Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian. Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Cina (Tiongkok)
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini.
Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya “kampung Cina”, seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan
Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Kerajaan Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris yang paling berjaya Elizabeth I, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”, serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585: I “am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset”.
terjemahan dari isi surat tersebut adalah: (Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James, Sultan Iskandar Muda juga pernah mengirim surat kepada Raja Inggris James I pada tahun 1615 silam. Surat yang disebut sebagai “golden letter” itu ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Arab Jawi. Disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli itu ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas jenis oriental. Surat asli tersebut sat ini berada di perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.
Surat ini tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, berikut adalah petikan terjemahan mukadimmah surat Sultan Islandar Muda untuk King James I : " Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang "-
Surat Sultan Iskandar Muda ini menjadi salah satu bentuk rekaman romantisme hubungan Kerajaan Aceh dan Inggris di masa lalu. Dan relasi seperti ini terjadi jauh-jauh hari sebelum Indonesia ataupun kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki hubungan dengan negara-negara Eropa. Ada yang membedakan antara hubungan antara Aceh dengan Inggris maupun negara Eropa lainnya dengan kerajaan di luar Aceh. Hubungan yang dibagun oleh Kerajaan Aceh dengan Inggris dan Eropa berbasiskan hubungan diplomatik yang egaliter, bukan dalam bentuk sebagai perwakilan daerah koloni antara tuan dan pihak jajahan.
Surat ini menjadi salah satu bukti adanya hubungan diplomatik antara Kerajaan Aceh dan Inggris. Tentu tak hanya sekadar hubungan diplomatik biasa, karena Aceh dan Inggris pernah menandatangani Perjanjian Persahabatan Abadi (Perpetual Friendship Treaty) antara Inggris dan Aceh di abad ke 17 dan diperbaharui di tahun 1811. Isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa kedua negara berkewajiban saling membantu dari serangan pihak lain. Akan tetapi Inggris telah mengkhianati perjanjian ini ketika negara itu menandatangani Perjanjian Sumatra (Sumatran Treaty) dengan Belanda yang mengakui upaya hegemoni Belanda atas Aceh.
Hubungan Kesultanan Aceh dengan Belanda
Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Hubungan Peradaban Aceh dengan Belanda
Dalam catatan sejarah terungkap bahwa ketika kerajaan Belanda memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan Spanyol ,hanya kerajaan Aceh sebagai negara pertama di dunia yang mengakui nya dan segera menjalin hubungan diplomatik sehingga terjalin hubungan bilateral yang sangat baik diantara ke dua negara yang sangat berjauhan letaknya itu.Meskipun kedua kerajaan tersebut berbeda berbagai aspek sosial kemasyarakatnya,tetapi baik kerajaan Aceh maupun Belanda tetap menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan, sehingga mendukung pertumbuhan perekonomian kedua kerajaan tersebut.
Awalnya dari sepucuk surat Pangeran Maurit dari dinasti Oranye van Nassau pemegang tampuk kerajaan Belanda hingga Ratu abetrix sekarang yang dikirim kepada Sultan Aceh,Alauddin Riayat Syah.Surat dalam bahasa Spanyol yang berisi bujuk rayu tersebut dibawa oleh Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy dengan ekpedisi empat buah kapal yang membawa berbagai barang yang sangat berharga waktu itu sekitar 660.000 gulden nilainya.Keempat kapal ekpedisi yang membawa barang-barang untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh,Sultan Alauddin Riayat Syah itu,yaitu Zelandia,Middelborgh,Langhe Bracke dan De Sanne yang berangkat dari pelabuhan Zeland pada tanggal 28 Januari 1601.Selain membawa bekal 450.000 real sebagai perbekalan juga berbagai barang berharga untuk diserahkan kepada Sultan Aceh sebagai simbol persahabatan diantara kedua kerajaan itu.Pange ran Maurit yang sedang menghimpun berbagai potensi yang ada untuk membebaskan tanah airnya dari penjaja han Spanyol dan Portugis dibawah Raja Manuel ,ingin memperluas hubungannya dengan berbagai negara termasuk Aceh dan melupakan tragedi pahit kematian Cornelis de Houtman kena rencong orang Aceh konseku wensi ketidak sopanannya tahun 1599 saat ia melakukan ekpedisinya di perairan kerajaan Aceh.
Pangeran Maurit menyadari bahwa dengan membuka hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh yang menguasai jalur dagang teramai di dunia,Selat Malaka,serta menguasai teritorial sepanjang pulau Sumatra hingga Pariaman di Sumatra Barat,serta Belanda dan Aceh bisa mengimbangi dominasi Portugis di Malaka sejak tahun 1511.Selama ini Belanda senantiasa terjepit oleh Portugis dan Spanyol yang bisa mengontrol jalur laut sejak dari Giblaltar(Jabal Thariq)dimulut Afrika dan Eropa pertemuan laut Tengah-Samudrea Atlantik hingga Samudra Hindia,Laut Merah,Laut Arab,Teluk Parsia,Goa,Malaka,Timor,Maluku dan Philipina.Oleh sebab itu hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh amat penting bagi kerajaan Belanda yang sedang mempersiapkan diri untuk me lepaskan diri dari imperialisme kerajaan Eropa selatan itu (Portugis dan Spanyol).
Pelayaran yang dilakukan Belanda ebelumnya selalu mendapat ancaman dari Portugis-Spanyol,dan jika tertangkap bisa dipastikan hukumannya sangat berat karena dituduh membantu gerakan sepatisme Belanda pimpinan Pangeran Maurit.Secara militer ,pasukan Portugis-Spanyol waktu titu sangat kuat tidak mungkin bagi Belanda untuk menghadapinya sendirian.Karenanya Belanda sangat penting menjalin hubungan diplomatiknya dengan kerajaan Aceh.Dalam pelayarannya ke Aceh,kapal kapal Belanda singgah dulu di Afrika Timur untuk minta dukungan dari penguasa setempat yang juga sudah lama bersahabat dengan Aceh,serta untuk mengelabui dari kejaran armada Portugis dan Spanyol serta Inggris yang merajai lautan waktu itu.Setelah delapan bulan mengharungi samudera yang seringkali harus bersembunyi dari armada Portugis-Spanyol kepesisir kepulauan sepanjang pelayarannya, maka pada tanggal 25 Agustus tahun 1601 rombingan kiriman pangeran Maurit tiba di Aceh,dan setelah membaca surat tersebut dengan hati hati serta dicatat oleh sekretaris kerajaan – rombongan diterima dengan baik oleh Sultan Aceh.
Surat yang ditulis pangeran Maurit di Den Haag tertanggal 11 Desember 1600 berisi antaranya ada lah:”Kepada beta dikabarkan pula bahwa orang orang Portugis telah mengadakan peperangan terhadp kera jaan Yang Mulia atas perintah Raja Spanyol,dengan tujuan untuk merampas negeri itu dan menjadikan warganya sebagai hamba sahaya ,sebagaimana yang demikian telah dilakukannya selama sudah lebih tigapuluh tahun dinegeri kami..”.Kerajaan Aceh yang sejak dulu benci kepada Portugis ,sehingga sudah beberapa kali terlibat pertempuran dengannya,segera menanggapinya dengan positif dan menjajaki kemungkinan bisa berhubungan dagang dan kenegaraan dengan negeri Belanda. Sebagai realisasinya maka Sultan Aceh,Alauddin Ri ayat Syah mengirimkan duta besarnya sebagai awal pembukaan diplomatik antara Aceh dan Belanda.Para diplomat Aceh ke Belanda itu dipimpin Abdul Hamid bersama petinggi militer kerajaan Aceh,Laksamana Sri Muhammad dan Mir Hasan sebagai anggota delegasi bersama rombongan Laurens Bicker.
Dalam pelayarannya di perairan Afrika dekat pulau St.Helena rombongan bertemu dengan kapal perang Portu gis,San Yago dan pertempuran lautpun tidak terhindarkan lagi,akhirnya kapal Portugis bisa ditenggelamkan sehingga rombongan bisa melanjutkan lagi pelayarannya,dan tiba di Zeeland pad tanggal 20 Juli tahun 1602.Te tapi baru 20 hari tiba di Belanda,Abdul Hamid jatuh sakit kemungkinan karena usianya yang sudah lanjut disertai udara Belanda yang sangat dingin sehingga diplomat veteran Aceh itu meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 1602 dalam usia 71 tahun ,serta dimakamkan di Middleborhg dengan upacara kenegaran sebelum sempat bertemu dengan pangeran Maurit yang sedang bertempur melawan pasukan Portugis-Spanyol jauh dipedalaman yang bermarkas di Desa Grave.
Selanjutnya,pada tanggal1 September 1602 Laksamana Sri Muham mad dan Mir Hasan menemui pangeran Maurit dan menyerahkan surat-surat persahabatan sekaligus dokumentasi lainnya seperti layaknya zaman modern sekarang jika utusan sebuah negara bertemu dengan kepala pemerintahan tentunya menyerahkan suarat-surat kepercayaannya mewakili negarany masing-masing.Dengan itu maka secara resmi kerajaan Aceh baik secara de facto maupun secara de jure telah mengakui kemerdekaan negeri Belanda dibawah pimpinan Pangeran Maurit dari dinasti Oranye van Nassau.Oleh sebab itu kerajaan Acehlah sebagai negara pertama yang mengakui secara defacto dan secara de jure kemerdekaan negeri Belanda yang berdiri sendiri hingga sekarang ini.Belanda akhirnya diizinkan membangun kantor dagangnya di Darussalam, ibukota kerajaan Aceh,serta atas rekomendasinya Belanda juga bisa berhubungan baik dengan negeri-negeri dipesisir India seperti Gujarad,Calikut,Benggali dan Sri Langka. (acehpedia)
Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Dengan Malaka
Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Johor
Pada mulanya ditahun 1528 – 1564 M Sultan Alauddin Riayat Shah 11 (Raja Ali / Raja Alauddin) memerintah Johor sekaligus masuk kedalam pemerintahan Kesultanan Aceh pada tahun 1530 - 1557 M (1571 M), Sultan Alauddin Riayat Syah al Qahhar telah memerintah Aceh. Kemudian pada 1564 – 1570 M diteruskan Sultan Muzaffar Shah 11 (Raja Muzafar/Radin Bahar) memerintah Johor, seterusnya dilanjutkan pada tahun 1565 M Tun Seri Lanang (lahir dan meninggal 1659 M di Aceh)
Pada tahun 1565 - Raja Firman memerintah Aceh. Seterusnya pada tahun yang sama yaitu tahun 1565 M Raja Sri Aman, sebagai Raja Pariaman, dan anak Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar, memerintah Aceh. (1579), pada tahun 1565 - 1567 M, Sultan Zainal Abidin Raja Jainal, cucu Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar I, menjadi Sultan Aceh.
Pada tahun 1570 M – 1597 M, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah memerintah Kerajaan Johor Lama dan Bendaharanya ialah Tun Seri Lanang, selanjutnya di tahun 1580 M, Bapa saudara Nur Al Din Al Raniri bernama Muhammad Jilani Hamid pergi ke Aceh. Pada tahun 1585 - 1588 M, Sultan Ali Riayat Syah II, anak Putera Johor dengan Puteri Sultan Alauddin Mansur Syah I, seterusnya 1588 - 1604 M, Sultan Alauddin Riayat Syah II, cucu melalui anak laki-laki saudara bapa Sultan Ali Mughayat Syah I, dan bapa kepada Sultan Ali Mughayat Syah (1604-1607). Pada tahun 1597 - 1615 M, Sultan Alauddin Riayat Shah III memerintah Kesultanan Johor Lama dan Bendaharanya ialah Tun Seri Lanang sehingga berlaku Perang Batu Sawar pada tahun 1613 M.
Pada tanggal 25 Mac/Maret 1598 M, Dua buah kapal Belanda berangkat ke Nusantara. Dari 223 orang awak-awak kapal ada dua bersaudara yang ikut dalam ekspedisi 1595, iaitu Frederik de Houtman dan Cornelis de Houtman. Mereka tiba di Teluk Aceh pada 24hb Jun. Raja Aceh melayan rombongan Belanda yang tiba dan memberi penghormatan kepada mereka. Raja Aceh tidak berminat kepada perdagangan dan hanya ingin menggunakan kapal-kapal dan senjata Belanda untuk menyerang Portugis di Johor.
Aceh pertahankan monopoli perniagaan lada yang mereka kuasai. Usaha mendapatkan senjata gagal kerana intrik yang dilakukan Portugis sehingga Cornelis de Houtman dibunuh. 30 orang awak kapal, termasuk Frederik de Houtman dipenjarakan dari 11 September, 1599 hingga 25 Augus, 1601. Frederik menolak, tetapi 5 orang Belanda lain menerima tawaran Raja Aceh untuk memeluk ugama Islam dan menikah dengan isteri baru dari kalangan wanita Aceh. Seorang darinya Lenard van Wormser menjadi juru bahasa Raja Aceh dalam lawatan ke Belanda pada tahun1602. Frederik yang setia pada isterinya menghabiskan masa dalam penjara menyusun kamus Belanda-Melayu seperti yang dikisahkan dalam bukunya CORT VERHAEL.
Menaklukkan Johor
Dalam Kitab “SULALATUS SALATIN” atau Sejarah melayu, pada tahun 1613 M, Aceh menaklukkan Johor dan membawa Bendahara Kerajaan Johor, Tun Seri Lanang ke Aceh dan dijadikan Raja di Samalanga oleh Sultan Iskandar Muda. Tun Seri Lanang menjadi penyiar Islam di Samalanga dan kemudiannya di Aceh dan menjadi pengarang kitab Sulalatus Salatin yang juga dikenal sebagai Sejarah Melayu.
Pada tahun 1613 - 1659 M, Tun Seri Lanang dilantik oleh Sultan Iskandar Muda menjadi Uleebalang di daerah otonom Samalanga. Kemudian di tahun 1615 M, Sultan Iskandar Muda menyerang Portugis di Melaka tetapi gagal.
Kesultanan Johor
Adapun Kesultanan Johor yang memerintah pada waktu setelah ditaklukkan oleh Kerajaan Kesultanan Aceh Darussalam adalah :
1. Sultan Abdullah Ma'ayat Shah ( Raja Mansur ) memerintah Johor pada tahun 1615 – 1623 M
2. Sultan Abdul Jalil Shah 111 (Raja Bujang) memerintah Johor pada tahun 1623 – 1629 M.
3. Sultan Abdul Rauf al Jawi al Fansuri al Sinkili pada tahun 1629 – 1632 M.
4. Sultan Abdul Jalil Shah 111 (Raja Bujang) memerintah Johor pada tahun 1632 – 1677 M
5. Sultan Ibrahim Syah (Raja Ibrahim/Putra raja Bajau) memerintah johor tahun 1677 – 1685 M,
6. Sultan Nurul Alam Zaqijatuddin Inajat Riayat Sjah pada tahun 1685 – 1688 M,
7. Sultan Mahmud Shah II (Raja Mahmud) Memerintah Johor tahun 1688 – 1699 M,
8. Sultan Abdul Jalil IV ( Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil ) memerintah Johor tahun 1699 – 1720 M.
Definasi Johor Lama
Pada tahun 1722 - 1889 M, Bermulanya zaman pemerintahan Kesultanan Johor Lama di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Wilayah Johor lama merangkumi negeri-negeri Johor, Pahang, Riau, Lingga, Singapura dan kawasan-kawasan di bawahnya.
9. Sultan Johar el Alam Aharuddin memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1723 M,
10. Sultan Undei Tebang memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1723 M,
11. Sultan Alauddin Ahmad Syah Johan Berdaulat memerintah Aceh sehingga anaknya, Sultan Alauddin Syah Juhan, menggantikannya tahun 1723 - 1735 M.
12. Alauddin Achmad memerintah Aceh sebagai Sultan Alauddin Syah Juhan pada tahun 1735 – 1760 M.
13. Pada tahun 1760 - deposed 1763 - Sultan Alauddin Machmud Syah I memerintah Aceh sampai kejohor sehingga disingkir. Beliau anak Sultan Alauddin Syah Juhan.
14. Usurper Sultan Badruddin Johan Alam memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1763 – 1765 M.
Pada tahun 1763 sampai 1823 M. Period ini ada kajian oleh Lee Kam Heng dalam buku 'The Sultanate of Aceh - Relations with the British' terbitan Oxford University Press.
15. Sultan Alauddin Machmud Syah I memerintah tahun 1765 – 1771 M.
16. Sultan Alauddin Machmud Syah I memerintah dari Aceh ke johor tahun 1771 – 1781 M.
17. Anak Sultan Alauddin Machmud Syah I bernama Sultan Alauddin Machmud Syah II Juhan memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1781 – 1795 M.
18. Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah memerintah Aceh adalah anak Sultan Alauddin Machmud Syah II dan dilahirkan bernama Hasan tahun 1795 – 1814 M.
19. Usurper Sultan Sharif Seif el Alam memerintah Aceh sampai ke Johor 1814 – 1818 M.
Hubungan Kesultanan Aceh dengan Sultan Perak
Pada tahun 1567 - 1585 M, Sultan Alauddin Mansur Syah I, anak Sultan Mansur Syah 1 menjadi Sultan ke 2 negeri Perak.
Hubungan Kesultanan Aceh dengan Pahang
Pada tahun 1618 M, Aceh menaklukkan Pahang. Raja dan Permaisuri Kamaliah atau Jamaliah serta anaknya Sultan Bongsu atau Husin Syah telah dibawa ke Aceh. Setelah Sultan meninggal Iskandar Muda telah menikahi Puteri Kamaliah dan anaknya Sultan Bongsu telah dinikahkan dengan anak perempuan Iskandar Muda yang bernama Puteri Zakiatuddin dari pernikahan Iskandar Muda dengan Puteri Seni yang bergelar Permaisuri Setia. Satu-satunya anak lelaki Iskandar Muda telah dihukum mati kerana zina. Maka Sultan Bongsu telah dijadikan Putera Mahkota dan setelah Iskandar Muda mangkat maka menantunya dan anak tirinya menjadi Sultan Iskandar Tsani.
Hubungan Kesultanan Aceh dengan Turki
Pada tahun 1537 - 1571 M, Sultan Alauddin Riayat Syah Alqahar memerintah Aceh Darussalam dan merupakan Sultan yang menjalinkan persahabatan dengan Kerajaan Moghul dan Kekaisaran Usmaniyah di Turki. Dan tahun 1545 M, Utusan Aceh ke Turki menyebabkan 300 tenaga ahli dari Turki dikirim ke Aceh bersama meriam besar yang dikenall dengan MERIAM LADA SICUPAK.
(Aceh-Nusantara-Sepanjang-Masa/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email