Pada 11-15 September, Presiden Jokowi Widodo berkunjung ke tiga kerajaan Arab yang penting di Teluk Persia: Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar. Ketiga negara ini merupakan anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) bersama Oman, Bahrain, dan Kuwait. Di tiga kerajaan ini, Jokowi disambut hangat. Raja Salman bin Abdul Aziz bahkan terbang dari Ibu Kota Riyadh untuk menemui Jokowi di Kota Jeddah. Selain itu, Raja menyematkan penghargaan medali Star of the Order of Abdul Aziz al-Saud.
Nan tak kalah penting, perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, berkomitmen menginvestasikan US$ 10 miliar di bidang pembangunan kilang, storage, dan sistem distribusi. Semua ini menunjukkan tingginya apresiasi Raja Arab Saudi kepada pemimpin Indonesia. Di UEA dan Qatar pun Jokowi mendapat sambutan tak kurang hangatnya. Sejumlah kerja sama sosial, politik, dan khususnya ekonomi pun disepakati. Walhasil, hasil kunjungan ini melebihi target, kata Jokowi.
Bagaimanapun, sulit untuk tidak mengaitkan keramahan para pemimpin Arab ini dengan isu politik regional, terutama perihal Iran. Dicabutnya sanksi ekonomi dan rujuknya Iran dengan Barat menyusul dicapainya kesepakatan program nuklir Iran pada 14 Juli lalu menciptakan dinamika baru di Timur Tengah. GCC sangat kecewa dengan kesepakatan itu, yang menetapkan pengayaan uranium dari program nuklir Iran hanya dibatasi selama sepuluh tahun. Dengan perkembangan ini, Iran akan mendapat pemasukan besar dari pencarian aset-asetnya yang dibekukan di bank-bank luar negeri dan dari ekspor minyak dan gasnya, sehingga lebih leluasa membantu Irak, Suriah, Libanon, Hamas dan Jihad Islam, serta milisi Houthi di Yaman. Yang tak kurang mengkhawatirkan adalah kemungkinan Iran memprovokasi komunitas Syiah di dalam GCC.
Apalagi ada gelagat Iran menarik-narik Indonesia untuk berpihak kepadanya dalam isu Yaman. Pada 29 April, Wakil Presiden Iran Bidang Manajemen dan Perencanaan Mohammad Bagher Nobakht menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya di Jakarta untuk membicarakan krisis Yaman. Seusai pertemuan, Kalla menyatakan Indonesia dan Iran bersepakat tidak menggunakan kekerasan ataupun perang dalam menyelesaikan konflik internal Yaman. Posisi Indonesia ini berseberangan dengan GCC, yang memilih jalan perang, tapi juga tak sama dengan Iran, yang berkepentingan di Yaman dengan mendukung milisi Houthi. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, posisi politik Indonesia dalam konflik di dunia Islam tentu sangat penting.
Hubungan Indonesia-Iran memang cukup baik. Di sela-sela Konferensi Asia-Afrika di Jakarta dan Bandung pada April silam, pembicaraan Presiden Jokowi dan Presiden Iran Hassan Rouhani menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang kebudayaan dan kerja sama ekonomi. Sebagai negara besar (jumlah penduduknya 80 juta jiwa), kaya energi (minyak dan gas), dan letaknya yang sangat strategis sebagai akses ke Turki, Kaukasia, dan Asia Tengah, Iran punya daya tarik ekonomi yang kompetitif. Di bidang politik, Iran sedang bersaing dengan GCC dalam perebutan pengaruh di kawasan panas itu. GCC menggunakan identitas etnis, sementara Iran menggunakan agama (Syiah). GCC khususnya sedang berjuang mendepak Iran dari Irak, Suriah, Libanon, Palestina, dan Yaman. Dalam semua kasus ini, Indonesia mengambil sikap netral. Sebelum GCC menyerang milisi Houthi, Arab Saudi mengajak Indonesia ikut serta, tapi Jakarta menolak. Di Suriah, Indonesia bersama Iran, Irak, dan Libanon masih membuka kedutaan besar saat seluruh kedubes anggota GCC telah ditutup. Dalam konteks ini, tampaknya Saudi, Qatar, dan UEA ingin menarik Indonesia ke kubu mereka.
Sekarang tinggal bagaimana kepintaran Indonesia memainkan perannya agar tujuan-tujuan nasional bisa dicapai tanpa merusak hubungan baik dengan semua negara di atas. Mesti dikatakan juga bahwa kendati berada dalam satu organisasi kerja sama militer dan ekonomi, GCC tidak satu suara dalam sejumlah isu. Pada akhir Agustus lalu, UEA berbalik-bersama Mesir dan Yordania-mendukung rezim Bashar al-Assad. Menghadapi krisis Yaman, Oman menolak bergabung dengan GCC. Sedangkan Qatar berselisih dengan Saudi dalam soal Al-Ikhwan al-Muslimun (IM) di Mesir.
Namun, dalam konteks Iran, mereka satu suara. Pada Desember tahun lalu, dalam KTT di Dhoha, Qatar, GCC sepakat membentuk angkatan laut bersama dalam rangka menghadapi Iran. Dengan muslim Indonesia yang moderat dan toleran serta tak memiliki beban sejarah dengan Iran yang Syiah dan punya hubungan baik dengan seluruh anggota GCC, Irak, Suriah, Palestina, dan Yaman, alangkah baiknya bila Indonesia-yang bersama Iran, anggota GCC, Irak, Suriah, dan Yaman adalah anggota Organisasi Kerja Sama Islam-memainkan peran pendamai. Kedudukan aman dan damai serta kerja samalah yang dapat membuat dunia Islam berkembang menuju masa depan yang lebih baik.
Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
(Tempo/Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email