Potret buram pembinaan olahraga nasional, memang jadi cerita yang tak habis habisnya. Indonesia selalu terengah engah mengejar prestasi, jangankan tingkat dunia. Tingkat regional setara Asia Tenggara saja sudah kepayahan. Ada yang salah dalam sistem pembinaan dan menentukan cabang olah raga priotas. Pada Asian Games tahun 1962, cabang atletik sudah menyumbang medali medali emas.
Periode 70an dan awal 80an, selain Bulutangkis, cabang Tenis lapangan juga penyumbang rutin medali emas. Untuk itu Korea Selatan memohon, agar kita mengirim pelatih yang bisa mengajari mereka bermain Bulutangkis. Jadilah kita mengirim Olih Solichin ke negeri ginseng. Kini gantian, kita yang kerepotan jika menghadapi pebulutangkis Korea.
Tapi semuanya tidak penting. Jauh lebih penting mengurusi sepak bola, karena hanya sepak bola yang ‘ suatu saat ‘ mampu membawa keharuman nama Indonesia di pentas dunia. Tak perduli sepak bola gajah, tak perduli carut marut PSSI dan Pemerintah, tak perduli mafia. Ini adalah suara rakyat. Sepak bola adalah suara rakyat.
Suratin ketika mendirikan PSSI tahun 1930, dengan motivasi mewujudkan Sumpah Pemuda 1928 dengan berbasis nasionalisme. Ia selalu menekan kepada klub pribumi jangan sampai kalah bertarung dengan klub orang Eropa. Ini tidak salah, kita memang butuh semangat nasionalisme dalam kejayaan prestasi olahraga. Tapi dalam konteks kekinian, kita juga butuh uang. Mulai dari pembinaan sampai pensiun.
Bagaimana Cina yang tahun 70an bukan siapa siapa ? Kini begitu menakutkan negara negara adidaya olahraga di ajang Olimpiade. Mereka mendidik bibit bibit sejak usia dini, konsisten. Begitu pula apresiasi dari negara ketika mereka pensiun. Hidupnya dijamin seumur hidup. Gurnam Singh, peraih medali emas lari jarak jauh di Asian Games 1962, menghabiskan hari tuanya, dengan menggelandang di jalanan kota Medan.
Pembinaan olahraga sejak dini milik kita, misalnya hanya sekolah olahraga Ragunan yang merupakan warisan kumuh dari Gubernur Ali Sadikin era 70an. Lupakan cabang olahraga yang lebih dulu pernah membuat prestasi dunia. Kita tidak usah berbicara bulutangkis. Tapi ada Layar, Panahan, angkat besi bahkan tinju dan atletik. Bukankah Ferry Moniaga pernah masuk ke perempat final di Olimpiade Munich tahun 1972. Bukankah Purnomo masuk sampai semifinal 100 meter di Olimpiade Los Angeles 1984.
Entah siapa yang salah, kalau atlet pelatnas kita tidur berdempet dempetan di kamar yang bermodal kipas angin. Jatah peralatan yang tak pernah turun, bahkan sampai perhelatan olahraga dilakukan. Coba lihat carut marut atlet atlet bowling, balap sepeda menjelang SEA Games kemarin. Belum urusan uang saku yang tidak turun turun sampai keberangkatan.
Kisah ini juga terekam menjelang keberangkatan para atlet Indonesia yang berangkat ke Olimpiade Seoul, 1988. Ada ganjalan uang saku dari 29 atlet Indonesia yang bakal bertarung di pesta olah raga itu. Mereka akan turun di 11 cabang: anggar (2 atlet), atletik (5), angkat besi (5), gulat (2), menembak (1), panahan (4), renang (2), tenis (3), tenis meja (1), tinju (2), dan layar (2).
Yang diandalkan untuk membuat keajaiban di Negeri Ginseng itu ada pada 3 cabang: tinju, layar, dan panahan. Petinju Adrianus Taroreh, 22 tahun, yang akan turun di kelas bulu, tampaknya punya peluang yang cukup bagus. Sebagai pemegang medali perak Asian Games X 1986 Seoul.
Sedangkan atlet layar Eddy Sulistyanto, 26 tahun, dan Abdul Malik, 21 tahun, juga punya kans untuk mengguncang Pusan, kota pantai tempat berlangsungnya pertandingan. Apalagi kedua atlet kampiun Asia itu sudah akrab dengan deburan ombak di sana. Eddy di tempat itu pernah merebut medali emas kejuaraan Asia untuk kelas laser, pada tahun 1985.
Trio srikandi Indonesia, yang terdiri atas Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nurfitriayana, juga makin teruji dalam soal membidik sasaran dengan anak panahnya. Dalam uji coba mereka selama satu bulan lebih di Jerman Barat, Swiss, dan Singapura, ternyata mereka mampu bersaing dengan calon-calon lawannya yang bakal dihadapi di Seoul nanti.
Pada tahun 1988, dana yang dibutuhkan untuk membawa 50 orang itu seluruhnya mencapai Rp 324 juta. Untung saja, sejumlah sponsor mau merogoh koceknya untuk menyokong keberangkatan tim Indonesia. Termasuk pengelola kupon kupon sumbangan sosial yang berbau judi.
Sekalipun begitu, dana yang sudah terkumpul ini masih belum mencukupi kebutuhan di Seoul nanti. Sekjen KONI Pusat, Moh Sarengat masih harus mencari kekurangan sebesar Rp 34 juta. Menurut perhitungannya, biaya pengiriman kontingen ke Seoul memang cukup mahal. Setiap atlet menghabiskan ongkos Rp 8 juta. “Itu sudah termasuk uang saku dan board and lodging,” katanya.
Bung Karno memang menyebut olahraga sebagai salah satu aspek dari Revolusi Indonesia. Ini adalah bagian dari proses nation and character building. Selain sebagai alat membangun mental dan rohani manusia, olahraga juga menjadi sarana membangun karakter bangsa.
Bung Karno pernah berpesan di depan atlet Indonesia, sebelum ajang Asian Games tahun 1962 di Jakarta,
“ Engkau adalah olahragawan. Itulah kau punya wilayah, tetapi dedication of life-mu harus untuk Indonesia. Nah, inilah pesan yang aku berikan pada saat sekarang ini, dengan harapan agar kita nanti, bukan saja di dalam pertandingan-pertandingan Asian Games, tetapi seterusnya kita ini membangun suatu nation Indonesia, nation building Indonesia, yang membuat bangsa Indonesia bangsa yang mulia, bangsa yang tegak berdiri, bangsa yang bahagia.”
Tak ada target yang muluk muluk ditaruh di pundak mereka. Apalagi mereka harus bersaing dengan 160 negara peserta olimpiade lainnya. Moh. Sarengat, berbisik lirih mengharapkan terjadinya keajaiban di Seoul. “Miracle kalau kita dapat medali,” katanya setengah berharap.
Apakah Trio pemanah kita mendengar bisikan mantan peraih medali emas 100 meter atletik di Asian Games 1962 ini ?. Suara Bung Karno masih menggelegar meminta pembuktian revolusi Indonesia melalui olah raga.
(Blog-Imam-Brotoseno/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email