Foto : arahkiri2009.blogspot.com
Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang dan menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat satu organisasi perempuan yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah: Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.
Saat kongres kedua pada 1954, Gerwis mengubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono –yang juga merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ketuanya. Organisasi berkembang pesat di antara masa kongres pertama dan kedua. Di Surabaya, Gerwis memiliki 40 cabang dengan 6000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah mencapai 80.000 orang.
Gerwani merupakan organisasi perempuan yang konsisten melakukan kampanye anti-poligami, anti-perkawinan dini, anti-perdagangan perempuan, dan anti-penjualan keperawanan. Adalah musuh laten bagi para tuan tanah dan para pamong praja yang seringkali melakukan praktek demikian. Selain itu, Land Reform yang juga diperjuangkan oleh Gerwani membuat mereka harus berhadap-hadapan dengan para kiai dan tuan tanah.
Sementara itu, urusan tradisional perempuan seperti mengurusi anak-anak dan pendidikannya, sama sekali tidak ditinggalkan Gerwani. Justru urusan tradisional inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Gerwani untuk terus melakukan perjuangan seperti upaya menentang kenaikan harga barang pokok. Bagian inilah yang justru menarik. Meskipun Gerwani mengamini tugas tradisional rumah tangga sebagai kodrat perempuan, tetapi bagi Gerwani, kodrat perempuan yang dimaksud tidak meliputi pengertian bahwa para perempuan harus tampak malu-malu dan lemah lembut di depan khalayak. Dalam Kongres II Gerwani misalnya, dirumuskan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Hak atas fasilitas pendidikan, kesehatan yang mudah, serta tanpa adanya buruh anak dan kawin paksa, adalah tema perjuangan Gerwani yang dilakukan dengan konsisten.
Menjelang Pemilu 1955, isu pelacuran menjadi salah satu isu utama kampanye Gerwani. Menurut aktivis Gerwani, pelacuran bukan kesalahan perempuan, kondisi sosial dan ekonomi-lah yang memaksa mereka menjadi pelacur. Selain soal pelacuran, Gerwani juga aktif berkampanye melawan pornografi. Salah satu media penyebaran pornografi itu adalah media dan film-film. Namun, bagi Gerwani, penyebaran pornografi ini merupakan bagian dari strategi kebudayaan imperialis. Pornografi juga tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme.
Selain itu, kapitalisme menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan objek eksploitasi untuk kepentingan bisnis. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan ideologi seksisme yang berkembang di dalam masyarakat kapitalistik. Seksisme merupakan ideologi yang dikembangkan kapitalisme untuk mencari pembenaran atas tindakan mengeksploitasi perempuan, baik sebagai tenaga kerja murah, sebagai pasar, maupun sebagai komoditas. Di sini, Pornografi hadir karena pandangan seksisme dalam masyarakat kapitalis sangat membutuhkan media ekspresi yang dapat dikomoditaskan.
Gerwani juga melakukan jaringan yang luas dan kuat dengan organisasi perempuan internasional. Gerwani ikut serta dalam sebuah federasi perempuan internasional, Women International Democratic Federation (WIDF) yang didirikan tahun 1945. Gerwani juga turut berpartisipasi dalam Congress of Women di Paris. Adapun tujuan WIDF secara garis besar adalah memperjuangkan hak kaum perempuan sebagai ibu, pekerja dan warga negara, memperjuangkan hak anak-anak untuk hidup, kesejahteraan dan pendidikan, mendukung kemerdekaan nasional, penghapusan apartheid, diskriminasi rasial dan dan fasisme.
“Laki-laki dan perempuan ibarat dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Bung Karno, dalam buku “Sarinah”, h. 17/18 )
Hubungan diantara Gerwani dan WIDF awalnya sangat harmonis dan saling mendukung. Tetapi, semenjak tahun 1960, hubungan diantara keduanya mulai tegang dan puncaknya terjadi pada kongres WIDF 1963. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh meningkatnya militansi Gerwani dan makin dekatnya Gerwani dengan Tiongkok. Perselisihan pertama Gerwani dan WIDF terjadi pada permulaan 1960, beberapa bulan setelah Sidang Biro di Jakarta. Ketika itu isu Irian Barat begitu kuat. Gerwani yang ikut memobilisasikan kadernya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, dirasa tidak sesuai dengan asas WIDF yaitu perdamaian. Pada tahun 1963, hubungan Gerwani dengan WIDF semakin memburuk. Dalam kongres bulan Juni, timbul pertentangan karena mayoritas anggota hendak membawa organisasi ke arah ‘feminis dan pasifis’. Bagi Gerwani, tidak akan ada perdamaian selama imperialisme masih ada di dunia.
Depolitisasi Perempuan
Propaganda Orde Baru menjadi justifikasi ideologis atas apa yang mereka lakukan kemudian. Kudeta 1 Oktober bukan sekedar kudeta seorang Letkol Untung, lebih dari itu, Suharto dan Angkatan Darat menjadikannya sebagai legitimasi atas penghancuran PKI sampai ke akar-akarnya. Dalam waktu yang bersamaan, Suharto secara perlahan menyingkirkan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Orde Baru kemudian membangun citra baru atas kaum perempuan dan kembali mensubordinasi kedudukan mereka di dalam masyarakat. Dalam episode ini, hubungan gender di Indonesia di rekonstruksi secara amat kasar. Perjuangan Gerwani yang berjalan kurang lebih 15 tahun untuk memperoleh persamaan derajat perempuan dalam politik serta menghormati simbol dan militansi perempuan justru digambarkan Orde Baru sebagai bentuk pelanggaran terhadap kodrat perempuan. Kaum perempuan digiring perlahan untuk memasuki kodrat perempuan versi mereka. Kodrat dalam pengertian yang paling konservatif, yaitu lingkungan rumah tangga dan bidang sosial serta menjauhi hal-hal yang berbau politik. Dengan demikian, pemulihan order yang dilakukan Jendral Suharto berarti juga memulihkan dominasi laki-laki atas perempuan. Kaum perempuan harus tunduk kembali pada kodratnya di alam patriarki yang telah lama hadir di Indonesia.
Potret militansi organisasi kaum hawa yang sangat militan ini serta kebrutalan orde baru sebagai upaya sistematis untuk membunuh gerakan perempuan di Indonesia diurai dengan sangat apik oleh seorang penulis Belanda, Saskia Eleonora Wieringa dalam “The Politicization of Gender Relations in Indonesia : the Indonesian Women’s Movement and Gerwani until the New Order State” (1995).
Dalam era kapitalisme seperti saat ini, kaum perempuan juga merupakan korban eksploitasi demi akumulasi kapital. Buruh perempuan akan cenderung mendapat upah yang lebih murah daripada laki-laki karena mekanisasi yang ada saat ini memungkinkan mesin tidak lagi perlu dijalankan oleh laki-laki yang memiliki tenaga lebih. Selain itu, tunjangan-tunjangan di luar upah bagi buruh perempuan pun akan selalu lebih sedikit daripada buruh laki-laki. Alasan yang kerap dimunculkan juga berdasar asumsi perspektif patriarkhi yang kolot, bahwa perempuan bekerja karena keterpaksaan dan hanya untuk membantu suami (kepala keluarga) mencari nafkah. Perlawanan terhadap budaya partiarki adalah juga merupakan bagian dari perlawanan terhadap sistem ekonomi politik kapitalisme yang ada saat ini. Di tengah prahara seperti inilah, punahnya gerakan yang dimotori Gerwani setelah dibasmi secara brutal oleh para serdadu Orde Baru merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email