Sebagian mengklaim bahwa dalam kitab-kitab muktabar Syiah secara terang-terangan menulis bahwa satu-satunya musuh Syiah adalah orang-orang Sunni, oleh itu mereka disebut dengan amah dan nawashib. Apakah benar demikian dan apakah Syiah memiliki pandangan seperti ini?
Ini adalah propaganda untuk menghilangkan persatuan dan kesatuan kaum Muslimin betapa tidak karena ulama Syiah –walaupun mereka tidak memiliki keraguan terhadap keyakinan Ahlu Sunah- mereka tidak mengatakan hal itu dalam kitab-kitab mereka, bahkan dalam berbagai kesempatan, menyebut Ahlusunah sebagai saudaranya sendiri dan hadis-hadis yang berasal dari kalangan para Imam Ahlulbait As menyeru umat Muslim Syiah untuk berinteraksi dan berteman dengan saudaranya dari kalangan Sunni.
Secara tegas,Ayatullah al Uzhma Sistani mengatakan "Umat Syiah harus berdampingan dengan umat Sunni untuk sama-sama memperjuangkan hak-hak sosial dan politiknya. Saya berkali-kali menegaskan bahwa jangan mengatakan bahwa Sunni itu saudara seiman saya melainkan mereka adalah nafas dan jiwa saya. Saya lebih banyak ikut mendengarkan khutbah ulama Sunni dibanding khutbah Jum'at ulama Syiah."
Dalam berbagai pernyataan bahkan termasuk fatwa-fatwanya menyerukan ummat islam untuk mengedepankan persatuan ummat dan menjauhi segala bentuk perselisihan antar mazhab. Beliau diantara ulama besar yang sampai saat ini tetap gigih mengupayakan terwujudnya ukhuwah Islamiyah tersebut khususnya antar warga muslim Irak yang selama bertahun-tahun terlibat dalam pertikaian sektarian.
Diantara upayanya adalah menyelenggarakan berbagai pertemuan ilmiah, seminar dan diskusi antar mazhab. Beliau berkata, "Penyelenggaraan pertemuan-pertemuan ilmiah tidak bisa dinafikan manfaatnya yang sangat besar. Lewat pertemuan-pertemuan tersebut bisa kita tegaskan bahwa antara Sunni dan Syiah tidak ada perbedaan yang mendasar yang membuat pengikut antar kedua mazhab besar ini saling berselisih dan berpecah belah. Perbedaan antara Sunni dan Syiah hanya terjadi pada tataran fikih praktis dan itu hal yang sangat lumrah."
Muawiyah bin Wahab berkata, “Aku bertanya kepada Imam Shadiq As, Bagaimana cara berinteraksi kami dengan masyarakat yang tidak meyakini keyakinan kita? Imam Shadiq As bersabda, ‘Lihatlah Imam yang kalian yang ikuti dan bertingkah lakulah seperti mereka. Aku bersumpah demi Tuhan bahwa para Imam menengok orang-orang yang sakit di antara mereka, mengantarkan jenazah mereka dan bersumpah demi mereka serta menunaikan amanah mereka.”[2]
Abdullah bin Sinan berkata: "Aku mendengar dari Imam Shadiq As bersabda, Aku menganjurkan supaya kalian bertakwa kepada Allah Swt dan janganlah membuka cela orang lain di hadapan orang-orang karena itu akan membuatmu malu sendiri.” Allah Swt dalam al-Quran berfirman: “Bertutur kata dan berinteraksilah dengan masyarakat secara baik.”[3] Kemudian beliau bersabda, “Jenguklah orang-orang yang sakit di antara mereka, ikutlah melayat mayat mereka, berikanlah kesaksian bagi mereka dan ikutlah salat di masjid mereka.”[4]
Syaikh Muhammad Abu Zuhrah mengakui bahwa kaum Syiah bersahabat dengan Ahlusunnah dan tidak membencinya. Ia berkata, “Dewasa ini Syiah Imamiyah ada di Irak dan pengikut Syiah di Irak yang jumlahnya mencapai setengah dari populasi penduduk dalam keyakinan, keteraturan, keadaan pribadi, warisan, wasiat, wakaf-wakaf, zakat dan semua peribadatan dikerjakan sesuai dengan ajaran mazhab Syiah 12 Imam.”
Sebagian besar masyarakat Iran juga demikian, dan sebagian pengikut Syiah di Syria, Libanon yang tersebar di berbagai negara-negara Islam, bertetanggaan dengan kaum Sunni dan menjauhkan diri dari rasa permusuhan dengan mereka.[5]
Amah bermakna kebanyakan ketika dihadapkan dengan kondisi khusus yang berarti kaum minoritas karena kaum Syiah selalu berada dalam kondisi minoritas dan pemerintahan juga tidak berada pada tangan mereka. Oleh itu, kepada Ahlusunah disebut amah.[6] Di samping itu, kaum Syiah tidak menganggap bahwa semua Ahlu Sunah adalah nawashib dan hal ini telah dijelaskan secara berulang dalam kitab-kitab Syiah.
Catatan:
[1] . Pengklaiman terhadap pertanyaan yang diisyaratkan dari penulis kitab “Lillāhi Tsumma lil Tārikh” yang merupakan terjemahan kitab “Ahlul Bayt az Khud Defā’ Mikunad”. Silahkan lihat: Ali Muhsin, Ali, Azir, Hamid Ridha, Afsyai Yek Tuthe’eh (Pāsukhi bih Kitāb Ahlul Bayt As az Khud Defā’ Mikunad”, hal. 9-11, Tehran, Nasyar Masy;ar, Cet. Ke-2, 1385.
[2] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Kāfi, Riset dan editor: Ghifari, Ali Akbar, Akhundi, Muhammad, jil. 2, hal. 635, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. 4, 1407.
[3] Qs Al-Baqarah [2]: 83.
[4] Syaikh Hur Amili, Wasāil Syaikh, jil. 8, hal. 301, Qum, Muasasah Ali a-Byat As, cet. 1, 1409.
[5] Abu Zuhrah, Muhammad, Tārikh al-Madzāhib al-Islāmiyah fi al-Siyāsah wa al-‘Aqāid wa Tārikh al-Madzāhib al-Fiqhiyah, hal. 46, Qahirah, Dar al-Fikr al-Arabi, tanpa tempat.
[6] Masykur, Muhammad Jawad, Farhang Firāq Islāmi, hal. 329, Masyhad, Astan Quds Radzawi, cet. 2, 1372.
(TV-Shia/Islam-Quest/Syiah-Menjawab/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email