Setelah 17 Agustus 1945, dan penyusunan UUD berhasil diselesaikan, suhu politik semakin panas, saya lihat Sukarno semakin tersudut ke dalam ketidak berdayaan politik, Hatta dan Sjahrir makin pegang peranan berkat pengalaman politik mereka di Luar Negeri, tampaknya Belanda dan pihak USA lebih menyenangi melakukan negosiasi politik dengan Hatta dan Sjahrir yang dinilai moderat, tidak radikal, dan tidak terlalu kental warna Djepangnya apalagi Sjahrir yang bagi sebagian orang Belanda dianggap Pahlawan karena berani melawan Djepang pada saat djaman pendudukan Nippon.
Sjahrir membangun kubu sosialis demokratnja perlahan-lahan sedemikian kuatnya, jaringan di luar negeri hebat betul, sampai-sampai sang legenda tua macam Agus Salim-pun tunduk di bawah Sjahrir, kelompok Sjahrir terdiri orang-orang yang pandai dan berpendidikan luar negeri, ada pula seorang muda yang saya perhatikan bernama Soemitro Djojohadikoesoemo, dia anaknya Margono Djojohadikoesoemo, saya nilai Soemitro adalah pemuda yang sedemikian pandainya, ia lebih senior dari saya. Kelak Mitro ini terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an akhir.
Saya inget setelah Proklamasi 1945, pengikut Sjahrir selama dua minggu menolak pernyataan Sukarno-Hatta terhadap Proklamasi 1945, ia menilai tidak selayaknya Indonesia dipimpin oleh orang yang pernah bekerjasama dengan pemerintahan fasis Djepang,
Sjahrir dan beberapa tokoh pemuda melakukan perjalanan panjang ke seluruh pulau Djawa, ia ingin melihat pendapat rakyat terhadap Proklamasi 1945, ternyata rakyat mendukung penuh Proklamasi Sukarno-Hatta, dan setelah balik ke Djakarta otak Sjahrir berubah, ia berbalik mendukung Sukarno.
Dan sejak 1945 sampai revolusi bersenjata selesai tahun 1949 akhir, Sjahrir adalah orang paling loyal terhadap kepemimpinan Sukarno, tidak demikiannya dengan Tan Malaka, kabarnya Tan Malaka sempat mendatangi Sjahrir dan meminta Sjahrir bergabung ke dalam gerakan Tan Malaka untuk menggulingkan Sukarno-Hatta dan mendirikan sebuah negara sosialis berhaluan kiri-moderat, Sjahrir menolak tawaran Tan Malaka malah ia menganjurkan bila Tan Malaka ingin menyaingi kepopuleran Sukarno Tan Malaka harus banyak melihat kenyataan Objektif bangsa Indonesia dan jiwa bangsa Indonesia, “saat ini” Kata Sjahrir “Rakyat mencintai Bung Karno dengan sepenuh jiwanya”
Tan Malaka tidak menuruti saja kata Sjahrir, ada sebuah kejadian yang menguatkan Tan Malaka mendapat angin yaitu ada semacam isu bahwa Sukarno-Hatta membuat surat wasiat, bahwa bila dalam perjuangan revolusi dua orang ini gugur maka yang menggantikannya adalah : Tan Malaka (Kelompok Sosialis Radikal-Kiri), Sjahrir (Kelompok Sosial-Demokrat), Iwa Koesoemasoemantri (Kelompok Islam), Wongsonegoro (Birokrat dan elite ningrat Djawa), nah Sukarno ini menulis surat wasiat tersebut dan memerintahkan kepada Ahmad Subardjo untuk membagikannya kepada orang yang bersangkutan, kebetulan Ahmad Subardjo tidak membagikan surat itu kepada tiga orang dan hanya Tan Malaka yang menerimanya, kontan sadja ini membuat kelompok Tan Malaka diatas angin ia berkeliling kemana-mana untuk menyebarkan surat wasiat itu ,
hal ini biar seakan-akan rakyat tahu bahwa pengganti sah Sukarno dan Hatta bila terjadi sesuatu adalah Tan Malaka, tentu saja kelompok loyalis Sukarno curiga terhadap perbuatan Tan Malaka, mereka mengira sayap militer Tan Malaka akan membunuh Sukarno dan Hatta, atas pertimbangan itulah Sukarno pindah ke Jogjakarta, jadi selama ini sedjarah melihat bahwa kepindahan Sukarno dan Hatta Ke Jogja sekaligus mendjadikan Jogja sebagai ibukota adalah karena menghindari penangkapan oleh tentara NICA, tetapi saya melihatnya ini agar Sukarno dan Hatta menghindar bahaya dari serangan kelompok Tan Malaka yang memang sudah sangat kuat di Djakarta, Jogja menurut Sukarno merupakan basis pendukungnya, memang pendukung inti Sukarno adalah Djawa yang memiliki basis budaya Mataraman (mulai dari Cirebon sampai Surabaya).
(Apa-Kabar-Ws/Ainuttijar/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email