Pesan Rahbar

Home » » Sejak kapankah awal sejarah kaum Muslimin dimulai? Berikut Penjelasannya

Sejak kapankah awal sejarah kaum Muslimin dimulai? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Saturday 14 November 2015 | 16:49:00


Pertanyaan:
Sejak kapankah awal sejarah kaum Muslimin dimulai?

Jawaban Global:
Setelah pengutusan (bi’tsat) Rasulullah Saw dan hingga masa-masa setelahnya wilayah geografis Islam terbatas pada semenanjung Arabiah saja. Kaum Muslimin hanya melakukan hubungan-hubungan singkat dengan bangsa lain dan pada waktu itu tidak banyak peristiwa bersejarah yang terjadi. Namun hal ini tidak bermakna tiadanya tonggak awal sejarah kaum Muslimin dan tentu tidak akan menimbulkan masalah dalam mengenal dan membandingkan masa terjadinya pelbagai peristiwa sejarah.

Khalifah Kedua pada tahun enam belas atau tujuh belas atau delapan belas pasca hijrah Rasulullah Saw, mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah memecahkan masalah ini. Karena itu, menurut Yakubi (292 M), Thabari (310 M), Mas’udi (346 M), Ibnu Atsir (630 M), dan Dzahabi (748 M), Khalifah Kedua bermusyawarah dengan Imam Ali. Imam Ali As berpendapat dalam musyawarah itu supaya menjadikan hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah sebagai tonggak sejarah pertama kaum Muslimin. Pendapat Imam Ali As ini diterima oleh Khalifah Kedua dan seluruh kaum Muslimin.

Jawaban Detil:
Penulisan sejarah dan memiliki masa terjadinya pelbagai fenomena sejarah memerlukan satu kriteria dan tonggak historis. Tatkala kita berada pada tataran ingin menulis sebuah peristiwa bersejarah, salah satu prioritas yang harus dipenuhi adalah adanya satu tonggak (starting point) sejarah sehingga kita tahu tepatnya kapan peristiwa-peristiwa sejarah terjadi.

Sebagai contoh tatkala kita ingin menjelaskan masa kelahiran Nabi Muhammad Saw, mau tak mau, kita harus menimbang masa kelahiran beliau dengan satu bagian sejarah. Artinya kita berkata bahwa Rasulullah Saw lahir pada tanggal 17 Rabiul Awwal tahun Gajah. Dalam menjelaskan fakta sejarah ini, kita membutuhkan satu sumber sejarah bahwa tahun Gajah yaitu tahun ketika Abraha dan pasukannya mengalami kekalahan dipilih sebagai sumber sejarah. Setelah pelbagai kebutuhan primer hidup dan interaksi sosial, menggunakan sejarah dalam hubungan-hubungan ini sangat diperlukan.

Setelah pengutusan (bi’tsat) Rasulullah Saw dan hingga masa-masa setelahnya wilayah geografis Islam terbatas pada semenanjung Arabiah saja. Kaum Muslimin hanya melakukan hubungan-hubungan singkat dengan bangsa lain dan pada waktu itu tidak banyak peristiwa bersejarah yang terjadi. Namun hal ini tidak bermakna tiadanya tonggak awal sejarah kaum Muslimin dan tentu tidak akan menimbulkan masalah dalam mengenal dan membandingkan masa terjadinya pelbagai peristiwa sejarah.

Asal sejarah pada Semenanjung Arab hingga masa sebelum Islam masing-masing berbeda pada setiap generasi, dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Sebagai contoh, peristiwa historis penting pengerahan pasukan Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dan berujung pada kehancuran pasukan ini, digunakan sebagai kriteria untuk menimbang pelbagai peristiwa bersejarah.[1]

Pasca kedatangan Islam, sesuai dengan dalil-dalil yang telah dijelaskan, hingga masa-masa tertentu, tidak ada awal sejarah yang jelas bagi kaum Muslimin dan terkadang Tahun Gajah dijadikan sebagai tonggak awal sejarah kaum Muslimin. Namun wilayah geografi negeri-negeri Islam pada masa khalifah sedemikian luas dan pelbagai instruksi dan administrasi pemerintahan terbentuk secara luas. Tampaknya adanya awal sejarah untuk penyusunan surat-surat dan instruksi-instruksi pemerintahan dan lain sebagainya merupakan suatu hal yang penting.

Sesuai dengan nukilan buku-buku sejarah, Abu Musa Asy’ari dalam sebuah surat kepada Khalifah Kedua menyampaikan protes tentang tiadanya tanggal dalam surat-surat pemerintahan khalifah yang dikirimkan kepadanya. Abu Musa Asy’ari berkata, “Wahai Khalifah! Anda menulis surat-surat untuk kami yang tidak ada tanggalnya.”[2]

Khalifah Kedua pada tahun enam belas[3] atau tujuh belas atau delapan belas[4] pasca hijrah Rasulullah Saw, mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah memecahkan masalah ini.

Dalam syura itu sebagian berpendapat kita menghitung sejarah kita sebagaimana orang-orang Persia; artinya pelbagai peristiwa bersejarah kita bandingkan dengan para Raja Persia. Misalnya kita katakan bahwa peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja. Sebagian lagi berkata, “Sebagaimana rakyat Romawi, kita menghitung sejarah kita dengan membandingkan dengan Raja Alexander Macedonia. Beberapa pendapat ini ditolak dalam Syura.

Sebagian lagi berkata, “Mari kita jadikan hari lahir Rasulullah Saw sebagai awal penanggalan sejarah kaum Muslimin dan sebagian lainnya berpendapat hari mab’ats dan sebagian lainnya mengusulkan hari wafatnya Rasulullah Saw. Seluruh pendapat ini tidak diterima dalam syura para sahabat.

Menurut Yakubi (292 M),[5] Thabari (310 M),[6] Mas’udi (346 M),[7] Ibnu Atsir (630 M),[8] dan Dzahabi (748 M),[9] Khalifah Kedua bermusyawarah dengan Imam Ali. Imam Ali As berpendapat dalam musyawarah ini supaya menjadikan hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah sebagai tonggak awal sejarah kaum Muslimin. Pendapat Amirul Mukminin Ali ini diterima oleh Khalifah Kedua dan seluruh kaum Muslimin.

Semenjak saat itu, seluruh peristiwa sejarah penting Islam di antaranya peperangan yang diikuti Rasulullah Saw (ghazawat) khususnya peristiwa-peristiwa yang terjadi pasca hijrah dihitung berdasarkan penanggalan ini. 

Referensi:
[1]. Muhammad bin Jarir Thabari, Târikh Thabari, jil. 2, hal. 392, Dar al-Turats, Beirut, 1387 H.
[2]. Muhammad bin Ahmad Miskawai, Tajârib al-Umam, jil. 1, hal. 413, Intisyarat Surush, Teheran, 1379 S.
[3]. Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Târikh al-Islâm, jil. 3, hal. 16, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1413 H.
[4]. Imaduddin Ibnu Katsir Damisyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 3, hal. 207, Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H.
[5]. Ahmad bin Ya’qub Ya’qubi, Târikh Ya’qubi, jil. 2, hal. 145, Dar Shadir, Beirut, Tanpa Tahun.
[6]. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 38 dan 39.
[7]. Ali bin al-Husain Mas’udi, Murûj al-Dzahab, jil. 4, hal. 300, Dar al-Hijrah, Qum, 1409 H.
[8]. Ali bin Abi al-Karam Ibnu Atsir, al-Kâmil fi al-Târikh, jil. 1, hal. 11, Dar Shadir, Beirut, Tanpa Tahun.
[9]. Târikh al-Islâm, jil. 3, hal. 163.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: