Pesan Rahbar

Home » » DN Aidit: Sedjarah Diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA) (1)

DN Aidit: Sedjarah Diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA) (1)

Written By Unknown on Saturday 26 March 2016 | 21:10:00


Saya akan berbagi kisah dengan saudara-saudara tentang pengalaman hidup saya di masa lalu, yang kini memang hanya tinggal sejarah yang bisa saya kenang di masa tua saya, saya tulis cerita dengan ejaan Orde Baru bukan edjaan Suwandi· dimana saya terbiasa menggunakannya, Cerita ini hanya sekedar kenang-kenangan dari seorang tua yang mungkin dapat memberi pelajaran bagi kaum muda agar lebih dapat melihat hidup bukan hanya sekedar di jalani tapi juga di maknai.

Saya dilahirkan di sebuah kota kecil di Pulau belitung bernama Pagar Alang, tahun 1924, ayah saya Abdullah Aidit adalah seorang mantri pengawas hutan, gajinya 60 gulden sebulan. Masyarakat Pulau Belitung mayoritas keturunan Melayu yang notabene memiliki kekentalan dalam menjalani ajaran agama Islam, begitu juga dengan keluarga kami, saya masih ingat bagaimana dulu saya diajari mengeja kata bahasa arab, mengaji, shalat, dan berbagai pembelajaran agama, dan alhamdulillah saat ini ajaran itu berguna sekali buat saya untuk mendekatkan diri pada Allah di masa tua. Seingat saya ayah saya termasuk orang terpandang di kota kami, walaupun hanya menjabat mantri hutan, karena keluwesan bergaul beliau dapat pula beliau mendirikan semacam organisasi Islam, semacam pusat pendidikan namanya Nurul Islam, bahkan pada tahun 1950-an ayah saya diangkat terpilih jadi anggota parlemen dari perwakilan golongan (bukan Masyumi yang selama ini tersebar beritanya).

Mengenang masa kecil saya adalah mengenang sebuah keindahan P. belitung, di pulau itu ada perusahaan Timah besar milik pemerintah Hindia Belanda, disanalah kadang-kadang naluri pembelajaran saya tentang perekonomian kapitalis dan sikap kritis terhadap system kapitalis muncul, kebetulan juga kami sekeluarga sangat membenci orang kaya dan ketidak adilan yang ditimbulkan oleh orang kaya.

Saya banyak berpikir mengapa dunia ini tidak adil, dimana ada orang bekerja keras tetapi tidak mendapat hasil yang memadai, tetapi ada orang yang hanya duduk-duduk namun bisa menikmati hasilnya, yah melalui , pemerasan atau penindasan manusia atas manusia lainnya eksplotation home par home-lah menurut istilah Bung Karno.Pada saat saya awal mempelajari ekonomi, yah seperti adik-adik waktu belajar pelajaran pertama ekonomi tentunya diajari tentang nilai lebih dan nilai manfaat, nah nilai-nilai ini ternyata digunakan untuk menindas manusia agar si pemilik modal dapat berleha-leha sementara yang lainnya hidup dalam kesengsaraan.

Sewaktu di Belitung tentunya konsep perjuangan saya belumlah jelas, saya hanya baru mempelajari dasar-dasarnya saja. Namun jiwa sosial saya tumbuh dengan pesat, saya rasakan itu, ada semacam keinginan saya untuk membantu rakyat kecil, saya merasa girang jiwa saya bila dekat dengan rakyat yang hidup dengan keringatnya sendiri yang menyimpan air matanya dengan senyum tulus, itulah rakyat yang sesungguhnya yang memiliki hati untuk bicara namun di sekap oleh kekuasaan, yang memiliki hak hidup layak namun di bohongi dan uangnya dicuri juga atas nama kekuasaan, dan kekuasaan itu berkedok dalam topeng kapitalisme dan menurut teori Sukarno kapitalisme adalah siklus terakhir dari kolonialisme.

Saya pelajari penderitaan mereka dengan berhari-hari ada di tengah mereka, saya hayati kesengsaraannya, ternyata kesimpulan saya waktu itu adalah bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk maju, mereka dibutakan dengan gagasan-gagasan bohong oleh penguasa, mereka di hancurkan keberaniannya tahap demi tahap sehingga menjadi manusia yang tumpul, bukan manusia yang berani sementara keberanian hanya menjadi hak milik kaum penguasa dan antek-anteknya. Saya pahami betul penderitaan rakyat.

Saya masih inget tentang kejadian lucu di P. Belitung tiap bulan kelahiran Ratu Juliana ada semacem pertandingan sepak bola, nah untuk Bantu-bantu ayah saya dalam hal keuangan saya kerap berjualan kerupuk nah kerupuk Belitung ini namanya Kampelang yang artinya kalau bahasa Jakarta “Tabok” nah, ada seorang yang kalau tidak salah bernama Samsudin, ini sering mengolok-olok saya, dia ciptakan lagu “Amat Kampelang Jurok Amat babelang” masakan pantat saya di bilang berbelang, marahlah saya, pada saat si Sam ini lewat di depan rumah paman saya Busu (paman) Rahman, kebetulan saya sedang ada disitu, bernyanyilah ia, “Amat kampelang jurok amat babelang”, kontan saja saya sergap ia, saya loncat jendela dan saya piting kemudian saya gebuki sampai babak belur, kalau tidak ada busu Rahman memisahkan habislah ia. Sejak saat itu saya terkenal jagoan dan ditakuti oleh pemuda-pemuda Belitung, ha….ha.

Hal indah yang saya juga kenang adalah kegembiraan saya tiap saya khatam Al Qur’an pasti ada pesta kendurian, makan ayam kampung panggang dan kue-kue enak khas Belitung, saya mengenang masa indah saya dulu dengan penuh rasa syukur.


Anak Rantau di Djakarta

DN AIDIT

Tahun 1930-an akhir saya merantau ke Djakarta, beberapa hari saya tinggal di daerah yang tidak djelas, akhirnja saya bertemu dengan uda Ali dan tinggal bersamanya, Ali ini seorang penjahit ia senang menjahit baju satu di jadikan dua celana pendek, diajarilah aku cara menjahit baju model begituan, Ali dan aku tinggal di daerah sekitar Senen, saya tinggal lajaknja gembel, karena saya tinggal di bedeng-bedeng liar yang tidak ada besluit-nja (ijin), dimana sewaktu-waktu bisa dibongkar, tapi pemerintahan kota Batavia (sekarang Djakarta) tidak sekedjam seperti sekarang ini yang senang main gusur dan bakar perkampungan yang akan digusur, dulu pemerintahan Batavia nampaknya mendiamkan saja adanya bedeng-bedeng liar, Di Djakarta inilah saya sekolah di Sekolah Dagang Menengah..

Suatu senja kalau tidak salah di tahun 1943, saya bertemu dengan Pardjono dan A.M Hanafiah, kebetulan A.M Hanafiah -(kelak menteri penerangan pertama dan Duta besar di Kuba pada saat terdjadinja GESTOK)- adalah sekjen GERINDO, A.M Hanafiah menggantikan Wikana yang katanya terlalu kepala batu , Gerindo adalah sebuah gerakan politik yang dipimpin Bapak Adnan Kapau
Gani. A.M Hanafiah, Pardjono dan kawan-kawan seperdjuangannja bermarkas di sebuah rumah di Menteng, no.31, mereka ini merupakan bagian terdepan generasi intelektual muda di Djakarta kelompok mereka sering disebut kelompok menteng 31.


Anak didik Hatta

Setelah saya masuk ke asrama Menteng 31, saya aktif melakukan studi-studi politik, pada saat itu mentor-mentor politiek, adalah orang-orang pergerakan senior seperti: Sukarno, Hatta, Sjahrir,AK Gani dll, tapi yang paling aktif mendidik adalah Hatta, sedangkan Sjahrir lebih asyik bermain di gerakan bawah tanah bersama kelompoknya, kabarnya salah satu loyalis Sjahrir, Djohan Sjahruzah membuka tjabang pendidikan kadernja di jogjakarta, di sebuah daerah bernama Pathuk, kelak kelompok Pathuk ini juga banyak berperanan dalam gerakan kiri Indonesia. Hatta sangat rajin memberikan ilmunya kepada kami.

Ia adalah sardjana, seorang doctorandus economiee, lulusan Belanda, sedjak muda Hatta bersemangat memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia, di Belanda ia mendjadi bendahara PI (Perhimpoenan Indonesia), pemikiran Hatta sangat dipengaruhi gaya pikir pemikir-pemikir sosialisme, tapi djelas terlihat Hatta sangat tidak menjukai Kominisme, walaupun bagi saya Hatta adalah pemikir Marxist Indonesia yang paling jago.

Pada suatu pagi yang indah di akhir tahun 1943, saya sedang duduk-duduk di bangku depan asrama, hanya saya seorang tiba-tiba datang Hatta, entah kenapa ia datang jam 6.00 pagi, saya karena shalat subuh selalu bangun lebih awal dibanding kawan-kawan yang senangnya begadang, Hatta menegur saya dan ia langsung duduk, saya ditanya dimana kawan yang lain, dan saya bilang belum pada bangun.

Disinilah hubungan saya dan Hatta mulai dekat. “asal kamu dari mana, Mat?”tanya Hatta, Hatta memanggil saya dengan sapaan Amat, sampai tahun 1960-an saat terakhir saya ketemu dia, dia tetap memanggil saya dengan nama Ahmad “Bangka Belitung, Pak”djawab saya, saya sedjak awal menjapa Hatta itu Pak, djuga pada Bung Karno malah di tahun 1960-an saya menjapa BK itu Paduka, tidak seperti Hanafiah atau Wikana yang menjapa Hatta atau Sukarno itu dengan sapaan Bung.

“Oooh…Bangka yah, timah itu”sahut Hatta, aku membalasnya “iya, Pak” tak lama kemudian keluarlah A.M Hanafiah, rupanya ia belum mandi dan agak kaget melihat Hatta sudah duduk di beranda asrama kami, ia langsung masuk lagi dan mandi, lalu bergegas keluar menemui kami berdua yang sedang asyik ngobrol, disitulah Hatta menguraikan pandangannya tentang ekonomi kalau tidak salah sampai jam makan siang, Hatta pamit pulang. Sedjak kedjadian itu saya sering menemui Hatta, bagi saya Hatta adalah guru utama saya, walaupun kelak kami berseberangan pandangan.

Di Asrama Menteng 31 inilah, saya berganti nama depan bukan Ahmad atau Amat lagi, tapi Dipa Nusantara artinya Banteng-nya Nusantara, alasannya sederhana sadja kawan-kawan meminta saya mengganti nama soalnya banyak sekali kawan yang bernama Ahmad daripada bingung mereka suruh saya ganti nama, setelah menulis surat kepada ayah untuk minta idjin saya mengganti nama, dan ayah mengidjinkan maka nama lengkap saya yang baru adalah Dipa Nusantara Aidit jang disingkat DN Aidit.


Hobby Membatja

Di Djakarta ini juga saya gandrung dengan pemikiran Sukarno, tiap-tiap pemikirannya saya baca di Koran-koran lokal. Namun pengaruh terbesar saya ada pada Musso dan Alimin tokoh tua PKI yang lari akibat pemberontakannya yang gagal tahun 1926.Saya banyak membaca tentang filsafat Eropa, perkenalan saya dengan filsafat Eropa adalah dari seseorang yang saya inget bernama Samingan, dia orang Solo yang lama tinggal di Semarang dan kemudian merantau ke Djakarta, ia tinggal di daerah Kramat Lontar, pekerdjaanja adalah berdagang buku bekas di Senen. Ia memberikan saya lima buku dalam bahasa Belanda dan Jerman kalau tiada salah buku keluaran antara tahun 1900-1915.

Ia memberikan saya buku sebagai hadiah, walaupun Samingan orang yang tidak suka membaca tapi ia sangat menyenangi orang yang gemar membaca dan ia melihat pada diriku. Disitulah saya banyak bergelut dengan positivisme Inggris, tradisi ilmiah Perancis, Historisitas Djerman dan Pragmatisme Amerika Serikat ala John Dewey, kupasan filsafat saya semakin saya asah.

Kemudian Samingan mendjadi penyuplai tetap buku-buku bagi saya, djika ada buku bagus, buku itu di simpan dulu olehnja agar saya batja, saya banjak berhutang budi pada Samingan, terakhir perdjumpaan kami di tahun 1961, saya kebetulan datang ke Solo karena ada keperluan Partai sekalian ke rumah keluarga isteri saya, Samingan tinggal di daerah Kepatihan, rupanya ia aktif mendjadi anggota Muhammadijah, waktu itu akibat provokasi Masjumi, hubungan antara PKI dan Muhammadijah agak renggang, apalagi memang sedjarahnya PKI dan Muhammadijah tidak pernah akur,tapi Samingan menyambutku dengan penuh bangganya, di kenalkannya saya dengan tokoh-tokoh Muhammadijah setempat, kawan-kawan Muhammadijah-nya tentu kaget melihat DN Aidit, ketua PKI, gembongnya-gembong PKI.

Tapi memang orang Solo itu terkenal tidak mau menunjukkan perasaan, mereka menyapaku dengan ramah. Kabarnya akibat Samingan membawaku ke kawan-kawannya, ia dicurigai PKI susupan, dan di tahun 1965 ia sempat ditjiduk tapi berkat lindungan tokoh Muhammadijah Samingan berhasil dibebaskan dari cengkeraman tentara kanan.


Pergulatan mendjelang Proklamasi

BUNG SYAHRIR: BUNG KARNO: BUNG HATTA.

Di Djakarta saya banyak bertemu dengan pemikir-pemikir muda dari beberapa kelompok seperti Soedjatmoko, Sjahruzah, Soedarpo, Adam Malik, Wikana, Suroto, Jusuf Kunto, Soebadio Sastrosatomo, Lukman,AM Hanafiah, Chaerul Saleh dan beberapa tokoh muda dari PETA. Kebetulan saya tinggal di Asrama menteng 31 dimana tempat mangkalnya kelompok-kelompok perlawanan kaum muda. Dari kelompok Sjahrir saya mendengar bahwa Jepang sudah mengalami kekalahan, Sjahrir mendengar beritanya dari radio gelap di gerakan bawah tanah. Kelompok radikal-sosialis pengikut Tan Malaka seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik sangat antusias mendengar berita kekalahan Djepang, ada ide dari Chaerul untuk segera memerdekakan Indonesia sebelum Djepang datang, kemudian Sukarni yang kebetulan tinggalnya berdekatan denganku mengajak saya ke tempatnya si Chaerul, di tempat Chaerul ada sekitar 10 orang yang sedang berkumpul diantaranya saya lihat ada Adam Malik dan Buntaran, Chaerul yang Tan Malakais ini berapi-api ingin cepat-cepat melakukakan sebuah revolusi.

Saya tanya sama Chaerul “Rul kalau kamu mau bikin aksi-aksian lalu apa yang melegitimasi gerakan kamu?” Chaerul diam kemudian Sukarni membalas pertanyaan saya “Dit, gimana kalo kita jadikan Sukarno sebagai simbol gerakan kita?” saya terdiam lalu si kecil Adam Malik melompat dari tempat duduknya dan berseru “Setuju” pertemuan pun bubar besoknya tanggal 9 Agustus 1945, Chudancho Singgih dari PETA datang ke tempat kami, ia bersama Chudancho Ali dan Chudancho Latief Hendraningrat, di tempat kami Singgih bercerita bahwa PETA dari seluruh Djawa siap menyambut gerakan kami, apabila kami memerintahkan menyerbu tangsi-tangsi militer Djepang detik itu juga akan mereka serbu, disinilah saya sudah lihat bibit ketaatan militer terhadap sipil.

Kawan saya Jusuf Kunto mencegah pernyataan Singgih ia ingin ada sebuah gerakan sistematis dan menyimbolkan gerakan kemerdekaan negara yang rapi bukan sekedar perang. Tak lama kemudian Sukarni datang ke tempat kami berikut petikan dialog antara kami dan kelompok PETA yang masih saya ingat.

Singgih :
“Seluruh pusat-pusat pelatihan PETA sudah kami adakan semacam
koordinasi rahasia apabila Jepang mengalami kekalahan di perang Pasifik,
Indonesia jangan sampai mengalami kekosongan kekuasaan.Kita siap perang…!!!

Jusuf Kunto :
Sabar…sabar nggih, kamu siap perang lha rakyat apa sudah terkondisikan
akan peperangan yang mungkin saja kejam, nggih….begini Nggih saya ingat pesan
dari Tan Malaka agar jangan dulu mengadakan peperangan sebelum ada kepastian
akan kekuatan kita, dan saya dengar dari Bung Karno, tanpa perangpun kita bisa
menang.

Saya :
Saya setuju dengan Singgih tapi juga tidak menolak pendapat Jusuf Kunto
ada baiknya kita konsultasikan dengan kawan-kawan yang lainnya.

Tak lama kemudian Sukarni datang.

Sukarni :
Tadi Ahmad Subardjo datang menemui saya dia bilang Sukarno tidak setuju
kalau kemerdekaan tanpa persetujuan orang-orang dari PPKI dan ex-BPUPKI.

Wikana :
Kita culik saja Sukarno dan Hatta, biar mereka mau ikut gerakan kita.

Saya :
Lho kok Hatta ikut-ikutan diculik

Wikana :
Ya jangan Sukarno saja yang memimpin musti ada pendamping yang orang
luar Jawa jadi Hatta cocoklah buat dampingin Sukarno.

Adam Malik :
Oke, saya setuju

Sukarni :
Gerakan menculik Sukarno – Hatta langsung di bawah komando saya, kalo kelompok sosialis Sjahrir mencegah mereka harus kita tahan juga, tapi saya rasa sampai saat ini orang-orang Sjahrir tidak setuju dengan kemerdekaan yang cepet, saya denger dia tidak mau memerdekakan Indonesia sebelum ada kesepakatan internasional antara pemenang perang ya…sekutu dengan Belanda secara de jure masih bertjokol di Indonesia.

Saya :
Saya pikir kelompok simpatisan Kominis yang di luar negeri akan mendukung gerakan ini, tapi jangan dilupakan gerakan militer akan memancing sikap anti fasis orang-orang Sjahrir, ini harus diwaspadai, sekarang kita mulai gerak!!!!

Beberapa hari setelah pertemuan di tempat kami, Wikana mengundang seluruh elemen gerakan bawah tanah untuk rapat di laboratorium Bakteriologi, di jalan Pegangsaan deket rumah Bung Karno. Pada saat itu di tengah hingar bingarnya teriakan untuk segera memerdekakan diri, rapat memutuskan untuk mengutus Saya, Jusuf Kunto, Subadio Sastrosatomo dan Suroto untuk menemui Sukarno. Di rumah Bung Karno yang kebetulan ada Hatta, kami mendesak agar mereka berdua mengumumkan kemerdekaan, namun Sukarno menolak bila tidak ada jaminan dari pihak Djepang untuk keamanan. Kami dengan nada marah mengancam Bung Karno jika tidak akan mengumumkan kemerdekaan maka kami akan bertindak tegas terhadap Bung Karno, saya inget Sukarno dengan nada marah menanggapi ancaman kami “Ini leher saya, goroklah leher saya dan seretlah ke pojok itu, jangan menunggu besok”

Bung Karno sangat marah dengan nada sabar Bung Hatta menengahi “kami tidak bisa dipaksa, sudahlah jangan terburu-buru kita lihat keadaannya”, lalu Bung Hatta menantang kami bila kami sanggup, bikin sadja proklamasi sendiri tanpa melibatkan mereka, tentu saja kami tidak akan mampu melaksanakan manapula percaya dan kenal pada kami, selain pada Sukarno dan Hatta….?

Tanggal 16 Agustus 1945, Sukarni, Singgih, Jusuf Kunto dan Moewardi nekat mentjulik Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan bayinya Guntur untuk diamankan ke Rengasdengklok, di Rengasdengklok Para pemimpin itu di suruh tinggal di rumah Djiauw Kie Song di bawah pengawasan PETA pimpinan dr.Soetjipto. Mendengar Sukarno diculik marahlah Ahmad Subardjo ia memarahi Wikana dan Chaerul Saleh yang kebetulan di Djakarta,namun yang terpenting tak lama kemudian Laksamana Maeda mengeluarkan statement dan pesan kepada penculik Sukarno dan Hatta, agar mereka membebaskan Sukarno, Maeda menyatakan pihak Djepang tidak akan mengganggu jalannya Proklamasi dan membiarkannya, proses upacara itu.

Malamnya Sukarno, Hatta,Fatmawati dan Guntur pulang ke Djakarta, di rumah Laksamana Maeda konsep proklamasi disusun Sayuti Melik suami Sk.Trimurti yang mengetik draft proklamasi. Paginya proklamasi dibacakan, air mata saya sampai saat ini masih berlinang bila mengingat kejadian itu.

(Apa-Kabar-Ws/Ainuttijar/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: