yang
diinginkannya.
Di antara redaksi-redaksi yang terdapat pada teks-teks agama terkait penjelasan ujian Ilahi digunakan redaksi “fitnah.”
Fitnah artinya adalah suci dan murninya emas. Dinukil dari riwayat
bahwa manusia diuji sebagaimana emas diuji. Substansi wujud manusia
adalah emas yang termurnikan dan bertumbuh-kembang dengan
pelbagai peristiwa dan ujian Ilahi. Di antara pengaruh lain dari
pelbagai ujian Ilahi adalah membangungkan manusia dari kelalaian. Allah
Swt dalam ayat-ayat al-Qur’an memperkenalkan tujuan menggodok manusia
dalam berbagai perisitiwa pilu dan getir adalah untuk menguji dan
sebagai hasilnya adalah bangung dan terjaganya manusia dari lelapnya.
Sejatinya dapat dikatakan bahwa pelbagai peristiwa ini laksana
jalan-jalan rekaan (pseudo) di jalan besar yang dimaksudkan
supaya pengemudi tidak terlelap dan jatuh ke dalam jurang karena yang
tersedia cuma satu jalan besar.
Ujian
juga perlu digelar bagi orang-orang kafir dan fasik sehingga
teraktualkan segala nista yang tertimbun dalam jiwa mereka. Dengan kata
lain, Allah Swt memiliki dua keinginan dan kehendak dalam menggelar
ujian. Pertama, kehendak takwini dan kedua kehendak tasyri’i. Kehendak takwini
Tuhan dalam mengadakan ujian ini adalah supaya orang-orang mukmin dan
kafir masing-masing dapat mengaktualkan seluruh potensi yang mereka
miliki. Adapun kehendak tasyri’i Ilahi dalam menggelar ujian ini
adalah supaya manusia menunjukkan jiwanya yang suci dan mengaktualkan
segala potensi kebaikan yang dimilikinya.
Jawaban Detil:
Ujian yang digelar Tuhan bukan dimaksudkan untuk meyingkap hal yang tidak diketahui (majhul).
Karena Dia adalah Mahamengetahui atas segala sesuatu. Pengadaan ujian
ini merupakan sunnah Ilahi, yang bersandar pada sebuah tradis takwini
(penciptaan). Yang dimaksud dengan tradisi takwini adalah tradisi
hidayah umum Ilahi yang bertautan dengan eksisten-eksisten yang memiliki
taklif seperti manusia.
Allah Swt memiliki dua hidayah (petunjuk):
1. Hidayah khusus yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu dan ternafikan untuk orang-orang tertentu, “Dan Allah Swt tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.” (Qs. Al-Jumu’ah [62]:5) atau pada ayat lainya, “Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Qs. Shaf [61]:5). Lawan dari hidayah (petunjuk) semacam ini adalah kesesatan (idhlal).
2. Hidayah
bermakna penunjukan jalan yang diperuntukkan bagi orang-orang mukmin
dan kafir. Jenis hidayah ini hanya dikhusukan untuk eksisten berakal
saja, “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan, ada yang bersyukur ada pula yang kufur.” (Qs. Al-Insan [76]:3) atau pada ayat, “Dan adapun kaum Tsamud Kami telah memberi petunjuk kepada mereka.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:17).
3. Hidayah takwini yang dari sisi kandungannya bersifat umum juga dari sisi hasilnya, hal ini tertuang pada ayat al-Qur’an, “Musa
berkata, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada
makhluk-Nya segala sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi
petunjuk kepada mereka.” (Qs. Thaha [20]:50) dan Tuhan memberikan petunjuk kepada seluruh makhluk baik yang memiliki akal atau tidak. Atau pada ayat, “yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (Qs. Al-A’la [87]:3).
“Takdir” (qaddara)
adalah penyediaan sebab-sebab dan akibat-akibat sehingga dengan media
sebab dan akibat ini, seluruh eksisten diarahkan kepada tujuan dan
sasaran penciptaannya. Dalam ayat ini, Allah Swt memandang petunjuk ini
sebagai hasil dari takdir.
Segala sesuatu dengan perantara hidayah (umum) ini bergerak menuju tujuan dan sasarannya masing-masing. Tiada satu eksisten pun yang terkecuali dari aturan universal ini. Manusia dalam hidayah ini tidak akan sampai kepada kesempurnaan kecuali dengan perbuatan-perbuatan ikhtiari (bebas) dan iradi
(berkehendak) mereka. Artinya, kesempurnaan manusia terletak pada
perbuatan-perbuatan ikhtiari dan oleh karena itu Tuhan harus menetapkan
sistematika aturan dalam frame perintah-perintah (awâmir) dan larangan-larangan (nawâhi).
Dari sisi lainnya, Allah Swt memunculkan pelbagai peristiwa sosial dan
personal, yang sebagian dari peristiwa tersebut berdasarkan pilihan
manusia itu sendiri dan sebagiannya tidak, sehingga manusia mampu dengan
berkonfrontasi dengan kedua hal ini maka ia dapat mengaktualkan potensi
dan bakat yang dimilikinya, sehingga, pada akhirnya ia
meraih kebahagiaan atau menuai kesengsaraan. Atas alasan ini, Allah
menggelar ujian, cobaan, menurunkan bala dan musibah.
Dengan
kata lain, Tuhan adalah penguji manusia. Dan media pelbagai ujian yang
digelar-Nya adalah syariat dan pelbagai peristiwa sehingga dengan dua
perantara ini, kondisi manusia menjadi jelas terkait dengan tujuan yang
diseru agama untuk dicapai.
Dengan
demikian, seluruh ujian Ilahi berpijak pada asas tarbiyah umum Ilahi
dan dengan tarbiyah semacam ini kondisi manusia menjadi jelas ia
termasuk golongan mana? Apakah ia termasuk golongan orang-orang yang
mendapat ganjaran atau hajaran?[1]
Al-Qur’an menjelaskan pada surah Ali Imran (3) ayat 140 dan 141 tentang tujuan Ilahi dari ujian-ujian seperti ini, “Kami
mempergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan
supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang
kafir) dan supaya Dia menjadikan sebagian kamu sebagai saksi. Dan Allah
tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan
orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang
yang kafir.”
Dan dengan ujian silih-berganti, iman dan keutamaan akan nampak jelas dan kekufuran secara perlahan akan hilang.[2] Namun bagi orang-orang kafir, terdapat kebinasaan yang lain dimana al-Qur’an menjelaskannya demikian, “Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Qs. Thaha [20]:132)atau pada ayat,
“Dan sungguh Kami telah tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam)
azd-Dzikr (Taurat) bahwasanya hamba-hamba-Ku yang saleh mewarisi bumi
ini.” (Qs. Al-Anbiya [21]:105).
Hasil dari pengaruh-pengaruh konstruktif pelbagai ujian Ilahi dapat diringkas dalam beberapa perkara:
1. Berseminya
seluruh potensi yang tertimbun dan menciptakan mental resisten pada
diri manusia. Imam Ali As dalam sebuah hadis bersabda, “Dalam pergolakan
dan kesusahan pelbagai kondisi dan masa dimana mutiara kelaki-lakian
akan dikenal.”[3] Dinukil dari Imam Ridha As, “Manusia diuji sebagaimana emas. Menjadi murni dan suci sebagaimana emas.” [4]
Fitnah artinya suci dan murninya emas.[5]
Emas ditempa di atas api sehingga segala yang tidak murni terbakar dan
menjadi murni. Substansi wujud manusia adalah ibarat emas dimana Tuhan
menghendaki wujud manusia menjadi murni dalam tempaan dan godokan api
syahwat, duka dan nestapa. Dan dari sini harus dikatakan bahwa ujian
merupakan wahana untuk penggemblengan dan penyempurnaan manusia.
Sepanjang tiada nestapa bilamanakah manusia akan paripurna,
Sepanjang tiada angin dan hujan bilamanakah bunga akan merekah.
Dewasa
ini para tentara dilatih dengan latihan-latihan berat dan keras supaya
tingkat kinerja mereka semakin berbobot. Pelbagai ujian Ilahi adalah
untuk menguatkan kekuatan batin manusia. Imam Ali As bersabda, “Meski Allah
Yang Mahasuci mengetahui mereka lebih dari mereka mengetahui diri
mereka sendiri, namun Dia berbuat demikian untuk membiarkan mereka
melakukan perbuatan yang dengan itu mereka mendapatkan ganjaran atau
hajaran.”[6]
Dan hal ini merupakan sebaik-baik kesempatan untuk mengenal segala
potensi yang dimiliki manusia dan upaya untuk mengaktualkan segala
potensi tersebut. Dan merupakan jalan yang lain untuk menuntaskan hujjah
baginya sehingga di hari kemudian kelak ia tidak mengklaim bahwa ia
layak mendapatkan ganjaran atau lebih dari yang seharusnya ia terima.
2. Tersingkirnya
kelalaian: Allah Swt tidak hanya menguji manusia dengan pelbagai bala
dan musibah, namun terkadang dengan melimpahnya nikmat, kekuasaan
pemerintahan dan keselamatan.[7]
Dengan nikmat yang melimpah ini terkadang manusia menjadi angkuh dan
menjadi sebab keterpurukannya. Allah Swt membuat manusia berkonfrontasi
dengan pelbagai peristiwa getir untuk menyelamatkan dan membangunkannya.
Dan demikian Dia menguji manusia sehingga ia mampu mengenal antara
kubangan dan jalan. Untuk membuatnya yakin bahwa seluruh keberadaan dan
nikmat adalah berasal dari Tuhan supaya ia tidak lalai dari-Nya dan
karam dalam lautan dosa.
Sebagian musibah adalah seperti
lekukan dan tikungan buatan yang dibuat di jalan sehingga para sopir
tetap waspada dan tidak terlelap yang dapat membuatnya jatuh ke dalam
jurang. Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung efek edukatif dan
tarbiyah dari pelbagai ujian Ilahi ini. Dalam ayat-ayat in, terkadang
disebutkan tujuannya adalah “dzikr” dan pada waktu lainnya, “tadharru’”
(tunduk dengan merendahkan diri) atau kali lainnya, “kembali dan
mudik.” Dan hal ini disebabkan bahwa kembali ke sisi Tuhan bergradasi
dan memiliki tingkatan.[8] Tingkatan pertama adalah tadzakkur (mengingatkan) kemudian tadharru’ (tunduk) di hadapan Tuhan. Kemudian manusia secara praktis meluruskan jalannya dan kembali kepada-Nya.[9] Imam ‘Ali dalam sebuah hadis menyinggung poin Qur’ani ini, “Sesungguhnya
Allah menguji para hamba-Nya sehubungan dengan perbuatan jahat mereka
dengan mengurangi buah-buahan, menahan nikmat dan menutup perbendaharaan
yang baik, agar barangsiapa yang ingin bertaubat dapat bertaubat, orang
yang ingin berpaling (dari kejahatan) dapat berpaling, dan orang yang
ingin mengingat (kebaikan yang dilupakan) dapat mengingat, dan orang
yang ingin berpaling (dari kejahatan) dapat berpaling.”[10]
Akan
tetapi di sini sebuah pertanyaan mengemuka lalu mengapa para wali
Allah, para imam dan nabi diuji? Jawabannya adalah karena sebagaimana
yang telah disinggung sebelumnya bahwa hal ini merupakan tradisi
(sunnah) umum Ilahi dan tiada yang terkecualikan dalam tradisi ini.
Amirul Mukminin As bersabda: “Para nabi menjadi sasaran ujian supaya
derajat-derajat mereka semakin menjulang.”[11]
Dengan
penjelasan ini, tujuan digelarnya ujian Ilahi menjadi terang bahwa
ujian ini tidak dimaksudkan supaya Tuhan mengetahui kondisi manusia,
melainkan supaya manusia dapat mengaktualkan pelbagai potensi yang
dimilikinya.[]
Referensi:
[1]. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Al-Kahf [18]:7) Untuk riset dan mengenal lebih jauh, Anda dapat merujuk pada ayat-ayat berikut ini, Qs. Al-Insan (76):2; Qs. Al-Anbiya (21):35; Qs.Ali Imran (3):154; Qs. Al-Fajr (89):6; Qs. Al-Taghabun (64):15; Qs. Muhammad (47):4; Qs. Al-Anfal (8):17; Qs. Al-Ankabut (29):3; Qs. Al-Baqarah (2):124; Qs. Al-Shaffat (37):106; Qs. Thaha (20):40; Qs. Al-An’am (6):165; Qs. Al-Ahzab (33):11; Qs. Al-Mulk (67):2.
[2]. Silahkan lihat, al-Mizân, jil. 16, hal. 100, jil. 9, hal. 124, jil. 4, hal. 30-36; Terjemahan al-Mizân, jil. 4, hal. 46-55; Tafsir Maudhu’i Qur’an, Jawadi Amuli, jil. 4, hal. 267-284; Mizân al-Hikmah, jil. 9, hal. 70.
[3]. Nahj al-Balâghah, kalimat Hikmah 217.
[4]. Ushul Kâfi, terjemahan Sayid Jawad Mustafawi, jil. 4, hal. 284.
[5]. Aqrab al-Mawârid, jil. 2, hal. 901-902; Mufrâdât Râghib, hal. 371.
[6]. Nahj al-Balâghah, hikmah 93.
[7]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’ân, jil. 4, hal 267-286.
[8]. “Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada sesuatu negeri, melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (Qs. Al-A’raf [7]:94; “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Rum [30]:41); “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Al-Sajdah [32]:21); Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Qs. Al-A’raf [7]:30 & 168); “Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (pula) mengambil pengajaran?” (Qs. Taubah [9]:126)
[9]. Payâm-e Qur’ân, jil. 4, hal. 470-475.
[10]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 143.
[11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 4, hal. 235, hadits 54.
(Islam-Quest/ABNS)
[1]. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Al-Kahf [18]:7) Untuk riset dan mengenal lebih jauh, Anda dapat merujuk pada ayat-ayat berikut ini, Qs. Al-Insan (76):2; Qs. Al-Anbiya (21):35; Qs.Ali Imran (3):154; Qs. Al-Fajr (89):6; Qs. Al-Taghabun (64):15; Qs. Muhammad (47):4; Qs. Al-Anfal (8):17; Qs. Al-Ankabut (29):3; Qs. Al-Baqarah (2):124; Qs. Al-Shaffat (37):106; Qs. Thaha (20):40; Qs. Al-An’am (6):165; Qs. Al-Ahzab (33):11; Qs. Al-Mulk (67):2.
[2]. Silahkan lihat, al-Mizân, jil. 16, hal. 100, jil. 9, hal. 124, jil. 4, hal. 30-36; Terjemahan al-Mizân, jil. 4, hal. 46-55; Tafsir Maudhu’i Qur’an, Jawadi Amuli, jil. 4, hal. 267-284; Mizân al-Hikmah, jil. 9, hal. 70.
[3]. Nahj al-Balâghah, kalimat Hikmah 217.
[4]. Ushul Kâfi, terjemahan Sayid Jawad Mustafawi, jil. 4, hal. 284.
[5]. Aqrab al-Mawârid, jil. 2, hal. 901-902; Mufrâdât Râghib, hal. 371.
[6]. Nahj al-Balâghah, hikmah 93.
[7]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’ân, jil. 4, hal 267-286.
[8]. “Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada sesuatu negeri, melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (Qs. Al-A’raf [7]:94; “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Rum [30]:41); “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Al-Sajdah [32]:21); Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Qs. Al-A’raf [7]:30 & 168); “Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (pula) mengambil pengajaran?” (Qs. Taubah [9]:126)
[9]. Payâm-e Qur’ân, jil. 4, hal. 470-475.
[10]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 143.
[11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 4, hal. 235, hadits 54.
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email