SETIAP kali 30 September melintas, orang sulit melupakan Partai Komunis Indonesia. Bahkan PKI banyak melakukan kesalahan hingga akhirnya tumbang dalam prahara Gerakan 30 September, banyak orang mahfum. Menjelang 1965, ketua umumnya, Dipa Nusantara Aidit, menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan.
Menjadi pimpinan partai sejak Januari 1951, tiga tahun setelah pemberontakan Madiun, Aidit berhasil mengkonsolidasi partai yang sedang jatuh itu dengan kecepatan yang mengundang decak kagum. PKI menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955 dengan 6,1 juta pemilih atau meraih 16,4 persen suara. Dalam pemilu daerah yang dilangsungkan dua tahun kemudian, jumlah suara PKI meningkat hampir 40 persen. Di beberapa daerah mereka bahkan mendapat suara mayoritas. Setelah partai komunis di Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia. Anggota partai itu diklaim 3,5 juta orang, berlipat ratusan kali dari semula hanya 4.000 orang.
Tapi mereka tak kunjung bisa mewujudkan revolusi--tahap penting untuk mencapai masyarakat tanpa kelas seperti dicita-citakan Marx dan Lenin. Mengharapkan "revolusi" melalui pemilu seperti menggantang asap, karena Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpinnya tak membuka pintu. Selain itu, pemilu bagi sebagian petinggi PKI dianggap bukan ide yang cemerlang, mengingat--kecuali di Cile--partai komunis tak pernah menang. Ide Nasakom yang dijalankan Soekarno untuk menyatukan golongan nasionalis, agama, dan komunis, telah menyandera PKI.
Tapi yang paling mencemaskan D.N. Aidit adalah bahwa PKI tak punya tentara. Padahal kekuasaan, seperti kata Mao Tse Tung, lahir dari ujung bedil. Membentuk sayap militer tak mudah: selain makan waktu, ini sulit dilakukan mengingat tentara pasti menghalangi. Ide Aidit membentuk angkatan kelima dengan mempersenjatai buruh dan tani tak terwujud karena resistensi militer. PKI berkejaran dengan waktu: Bung Karno uzur dan sakit, sementara selalu saja terdengar kabar bahwa militer, yang memiliki senjata, bakal mengambil alih kekuasaan. Maka dilakukanlah taktik yang tak konvensional itu: infiltrasi ke tubuh ABRI. Aidit percaya, revolusi bisa dimulai dengan kudeta yang didukung sedikitnya 30 persen tentara. Untuk mencapai tujuannya, Aidit menggunakan organ partai bernama Biro Chusus pimpinan Syam Kamaruzzaman.
Di sini muncul blunder lain. Aidit mengambil keputusan-keputusan sepihak bersama Syam tanpa berkonsultasi dengan petinggi partai lainnya. Sudisman menyindir Biro Chusus sebagai PKI ilegal. Sejumlah studi meyakini Aidit sendiri akhirnya ditinggalkan Syam. Selanjutnya, kita tahu: PKI porak poranda dan ratusan ribu rakyat mati akibat perang saudara.
Adakah yang bisa dipetik dari peristiwa sejarah itu? Harus diakui, PKI adalah partai besar. Partai ini berdiri dan dibangun di atas sebuah cita-cita. Harapan itu kemudian diturunkan dalam bentuk "program umum" dan "program khusus", serta dijalankan melalui pelbagai kegiatan yang dikontrol dan diukur. PKI punya teori perjuangan.
Frasa "memperjuangkan kepentingan rakyat," di tangan PKI, tak berhenti sebagai janji kampanye. Program tanah untuk rakyat, misalnya, diperjuangkan untuk memberikan porsi yang lebih besar kepada petani penggarap atas hasil panen--sesuatu yang sebelumnya hanya menguntungkan pemilik tanah.
Sejarah Bolshevik mengajarkan kepada PKI ihwal perlunya model organisasi yang ketat. Ada Central Comite dan Politbiro yang menentukan kebijakan organisasi. Calon anggota diperiksa dan diawasi dalam jangka waktu tertentu hingga akhirnya diterima sebagai kader. Demokrasi pada taraf tertentu diterapkan untuk menghindari fraksinasi. Pendidikan politik dijalankan bahkan hingga ke desa-desa. Buku Mao Tse Tung diterjemahkan ke bahasa daerah agar bisa dipelajari secara luas.
Kantor PKI, seperti disebut dalam sejumlah studi, adalah markas yang hidup dan bergerak. Organisasi tak hanya mengurus program partai tapi juga tetek-bengek seperti anggota yang meninggal atau melahirkan. PKI tak hanya menjadi organisasi politik tapi juga menjadi komunitas. Ketika kantor pusat PKI dibangun di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan anggota yang pengelolaannya dilaporkan secara transparan. Koran Harian Rakjat digenjot oplahnya hingga mencapai 60 ribu eksemplar--jumlah yang fantastis untuk zaman itu.
Intinya, PKI memperjuangkan kepentingan kadernya, dan para anggota bekerja untuk partai karena kesamaan cita-cita. Empat puluh dua tahun setelah 1965 dan sembilan tahun setelah "revolusi" 1998, sebuah partai yang hidup mengurus anggotanya sepanjang tahun itulah yang tak kita temukan pada kebanyakan partai zaman sekarang.
(Tempo/Ainuttijar/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email