Tarekat yang pada awalnya hanyalah dimaksudkan sebagai metode, cara, dan jalan yang ditempuh
seorang sufi menuju pencapaian spiritual tertinggi berkembang dengan menapaki proses-proses sosiologis yang panjang menjadi sebuah institusi sosial keagamaan yang memiliki ikatan keanggotaan yang sangat kuat.
Perkembangan tarekat-tarekat tersebut tidak lepas dari upaya perjuangan para pengamalnya,
dengan pola-pola, strategi, dan model-model tertentu yang patut dipahami. Di lain pihak, perjuangan tarekat-tarekat tersebut tidak luput dari peran-peran sosial, budaya, politik dan sebagainya yang niscaya diambil oleh tarekat sebagai suatu keniscayaan empirik, karena tarekat adalah organisasi sosial yang praktis bersentuhan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pergolakan sosial yang meletup paruh kedua abad ke-19 hingga abad ke-20 di Nusantara, seperti disinggung sejarawan Jepang Takashi Shiraishi, ternyata tak lepas dari peran kaum tarekat di dalamnya.
Dari sisi organisasi, tarekat yang semula merupakan ikatan sederhana dan bersahaja antara guru
dan murid, berpotensi untuk berkembang baik struktural maupun fungsional. Secara struktural,
misalnya, terdapat suatu ordo tarekat yang mengembangkan jaringan-jaringan seperti pendidikan,
ekonomi, perdagangan, pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik.
Sedangkan secara fungsional, tarekat dapat mengembangkan fungsi-fungsi strategis yang bervariasi, misalnya, sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah Islam, lembaga ekonomi, dan bahkan lembaga sosial-politik yang menampung aspirasi para murid tarekat. Sebagai contoh konkret adalah kasus pemberontakan petani Banten, pada tahun 1888 M., yang difaktori oleh ketidakpuasan para petani atas kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang menindas. Melalui organisasi tarekat-sufi (Qadiriyah wa Naqshabandiyah) di bawah bimbingan shaykh tarekat, mereka menggalang kekuatan kolektif menjadi gerakan massa menentang kolonial.
Martin van Bruinessen dalam “Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?” mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng. Perjuangan para tokoh dan pengikut tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819.
Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syaikh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syaikh Yusuf Makassar yang bergelar ‘al-Taj al-Khalwati’ telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf dengan memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 diantaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap kedzaliman kolonial.
Dari Penghayatan Vertikal Menjadi Praksis Sosial
Dengan potensi sosial yang solid diikat oleh rasa kebersamaan dan ketaatan searah kepada pimpinan spiritual, maka institusi tarekat menjadi potensial untuk ditransformir sebagai sebuah gerakan perlawanan terhadap realitas politik dan pemerintahan yang dzalim.
Sejarah telah membuktikan bahwa sepanjang abad ke-18, ke-19, dan ke-20 M., tarekat sebagai institusi sosio-religius menunjukkan fungsi politiknya, yaitu menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat yang selanjutnya menjadi wahana gerakan perlawanan atas ketidakadilan dan penindasan.
Dalam perjalannya, tenyata tarekat mampu membangun visi dan misinya, serta orientasinya tentang kesalehan yang tidak hanya terbatas hanya menciptakan kesalehan teologis-spiritual- individu, tetapi juga mampu menciptakan kepekaan kesalehan sosial, sehingga tarekat tidak saja bergairah dengan persoalan-persoalan akhirat akhirat, tetapi mampu secara praksis berkiprah dalam perikehidupan sosial yang nyata.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email