Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 7)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 7)

Written By Unknown on Saturday 28 November 2015 | 23:22:00


SiAPAKAH iTRAH ???

Sebagai tambahan dengan tambahan periwayatan yang jelas dan sedikit ilmiah.

Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata, "Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain." [ lihat Kitab Ash-Shawa'iq, hal 143].

1. Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain fi al-Hadis:
“Dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib yang berkata, ‘Ketika Rasulullah saw memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah saw berkata, ‘Panggilkan untukku, panggilkan untukku.’ Shafiyyah bertanya, ‘Siapa, ya Rasulullah?!’ Rasulullah menjawab, ‘Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.’ Maka mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw meletakkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).’ Lalu Allah SWT menurunkan ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. ‘ Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 – 198

Al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih sanadnya.”.

2. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumah saya turun ayat yang berbunyi ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, ‘Mereka inilah Ahlul Baitku.’” Kemudian, al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat Bukhari.” Di tempat lain al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua.” Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 – 198.

3. Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah saw pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husain datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah saw pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” Sahih Muslim, bab keutamaan-keutmaan Ahlul Bait.

Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir. Baihaqi, di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jld 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jld 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198 – 199; Sahih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fatimah; Musnad Ahmad, jld 6, hal 292 – 323.

As-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, berkata dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumahku turun ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’ Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, ‘Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!’ Rasulullah saw menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.’” Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.

*****

QS. 33:33
Ayat tersebut turun terpisah. Bagaimana dengan asbabun nuzul ayat-ayat lain. Kita dapat saja seenaknya mengatakan bahwa ayat sebelum maupun sesudah ayat tersebut juga turun saat itu walaupun hal ini tidak disebutkan. Contohnya Al Maidah ayat 3 adalah ayat yang terakhir turun dan itu tidak seluruhnya, hanya bagian yang dimulai dari Alyawma(ini terletak pada pertengahan ayat) sedangkan bagian lain al maidah ayat 3 yang berkaitan dengan hukum halal haram makanan(terletak di awal dan akhir almaidah ayat 3) turun di saat lain. Jika kita bicara seenaknya bahwa semua Al Maidah ayat 3 dan ayat 4 turun bersamaan dengan bagian alyawma maka umat islam saat itu belum mengetahui hukum halal dan haram makanan sampai al Quran terakhir diturunkan.

Nah bagaimana itu, sudah jelas bahwa ayat yang terakhir turun hanya bagian alyawma karena hadis shahih hanya menyebut bagian ini. Jika ada asbabun nuzul yang shahih maka sudah jelas lebih diutamakan dibanding urutan ayat karena urutan ayat adalah penulisan. Dalam penulisan Al Quran, Ayat tathhir dan Al maidah ayat 3 yang terkahir turun memang diletakkan pada tempatnya sekarang tetapi secara historis ayat tersebut turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya dan hal ini telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil shahih. Jadi konsep dasar saya tetap seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa saya akan berpegang pada urutan ayat jika tidak ada dalil shahih yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun secara terpisah.

Tidak mungkin ahlul kisa’ dicampur dengan istri istri Nabi karena :

a. Kalau mau berpegang pada urutan ayat maka sudah jelas ayat tersebut awalnya berbicara khusus untuk wanita, yang diharuskan untuk tetaplah di rumah, jangan berhias bertingka, jangan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah ini perintah khusus wanita !!!!!!!!! khusus wanita dan bukan mencakup laki-laki !!!!!! Jelas saja ayat tersebut mengandung perintah dan larangan khusus bagi wanita maka bagaimana mungkin itu diperuntukkan bagi laki-laki.

b. Jika ahlul kisa’ boleh bercampur dengan istri istri Nabi maka perintah tetap di rumah dan jangan berhias dan jangan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah juga berlaku untuk laki laki… Bagaimana mungkin Allah SWT menurunkan ayat dengan perintah khusus wanita untuk kaum kaum laki laki yaitu Imam Ali, Imam Kalau anda mau berhujjah dengan hadis maka banyak hadis yang mengkhususkan Ayat tathir kepada ahlul kisa’. Kalau mau berhujjah dengan urutan ayat maka ayat tathhir hanya untuk istri-istri Nabi SAW. Bukankah sudah saya katakan Jika anda mau berpegang pada urutan ayat maka ayat tersebut khusus bicara tentang wanita, anda dapat lihat pada kata-kata tetaplah di rumahmu, janganlah tunduk dalam berbicara, jangan berhias. Ini jelas khusus wanita. Jadi urutan ayat membuat ayat tersebut sangat tidak mungkin ditujukan pada Rasulullah, Ali, Hasan dan Husain.Hasan dan Imam Husain.

c. Teks hadis sebagai tafsir Quran memang menyebutkan ayat yang turun itu terpisah. Teks hadis juga menyebutkan ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’.

Jika memang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW mengapa hal pertama yang dilakukan oleh Nabi SAW malah memanggil orang lain dan kenapa saat itu Beliau tidak memanggil istri-istrinya?. Alasan anda itu hanya dicari-cari dan tidak memiliki bukti sama sekali. Apa buktinya kalau Nabi SAW memberitahu Istri-istrinya bahwa merekalah ayat tathir yang dimaksud. Saya berpegang pada teks hadis Sunan Tirmidzi dan hadis-hadis lain yang sedikitpun tidak memuat keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah memberitahu istri-istrinya kalau ayat tathhir turun untuk mereka. Semua hadis tersebut justru menjelaskan bahwa ayat tathhir turun untuk mereka ahlul kisa’. Lantas mengapa Ummu Salamah yang tinggal disitu tidak dimasukkan oleh Nabi bersama mereka sebagai Ahlul Bait dalam ayat tathhir. Bukankah istri-istri Nabi yang lain punya rumah sendiri dan mengapa ketika ayat ini turun Nabi SAW tidak memanggil mereka semua. Bukankah ayat ini seperti kata Mas turun untuk mereka. Mengapa hanya Ahlul Kisa’ saja yang dipanggil? Jawabannya karena jelas ayat itu hanya untuk mereka (Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain).

d. Kalau mau berpegang pada hadis Shahih maka Ahlul bait itu terkhusus pada Ahlul Kisa’ saja.kalau mau berpegang pada pendapat Abu Said Al Khudri RA, Qatadah dan Mujahid maka ayat tathhir terkhusus untuk Ahlul Kisa’ saja.

dalam hadis al-Kisâ’, Ummu Salamah menceritakan bahwa tatkala turun surah al-Ahzab ayat 33, Nabi saw. membentangkan kisâ’ (pakaian) Beliau menelungkupkan Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain radhiyallâh ‘anhum. Lalu Beliau bersabda:
Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Karena itu, jauhkan ar-rijsa—kotoran, (maknawi)—dari mereka dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan ath-Thabrani).

Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 ari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.

dalam hadis al-Kisâ’, Ummu Salamah menceritakan bahwa tatkala turun surah al-Ahzab ayat 33, Nabi saw. membentangkan kisâ’ (pakaian) Beliau menelungkupkan Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain radhiyallâh ‘anhum. Lalu Beliau bersabda: Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Karena itu, jauhkan ar-rijsa—kotoran, (maknawi)—dari mereka dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan ath-Thabrani).

Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasul dan seorang Imam. Setelah ia wafat, pintu keNabian dan keRasulan tertutup selamanya. Tetapi pintu imamah (kepemimpinan) masih terbuka karena ia memiliki penerus (khalifah, wakil), artinya seseorang yang melanjutkan kedudukan orang sebelumnya

—————–

Kedudukan Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”

Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:

إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي

Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.


Takhrij Hadis

Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud:

حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 829].

Hadis Imran bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat.
*Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145].
*Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221].
*Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729]
*Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616].

Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].

Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].

Hadis Imran bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

*Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929].
*Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih [Musnad Abu Ya’la no 355]

Selain riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA. Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad:

ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908].

Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.

Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024].

Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353].

Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72].

Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711].

Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.

Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].

Sudah jelas hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

Selain Imran bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud:

حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 2752].

Hadis Ibnu Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
*Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].
*Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
*Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
*Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].

Hadis Ibnu Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].

Hadis dengan jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani:

حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن وهب بن حمزة قال

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135].

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
*Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750].
*Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
*Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112].
*Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97].
*Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640].
*Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
*Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437].
*Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955].
*Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123].

Hadis Wahab bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].


Ibnu Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih
Jika kita mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan:
*Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman].
*Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi].
*Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj].
*Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain]

Tentu saja dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata:

” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث

“kamu adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35].

قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم

Perkataannya ; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah SAW [Minhaj As Sunnah 7/278].

Cukuplah kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai “Syiahpobhia”.


Singkat Tentang Matan Hadis
Setelah membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah

Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah:

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al Bidayah wan Nihayah 5/269].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy:

ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad Syakir].

Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

(Bersambung)

(Syiahali/Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: