Penculikan dan pembunuhan itu memancing tentara kelompok Jawa Tengah mengambil tindakan dengan membalas ke orang-orang Siliwangi, penyerbuan-penyerbuan ke markas-markas tentara Siliwangi tidak dapat di hindari, kontak senjata sering terjadi di jalan-jalan Kota Solo. Pada saat itu saya berada di Solo, lupalah urusan apa, tapi yang jelas saya bersama Pak AK Gani dan Letnan Kolonel Suharto (kelak orang ini berpangkat mayor Djenderal, ia pelaku utama penghantjuran PKI tahun 1965-1966) dari Jogjakarta.
Mas Harto yang asli Jogja sangat mengerti seluk beluk kota Solo, membawa saya ke temannya yang saya lupa namanya, markasnya ada di dekat Pasar Gede Solo, disana Mas Harto, saya, Pak Gani, dan teman Mas Harto mendengarkan laporan dari orang bernama Letnan Sudarjono, ia mengatakan Kota Solo hampir sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Siliwangi. Tak lama kemudian Suharto kembali ke Jogjakarta dan saya pun kembali ke Djakarta.
Saya ingat pula sebelum ke Solo saya menghadiri konferensi Partai Komunis Indonesia yang mengeluarkan sebuah resolusi bernama “Djalan Baru” resolusi ini menghendaki diselesaikannya dengan cepat demokrasi borjuis, kaum Kominis sadar bahwa tiadalah mampu kominis menyelesaikan revolusi sendirian tanpa bantuan dari pihak-pihak yah….katakanlah Borjuis kanan. Disitu saya diminta oleh kelompok kiri sayap PKI untuk menjadi ketua seksi Buruh walaupun sedari awal saya menolak jabatan itu, tapi saya pikir bolehlah.
Tiba-tiba peristiwa Madiun meletus, saat itu saya ada di Djakarta (tidak benar dikatakan saya berada di Madiun seperti cerita banyak orang), berita gegernya Madiun saya dengar dari Mas Djamin Amiseno dan Pak Djajeng, pak Djajeng yang ex-Digulis mengatakan pada saya kalau Musso sudah bertindak sembrono dan ngawur, Musso menyerang kebijakan dan cara-cara penyelesaian militer kabinet Hatta, tapi yang diserang malah Bung Karno, Musso bahkan berteriak-teriak kalau Sukarno itu antek Djepang.
“lha piye tho mas dit, lha Musso kok ditandingkan dengan Bung Karno, lha kalau di adu ya, djelas kalah, Bung Karno itu punden-nya wong Jawa, lha Musso kok ujug-ujug dari Moskow tarung sama Bung Karno, wis tho ini bakal merugikan PKI” kata Pak Djajeng, saya masih ingat Pak Djajeng mengucapkan itu dengan geram. Kalau tiada salah pagi entah 25 apa 26 September saya didatangi oleh Harjono Maskoem, tokoh pemuda dari FDR tjabang Banten dia bilang FDR Banten menolak gerakan Musso, kontan saya marahi dia, bagi saya kalah atau menang bila kita satu ideology dan cita-cita djangan sekali-kali kita tinggalkan kawan sendirian bertarung.
Sebentar sadja sayap FDR militer menguasai Madiun, lalu mereka dikalahkan oleh pasukan Siliwangi dan pasukan Djawa Tengah yang setia pada Bung Karno, seingat saya FDR sempat menguasai total Madiun, kalau tiada salah Walikota Madiun sedang sakit yang ada wakil walikotanya, gerakan Madiun jelas tidak mendapatkan dukungan rakyat, apalagi Bung Karno berpidato yang isinya memihak kepada kebijakan kabinet Hatta, mengecam Musso dan menuduh gerakan Musso/ FDR merupakan sinyalemen akan dibentuknya negara Sovyet di Indonesia.
Pasukan Siliwangi yang ditugaskan menyerang FDR dengan mudah menaklukkan pasukan yang kurang berpengalaman itu, perlawanan terakhir ada di daerah Maospati, sekitar 1500 tentara FDR bertempur dengan ribuan pasukan Siliwangi, tapi FDR kalah telak. Kekalahan FDR disusul oleh penangkapan gembong-gembong FDR.
Hatta mengambil kebijakan untuk menahan semua pasukan yang terlibat tanpa adanya toleransi pengampunan politik.Banyak tentara-tentara yang memihak FDR di penjara oleh pihak TNI. Penjara militer penuh sesak, bahkan ada kebijakan dari TNI beberapa penjara diledakkan sehingga orang-orang FDR tewas.
Kebijakan ini diambil katanya untuk menghindari pembalasan dendam orang FDR jika Belanda melakukan agresi, maka dipekirakan Belanda akan membebaskan orang-orang FDR, dan TNI tentu akan bertarung lagi dengan orang-orang FDR. Sukarno sendiri sudah memberi pengampunan politik bagi kelompok pemberontak FDR namun tampaknya Hatta enggan untuk membebaskan orang-orang FDR. Gubernur Milter Kolonel Gatot Subroto, orang yang ditunjuk Sukarno mendjadi orang yang bertanggung djawab terhadap keamanan Djawa dengan senang hati mendjalankan keinginan Hatta itu.
Nasib Pak Musso
Pak Musso, tokoh PKI pedjuang pergerakan di tahun 20-an jang bernasib buruk itu, kabur dari markasnja setelah pasukan Siliwangi pimpinan Letnan Kolonel Sadikin masuk kota Madiun, Pak Musso kabur ditemani Mas Djumino dan Agil Atjo, mereka lari ke arah kota Ponorogo, disitu ia bertemu dengan Remang, seorang warok yang paling ditakuti di kota Ponorogo, Remang yang mendukung gerakan FDR menolak memberikan bantuan kepada Pak Musso karena keluarganya sendiri akan terancam oleh pihak TNI yang memang sudah mengawasinya,
akhirnya Remang menyarankan untuk bertemu dengan Hasjim Geplak seorang kusir delman di Ponorogo, Hasjim ini walaupun rakjat ketjil namun sangat berani, ia memberikan tempat kepada tiga orang pelarian dari Madiun tempat tinggal di belakang rumahnya dan memberikan sebuah delman tua, akhirnja Pak
Musso menjamar sebagai kusir delman, sementara Mas Djumino dan Agil Atjo diperintahkan Musso menudju Djakarta untuk menemui saya dan Lukman. Tapi sayang di daerah Tegal Mas Djumino dan Agil Atjo tertangkap oleh pasukan Siliwangi, tjelakanja si Agil Atjo membawa-bawa bendera PKI dan beberapa dokumen FDR, Agil Atjo ditembak mati dan kabar Mas Djumino sampai sekarang masih sangat gelap.
Pak Musso jang masih tinggal di Ponorogo dan menjamar djadi kusir Delman mangkal di pasar Ponorogo, tapi pada suatu saat ada seorang anggota GRR (Gerakan Ravolusi Rakjat) bernama Amin, jang mengenali wajah Pak Musso, diam-diam Amin menjelidiki keberadaan Pak Musso setelah djelas rutinitas Pak Musso, Amin akhirnja melapor ke Letnan Dul Masduki, tapi untung Letnan Dul Masduki ada di pihak Pak Musso, Letnan Dul Masduki rupanja simpatisan FDR, laporan Amin didiamkan sadja.
Beberapa hari kemudian datanglah pasukan Kapten Jusuf Idham dari Siliwangi ke Madiun tujuannya adalah menangkapi para warok jang terlibat peristiwa Madiun. Si Amin ini kemudian bertjerita bahwa ia melihat orang jang persis sekali dengan wadjah Pak Musso, akhirnja laporan ini di tindak landjuti oleh Kapten Jusuf, tak lama kemudian pada tanggal 30 Oktober 1948 Pak Musso ditangkap dan ditembak mati.
Penangkapan besar-besaran kelompok FDR
Kabar Belanda akan melantjarkan agresinja ternyata benar-benar terdjadi, di tengah situasi darurat kabinet Hatta bersidang membahas kemungkinan yang terdjadi bila Belanda menyerang Indonesia, salah satu pembahasan yang paling utama adalah menyangkut berita bekas pasukan FDR baik yang lolos ataupun yang ditawan akan melakukan tindakan balas dendam, informasi ini di dapat dari Kolonel Gatot Subroto yang disampaikan kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
unsur Masjumi dalam kabinet Hatta mendesak agar semua tawanan yang berpotensi memimpin
perlawanan terhadap pemerintahan yang sah tidak usah dibebaskan bahkan di tembak mati sadja, tapi unsur PNI menolak termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bahkan Sultan berkeyakinan FDR merupakan kader potensial yang masih dapat dibina, akhirnya Hatta mengambil keputusan untuk melakukan voting terhadap nasib tawanan FDR. Voting di hadiri 12 Menteri, 4 Menteri menyetujui tawanan FDR di tembak mati, 4 Menteri menolak tawanan FDR di tembak mati dan setuju untuk di bebaskan dan 4 lainnya lagi dalam posisi abstain. Mendengar adanya jalan buntu terhadap nasib
tawanan FDR, Sukarno mem-veto kebijakan kabinet Hatta, ia menolak usul di tembak matinya tawanan FDR, tapi tetap di tawan dulu.
Geram atas Sukarno yang lembek terhadap FDR, diam-diam Kolonel Gatot Subroto mengambil tindakan sepihak untuk menembak mati tokoh-tokoh penting FDR, saya tidak tahu apakah Hatta terlibat dalam hal ini. Yang jelas Kolonel Gatot Subroto membawa tawanan ke desa Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Karesidenan Surakarta. Disana Kolonel berbadan tambun, berjenggot dan berkumis tebal itu memerintahkan penduduk desa membuat lubang besar, dan akan digunakan sebagai liang lahat para tawanan FDR.
Tokoh-tokoh FDR yang dibawa adalah: Amir Sjarifoeddin (mantan Perdana Menteri/Ketua Partai Sosialis), Maroeto Daroesman(ex-Digulis/Mantan ketua pemuda PKI tahun 1924), Soeripno (anggota PKI), Oei Gee Hwat (mantan redaktur Harian Sin Tit Po/guru Sekolah PTI), Sardjono, Sukarno, Djoko Sujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku. Amir Sjarifoeddien terus mendekap injil,dan sebelum di tembak mati ia sempat berpidato kemudian regu tembak meng-eksekusinya, sedangkan semua tawanan lain langsung ditembak mati, mereka di kuburkan dalam satu liang lahat.Berita yang saya terima selain di tembak matinya pimpinan-pimpinan FDR, ada sekitar 8.000 orang tewas akibat penangkapan dan penyiksaan, 14.000 lainnya sempat di tawan, saya pikir peristiwa FDR sungguh merugikan gerakan PKI ke depan.
Sikap saya terhadap Peristiwa Madiun[1]
Peristiwa Madiun bagi saja merupakan ketjelakaan politik PKI jang akibatnja sangat luar biasa. Berikut pokok pemikiran saya terhadap peristiwa Madiun berikut pendjelasan saya setjara detil, yang saya rangkum dari dokumentasi milik Agitrop PKI djuga pidato saya di bulan februari 1958 (pada lampiran kedua):
Lampiran Satu
Pada tanggal 27 Juni 1947 Kabinet Sjahrir jatuh. Sebagal ganti kabinet Sjahrir, pada tanggal 3 Juli 1947 terbentuk kabinet Amir Sjarifudin yang terdiri dari 11 orang Sayap Kiri, 7 orang dari PNI dan 8 orang dan PSII. Masyumi yang semula ikut duduk dalama kabinet Sjahrir, dalam kabinet Amir ini Masyumi menolak untuk ikut duduk. Tetapi PSII sebagai anggota Masyumi telah mengambil keputusan sendiri untuk ikut duduk dalam kabinet bersama dengan PM dan Sayap Kiri. Juga tak seorangpun dari grup Sjahrir dalam Partai Sosialis yang ikut duduk dalam kabinet
Kabinet Amir melanjutkan perundingan dengan Belanda, yang telah dirintis oleh kabinet Syahrir, dengan tetap mempertahankan kehadiran negara RI, tetap mempertahanakan pengakuan berbagal negara terhadap RI dan tetap menolak gendarmeri bersama RI-Belanda. Hal-hal ini yang menjadikan perundingan antara RI-Belanda tidak lancar dan hambatan utamanya yalah masalah gendameri bersama.
Tanggal 15 Juli van Mook mengultimatum supaya RI me narik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. RI menolak ultimatum Belanda ini. Tanggal 21 Juli 1947 dilancarkan agresi militer terhadap Republik dengan maksud samasekali menghancurkan Republik. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Belanda mengakhiri agresinya.
Belanda berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat pen ting dari Republik, seperti: minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan. Tak kebetulan bahwa agresi Belanda ini menggunakan kode "Operatie Product".
Setelah gencatan senjata dipulihkan kembali perundingan RI- Belanda di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara yang terdiri dan Australia, Belgia dan Amerika. Dari fihak Republik, PM Amir bertindak sebagai ketua delegasi. Sementara itu van Mook, pada tanggal 29 Agustus 1947, secara sefihak telah menggeser garis demarkasi yang sangat menguntungkan fihak Belanda dari segi perluasan daerah. Beberapa bulan kemudian (11 November 1947) akhirya Masyumi mau masuk kabinet dengan mendapat
empat buah kursi.
Dari perundingan RI-Belanda, di atas kapal Amerika yang bernama Renville, pada tanggal 17 Januari 1948 telah ditandatangani Persetujuan Renville. Dalam Persetujuan Renville tercantum antara lain fasal yang menyatakan, bahwa RI harus menarik semua pasukan yang berasa di kantong-kantong yang terdapat di belakang garis demarkasi hasll ‘ciptaan’ van Mook dan harus dimasukkan ke daaerah Republik.
PNI dan Masyumi yang semula ikut mendukung perundingan Renville dan ikut berunding sebagai anggota delegasi, menjelang penandatanganan perun- dingan menyatakan menarik diri dari delegasi dan kabinet, dan setelah penandatanganan PNI menarik dukungan terhadap persetujuan Renville. Dengan demikian kabinet Amir kehilangan dukungan dua partai besar dan pada tanggal 23 Januari 1948 kabinet Amir mengundurkan diri. Mengenai tindakan Masyumi dan PNI terhadap penandatanganan Renville Sumarsono berpendapat, bahwa oposisi yang dilakukan kedua partai itu adalah hanya suatu cara untuk mengeluarkan Sayap Kiri dan pemerintahan.
Pada tanggal 29 Januari 1948 Hatta naik panggung kekuasaan dimana ikut duduk PNI dan Masyumi, dengan Hatta sebagai PM merangkap menteri pertahanan dan Sukiman sebagai menteri dalam negeri. Program kabinet Hatta antara lain yalah: berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville dan rasionalisasi.
Sampai saat diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi (re-ra) oleh PM Hatta, di antara laskar-laskar perjuangan yang ada, maka Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.
Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Letnan Kolonel Suharto, komandan resimen Yogyakarta (Wehrkreise X), diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.
Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan ‘Divisi Surabaya’ (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara bedil dan orang adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar, pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjata). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3×800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad) Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulangpunggung dalam Perlawanan Madiun.
Untuk menentukan garis barunya, Sayap Kiri pada tanggal 26 Februari 1948 mengadakan
kongres di Solo. Kongres memu tuskan untuk membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Setelah kongres cabang-cabang FDR segera terbentuk di kota-kota kabupaten seluruh daerah Republik, terutama di JaTim dan Jateng. FDR beranggotakan, pada pokoknya, sama dengan keanggotaan Sayap Kiri.
Setelah terbentuknya FDR ini, dalam pidato-pidato pimpinan FDR (Amir, Maruto Darusman, Setiadjid dan yang lain-lain) di berbagai tempat, sasaran serangan hanya ditujukan kepada Masyumi, terutama terhadap Sukirnan sebagai menteri dalam negeri. Sedangkan masalah yang diangkat adalah soal berbagai macam pajak. FDR mengandalkan kekuatannya pertama, pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI dan ini memang cukup besar jumlahnya dan kedua, pada kekuatan bersenjata yang
dimilikinya.
Kekuatan bersenjata yang diandalkan ini terutama laskar bersenjata Pesindo dan di samping itu FDR masih dapat memperhitungkan simpati-simpati sejumlah besar perwira yang mempunyai kedudukan kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat terhadap FDR.
Dengan terbentuknya Sekretariat yang baru dari FDR maka tenaga Sekretariat kebanyakan diisi oleh tenaga muda, antara lain seperti Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman yang belakangan dipindah ke majalah Bintang Merah. Sebagai ilustrasi, dapat dikatakan di sini, bahwa kesatuan empat serangkai Aidit-Lukman- Njoto-Sudisman telah terbentuk sejak masa Sekretariat FDR ini. Belakangan, mereka berempat
beserta sejumlah orang muda yang lain menyebut dirinya "kekuatan baru" atau "generasi baru".
Sejak Republik baru berdiri grup Tan Malaka selalu bertindak sebagai fihak oposisi terhadap Pemerintah, di samping sebagai grup anti-Komunis. Dalam menghadapi kabinet Hatta, grup Tan Malaka bersikap mendukung pemerintah Hatta dan bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang didirikan pada tanggal 6 Juni 1948. Karena grup Tan Malaka mendukung kabinet Hatta, maka sebagal ‘hadiah’ semua tahanan kup 3 Juli, yang semuanya adalah pendukung Tan Malaka, termasuk Tan Malaka sendiri, dibebaskan oleh Hatta dengan alasan pengadilan tiada bukti.
Banyak anggota FDR yang merasa kecewa terhadap persetu juan Renville, penarikan TNI dari kantong-kantong dan di atas semuanya adalah pengunduran diri Kabinet Amir, yang dipandan merupakan Iangkah yang salah. Tetapi karena, di muka mata angggota maupun pimpinan FDR, otoritas Amir Sjanfudin sangat tinggi maka semua kesalahan bukan ditimpakan kepada Amir. Kesalahan ditimpakan kepada ‘policy maker’, yaitu lingkaran dalam Amir dari Dewan-Partai Partai Sosialis yang sebagian anggotanya berasal dari Politbiro CCPKI-ilegal yang dipimpin oleh Tan Ling Djie.
Dalam situasi Sayap Kiri, dan selanjutnya FDR, sedang diselimuti oleh pertentangan intern yang menyangkut masalah pokok revoIusi yang belum dapat terselesaikan dan sebagian anggota maupun pimpinan FDR terkena kekecewaan, maka pada tanggal 11 Agustus datanglah Muso.
Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok berhasil terus meng giring pasukan Chiang Kai-shek menuju ke selatan. Pasukan Vietminh, di bawah pimpinan Partai Bur Vietnam, telah setahun berhasil mempertahankan perjuangan bersenjatanya melawan agresor Perancis. Kaum gerilya Hukbalahap di Filipina, yang berpusat di Luzon Tengah, telah memperluas operasinya. Di Malaya, di samping kaum buruh melakukan pemogokan besar- besaran, pada bulan Juni 1948 Partai Komunis Malaya melancarkan pemberontakan bersenjata melawan penjajah Inggris.
PK Birma yang dipimpin oleh Thakin Than Tim, menolak persetujuan perjajian Inggris-Birma yang ditandatangani oleh U Nu pada bulan Januari 1948; oleh Thakin Than Tim bersama Partainya, pemerintah U Nu disebut sebagai "alat imperialis Ingrris" dan diserukan untuk menggulingkannya; pada bulan Maret Thakin memimpin Partai melancarkan perjuangan bersenjata.
Pada bulan Februari di Kalkuta diadakan "Konferensi Pemuda Mahasiswa Asia yang beijuang untuk Kebebasan dan Kemerdekaan". Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil antara lain dan Tiongkok, Birma, Malaya, Indonesia.
Seiring dengan perkembangan gerakan revolusioner di ber bagai negeri itu, Amerika Serikat berusaha mencari tumpuan di mana-mana, termasuk di negeri-negeri Asia yang berbatasan dengan Lautan Teduh. Indonesia yang mempunyai letak strategis dan kaya alamnya dipandang oleh Amerika sebagai tempat yang masih ‘kosong’. Sejak 17 Agustus 1945 Amerika melihat suatu kenyataan bahwa di Indonesia telah lahir sebuah Republik yang didukung oleh seluruh rakyat.
Bukan karena kebaikan hati Amerika bilamana Amerika cenderung "merestui" lahirnya Republik
ini. Sebab bilamana penjajah Belanda sampai kembali menguasai Indonesia maka, menurut Amerika, keadaan di indonesia takkan pernah tenteram. Situasi Indonesia yang demikian takkan menguntungkan "strategi sedunia" Amerika. Maka bagi Amerika akan lebih menguntungkan bilamana Indonesia menjadi negeri yang merdeka, tetapi dikuasai oleh orang yang dapat dikendalikan oleh Amerika. Beruntunglah Amerika, karena di Indonesia muncul orang yang dikehendakinya, yaitu Mohamad Hatta.
Setelab FDR berdiri dan mulai aktif, usaha pertama yalah mengadakan turne, penjelasan keliling ke daerah-daerah. Penjelasan keliling ini antara lain dilakukan oleh: Amir Sjarifiidin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Setiajid (PBI) dan Krissubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan waktu penjelasan keliling ini wakil-wakil FDR menjelaskan kepada rakyat tentang politik FDR; sikap clan pembelejetan terhadap pemerintah Hatta, khususnya masalah re-ra dalam Angkatan Perang; menjawab fitnahan-fitnahan kaum reaksioner, khususnya Murba; yang memalsu dokumen FDR; dan tuntutan berdirinya Front Nasional.
Di samping penjelasan keliling sebagai kegiatan FDR, kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI juga mengadakaan aksi, a.l. tuntutan kenaikan jaminan sosial oleh anggota Sarbupri/Sobsi Delanggu/Solo.
Pada tanggal 2 Juli 1948, jam 8 malam, Sutarto, Komandan Divisi Pertempuran Panembahan Senopati (DPPS), secara pengecut ditembak dari belakang. Penembakan terhadap Sutarto dengan cara demikian ada yang menyebut "rasionalisasi dengan cara lain".
Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawahannya menentang perintah Markas Besar ini.
Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang
menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.
Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan ‘reorganisasi sendiri’. Divisi IV berubah nama menjadi ‘Divisi Pertempuran Panembahan Senopati’ (DPPS). ‘Reorganisasi sendiri’ yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.
Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi.
Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pa- da tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata…; "… berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "… dalam bentuk dan susunan yang efektif’; "… mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil". Fikiran Hatta ini tidak jatuh dari langit. Beberapa peristiwa yang dapat dicatat adalan sebagai berikut:
Pada Het Corps Algemene Politie te Batavia laporan yang sangat rahasia bertanggal 1 April 1948 dan berbunyi antara lain sebagai berikut: "Sementara itu telah diadakan pertemuan rahasia antara Graham, Sukarno dan Sukiman. Graham menyatakan, bahwa Indonesia dianggap layak untuk dimasukkan dalam pelaksanaan bantuan rencana Marshall (Marshall-plan) untuk Asia Tenggara dan agar supaya pemerintah membendung semua kegiatan Sayap Kiri".
Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan bersenjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadiri oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subijakto dan Surjadarma.
Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata. RI yang belum berumur tiga tahun ini oleh Hatta telah dijual kepada Amenika.
Seiring dengan peristiwa itu John Coast, G. Hopkins dan 5 orang "diplomat" Amerika Iainnya dipindalikan dari Bangkok dan New Delhi ke ibukota RI. Pemindahan mereka ini bukan kebetulan.
Pada tanggal 21 Juli 1948 secara rahasia telah diadakan pertemuan di hotel "Huisje Hansje" Sarangan (Madiun). Pertemuan itu dihadiri oleh: Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (wakil baru Amerika, pengganti Graham, dalam Komisi Jasa-jasa Baik), Sukarno, Hatta, Sukiman (ketua Masyumi dan menteri dalam negeri), Mokhamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto (menurut: Roger Vailland dalam buku "Borobudur"). Dalam pertemuan ini tidak hadir orang dari PNI.
Dalam pertemuan Sarangan ini, yang belakangan terkenal dengan sebutan "Perundingan Sarangan", dihasilkan "Red Drive Proposals" atau usul-usul Pembasmian Kaum Merah" Setelah pertemuan Sarangan ini, atas laporan Cochran, State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) berpendapat bahwa posisi Hatta harus cepat diperkuat agar supaya dapat menahan perkembanaan Komunisme.
Setelah pertemuan Sarangan ini pula Kepala Polisi Sukanto dikirim ke Amerika untuk mengurus bantuan. Temyata tidak tanggung-tangggng bantuan yang diterima oleh Hatta: 56 juta dollar AS dari State Department Amerika. Uang ini oleh Hatta antara lain untuk memperlengkapi pasukanan dalam Pemerintah, divisi Siliwangi. Jadi kalau Hatta di depan BP-KNIP mengajukan masalah: "Mestikah kita bangsa Indonesia, yang mem perjuangkan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Arnerika?”,. maka jawabnya yalah peristiwa- peristiwa di atas.
Dalam bulan Agustus, tanpa kehadiran Panglima Sudirman, pimpinan angkatan darat mengadakan sidang. Sidang itu mensinyalir adanya "ancaman" PKI terhadap jalan perundingan dengan Belanda, keamanan dalam negeri dan rasionalisasi. Dalam sidang itu Nasution menyatakan kesediaannya menggunakan divisi Siliwangi untuk menghancurkan pengaruh Komunis.
Dalam pidato di muka BP-KNlP mengenai rasionalisasi Hatta juga menyatakan, bahwa:"… di sinilah terdapat pemakaian tenaga yang tidak lagi produktif.."; "…angkatan perang yang jumlahnya 463.000 orang tidak dapat dibelanjai oleh negara… Rasionalisasi yang kita tuju yalah penyempurnaan dan pembangunan yang meringankan beban masyarakat beserta mengurangkan penderitaan rakyat". Alasan yang nampaknya logis dan menarik ini sebenarnya hanya dalih. Sasaran tombak reorganisasi dan rasionalisasi Hatta tetap pada pasukan yang berbau "Kiri".
Ide Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari persekutaan, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu fihak dan para perwira "profesional" yang
dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain.
Tujuan bersama persekutuan itu yalah melaksanakan ide: mendemobiliser laskar "yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara mendatang yang dikehendaki yalah tipe tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).
(dokumen resmi DN Aidit, jang disimpan dalam perpustakaan pribadi dan resmi milik seksi Agitasi dan Propaganda/Agitrop PKI, keluaran tahun 1962)
Catatan:
[1] Untuk lebih jelasnya sikap saya, saya akan lampirkan pidato saya pada saat sidang parlemen di tahun 1958, dimana saya mengkritik kebijaksanaan Hatta terhadap peristiwa Madiun, isi pidato itu saya lampirkan setelah dokumen peristiwa Madiun.
(Apa-Kabar-Ws/Ainuttijar/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email