Kelahiran Manusia Agung
Bangsa Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin Abdul Mutthalib.
Kelahiran bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.
Masa sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh.
Menjadikan berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Sa'diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Yatim Piatu
Dua tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari cucu-cucunya yang lain.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu.
Namun keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh hingga menginjak usia remaja remaja.
Saat berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk singgah beristirahat di tempat pendeta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun singgah di sana. Pendeta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan tangan terbuka. Namun sang pendeta merasa ada keanehan. Kepada Abu Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di kafilah ini.
Abu Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pendeta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.
Mendengar hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pendeta membawa Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib dan berkata, "Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di negeri Syam menyakitinya."
Sesuai dengan anjuran pendeta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.
Gelar al-Amin
Muhammad tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujuran, sehingga beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti orang yang terpercaya. Bagi masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari Muhammad Al-Amin. Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta merta. Pada usia 25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya di kota Mekah yang amat disegani.
Untuk memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan pemuda bergelar Al-Amin ini, kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.
Menikah Dengan Siti Khadijah AS
Dengan usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita mulia ini. Perkawinan antara Muhammad Al-Amin dan Khadijah, disaksikan oleh para malaikat di langit dan bumi. Dari dua manusia mulia ini, kelak akan lahir seorang putri yang menjadi penghulu wanita seluruh jagat, yaitu Fatimah Az-Zahra.
Masa Muda Al-Amin dan Risalah Ilahiyah
Sejak kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa, Muhammad dikenal oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki kepribadian agung, jujur, penyantun, gemar menolong mereka yang memerlukan dan berhati besar. Ketinggian akhlak beliau membuat kagum bangsa Arab khususnya suku Quresy di Mekah. Berbeda dengan para pemuda dan masyarakat di zaman itu, Muhammad tidak tertarik kepada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan duniawi.
Pemuda putra Abdullah bin Abdul Mutthalib ini gemar menyendiri di lereng-lereng gunung atau di gua Hira untuk menghindari kehidupan syirik dan menyibukkan diri dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah. Muhammad biasanya pergi ke gua Hira dengan membawa bekal dan akan turun ke kota jika perbekalan habis. Pergi ke gua Hira, menyendiri dan bermunajat di tempat yang sepi itu seorang diri akhirnya menjadi kegiatan rutin pemuda bergelar Al-Amin ini.
Di Hira, Muhammad menemukan ketenangan tersendiri yang tidak ia dapatkan di Mekah. Akhirnya, pada suatu hari ketika usianya menginjak 40 tahun, saat berada di dalam gua hira, Muhammad mendengar suara yang mengajaknya untuk membaca. Untuk pertama kalinya, Muhammad menerima ayat yang turun dari Allah swt. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ayat ini adalah yang pertama kalinya turun kepada Muhammad yang menandai kenabiannya.
Tidak sedikit orang yang mempersoalkan mengenai agama Nabi Muhammad SAW sebelum menerima risalah kenabian. Permasalahan mengusik hati ketika menyaksikan bahwa di zaman jahiliyyah, bangsa Arab khususnya di kota Mekah, tempat Rasulullah SAW menjalani kehidupannya, adalah bangsa penyembah berhala. Masing-masing kelompok dan kabilah memiliki berhala tersendiri yang diletakkan di dalam ka'bah atau di komplek masjidul haram. Sementara masing-masing orang memiliki berhala yang khusus yang disimpan di rumah masing-masing atau di kantong khusus agar bisa dibawa ke mana-mana.
Masalah inilah yang lantas melahirkan pertanyaan mengenai agama yang dianut oleh Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi nabi. Masalah kondisi di zaman jahiliyah dan penyembahan berhala yang dianut oleh bangsa Arab secara umum, adalah fakta sejarah yang tidak mungkin ditolak. Namun harus diingat bahwa di jazirah Arabia juga ada agama lain semisal agama Nasrani, Yahudi dan agama Ibrahimi.
Penduduk Najran rata-rata beragama nasrani, sementara di kota Yasrib, nama lain kota madinah, terdapat beberapa kabilah yang menganut agama Yahudi. Selain dua agama itu, tidak sedikit pula yang menganut ajaran Nabi Ibrahim as. Agama Ibrahimi ini dianut oleh sebagian besar bani Hasyim. Bukankah ketika Abdul-Muththalib menamakan anaknya dengan nama Abdullah yang berarti hamba Allah, menunjukkan bahwa tuhan yang sebenarnya di mata Abdul Mutthalib adalah Allah, bukan selain-Nya.
Ketika Allah mengangkatnya menjadi nabi dan utusan-Nya, Muhammad mengatakan kepada umat bahwa dia membawa ajaran Ibrahim. Seruan ini dikarenakan umat mengenal akan keberadaan ajaran yang demikian. Amalan ibadah seperti haji, umrah dan semisalnya yang juga dianut oleh bangsa Arab Jahiliyyah merupakan sisa-sisa ajaran Ibrahim as yang terus dijalankan meski dengan cara yang berbeda dengan ajaran sebenarnya. Semua ini menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab di zaman itu menyembah berhala. Jika hal ini bisa diterima, muncul pertanyaan;
Masuk akalkah, orang yang bakal membawa ajaran agama ilahi yang paling sempurna, tetapi tidak mengikuti ajaran Ibrahim dan terjerumus ke dalam kesyirikan penyembahan berhala?
Jika Muhammad pernah menyembah berhala, tentunya, saat beliau menyeru kaum Quresy dan bangsa Arab untuk meninggalkan berhala, mereka akan mengingatkan bahwa dia sendiri pernah menyembah berhala. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah, "Ya rasulullah, apakah engkau pernah menyembah berhala?"
Beliau menjawab, "Sama sekali tidak."
"Apakah engkau pernah meminum khamar?"
beliau juga menjawab, "Sama sekali tidak pernah."
Dengan turunnya firman ilahi kepadanya dan turunnya perintah untuk mengajak kaumnya kepada penyembahan tuhan yang maha esa, Nabi Muhammad SAW menyampaikan misi mulia dan agung ini kepada sanak keluarganya. Orang yang pertama-tama menerima ajakan ini adalah Khadijah istri setia Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib yang hidup dalam bimbingan dan asuhan beliau. Ajakan dan seruan Nabi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan kepada keluarga dekatnya.
Proses dakwah secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun, sampai akhirnya Allah swt menurunkan ayat yang berisi perintah untuk secara terbuka menyampaikan risalah ilahi ini kepada umat.
Dengan berdiri di atas sebuah bukit, Rasulullah SAW bertanya kepada kaumnya, "Wahai sekalian suku Quresy, jika akan katakan bahwa di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang datang menyerang, apakah kalian akan mempercayai kata-kataku?"
Mereka menjawab, "Ya, pasti, sebab engkau adalah orang yang paling jujur."
Rasulullah berkata lagi, "Jika demikian, ketahuilah bahwa aku membawa risalah dan ajaran dari Tuhan untuk kalian semua." Rasulullah menjelaskan risalah yang beliau pikul kepada kaum Quresy. Akan tetapi berbeda dengan pernyataan awal mengenai kejujuran Muhammad Al-Amin, kali ini kaum Quresy yang dimotori oleh para pemukanya yang kafir semisal Abu Sufyan, Abu Jahal dan lainnya menuduh putra Abdullah ini telah membuat kebohongan besar.
Sejak saat itulah, dakwah kepada agama Islam dilakukan secara terbuka. Seiring dengan sambutan orang-orang yang berhati bersih kepada ajaran ini, sikap penentangan dan permusuhan kaum kafir terhadap ajaran ilahi ini juga semakin meningkat. Para pemuka Quresy yang merasa posisi dan kedudukan mereka terancam dengan adanya ajaran ilahi ini, serta merta megambil sikap frontal terhadap Muhammad, para pengikut dan ajarannya. Dengan memanfaatkan kedudukan, uang dan kekuatan, kaum kafir melakukan penyiksaan terhadap para pengikut ajaran islam.
Bilal bin Rabbah bekas budak Umayyah bin Khalaf, juga Yasir, istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar adalah contoh dari kaum muslimin lemah yang menjadi korban penyiksaan. Bahkan Sumayyah dan Yasir gugur syahid setelah menjalani penyiksaan kaum kafir Quresy yang tidak mengenal batas kemanusiaan. Sementara Ammar terpaksa mengeluarkan kata-kata syirik dari mulutnya meski hatinya tetap memegang teguh keimanan.
Gangguan kaum kafir Quresy tidak hanya ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi juga kepada pemimpin dan nabi pembawa risalah, Muhammad bin Abdillah SAW. Hanya saja, gangguan itu seberapa karena sikap Abu Thalib yang mati-matian membela Muhammad dan ajarannya. Bagaimanapun juga, Abu Thalib adalah figur yang sangat dihormati oleh kaum Quresy di Mekah. Berkali-kali para pembesar Quresy mendatangi Abu Thalib agar menghentikan aktifitas dakwah Muhammad yang menistakan berhala dan mengajak masyarakat kepada Tuhan yang esa. Meski demikian, Abu Thalib tetap pada pendiriannya untuk membela Muhammad dan ajarannya. Sikap Abu Thalib ini telah menyulut kemarahan para pembesar Quresy yang lantas memutuskan untuk memboikot Bani Hasyim dan para pengikut ajaran Islam.
(Syiah-Menjawab/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email