Pesan Rahbar

Home » » BUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT (19) Bab XIX: Pendudukan Jepang

BUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT (19) Bab XIX: Pendudukan Jepang

Written By Unknown on Saturday, 12 March 2016 | 22:29:00


Bab XIX: Pendudukan Jepang

SEMENTARA itu Jendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan yang bermarkas besar di Jakarta, memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pernerintahan sipil, akan tetapi mereka keberatan dengan alasan, “Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa Bung Karno.”

Imamura lalu mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama dan menyatakan “Sebagian besar daripada tentara pendudukan beserta pimpinan. Yang mengendalikan tentara ini berada di Jawa. Tugas pemerintahan yang sesungguhnja ada disini dan ternyata urusan sipil tidak berjalan dengan baik. Kami sangat memerlukan bantuan dari orang jang paling berpengaruh.” Surat itu akhirnya menyimpulkan, “Ini adalah perintah militer supaya memberangkatkan Sukarno.”

Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan membawaku ke Jakarta, hatiku menari‐nari gembira. Semenjak pendaratan Jepang di Padang 4 bulan yang lalu aku mendo’a agar dapat kembali ke pulau Jawa yang tercinta, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya memenuhi keinginan hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do’aku dan memerintahkanku kembali.

Dekat Palembang kami terlibat dalam suatu kecelakaan. Dua buah kendaraan. Jepang dengan kecepatan yang penuh bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan itu adalah sebuah jip. Itulah pertama kali dalam hidupku aku melihat jip. Kendaraan yang satu lagi sebuah truk besar. Kedua perwira. Di dalam truk itu tergoncang, akan tetapi tidak apa‐apa selain dari babak belur sedikit. Dengan memberanikan diri mereka cepat‐cepat lari meneruskan perjalanan. Jip itu hancur sama sekali. Penumpangnya, seorang kapten, mendapat luka parah. Ajudannya terpelanting ke pinggir jalan dan hanya pusing dan terbaring dibawah sebatang kayu. Sewaktu dia sadar lagi dia menyatakan kepada kami, “Kami perlu segera sampai di Palembang. Saya bawa Buick ini.”
“Tapi,” protesku, “Ini milik saya. Komandan daerah ini memberikan izin istimewa kepada saya.”
Kutunjukkan sekilas surat tanda milikku. Ini buktinya.”

Sebagian dari “percakapan” ini kami lakukan dengan gerak. Sekalipun melihat surat itu, ajudan itu menghormat dengan kaku, mengucapkan sesuatu seakan dia berkata, “Ini urusan penting. Ma’af saja.”

Lalu dia pergi membawa kendaraan kami dengan meninggalkan kami terdampar di jalanan itu. Polisi Militer yang segera datang ke tempat kecelakaan ini mengerti tanda‐tanda pengenalku. Kendaraan selanjutnya yang kebetulan lewat adalah sebuah truk. Serta merta kendaraan itu disita dan kami meneruskan perjalanan dengan meninggalkan pemiliknya di pinggir jalan itu.

Kami menambah dua orang penumpang lagi. Seorang Indonesia yang terbanting dari atas truk besar tadi menggeletak di semak‐semak, mukanya tertelungkup ke tanah bermandi darah yang menggenang. Ia sudah tidak bernyawa lagi. Aku tidak dapat meninggalkan orang yang malang itu di tengah hutan, dikelilingi oleh muka‐muka masam. Dengan mengangkat mayat yang berlumuran darah ke atas truk, aku membawanya untuk dikuburkan sebagaimana mestinya. Yang seorang lagi adalah prajurit Jepang, ditugaskan untuk membawa kami. Inggit disuruh duduk di sebelahnya. Penumpang lain di belakang, Satusatunya kesukaran yang kuhadapi ialah mengenai Inggit yang tidak mau duduk di sebelah Jepang. Akhirnya aku menyelesaikannya dengan meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua di antara Inggit dan prajurit itu.

Sesampai di Palembang aku menghadapi kesukaran yang lebih banyak. Para pembesar disana tidak mengizinkan kami meneruskan perjalanan ke Jakarta sebagaimana instruksi yang telah kuterima. Orang yang bertugas menolakku dengan ucapan singkat, “Dilarang bepergian antara Sumatra dan Jawa.
“Tentu ada kekeliruan pengertian dalam hal ini,” aku memberi alasan. “Perintah ini saya terima dari
komandan atasan saudara sendiri.”
“Sekarang, ini tidak ada perdalanan orang preman antara Sumatra dan Jawa,” dia mengulangi lagi, sambil
berdiri menyuruhku pergi.

Ketika aku bertahan terus dia menekan knop dan aku dihadapkan ke markas Kenpetai yang menyeramkan. Kenpeitai memutuskan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap diriku. “Kami memerlukan lebih banyak keterangan tentang diri tuan, tuan Sukarno,” kata seorang perwira berperut buncit melengking, sambil mempermainkan pedang Samurai di tangannya. ‘Kami mendapat keterangan dari saluran‐saluran kami, bahwa tuan orang yang tidak baik, hatinya tidak bersih terhadap kepentingan kami.”
“Tidak benar,” aku mendengus tidak sabar. “Saya dapat membuktikan, ketidakbenaran keterangan itu.”

Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik yang diberikan oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan dapat digunakan dalam keadaan‐keadaan seperti ini. Dia membaca pelahan‐lahan. Kemudian diulangnya membaca sekali lagi. Dan secarik karton berwama putih inilah yang menyelamatkan jiwaku. Namun persoalan pengangkutan tidaklah dipercepat. Sekarang dia minta bantuanku lagi untuk menyelesaikan persoalan setempat sebelum menandatangani surat izin keluar.

Si buncit telah menyarungkan kembali pedang Samurainya. Sambil tersenyum dia berkata, “Kalau betul tuan orang baik dan dengan maksud‐maksud baik, saya minta tuan mengundurkan keberangkatan dan membantu kami mengatasi kesukaran‐kesukaran di sini yang disebabkan oleh rakyat tuan yang pandir. Dia duduk di pinggir meja. Aku di kursi. Kami berhadap‐hadapan dan pada jarak yang dekat mukanya itu menarik sekali untuk dipelajari. Mulutnya tersenyum, akan tetapi matanya tidak. “Lebih baik kami tidak menahan tuan dengan paksa, tuan Sukarno,” dia mendesis. “Akan saya bantu dengan apa yang dapat saya berikan,” jawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain yang dapat diuxapkan dalam suasana demikian itu.

Orang Jepang di Palembang dan aku tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku melakukan satu hal yang tidak mereka senangi sama sekali. Akan tetapi sebaliknya mereka lalu melakukan banyak hal yang tidak kusukai juga. Aku telah menyaksikan perbuatan‐perbuatan kurang ajar dan memuakkan dan menyampaikan hal ini kepada mereka. Kukatakan kepada Si buncit, “Seringkali saya Iihat anak‐buah tuan terlalu mudah melayangkan tangan. Dengan mata kepala saya sendiri saya menyaksikan mereka berkali‐kali menampar orang Indonesia.”

Aku menahan napas dan berhenti, akan tetapi Si buncit hanya memandang kepadaku, dengan sombong mengayun‐ayunkan kakinya ‐setiap kali hampir‐hampir mengenai kakiku ‐dan menantikan ucapanku untuk memberikan kesimpulan. “Pukulan‐pukulan terhadap rakyat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah jalan untuk menciptakan persahabatan dan membangkitkan kepercayaan rakyat,” aku menegaskan.
“Kalau tuan menghendaki kerjasama dari saya yang baik, tuan hendaknya memperlihatkan kerjasama
pada saya.”
“Itu keliru,” katanya memberungut. “Kelakuan buruk ini dilakukan oleh prajurit‐prajurit Korea. Orang
Korea terkenal dengan sifatnya yang gatal tangan. Prajurit‐prajurit Jepang sikapnya jauh lebih baik.
Mereka tidak pernah bertindak seperti itu.”
“Komandan,” kataku. “Orang Indonesia yang kena pukul tidak membedakan siapa yang bertindak itu.
Soalnya ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan? Dan tidak dilakukan oleh siapapun?”
“Baik, tuan Sukarno, tuan dapat memegang perkataan saya. Para Komandan Batalyon akan
diperintahkan supaya segera menghentikan perbuatan lancang tangan ini.” Sejak itu sikap mereka
berubah.

Sebulan kemudian mereka membebaskanku untuk berangkat, akan tetapi tentara Jepang di Palembang hanya mempunyai sebuah kapal, yaitu sebuah perahu motor dengan mesin caterpillar. Perahu yang akan mengarungi lautan ini panjangnya delapan meter, sedangkan penumpangnya terdiri dari seorang kapten, dua prajurit, Inggit dan aku sendiri, Sukarti, Riwu dan barang‐barang kami, dan sudah tentu Ketuk Satu dan Ketuk Dua. Aku mencoba untuk mengusahakan kapal yang lebih besar, akan tetapi kepadaku disampaikan supaya kami menunggu. Yah, menunggu. Aku sudah lima setengah bulan lamanya menunggu di Sumatra. Cukuplah itu. Sekalipun kapal itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai kapal laut, akan tetapi ini adalah kesempatan pertama yang diberikan kepadaku dan kesempatan ini harus kupergunakan.

Empat hari empat malam lamanya kami terkatung‐katung di tengah lautan. Kami tidur sambil duduk, setiap detik dan setiap menit angin laut dan kabut air menyapu muka bumi selama 24 jam dalam sehari. Pelajaran ini jauh daripada menyenangkan. Ketika kami melalui Selat Bangka membadailah topan yang keras dan kami harus menahankannya di atas perahu yang terbuka, tanpa secarikpun alat pelindung. Kemudian perahu motor kami hampir terbalik karena menubruk pulau karang yang rendah. Lagi pula aku gelisah menghadapi tantangan‐tantangan ini, oleh karena aku tak pernah belajar berenang. Di masa mudaku sportku dalam air hanya memakai ban dalam yang dipompa, lalu duduk di dalamnya dan mencebur‐cebur.

Kami membawa sayuran yang telah dimasak, ikan kering dan persediaan lainnya dalam stoples dan nasi seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Yang masuk ke dalam perutku hanyalah air jeruk sedikit. Aku terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal kecil kami melambung ke atas dan dihempaskan lagi oleh gelombang ke bawah, tergoncang, mengoleng‐oleng dan berpusing‐pusing. Dan aku pucat seperti mayat selama 4 hari itu.

Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak‐ngentak, matahari membakarku angus, kabut air laut membikin bibirku pecah‐pecah, perutku lapar dan badan lemah ‐akh, peduli amat!
Bukankah sekarang aku pulang? Aku sekarang kembali ke Jawa. Karena sangat bersyukur dapat kembali dalam keadaan hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanja! Ini adalah permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainya dengan kesegaran baru.

Lintasan pertama dari tanahku yang tercinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Jawa. Hari sudah sore dan panas ketika kami menderum‐derum melalui iring‐iringan perahu lajar penangkap ikan dan sampan‐sampan nelayan yang berbau anyir. Melewati perairan di luar aquarium yang dibuat didok dan memasuki pelabuhan Pasar Ikan yang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah perahu berpapasan. Pasar ikan penuh sesak dengan tempat penjualan hasil dari laut. Airnya kotor. Daun‐daunan, kepala ikan dan sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau anyir dari ikan mati memenuhi udara, sekitar itu. Akan tetapi, ketika aku dibantu melangkahkan kaki ke tangga batu yang membawaku ke atas daratan, aku berbicara dalam hatiku, “Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat yang lebih indah seumur hidupku.”

Di darat tak seorangpun yang datang menjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang nelayan untuk menghubungi bekas iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengacara yang membelaku dulu di Bandung, yaitu Sartono, dan Hatta yang juga berada di Jakarta. Di ujung dermaga tampak sebuah kantor emperan. Prajurit penjaganya mempersilakanku masuk dan menjuruhku duduk. Dan kududuklah di situ. Aku menunggu.

Anwar yang pertama datang. Tuhan melindunginya. Dia datang berlari dengan mata berlinang‐linang. Kami berpelukan dan mencium satu sama lain tanpa mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak diiringi dengan pukulan punggung yang keras. Suasananya menggambarkan perasaan syukur yang diucapkan dengan tidak bersuara. Hanya air mata mengalir ke pipi kami. Seperti kukatakan, kami tidak banyak mengucapkan kata‐kata. Kami tidak sanggup mengeluarkannya. la tidak bisa lewat dari kerongkongan. Sebaliknya ia mencucur dari mata kami.
“Bagaimana kabamya Harsono?” tanyaku, suaraku berubah karena terharu.
“Baik.”
“Utari ?”
“Semua baik. Yang lebih penting lagi saya menanyakan bagaimana keadaan Bung Karno.”
“Akupun baik.”

Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama lain pada jarak satu lengan. Di depannya ia lihat sekarang seorang laki‐laki yang letih dan kurus, pakai jas putih yang lapang dan celana tidak berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan jaman. la adalah buatan Darham, penjahit dari Pulau Bunga yang tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan.

Anwar memakai jas kuning gading dengan potongan “doublebreast”. Setelah aku menyeka pipi dan mencium tanah di bawahku, lalu menggosok mataku untuk meyakinkan apakah yang berdiri di depanku betul‐betul Anwar, bukan pajangan, aku kemudian kembali pada kenyataan. Kuraba‐raba jasnya. “Jasmu bagus sekali potongannya,” aku memuji.

“Bikinan De Koning,” ia melagak.
Penjahit paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. ! Bagaimana kau membayarnya?”
Dia mengangkat kedua belah tangan seperti corong ke mulutnya dan berbicara langsung ke telingaku.
“Saya masuk dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan yang bekerja sebagai penjahit pembantu di toko De Koning.” Apa dia mau kira‐kira membikinkan untukku?” ,,Tentu mau. Kalau Bung Karno sudah senggang sedikit, saya bawa ke sana.”

Seringkali generasi muda menukil kembali ucapan‐ucapan yang abadi dan yang akan hidup terus. Ucapan yang keluar dalam detik‐detik yang besar di dalam sejarah. Ucapan yang akan menggeletarkan tulang sumsum, ucapan yang membangkitkan semangat, ucapan yang dituliskan dengan kata‐kata indah seperti ini di saat pertemuan kami. Akan tetapi sayang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanyakan tentang keadaan Anwar beserta keluarganya, pokok persoalan selanjutnya yang kutanyakan kepadanya hanyalah mengenai tukang jahitnya. Di minggu itu juga aku pergi menjahitkan pakaian yang pertama selama bertahun‐tahun.

Setengah jam kemudian Sartono, dan Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat selama bertahun‐tahun. Dan sekalipun banyak yang hendak dikatakan dan banyak yang hendak ditanyakan, namun masing‐masing kami hanya punya satu pertanyaan untuk yang lain. Hatta membisik, “Bagaimana pendapat Bung Karno mengenai pendudukan ini?” Aku membisikkan kembali, “Jepang tidak akan lama disini. Mereka akan kalah dan kita akan hancurkan mereka. Inipun asal kita tidak menentang mereka secara terang‐terangan.

Kemudian aku bertanya, “Bagaimana, Bung Hatta, bagaimana semangat nasionalisme dari rakyat kita?”
“Semangat rakyat tidak dibinasakan oleh peperangan. Rakyat sudah mulai curiga kepada Jepang yang
menjadi “pembebas” itu dan rakyat sangat menantikan kedatangan Bung Karno.

“Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingka ‐dua dan manis potongannya, terletak di sebuah jalan raya Jakarta. Rumah itu mempunyai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, kecuali piring‐piring barang pecah belah lainnya yang sudah dibanting‐bantingkan oleh Belanda sebelum berangkat. Tentunya tidak ada penyambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak seorangpun yang tahu kapan Sukarno, akan sampai. Dan lagi adanya larangan yang keras untuk mengadakan pertemuan.

Sekalipun demikian di dalam rumah kudapati telah ada beberapa anggota dari “Panitia Penyambutan Bung Karno”. Wajah mereka bersinar dengan kegembiraan yang tenang dan mereka berlutut, lalu mencium tanganku. Kupegang tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu. Orang‐orang yang kucintai ini telah ditunjuk untuk mencarikanku rumah tinggal yang cocok.
“Orang Belanda sudah diringkus masuk kamp tawanan,” kata Ahmad Subardjo. “Kalau Bung Karno berjalan‐jalan, akan melihat banyak rumah‐rumah bagus yang kosong. Isteri saya meneliti sebelah satu jalan. Isteri Sartono di seberangnya.

Dalam beberapa hari saja mereka menemukan rumah ini.” ,,Rumah ini besar sekali,” kataku sambil memeriksa bagian dalam. “Kami berpendapat, bahwa pemimpin kita tentu memerlukan ruangan banyak untuk tetamu. Semenjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan datang dalam waktu tidak lama lagi, rakyat dari desa‐desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah yang jauh semakin meluap‐luap. Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toh sanggup untuk datang dan melihat sendiri wajah Bung Karno, Mereka tidak percaya bahwa Bung Karno betul‐betul ada disini dan bebas dan sudah siap lagi untuk menduduki tempat sebagai pahlawan mereka.” Malam itu Inggit dan aku berjalan‐jalan di sekitar rumah kami yang baru itu. Di jalanan yang lebar dengan di kiri kanannya barisan pohon‐pohon, yang merupakan daerah elite di Jakarta. Telah panjang waktu berlalu dibelakangku.

Hampir 13 tahun. Masa tahanan dan pembuangan telah berlalu. Dan perang telah terjadi. Tapi syukur, Aku
sudah pulang ke tempatku semula. Aku kembali menjadi pemimpin dari rakyatku. Aku sudah kembali ……

(Pena-Soekarno/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: