Presiden Joko Widodo menyambut Panitia Seleksi calon pimpinan KPK yang
diketuai oleh Destri Damayanti (tidak tampak) untuk melaporkan hasil
seleksi di Istana Merdeka, Jakarta, selasa (1/9). Pansel menyetorkan 8
nama capim KPK yang lolos seleksi kepada President. Delapan nama
tersebut adalah, Saut Situmorang, Surya Chandra, Alexander Marwata,
Basaria Panjaitan, Agus Rahardjo, Sujanarko D, Johan Budi SP, Laode
Syarif. (Foto: KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)
Semangat para pahlawan yang mengusir penjajah demi kemerdekaan Republik Indonesia sangat relevan untuk ditransformasikan dalam bentuk perjuangan baru memerangi korupsi. Kejahatan luar biasa itu adalah musuh bersama karena merusak kehidupan bangsa.
”Kalau kita mundur (ke masa lalu), pahlawan itu mereka yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk menghadapi ancaman kolektif. Bung Tomo, misalnya, berada di garis depan pertempuran di Surabaya karena (penjajah) itu dianggap ancaman,” kata Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/11/15).
Dalam konteks kekinian, semangat serupa, salah satunya, bisa diarahkan untuk melawan korupsi. Bagi bangsa Indonesia, korupsi sudah menjadi ancaman kehidupan bangsa, tidak hanya di sektor ekonomi, tetapi juga merusak sektor politik dan pendidikan.
Maraknya praktik korupsi terlihat dari jumlah pejabat publik yang terlibat dalam kejahatan itu. Litbang Kompas mencatat, kasus korupsi melibatkan setidaknya 77 anggota DPR dan DPRD (2007-2014), 10 menteri dan mantan menteri (2002-2015), 10 kepala daerah (2013-2015), dan 9 politisi dari sejumlah partai politik (2009-2004).
Meski banyak pejabat ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan sebagian telah dipenjara akibat korupsi, praktik kotor itu tak juga berhenti. Data Transparency International menunjukkan, pada 2014, peringkat Indonesia masih berada di nomor 107 dari 175 negara.
Menurut Saldi, korupsi menghambat tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa karena mencuri dana untuk mengembangkan pendidikan. Korupsi juga membuat otak-otak cerdas di Indonesia bisa dikalahkan oleh mereka yang punya uang.
Dalam konteks perang melawan ”penjajahan” korupsi, generasi muda bisa berjuang dari hal yang sederhana. ”Kita harus meniru semangat pahlawan dengan tidak korupsi, jujur bekerja, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan hanya mengambil apa yang menjadi haknya,” katanya.
Makna kepahlawanan sebagai perjuangan memerangi korupsi juga disampaikan Presiden Direktur IBM Indonesia Betti Alisjahbana, pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Yenti Garnasih; dan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Budiman Sudjatmiko.
Menurut Betti, belum semua rakyat Indonesia bisa menikmati kemerdekaan akibat masih maraknya korupsi. Akibat korupsi, kebijakan bisa dibelokkan, kekayaan alam kita dikuasai sekelompok orang saja, dan belum digunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.
”Pahlawan masa kini adalah mereka yang melakukan langkah-langkah nyata memerangi korupsi. Dimulai dari dirinya, lingkungan terdekat, hingga organisasi atau institusi yang dipimpinnya,” kata mantan panitia seleksi komisioner KPK itu.
Sementara Yenti mengajak kita semua untuk meneruskan perjuangan pahlawan dalam mendorong bangsa ini menjadi bermartabat, mandiri, dan sejajar dengan bangsa lain. Namun, cita-cita itu belum terwujud karena bangsa ini terbelit korupsi dan rebutan kekuasan di balik euforia demokrasi. Musuh kita bukanlah sesuatu dari luar, melainkan diri kita sendiri sehingga perjuangan harus diarahkan kepada diri sendiri.
Budiman mengungkapkan, kita harus melawan nafsu ingin cepat berkuasa dan kaya dengan cara-cara yang korup. Tantangan itu sulit dijawab lantaran budaya korup semakin mendarah daging di kalangan pejabat negara, politisi, dan masyarakat. Kita perlu berjuang untuk mengubah pola pikir masyarakat yang kian nyaman terhadap budaya korup.
Publik mengawasi
Menurut Deputi Direktur Public Virtue Institute John Muhammad, di tengah kewarganegaraan digital (digital citizenship) yang transparan, warga bisa mengawasi dan menyentil dengan cepat pemimpinnya. Untuk itu, masyarakat, terutama kaum muda, dituntut membangun gerakan data terbuka sehingga publik bisa ikut mengontrol harga, memeriksa APBN, dan mengawal pembangunan. Jika hal itu berjalan, pemerintah diharapkan berjalan di atas rel yang benar, tidak korup, dan warga tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan kecil.
”Dengan kemampuan terbatas, mereka berjejaring sehingga menumbuhkan kekuatan perubahan lebih baik,” ucapnya.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito, menyoroti maraknya perilaku negatif, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, sikap tidak adil, dan chauvinisme (nasionalisme sempit). Dalam konteks ini, kepahlawanan berarti upaya menangkal hal-hal negatif itu sekaligus mengembangkan perilaku positif. ”Caranya bisa sederhana, tetapi berpengaruh positif terhadap masyarakat,” katanya.
Kebaikan bersama
Aktivis perempuan, Alissa Wahid, menemukan kepahlawanan dalam diri orang-orang yang berjuang demi kebaikan bersama, menjadi teladan, dan memberi inspirasi kebaikan. ”Mereka bisa dari berbagai sektor kehidupan, tidak dibatasi usia dan jenis kelamin,” kata putri pertama Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Mantan Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas, menilai, kepahlawanan dapat diwujudkan dengan ikut serta memasarkan Indonesia, baik dengan menjual produk atau jasa dalam negeri maupun menarik investasi masuk ke Tanah Air.
Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, menjadi pemasar bangsa adalah wujud kepahlawanan yang relevan dengan zaman. Dalam hal ini, semua elemen perlu kompak, termasuk pemerintah pusat dan daerah.
(Kompas/Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email