Oleh: Abu Fathi Rabbani
Kemudian Kami wariskan Al-Kitâb kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami, lalu dari mereka ada yang zalim terhadap dirinya (zhâlimun linafsih) dan dari mereka ada yang berlaku adil (muqtashid) dan dari mereka ada yang menjadi polopor kebaikan (sâbiqun bil khairât) dengan izin Allâh, yang demikian itu adalah karunia yang besar. (QS Fâthir 35/32).
Pada firman Allah ‘azza wa jalla tersebut, manusia sepeninggal Rasûlullâh saw (baca : shallallâhu ‘alaihi wa ãlihi wa sallam ) dalam kaitannya dengan ajaran Islam yang beliau tinggalkan terbagi kepada tiga golongan. Dua baik dan satu tidak baik. Dua golongan yang baik adalah para imam suci dan pengikutnya sedangkan satu golongan yang tidak baik, yaitu orang-orang yang berpaling. Penggolongan Manusia dalam Al-Quran Sâbiqun bil khairât adalah para imam yang suci dari Ahlulbait Nabi saw pada zamannya masing-masing. Mereka tidak ragu sedikit pun terhadap perintah Allâh dan terdepan dalam kebaikan. Jumlah mereka dua belas. Muqtashid adalah orang yang mengenal para imam yang dua belas dan menjadi pengikut setia mereka. Zhâlimun linafsih adalah orang yang tidak mengenal imam pilihan Allah, mereka berlepas diri darinya dan bahkan memusuhinya kendatipun berdalih dengan "mencintai mereka". Sûrah bin Kalîb bertanya kepada Imam Muhammad Al-Bâqir (khalîfah Rasûlullâh yang kelima) tentang ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa orang yang zhâlim adalah orang yang tidak mengenal imam, muqtashid yaitu orang yang mengenal imam dan sâbiqun bil khairât adalah imam yang Allah pilih. (Ta`wîlul Ãyât Al-Zhâhirah hal. 471).
Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa ayat itu khusus untuk keluarga Muhammad saw. Dan jika begitu, berarti diantara keluarga Nabi atau diantara orang yang mempunyai hubungan darah dengan beliau ada yang zhâlim terhadap dirinya dan itulah orang yang sesat, diantara mereka ada yang muqtashid, itulah orang yang saleh dan diantara mereka ada yang menjadi polopor kebaikan (sâbiqun bil khairât) dan itulah Imam ‘Alî bin Abî Thâlib as. (Ta`wîlul Ãyât Al-Zhâhirah hal. 471).
Dalam sûrah Al-Wâqi'ah ayat 8, 9 dan 10 manusia dibagi kepada tiga golongan:
(1) Ashhâbul maimanah, yaitu golongan kanan
(2) Ashhâbul masy`amah, yakni golongan kiri dan golongan kiri ini sebagai golongan yang merugi, dan
(3) Al-sâbiqûn al-sâbiqûn. Dalam versi umum, Abû Nu‘aim meriwayatkan dengan sandaran berita yang terangkat sampai ke Ibnu ‘Abbâs ra dia berkata, “Sesungguhnya sâbiq bagi ummat ini adalah ‘Ali bin Abî Thâlib as.” (Tafsîr Al-Durrul Mantsûr 6/154).
Dan dalam versi khusus, dari Ahlulbait antara lain dari Dâwud Al-Riqqî bahwa dia meminta Imam Ja‘far Al-Shâdiq menjelaskan ayat al-sâbiqûn al-sâbiqûn, ulâikal muqarrabûn. Imam Ja‘far as berkata, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla ketika hendak menciptakan makhluk, Dia ciptakan mereka dari tanah dan Dia mengangkat api buat mereka seraya Dia berfirman, Masuklah kalian kepadanya! Maka yang pertama-tama memasukinya adalah Muhammad, Amîrul Mu`minîn, Al-Hasan, Al-Husain dan sembilan imam, imam setelah imam. Kemudian mereka diikuti oleh para pengikutnya, maka mereka itu demi Allah al-sâbiqûna.” (Al-Ghaibah bab IV hal. 90).
Penggolongan Manusia dalam Hadîts
Imam Mûsâ bin Ja‘far (khalîfah Rasulullâh yang ketujuh) membagi manusia kepada tiga golongan dengan istilah 'arabî, maulâ dan 'ilij (yaitu golongan yang celaka) sebagaimana dalam perkataannya berikut ini, “Manusia itu tiga golongan: 'Arabî, yaitu kami (para imam dari Ahlulbait Nabi), maulâ adalah orang yang berwilayah kepada kami (mencintai dan mengikuti) dan 'ilij adalah orang yang berlepas diri dari kami dan memusuhi kami.” (Al-Khishâl 1/123).
Istilah Imam Ja‘far Al-Shadiq (khalîfah Rasulullâh saw. yang keenam) tiga golongan manusia itu adalah ‘âlim (ulama), muta‘allim (pelajar) dan ghutsâ (buih). Beliau berkata, “Manusia menuju kepada tiga golongan: ‘Âlim, muta‘allim dan ghutsâ. Kami (Ahlulbait) adalah ulama, para pengikut kami adalah muta'allim dan seluruh manusia (selain itu) adalah ghutsâ.” (Al-Khishâl 1/123).
Imam ‘Alî bin Abî Thâlib as. membagi manusia kepada tiga golongan: ‘Âlim rabbânî, muta‘allim atas jalan keselamatan dan hamajun ri‘â‘un, yakni pengikut setiap penyeru yang tidak mengambil cahaya ilmu dan tidak bertopang kepada tiang yang kokoh. (Ghurar Al-Hikam 1/112).
Dalam kitab Nahjul Balâghah Imam ‘Ali as membagi manusia kepada tiga golongan. Beliau berkata, “Sesungguhnya manusia setelah Rasulullah saw. menjadi tiga golongan:
(1) ‘Âlim atas petunjuk dari Allah, dan sesungguhnya Allah telah mencukupinya dengan apa yang dia ketahui dari ilmu orang lain,
(2) jâhil yang mengklaim berilmu padahal tidak punya ilmu, dia bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Dunia telah menggodanya dan dia memfitnah yang lainnya, dan
(3) muta‘allim dari ‘âlim atas jalan petunjuk dan keselamatan dari Allah. Kemudian celakalah orang yang mengaku-ngaku dan merugilah orang yang mengada-ngada.” (Nahjul Balâghah 2/283).
Rasûlullâh saw membagi manusia kepada empat golongan : ‘Âlim, muta‘allim, pecinta ulama dan golongan yang celaka. Beliau berkata, “Jadilah kamu 'alim, muta'alim atau cintai ulama, dan janganlah kamu menjadi orang yang keempat karena kamu pasti celaka dengan sebagian mereka.” (Al-Khishâl 1/123).
Empat golongan manusia tersebut pada hakikatnya adalah tiga golongan, sebab muta‘allim dan pecinta ulama adalah golongan yang selamat, jadi dimasukkan kepada satu golongan.
Penjelasan
Yang dimaksudkan dengan ‘âlim adalah Ahlulbait Nabi yang disucikan (Al-Ahzab 33), karena mereka itulah ulama yang sesungguhnya, mereka itulah yang disebut sebagai pewaris ilmu para Nabi (al-'ulamâ`u waratsatul anbiyâ). Mereka itulah yang mengetahui ta`wîl (makna yang terkandung) dalam ayat-ayat mutasyâbihât. Di dalam Al-Quran mereka disebut al-râsikhûna fil 'ilmi (QS Ãli 'Imrân 7) Dan mereka itu ûlil amri yaitu orang-orang yang diberi wewenang memerintah dan perintahnya wajib dipatuhi. (QS Al-Nisâ 4/59).
Yang dimaksudkan dengan muta‘allim adalah ulama biasa yang merujuk kepada Al-Quran dan Ahlulbait Nabi (sebagian sifatnya akan disebutkan kemudian). Mereka ini yang membawa manusia kepada ajaran yang benar dan mereka tidak akan memberi kelonggaran serta toleransi kepada ummat manusia untuk berbuat maksiat kepada Allâh ‘azza wa jalla. Dan yang dimaksudkan dengan pecinta ulama adalah kaum muslim yang tidak termasuk ulama tetapi mereka adalah para pecinta dan pengikut ulama rabbâniyyûn yakni Ahlulbait Nabi.
Muta‘allim dan pecinta ulama ini di dalam Al-Quran disebut ashhâbul yamîn (golongan kanan) atau muqtashid, dan oleh Imam Mûsâ Al-Kâzhim disebut maulâ. Jadi singkatnya setelah Rasûlullâh saw itu manusia terbagi kepada tiga golongan.
(1) Golongan pertama diberi gelaran al-sâbiqûn al-sâbiqûn, sâbiq bil khairât, ‘âlim rabbânî, ‘âlim, 'ulamâ atau 'arabî. Orang-orang yang dimaksudkan dengan istilah-istilah itu adalah Ahlulbait Rasûlullâh saw yang dijadikan padanan Al-Quran yang menjadi pewaris para nabi dan polopor kebaikan. Mereka tidak pernah belajar kecuali dari ayahnya dari Rasulullah saw.
(2) Golongan kedua diberi julukan muqtashid, ashhâbul maimanah, ashhâbul yamîn, muta'allim atau man ahabbal ‘ulama. Mereka ini adalah para pengikut Allâh ‘azza wa jalla, Rasûlullâh saw dan ûlil amri (Ahlulbait as).
(3) Golongan ketiga dijuluki dengan sebutan zhâlim linafsih, ashhâbul masy`amah, ashhâbul syimâl, hamajun ri‘â‘un, ghutsâ atau 'ilij. Mereka ini orang-orang yang tersesat, sebab tidak patuh kepada Allah, Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Dan yang paling merusak dari golongan ini adalah orang-orang yang diulamakannya.
Mitos-mitos Ulama Kemudian kita akan berbicara tentang ulama biasa (dari golongan kedua dan ketiga), yang bukan Nabi saw dan bukan pula Ahlulbaitnya. Orang-orang yang dianggap ulama, tokoh agama, ustadz atau kiai sering kali diagungkan secara berlebihan paling tidak oleh para pengikutnya.
Mereka dianggap sebagai orang yang teramat mulia, suci dan mengandung keberkahan sehingga tangan-tangan mereka suka diciumi oleh jemaah yang mengaguminya dan bahkan bekas minumannya pun menjadi rebutan, sebab dianggap mengandung keberkahan. Dan juga pikiran dan pendapatnya suka dipandang benar hingga dianggap tidak mungkin mereka melakukan kesalahan. Dan kalau ada orang melanggar suka dipandang berdosa dan bahkan ditakut-takuti akan kualat sehingga akibatnya daya kritis ummat Islam menjadi hilang.
Di sisi yang lain; ulama, penceramah agama, ustadz atau kiai ada yang arogan dan menuntut untuk dipatuhi oleh jemaahnya yang layaknya imam yang suci yang pada akhirnya mereka tidak lagi membawa ummat kepada Allah, Rasulullah dan Ahlulbaitnya, melainkan dibawanya ummat itu kepada kepentingan dirinya masing-masing.
Dan biasanya, kalau ulama yang satu diangkat, maka yang lainnya yang berbeda dengannya akan disepelekan, dan inilah di antara penyebab perpecahan ummat. Sebenarnya perpecahan ummat itu bermula dari perpecahan ulama, perpecahan ustadz atau perpecahan kiai yang berebut kepentingan yang kemudian berpengaruh kepada jemaahnya masing-masing. Pada realitasnya, ulama itu tidak semuanya benar, sebab diantara mereka juga terjadi perpecahan dan perbedaan paham, dan ini menunjukkan bahwa memang tidak semua ulama itu benar.
Ulama yang Buruk
Ulama itu termasuk salah satu dari orang-orang khusus. Jika ulama tersesat, maka ummat akan tersesat pula, kemudian ber-ikhtilâf dan becerai-berai sehingga menjadi beberapa puluh golongan. Demi pembenaran, biasanya orang mengutip sepotong hadîts bahwa ikhtilâf itu rahmat. Padahal ikhtilâf itu menurut firman Allah azab yang besar. (QS Ali 'Imrân 105).
Mengapa ummat Islam ini terpecah-pecah yang perpecahannya lebih parah dari perpecahan yang terjadi di kalangan kaum yahudi dan nasrani? Penyebabnya antara lain adalah ulama yang tidak baik. Nabi saw ditanya orang, “Manusia yang manakah yang paling jahat?” Beliau berkata, “Ulama, apabila mereka melakukan fasâd (kerusakan).” (Mîzân Al-Hikmah 6/517).
Rasulullah saw berkata, “Keburukan yang paling buruk adalah keburukan ulama dan kebaikan yang paling baik adalah kebaikan ulama.” (Mîzân Al-Hikmah 6/517).
Rasulullah saw berkata, “Ulama yang buruk dari ummat kami itu meyesatkan (orang) dari kami, menghalangi (orang) untuk mengambil jalan kepada kami, mereka yang kasarnya terhadap kami menamai dirinya dengan nama-nama kami, mereka yang menjadi pesaingnya terhadap kami bergelar dengan gelaran kami, mereka dishalatkan (kalau mati) padahal mereka berhak untuk mendapatkan laknat.” (Mîzân Al-Hikmah 6/518).
Imam Hasan Al-‘Askari as berkata tentang sifat ulama yang buruk, “Mereka lebih jahat terhadap orang-orang yang lemah dari syî‘ah kami dari pada tentara Yazîd—atasnya laknat---kepada Husain bin ‘Ali as. dan para sahabatnya, sebab ulama yang jahat itu merampas mereka baik arwâh (perhatian) dan harta. Mereka itulah ulama yang buruk…mereka memasukkan keraguan dan kesamaran kepada orang-orang yang lemah dari syî‘ah kami lalu mereka menyesatkannya.” (Mîzân Al-Hikmah 6/51).
Ulama, ustadz atau kiai yang tersesat dan buruk ini, sangat besar pengaruhnya dalam penyesatan orang banyak sehingga mereka menjadi ber-ikhtilâf dan ber-tafarruq. Para kiai atau para ulama semacam itu akan memikul dosanya sendiri dan dosa-dosa seluruh ummat yang disesatkannya tanpa mengurangi dosa ummat itu sendiri, dan kelak mereka akan ditempatkan di tujuh darak neraka.
Dalam Kitab Al-Khishâl pada bab VII, Imam Ja‘far Al-Shâdiq mengatakan bahwa ada tujuh golongan ulama umat Islâm yang akan dimasukkan ke dalam tujuh darak (level ke bawah) neraka, yaitu :
(1) Ulama yang suka mengumpulkan ilmu, tetapi orang-orang tidak mengambil manfaat dari ilmunya. Ulama semacam ini akan ditempatkan pada darak neraka yang pertama.
(2) Ulama yang jika dinasihati tidak mau menerima (karena merasa paling benar) dan bila memberi nasihat suka melewati batas. Mereka merasa lebih baik dan lebih pintar dari yang lain. Ulama yang seperti itu akan ditempatkan di dasar neraka yang kedua.
(3) Ulama yang menyampaikan ilmunya kepada kalangan orang-orang kaya dan para pejabat, mereka tidak mau menyampaikan ilmunya kepada kalangan miskin. Mereka ini ulama yang mengejar dunia, popularitas dan dukungan orang-orang kaya serta penguasa. Ulama tipe ini akan ditempatkan di darak neraka yang ketiga.
(4) Ulama yang dalam madzhab dan pemikirannya sama dengan penguasa dan sultan-sultan yang zalim, jika fatwa atau ucapannya ditolak atau sedikit perintahnya ditentang, mereka marah. Ulama macam ini akan dimasukkan ke dalam darak neraka keempat.
(5) Ulama yang senang mencari-cari cerita dari yahudi dan nasrani agar koleksi ceritanya bertambah banyak yang akhirnya sebagian ummat Islam mengamalkan Islam versi yahudi dan nasrani. Ulama ini akan ditempatkan di dasar neraka yang kelima.
(6) Ulama yang telah memposisikan dirinya di sebuah lembaga fatwa, dan dari mulutnya keluarlah fatwa-fatwa yang barang kali tidak satu fatwa pun yang benar atau sesuai dengan Islam. Mereka akan dimasukkan ke dalam dasar neraka yang keenam.
(7) Ulama yang menjadikan ilmunya sebagai muruah dan 'aql. Menurut 'Ali Akbar Al-Ghaffârî yang men-ta'lîq Kitab Al-Khishâl—rahimahullâh-- bahwa yang dimaksudkan dengan muruah dan ‘aql adalah ulama yang aktiv mencari ilmu dan mencurahkannya (kepada orang lain) dengan maksud agar orang-orang menganggapnya sebagai ahli muruah dan berakal (ahli ilmu dan pemikir, atau ingin dikatakan sebagai orang yang cerdas).
Ulama macam ini akan ditempatkan di dasar neraka ketujuh. Sedikit penjelasan muruah. Imam 'Alî bin Abî Thâlib. ketika ditanya tentang makna muruwwah atau muruah beliau berkata, "Muruwwah itu ialah engkau tidak melakukan sesuatu di saat sunyi yang engkau akan malu jika melakukannya di hadapan orang.” (Nahjul Balâghah)
Itulah tujuh golongan ulama, ustadz atau kiai munâfiqîn yang akan dimasukkan ke dalam tujuh darak neraka.
Dan di dalam Al-Quran orang-orang yang akan ditempatkan di darak neraka itu adalah orang-orang munâfiq. Firman-Nya yang maha tinggi, Sesungguhnya orang-orang munâfiq (akan ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari api neraka dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka. (QS Al-Nisâ` 4/145).
Ulama yang Baik
Kriteria ulama yang baik itu selain tidak termasuk kepada salah satu dari tujuh golongan ulama ahli neraka sebagaimana tersebut di atas, juga mereka memiliki sifat-sifat yang luhur lagi terpuji. Rasûlullâh saw. berkata, "Ulama itu seharusnya sedikit tertawanya, banyak menangisnya, tidak bergurau, tidak berteriak-teriak, tidak bertengkar, dan tidak berbantah-bantahan. Jika dia berbicara, dia bicara dengan benar, jika diam, dia diam dari yang tidak baik, jika masuk, dia masuk dengan ramah dan jika keluar, dia keluar dengan murah hati." (Kanzul 'Ummâl hadîts no. 29289).
Rasûlullâh saw berkata, "Para ulama itu kepercayaan para rasûl selama mereka tidak memasuki dunia.” Ada orang yang bertanya, "Wahai Rasûlullâh, apa yang dimaksudkan dengan memasuki dunia?” Beliau menjawab, "Mengikuti penguasa, apabila mereka melakukan hal itu, maka waspadailah terhadap ajaran kamu.” (Bihârul Anwâr 2/36).
Rasûlullâh saw berkata, "Ulama itu kepercayaan para rasûl selama mereka tidak bergaul dengan para penguasa dan tidak memasuki dunia. Apabila mereka telah bergaul dengan penguasa dan memasuki dunia, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada para rasûl, maka waspadailah mereka itu.” (Kanzul 'Ummâl hadîts no. 28952).
Imam 'Alî bin Abî Thâlib as berkata, "Maukah kukabarkan kepadamu ulama yang benar? Yaitu ulama yang tidak memberikan kelonggaran kepada manusia dalam maksiat kepada Allâh, tidak membuat mereka putus asa dari rahmat Allâh, tidak memberi rasa aman kepada mereka dari siksa Allâh dan tidak meninggalkan Al-Quran karena mengikuti hukum selainnya.” (Bihârul Anwâr 75/41).
Imam Ja‘far Al-Shâdiq as. berkata, "Terkutuklah, terkutuklah ulama yang pergi mendatangi penguasa yang zalim dengan membantu atas kezalimannya.” (Bihârul Anwâr 75/381).
Itulah di antara petunjuk Rasûlullâh saw. dan Ahlulbaitnya kepada ummat Islam agar hati-hati dalam hal memilih ulama yang akan dijadikan panutan atau marâji'.
Khulâshah
Tidak semua ulama benar, bahkan mungkin sebagian besarnya salah dan jahat, sebab ulama juga manusia biasa. Dan salah satu ciri ulama itu jahat adalah mengikuti penguasa, padahal seharusnya penguasa yang harus mengikuti ulama, sebab ulama tentunya juga lebih paham tentang Islam.
Ulama atau kiai lazimna dipandang baik dan sebagai 'manusia pilihan' oleh orang kebanyakan, maka kesalahan dan penyimpangannya pun sering kali dipandang benar sehingga ada orang yang mengatakan, "Tidak mungkin ulama salah." Anggapan seperti itu hanyalah mitos belaka dan pada realitasnya tidak demikian.
Adalah sangat efektif sembunyikan keburukan di balik julukan dan ‘busana kesalehan’ seperti peci, serban, baju koko, jubah dan asesoris lainnya. Oleh kerena itu kita mesti berpikir kritis agar tidak ber-taqlîd buta atau tidak seperti kerbau yang dicocok hidungnya hingga bisa dibawa ke mana-mana, dan agar kita tidak tertipu oleh para ulama, para ustadz atau para kiai yang tidak baik.
Doa
Kita doakan saja ulama kita agar berlaku zuhud dan tulus ikhlas dalam membimbing ummat dan pihak-pihak yang lain agar ada dalam kebaikan dengan doa Imam Mahdî as.
Mudah-mudahan doa kita dikabulkan-Nya. Berikut ini terjemahan doa tersebut.
Ya Allah! Berilah kami rezeki berupa kemudahan untuk menjalankan ketaatan, menjauhi kemaksiatan, meluruskan niat perbuatan dan mengenal kemuliaan.
Muliakanlah kami dengan hidâyah dan istiqâmah, luruskan lidah-lidah kami dengan yang benar dan hikmah, penuhi hati-hati kami dengan ilmu dan ma‘rifah, sucikan perut-perut kami dari yang haram dan yang samar, tahanlah tangan-tangan kami dari kezaliman dan pencurian, tundukkan penglihatan kami dari dosa dan pengkhianatan dan palingkan pendengaran kami dari ucapan yang tidak berguna dan umpatan.
Karuniakanlah kepada ulama kami kezuhudan dan ketulusan, kepada para pelajar semangat dan kesungguhan, kepada para pendengar kepengikutan terhadap kebenaran dan pelajaran, kepada orang-orang tua kami kewibawaan dan ketenangan, kepada para pemuda kembali ke jalan yang benar dan pertobatan, kepada kaum perempuan rasa malu dan kesucian, kepada kaum muslim yang sakit kesembuhan dan ketenangan, kepada mereka yang telah meninggal ampunan dan kasih-sayang, kepada orang-orang kaya rendah hati dan kemurahhatian, kepada orang-orang miskin kesabaran dan kecukupan, kepada orang-orang yang berperang kemenangan dan penaklukan, kepada para tawanan kebebasan dan ketenangan, kepada orang-orang yang berkuasa keadilan dan rasa sayang dan kepada seluruh rakyat keinsapan dan kebaikan dalam perjalanan.
Dan berkatilah para jama‘ah haji dan para peziarah dalam bekal dan nafkah, dan tunaikan pahala yang telah Engkau tetapkan buat mereka dari haji dan ‘umrah dengan kasih-Mu wahai yang paling pengasih dari semua yang mengasihi.
(Abu-Zahra/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email