Titik Terang dan Gelap Dalam Kehidupan
Kehidupan manusia merupakan suatu campuran antara sedih dan senang. Dua sifat ini ikut andil dalam kehidupan di dunia ini. Setiap orang mengalami pengalamannya sendiri dan menjadi korban rasa sedih dan senang atas berbagai problema dan malapetaka kehidupan. Sesuai dengan fakta yang pahit ini, kehidupan manusia senantiasa berubah antara kesedihan dan kemudahan.
Kita sebagai manusia tidak dapat merubah Sunnatullah yang menguasai hidup kira ini agar tunduk kepada kehendak kita sendiri. Kini, setelah kita menyadari makna yang mendalam dari kehidupan ini, kita dapat mengarahkan pandangan kita kepada sisi eksistensi yang indah dan membuang sesuatu yang buruk yang menyuramkan fakta kehidupan di alam semesta yang luas ini. Alam semesta ini, yang dipenuhi dengan ciptaan yang menakjubkan dan kebijaksanaan yang penuh keseksamaan, semua ini mengatakan kepada kita bahwa setiap makhluk yang ada memiliki suatu tujuan bagi penciptaannya. Di lain pihak, boleh jadi kita tidak tahu atau lupa terhadap titik-titik terang di alam semesta dan hanya terfokus kepada bintik-bintik suramnya. Akhirnya ini semua terserah kepada setiap orang untuk memilih arah pemikirannya, ia dapat memilih warna dan pandangan hidup yang ia kehendaki.
Adalah wajib bagi kira untuk mempersiapkan diri guna menghadapi dan memilih yang manakah yang pantas bagi kita untuk menghindari faktor-faktor yang merugikan, sehingga kita tidak kehilangan kemampuan untuk bermawas diri. Sebaliknya, bisa-bisa kita menghadapi kemalangan yang tak dapat dihindari, atau bahkan menjadi korban topan kesengsaraan.
Banyak di antara kita yang membayangkan bahwa jika rangkaian peristiwa dalam kehidupan kita berbeda, kita akan menjadi orang yang bahagia. Sebenarnya problem orang-orang ini tidaklah berhubungan dengan berbagai peristiwa dalam hidup mereka tetapi berhubungan dengan cara-cara. mereka bergelut di dalamnya. Adalah mungkin bagi kita untuk merubah pengaruh peristiwa-peristiwa semacam ini, atau bahkan merubah beberapa akibatnya menjadi hal-hal yang bermanfaat.
Seorang pemikir terkenal menulis:
Pemikiran kita selalu berjalan di daerah kebencian dan ketidakpuasan, sehingga kita selalu mengeluh dan menangis. Alasan di balik tangisan ini berada dalam kesadaran, Kita dibangun dengan cara semacam ini, yakni, keberadaan kita tumbuh dengan jalan yang tidak sesuai dengan jiwa dan rohani kita. Setiap hari kita berkeinginan dan berharap kepada sesuatu yang baru, atau mungkin kita benar-benar tidak mengetahui apa yang kita inginkan. Kita percaya bahwa orang bin telah memperoleh kebahagiaan, sehingga kita iri terhadap mereka karena kita hidup menderita. Kita adalah seperti anak-anak yang berbuat tidak senonoh yang mem buat-buat alasan-alasan haru dali mulai menangis. Jiwa kita menderita terhadap tangisan mereka dan kita tidak bisa tenang hingga kita membuat mereka memahami fakta-fakta dan membuang apa yang mereka bayangkan secara keliru sena meninggalkan berbagai keinginan mereka yang sukar dikendalikan.
Anak-anak ini, sebagai akibat dari keinginan mereka yang banyak, menjadi buta terhadap segala sesuatu kecuali kesengsaraan. Adalah kewajiban kita untuk membuka mata mereka terhadap sisi kehidupan yang baik. Kita harus membuat mereka memahami bahwa tidak ada seorang pun kecuali orang-orang yang membuka mata mereka terhadap taman kehidupan, akan dapat menanam bunga-bunga dan mawar-mawarnya, sementara orang-orang yang buta tidak akan memperoleh apa pun kecuali duri-duri. Jika kita sanggup melewati perbatasan depresi dan pesimisme serta melihat kenyataan yang ada, maka akan kita dapati bahwa bahkan di saat-saat sekarang ini, yakni ketika kita telah jatuh ke dalam lubang yang menakutkan, masih ada mawar-mawar dan bunga-bunga di taman kehidupan yang memanggil mata para pembidiknya di setiap saat.
Pemikiran mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap kebahagiaan manusia, Sebenarnya, satu-satunya faktor yang paling efektif untuk kebahagiaan manusia adalah kemampuannya dalam berpikir dan bercalar. Suatu kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya tidaklah dapat ditanggung dan akan merusak pandangan mata orang-orang yang pesimis. Tetapi, dari sudut pandang orang yang optimis, yang melihat segalanya dengan cara yang positif, kejadian semacam ini tidak membuat mereka takluk dan tidak menyebabkannya kehilangan daya tahan dalam segala keadaan. Orang yang optimis tidak pernah meninggalkan kerendahan hati, kendali diri dan kesabaran.
Orang-orang yang selalu berpikir bahwa poros kejahatan mengelilingi mereka, hanya akan membuat kehidupan mereka menderita, suram dan tidak menyenangkan, akan kehilangan banyak kekuatan dan kemampuan diri sebagai akibat kepekaan perasaan mereka yang berlebih-lebihan, dan akan melarikan diri dari rahmat dan hal-hal yang baik di dunia ke dalam kejahilan yang fatal.
Menurut seorang ulama:
Dunia bereaksi terhadap manusia seperti manusia berurusan dengan dunia. Maka, jika anda tertawa pada dunia, ia akan tertawa dengan anda. Jika anda melihat dunia secara suram, ia akan tampak suram. Jika anda bersemedi dari dunia, ia akan menganggap anda di antara para petapa, dan jika anda bermurah hati dan benar, anda akan dapati orang-orang di sekeliling anda mencintai anda dan membuka harta karun cinta dan rasa hormat dari hati mereka untuk anda.
Meskipun penderitaan itu tampaknya pahit, ia menghasilkan buah yang istimewa bagi pikiran dan jiwa. Kemampuan rohani manusia menjadi lebih jelas terwujud dalam gelapnya kesedihan. Akal dan ruh manusia berkembang dalam gulungan pengorbanan yang terus menerus dan dalam perjuangan yang tak kenal takluk … ke puncak kesempurnaan manusia.
Dampak-dampak Negatif Sifat Pesimis
Sifat pesimis adalah suatu penyakit rohani yang berbahaya. Ia penyebab banyak kerugian, cacat dan kekecewaan. Sifat pesimis adalah suatu kemalangan yang menyedihkan yang menyiksa jiwa manusia dan meninggalkan cacat-cacat yang tidak dapat diterima oleh kepribadian manusia dan tidak terhapus.
Ketika mengalami kesedihan dan atau penderitaan, manusia cenderung menjadi peka. Dalam keadaan demikian itu sifat pesimis dapat muncul sebagai akibat dari pemberontakan yang kuat di dalam emosi dan perasaan seseorang. Sifat pesimis yang memasuki pikiran dengan cara seperti ini meninggalkan pengaruhnya pada proses berpikir manusia.
Keindahan penciptaan tidak terwujud di mata orang yang cermin rohaninya telah dilumuri oleh bayang-bayang pesimisme. Lebih jauh, bahkan baginya kebahagiaan tampak sebagai kejenuhan dan bencana, dan cara berpikirnya yang negatif tidak dapat memahami perilaku orang-orang yang tidak berdosa itu bersih dari niat-niat jahat. Orang-orang yang pemikirannya telah menjadi sedemikian negatif akan kehilangan segala kemampuannya yang berfaedah, karana dengan imajinasinya yang tidak benar mereka menciptakan banyak problema bagi diri mereka sendiri; oleh karenanya mereka membuang percuma bakat-bakat mereka dengan terus bersikap khawatir terhadap berbagai kejadian yang tidak mereka terima dan mungkin tidak akan mereka hadapi.
Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, dampak sifat optimis berkembang ke sekelilingnya dan menggembirakan rohaninya dengan harapan. Sebaliknya, sifat pesimis mendiktekan kegelisahan dan kesedihan ke sekelilingnya, dan bahkan menarik mereka dari sinar harapan yang membersihkan jalan kehidupan bagi umat manusia.
Dampak-dampak sifat pesimis yang merugikan tidak hanya terbatas pada jiwa, ia secara merugikan juga mempengaruhi tubuh. Berbagai telaah menunjukkan bahwa para penderita pesimisme memiliki tingkar penyembuhan lebih rendah. Menurut seorang dokter medis:
Lebih sulit mengobati orang-orang yang curiga terhadap segala sesuatu dan setiap orang, daripada menolong orang yang melompat ke laur mencoba untuk bunuh diri. Memberi obat kepada orang yang selalu hidup gelisah seperti menuang air ke dalam minyak yang mendidih. Agar supaya segala obar membantu, adalah penting bagi si penderita untuk memelihara rasa senang dan percayanya.
Orang yang menderita rasa pesimis dengan jelas mengalami suatu perasaan kesepian dan curiga ketika berurusan dengan orang lain. Sebagai akibat dari keadaan yang tidak menyenangkan ini, orang-orang tersebut menghancurkan kemampuan mereka untuk maju dan berkembang; dan menakdirkan diri mereka kepada kehidupan yang tidak diinginkan. Dari kenyataan ini, sifat pesimis didapati sebagai faktor utama dalam penyebab bunuh diri.
Jika kita melihat di segala lapisan masyarakat manusia, kita akan dapati bahwa bergunjing dan gosip berangkat dari sifat prasangka ditambah dengan kurangnya sifat introspeksi diri dan mau berpikir. Kendati mereka lemah dalam memutuskan dan berimajinasi luas, mereka sering mendakwa orang lain tanpa membuktikan pokok masalah yang terkait. Orang-orang ini berimajinasi tanpa membuktikan pra sangkanya, sehingga dengan mudah tujuan-tujuan pribadi mereka dapat diketahui. Kelemahan besar ini menyebabkan tali persatuan dan hubungan yang tulus menjadi putus, dan mencabut manusia dari saling percaya serta mengarah kepada penghancuran moral dan juga jiwa.
Kebanyakan di antara peristiwa permusuhan, benci dan dengki yang berbahaya, baik terhadap individu maupun masyarakat, merupakan hasil dari prasangka yang berbeda dengan kenyataannya. Prasangka berkembang di masyarakat bahkan dapat merasuki pikiran para filosof dan ulama. Kami dapat menunjukkan banyak contoh dalam sejarah ketika para ulama berbuat berbagai kesalahan besar dengan memandang masyarakat mereka dari sudut pesimistis; mereka membuat gagasan-gag3san atas dasar kritik dan mencari-cari kelemahan dalam sistem sosialnya. Mereka bukannya memberikan hal-hal yang membahagiakan, ulama bingung ini malah meracuni ruh masyarakat dengan pemikiran mereka yang berbahaya. Mereka juga menundukkan dasar-dasar akidah dengan kritik dan kebencian.
Abu Al-‘Ala Al-Mauri termasuk di antara para ulama yang pesimis. Pemikiran filosof terkenal ini sangat negatif terhadap kehidupan yang ia katakan sebagai pencegahan dari pergaulan untuk memusnahkan umat manusia; walhasil menanggung sendiri berbagai penderitaan hidup ini.
Sikap Islam Terhadap Sifat Pesimis
Al-Quran secara jelas memasukkan sifat pesimis dan pemikiran buruk di antara perbuatan dosa yang jahat, dan memperingatkan kaum Muslimin dari berpikir secara negatif satu sama lain.
“Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa”.
(QS.49:12)
Agama Islam melarang sifat prasangka jika bukti yang meyakinkan tidak ada. Rasulullah Saw. berkata:
“Seorang Muslim aman dari Muslim yang lain: darahnya, hartanya dan (dilarang) bagi seorang Muslim untuk berpikir secara negatif terhadap yang lain.”
(Tirmidzi, Bab 18, Ibnu Majah, Bab 2)
Jadi, karana diharamkan memindahkan harta seseorang kepada orang lain tanpa bukti yang cukup, diharamkan juga mencurigai orang dan menuduhnya berbuat jahat sebelum membuktikan kesalahannya dengan bukti yang meyakinkan. Amirul Mukminin Ali a.s. berkata:
Tidak dibenarkan menghukum sesuatu yang dapat dipercaya hanya atas dasar spekulasi.
(Nahjul Balaghah, hal. 174)
Kemudian beliau menjelaskan hal-hal yang mudarat dan merugikan dari sifat prasangka ketika beliau berkata:
Berhati-hatilah terhadap prasangka, karana prasangka meruntuhkan ibadah dan membuat dosa menjadi lebih besar.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 154)
Bahkan beliau menggambarkan prasangka baik sebagai sifat yang menindas.
Berprasangka (kepada pelaku perbuatan baik) merupakan dosa yang paling buruk dan jenis penindasan yang paling buruk.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 434)
Beliau juga mengatakan bahwa berprasangka kepada orang yang anda cintai menyebabkan hubungan menjadi lebih buruk dan pada akhirnya akan memutuskannya. Imam Ali as. menyatakan:
Barangsiapa yang berlebih-lebihan dalam berprasangka. tidak meninggalkan kedamaian antara dia dan yang dicintainya.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 698)
Prasangka memiliki dampak yang bertentangan dengan batin dan tingkah laku orang lain. juga kepada mereka yang berprasangka. Kadang-kadang sifat prasangka menyeret orang-orang tersangka dari jalan yang lurus dan mengarahkan mereka kepada kerusakan dan kerendahan. Imam Ali a.s. berkata:
Prasangka merusak berbagai urusan dan menghasut kejahatan.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 433)
Dr. Mardin menulis:
Beberapa pemilik usaha mencurigai para karyawannya mencuri. sebaliknya, hal ini memaksa tersangka untuk menjadi apa yang mereka sangkakan. Walaupun prasangka tidak rampak dalam kata-kata atau perbuatan, ia mempengaruhi batin si tersangka dan mengarahkannya untuk melakukan apa yang disangkakan kepadanya.
(Pirozi Fikr)
Mengenai prasangka, Imam Ali a.s. juga menyatakan:
Jauhilah prasangka ketika tidak pantas, karena hal ini memanggil orang ya.ng sehat kepada sakit; dan orang yang tidak berdosa kepada keraguan.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 152)
Beliau juga menyatakan bahwa orang-orang yang menderita penyakit prasangka terampas kesehatan jasmani dan rohaninya:
Orang yang suka berprasangka tidak pernah dapat ditemukan dalam keadaan sehat.
(Ghurar AI-Hikam, hal. 835)
Dr. Carl menulis mengenai hal ini:
Beberapa kebinasaan, seperti mengeluh dan mencurigai orang, mengurangi kemampuan seseorang untuk hidup. Kebiasaan perilaku yang. negatif ini secara merugikan mempengaruhi orang tersebut dan juga mempengaruhi kelenjar tubuh. Ia juga menyebabkan kerusakan praktis pada tubuh.
(Rah Wa Rasm Zindaqi)
Dr. Mardin menambahkan:
Prasangka menghilangkan kesehatan dan melemahkan kekuatan-kekuatan perilaku. Jiwa-jiwa yang seimbang tidak pernah mendambakan kerusakan. Mereka mengharapkan kebaikan di setiap saat. karena mereka tahu bahwa kebaikan merupakan kenyataan yang kekal. dan bahwa kejahatan tidak lain kecuali pekerjaan yang melemahkan kekuatan kebaikan. Karena kegelapan merupakan akibat dari kurangnya cahaya. maka carilah jalan yang terang, karana ia menghapus kegelapan hati.
(Pirozi Fikr)
Orang-orang yang suka berprasangka merasa takut terhadap orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ali a.s.:
Barangsiapa yang suka berprasangka merasa takut kepada siapa saja.
Dr. Farmer mengatakan:
Orang-orang yang .takur berbicara tentang berbagai gagasan dan sudut pandangnya di muka umum, di mana justru setiap orang secara terang-terangan menyatakan berbagai pendapat mereka, dan yang mencari tempat berlindung di tepi jalan dan di ujung lorong untuk menghindari pertemuan dengan para sahabatnya (yang berkumpul) di jalan-jalan yang lebar atau di taman-taman umum, mereka dikuasai oleh rasa takut, prasangka dan pesimis.
(Raz Khusbbakhti)
Salah satu faktor yang menyebabkan prasangka adalah kenangan-kenangan buruk yang disembunyikan di dalam batin seseorang. Imam Ali a.s, berkata:
Hati mempunyai dugaan-dugaan buruk dan hati membencinya.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 29)
Dr. Haleem Shakhter berkata:
Orang-orang yang kurang percaya diri mempunyai kepekaan yang tinggi sehingga mereka akan mengalami penderitaan-penderitaan hanya dari hal-hal kecil.
Bekas-bekas dari penderitaan-penderitaan semacam ini tetap berada dalam benak bawah sadar mereka dan mempengaruhi berbagai tindakan, ucapan dan pemikiran mereka. Segera setelah itu mereka jatuh menjadi korban penyakit prasangka dan tidak menyadari alasan di balik berbagai penderitaan mereka.
Berbagai kenangan yang menyakitkan menyembunyikan diri ke dalam perasaan kita dan sangar sulit bagi kita untuk mengetahuinya. Dengan kata lain, memang wajar bagi manusia untuk menghindarkan diri dari berbagai kenangan pahit dan mencoba menghilangkannya dari pikiran. Musuh yang bersembunyi ini tidak pernah berhenti menimbulkan kejahatan dan kebencian atas jiwa, tingkah dan perilaku kita. Bahkan kadang-kadang kita mendengar atau menemukan kata-kata atau tindakan kira sendiri atau orang lain, yang karenanya kita menyadari tidak adanya penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka jika kira dengan hati-hati memeriksa diri, kira dapat menemukan bahwa itu semua disebabkan oleh kenangan atau ingatan-ingatan yang buruk.
(Rusdhe Shahkhsiat)
Orang yang berwatak rendah memilih diri mereka menjadi hakim atas tindakan-tindakan orang lain, sehingga berbagai kelakuan buruk orang lain berpengaruh padanya. Imam Ali a.s. menunjukkan fakta ini ketika beliau berkata:
Para pelaku kejahatan tidak pernah berpikir baik tentang orang lain karena mereka melihat orang lain dengan wataknya sendiri.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 80)
Sebagaimana dikutip Dr. Mann mengatakan:
Beberapa orang menguruk orang lain dengan mengeluh tentang perbuatan-perbuatan mereka sedangkan mereka, diri mereka sendiri, melakukan perbuatan yang sama; mereka melakukan hal ini untuk menebus kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan untuk semacam pertahanan diri. Sikap ini digambarkan sebagai suatu cara menghindari rasa gelisah; membandingkan orang lain dengan dirinya merupakan suatu tindakan kemarahan. Ketika keadaan tersebut memuncak dan pertahanan diri semakin bertambah, mereka akhirnya berada pada situasi ‘kerusakan mental’. Sistem pertahanan ini dapat timbul dengan melakukan SCSU3ru yang secara sosial tidak dapat diterima dan pada gilirannya menciptakan suatu ‘perasaan ingin’ menghubung-hubungkannya dengan orang lain.
(Ushul e Ravanshenashi)
Ketika Rasulullah Saw. memasuki kota Madinah setelah berhijrah dari Makkah, seorang lelaki mendatangi beliau dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, orang-orang di kota ini adalah orang-orang baik, mereka semua baik; engkau celah melakukan suatu hal’ yang tepat dengan datang ke sini”. Rasulullah Saw. berkata kepada lelaki itu: “Engkau berkata benar”. Kemudian lelaki lain mendatangi Nabi dan berkata:
“Rasulullah, orang-orang di kota ini jahat, akan lebih baik bila engkau tidak hijrah kemari!” Kemudian Rasulullah berkata: “Engkau berkata benar”. Ketika orang-orang mendengar jawaban Nabi kepada kedua lelaki itu, maka mereka pun bertanya kepada beliau. Nabi memberi jawaban kepada mereka: “Tiap-tiap orang itu berkata dengan apa yang ada dalam benaknya, oleh karenanya kedua-duanya benar”. Yang Nabi Saw. maksudkan bahwa kedua lelaki itu benar terhadap dirinya masing-masing.”
Jenis prasangka yang dilarang secara jelas dapat dipahami sebagai suatu pemikiran yang sesat, dan sebagai kecenderungan jiwa kepada pemikiran yang buruk serta bersikeras terhadapnya. Yang lebih dilarang daripada jenis prasangka ini adalah berbuat atasnya. Karena, berbagai pemikiran dan dugaan yang ada dalam pikiran namun tanpa ada perbuatan nyata dari individu, tidak dapat dianggap berada di bawah wewenang hukum fiqih. Pemikiran-pemikiran ini muncul di luar kemauan, menghindarinya juga di luar kemauan; tetapi adalah kehendak individu untuk mewujudkan atau tidak mewujudkannya dalam tindakan-tindakan.
Berbagai kesengsaraan orang-orang pesimis -berasal dari kekacauan yang mengerikan ini. Oleh karena itu, adalah wajib bagi orang-orang yang dapat menunjukkan dengan tepat suatu alasan yang menyebabkan mereka menjadi terlalu berprasangka demi mengobati dan melepaskan diri mereka dari kemalangan-kemalangan semacam ini.
Psikologi Islam,
Mujtaba Musavi Lari
Mujtaba Musavi Lari
(Hauzah-Maya/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email