Pesan Rahbar

Home » » Mengapa Allah Swt mengungkit-ungkit segala karunia yang telah dianugerahkan kepada manusia dan akan mengazab orang-orang yang tidak bersyukur kepada-Nya? Berikut Penjelasannya

Mengapa Allah Swt mengungkit-ungkit segala karunia yang telah dianugerahkan kepada manusia dan akan mengazab orang-orang yang tidak bersyukur kepada-Nya? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Sunday 16 August 2015 | 08:48:00



Pertanyaan
Meski Allah Swt berfirman untuk tidak mengungkit-ungkit sesuatu yang telah diserahkan kepada orang lain dan tidak menyakitinya, lantas mengapa Allah Swt sendiri mengungkit-ungkit segala karunia material dan spiritual yang dianugerahkan kepada manusia dan pada hari Kiamat akan mengazab orang-orang apabila mereka tidak bersyukur kepada-Nya? 
 
 
Jawaban Global
Minnah secara terminologis disebut sebagai karunia-karunia besar dan berat. Minnah Ilahi kepada manusia adalah pemberian pelbagai karunia besar kepada mereka. Minnah terbagi menjadi dua, tindakan dan ucapan. Karunia besar Ilahi kepada manusia berasal dari jenis anugerah merupakan tindakan yang sangat indah dan terpuji. 

Adapun anugerah yang tersebar di tengah masyarakat dan dipandang tidak terpuji oleh mereka adalah minnah lisan dan ucapan (mengungkit-ungkit kebaikan dan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dengan lisan). Makna ini ketika tidak bersumber dari sisi Tuhan.  Minnah jenis ini bercampur dengan hinaan dan perendahan. Adapun minnah yang dicela adalah minnah jenis ini. Demikianlah makna minnah

Namun Tuhan yang Mahakuasa dan Mahakaya secara mutlak dan sekali-kali penjelasannya tidak dimaksudkan untuk menghina para hamba-Nya yang nota-bene murni fakir, melainkan berada pada tataran mengabarkan manusia tentang anugerah-anugerah dan nilai-nilainya. Di samping itu, tujuan Tuhan mengungkit-ungkit karunia yang dianugerahkan kepada para hamba-Nya adalah supaya mereka mendapatkan petunjuk. 

Jawaban Detil:
Minnah” asal katanya dari “ma-nn-a” yang bermakna sebuah batu yang dijadikan bahan timbangan. Secara teknis terminologis bermakna pelbagai karunia besar dan berat. 

Secara leksikal dan penggunaan al-Qur’an, minnah memiliki makna yang luas. Makna pertamanya juga termasuk segala anugerah besar. Minnah apabila berdimensi praktis dan aplikatif, maka ia akan menjadi perbuatan indah dan terpuji. Namun jika disertai dengan ucapan dan omongan akan menjadi buruk dan tercela mengingat bahwa dalam obrolan keseharian minnah lebih digunakan untuk makna kedua. Tatkala kita mencermati dan menelaah ayat-ayat yang mengisahkan tentang pemberian karunia Allah Swt, maka sebuah makna yang tidak pantas akan terlintas dalam benak setiap orang.[1] 

Padahal minnah dari sisi Allah Swt tidak bermakna minnah yang acapkali digunakan di tengah kita, melainkan bermakna pemberian karunia besar. 

Boleh jadi ada yang mengklaim dan menganggap bahwa penjelasan pemberian pelbagai karunia besar dari sisi Allah Swt yang disebutkan pada ayat-ayat al-Qur’an dapat bermakna minnah ucapan dan mengungkit-ungkit sesuatu yang telah diberikan. Tentu perbuatan seperti ini merupakan perbuatan yang  tidak terpuji. 

Menjawab anggapan dan klaim ini harus dikatakan pertama, sekaitan dengan penjelasan karunia (nikmat) yang disertai dengan ocehan dan perendahan tentu merupakan perbuatan buruk dan tercela. 

Hal ini terjadi ketika dua manusia yang keduanya merupakan makhluk,  masing-masing memiliki kelemahan dan ketidakmampuan, yang ingin membebani seseorang dengan sesuatu yang tanpa nilai (duniawi). Makna minnah seperti ini disertai dengan penghinaan dan perendahan. Karena itu, minnah jenis ini dipandang buruk dan tercela. Dalam al-Qur’an tatkala ingin melarang orang untuk tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan kepada orang lain, al-Qur’an juga menyertakan ocehan dan perendahan terhadap orang yang melakukan hal ini. Terkadang al-Qur’an menyatakan, Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang diinfakkannya itu dengan mengungkit-ungkit pemberiannya dan tindak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf adalah lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan tindak menyakiti (perasaan si penerima). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan mengungkit-ungkit dan tindak menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaannya adalah seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah, lalu hujan lebat menimpanya, dan ia menjadi bersih nan licin (tak bertanah). Mereka tidak mampu (mendapatkan) sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs. Al-Baqarah [2]: 262-264).

Namun hal ini bersifat mustahil dalam hubungannya dengan Allah Swt. Karena Dia Mahakuasa dan Mahakaya secara absolut. Tentu saja Tuhan tidak akan pernah menghina para hamba-Nya yang nota-bene adalah fakir sefakir-fakirnya (faqr mahdh). 

Kedua, setiap jenis penjelasan (atas karunia yang diberikan) tidak bermakna mengungkit-ungkit sehingga menjadi perbuatan tercela, melainkan dengan memperhatikan jenis karunia (nikmat) dan sosok pemilik karunia serta motivasinya boleh jadi penjelasan  memiliki ragam kondisi dan hukum.

Sebagai contoh, apabila seorang anak tidak menghormati dan tidak mengetahui kadar orang tuanya serta memandang enteng segala jerih payah kedua orang tuanya; maka sudah pada tempatnya kedua orang tuanya menjelaskan dan mengingatkan kepadanya atas segala jerih payah yang selama ini mereka lakukan untuk dirinya. Tindakan mengingatkan (tadazakkur) ini merupakan media untuk menjadi matang dan sempurna baginya. Dan tentu saja tindakan seperti ini tergolong sebagai tindakan yang terpuji. 

Terkadang manusia lalai dan alpa dari segala karunia dan nikmat besar Ilahi. Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak memandang segala karunia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai. Padahal Allah Swt memiliki tujuan-tujuan tinggi dan penuh nilai terhadap penciptaan dan pemberian karunia seperti ini. Oleh itu seluruh manusia harus mawas diri dan merealisir tujuan-tujuan tersebut.


Penjelasan karunia yang harus kita dicamkan dengan baik bahwa kita sebagai manusia tidak diciptakan dengan sia-sia dan bukan untuk tujuan sia-sia. Allah Swt mengutus para nabi, menganugerahkan akal, menciptakan langit dan bumi, gunung dan sahara, mentari dan purnama, salju dan hujan dan seluruhnya supaya kita tidak lalai dan bergerak menuju petunjuk (hidayah) Allah Swt. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Al-Kahf [18]:7).

Segala nikmat dan karunia yang diberikan Allah Swt adalah untuk digunakan manusia dan dijadikan sebagai media ujian bagi mereka sehingga dengan ikhtiarnya sendiri memilih jalan kebahagiaan dan keselamatan serta menyampaikan dirinya kepada samudera karunia dan nikmat abadi Ilahi di hari Kiamat. Allah Swt tatkala menjelaskan seluruh nikmat dan karunia ini sejatinya berada pada tataran mewartakan kepada manusia ihwal segala nikmat dan nilai-nilainya.

Ketiga: Allah Swt tidak menggunakan redaksi “minnah” terkait dengan segala nikmat kecil dan besar yang dianugerahkan kepada manusia. Apabila Allah Swt menggunakan redaksi ini terkait dengan sebuah karunia dan nikmat maka hal itu menunjukkan signifikansi tinggi nikmat tersebut. Sebagian dari nikmat dan karunia signifikan adalah sebagai berikut: 

1. Pengutusan para rasul Ilahi. Al-Qur’an menyatakan, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan utusan) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali Imran [3]:164).
Pada hakikatnya karunia pengutusan para rasul sebagai para guru dan pengajar umat manusia sedemikian besar dan sarat nilai sehingga kita tidak boleh lalai terhadapnya. Kalau tidak maka seluruh tujuan penciptaan akan menjadi tidak sempurna bagi kita. 

2. Petunjuk (hidayah). Al-Qur’an menuturkan, “Begitu jugalah keadaan kamu dahulu (kafir), lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya (memberikan petunjuk kepadamu). (Untuk mensyukuri nikmat ini), maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Nisa [4]:94).

3. Pemerintahan semesta kaum tertindas (mustad’afhin) atas dunia. “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu, hendak menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (Qs. Al-Qashash [28]:5).

Jelas bahwa hal-hal yang telah disebutkan masing-masing merupakan karunia besar dimana apabila dienyahkan dari kehidupan manusia maka kemanusiaan manusia akan berujung pada kehancuran. Karena itu, perlu kiranya segala nikmat dan karunia ini diingat, dijelaskan dan ditegaskan sehingga tujuan-tujuan Ilahi yang telah menganugerahkan semua itu dapat tereralisir.

Adapun makna bersyukur dan mengapresiasi segala nikmat dan karunia Ilahi adalah memanfaatkannya di jalan yang benar dalam upaya merealisir tujuan-tujuan penciptaan, bukan semata-mata rasa syukur yang disampaikan pada lisan. Dan orang yang kufur (tidak bersyukur) atas nikmat yang dianugerahkan kepadanya adalah orang yang tidak memanfaatkan seluruh nikmat tersebut pada jalannya yang benar. Sejatinya orang-orang ini telah menggerusi nikmat tersebut dan pantas mendapatkan hukuman dan hajaran di kemudian hari.

*****
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Apakah Allah akan mengamalkan segala ancaman-Nya di Akhirat? 



Referensi:
[1]. Tafsir Nemune, jil. 19, hal. 133 dengan ringkasan. Qâmus Qur’ân, jil. 6, hal. 291. 

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: