Tragedi di Karubaga, kabupaten Tolikara, Papua pada hari Raya Idul Fitri kemarin membuat kita kembali merenung makna persatuan di negeri yang majemuk ini. Kita terkejut dengan tindakan intoleransi.
Bagaimanapun hak hak rakyat untuk menjalankan kewajiban agamanya, harus dihormati oleh warga serta dilindungi oleh negara. Dari beberapa sumber pemberitaan, bahwa peristiwa berdarah serta pembakaran musala itu dipicu dengan surat edaran dari GIDI ( Gereja Injili di Indonesia ) terhadap komunitas Muslim disana. Yang mencengangkan dalam butir butir surat edaran terdapat larangan merayakan hari raya di wilayah Kabupaten Tolikara, termasuk menggunakan jilbab.
Adanya statement Presiden GIDI Dorman Wadigbo, (dilansir dari Merdeka.Com), “Gereja tidak melarang kegiatan ibadah umat Muslim di Wilayah Toli. Ini hanya kesalahpahaman dan miss komunikasi antara petugas Polres Tolikara. Jika saja Polres Tolikara melakukan upaya pemberitahuan kepada umat muslim mengenai PERDA yang berlaku di Tolikara. Kejadian tersebut tak akan sampai sejauh ini ”.
Kita belum tahu, apakah Tolikara memiliki Perda yang mengatur tata cara bagaimana menjalankan kewajiban agama bagi umat Muslim disana. Jika ini benar, sungguh merupakan pelanggaran terhadap hak hak asasi. Perda perda intoleran ini muncul sejak era reformasi. Ini dimulai dengan munculnya perda perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Majalah Tempo pernah menulis, setidaknya ada 150 perda berdasarkan syariah Islam – ada juga yang perda Kristen tapi jumlahnya sedikit.
Dengan perkecualian di Aceh, sebenarnya Perda perda ini bertentangan dengan UU Pemerintah Daerah. UU ini dengan tegas mengatakan masalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, bidang yudisial dan agama merupakan wewenang absolut Pemerintah pusat.
Sebagaimana dikutip dari Tempo. Kabupaten Manokwari pernah mengeluarkan Rancangan peraturan daerah pembinaan mental dan spiritual. Publik lebih mengenal sebagai rancangan peraturan daerah kota Injil, disingkat Raperda Injil. Gara gara peringatan kedatangan penginjil Carl Ottow dan Johann Geissler dari Jerman di pulau Mansinam – 3 kilometer dari pelabuhan Manokwari, sebagai tonggaknya masuknya Kristen di tanah papua. Maka sebutan kota Injilpun tersemat, disusul ramai ramai memajang Gambar Yesus berukuran 5 meter x 3 meter di simpang tiga pusat kota. “ Selamat datang di kota Injil “.
Pemerintah daerah mengajak tokoh gereja, juga akademikus dari Universitas Cendrawasih, Universitas Papua dan Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Indonesia, berembuk membahas peraturan Raperda Inji itu. Akhir pertemuan tersusun 40 pasal. Sebagian mengatur pasal pasal umum seperti larangan prostitusi dan minuman keras. Namun terselip larangan pemakaian jilbab, azan dan kegiatan non gereja setiap ahad dan melarang penerbangan di hari ibadah Kristiani. Ada juga kewajiban memasang simbol salib di kantor Pemerintah.
DPRD Manokwari lalu bergerak melalukan studi banding ke Aceh. Sebanyak 13 orang anggota dewan terbang 4300 km untuk mempelajari pemberlakuan syariah Islam di serambi Mekah.
Melihat hanya muslim yang wajib menjalankan syariah, euphoria kota injil di benak mereka mulai goyah. Gerejapun berdiri di Aceh. “ Ini bikin kami berpikir dua kali “ kata komisi B, Daud Indow. Demikian pula wakil bupati Robert Hammar juga setuju, bahwa sebuah beleid tak sepatutnya melarang azan dan jilbab.
Namun ide itu keburu tersebar, dan berbagai kalangan ngotot meminta disahkan. Ketua panitia yang merancang peraturan ini, yang merangkap sebagai Ketua Badan Koordinasi Antar Gereja di Papua Barat, Pendeta Sherly Parinusa mendesak dengan alasan “ Disini pertama kali Firman Tuhan masuk Papua, tidak salah kalau dijadikan aturan “. Dukungan agar Perda ini diberlakukan juga datang dari Ketua Dewan Adat Papua wilayah Manokwari, Barnabas Mandacan.
Penolakan datang dari warga muslim yang jadi minoritas. Ketua Majelis Muslim Papua barat Haji Abdul Rahim Manary mengatakan aturan itu berpotensi menimbulkan konflik, karena memberi tembok pemisah antar warga. Namun sejak dibawa ke Jakarta, Raperda Injil seolah dibiarkan menggantung tanpa pernah disahkan.
Sementara itu perda syariah juga menuai kontroversi. Setara Institute pernah menyatakan, jika kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia telah banyak dilanggar, dimana salah satu pemicunya adalah kehadiran Perda Intoleran ini. Selama tahun 2013, terdapat 292 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia.
Penelitian Michael Buehler – Guru besar Universitas Northern Illiniois – ternyata sebagian besar bukan Partai Islam yang merancang Perda Syariah. Justru politikus yang berafiliasi dengan Partai sekuler – dan punya karier panjang di birokrasi, seperti Golkar, PDIP, TNI, dan Kepolisian yang merancang, mengadopsi dan menerapkan perda perda syariah. 70 % perda syariah lahir dari walikota atau Bupati yang berasal atau didukung dari Partai Golkar, PDIP atau birokrat eks TNI/ Polri. Konkretnya 7 dari 33 propinsi dan 51 dari 510 kabupaten mengadopsi satu perda syariah sejak 1999 sampai 2009. Di DPRD semua propinsi, yang paling getol perda syariah adalah Golkar dan PDIP – kecuali di Propinsi Aceh. Kesimpulan afiliasi politik tidak ada hubungannya dengan Perda syariah.
Golkar yang berjaya di Pemilu 2004, menang dalam pembahasan perda syariah di 14 kabupaten. Hal yang sama dengan PDIP yang menang dalam pemilu 1999, memperjuangkan perda syariah di 8 kabupaten. Dua partai Islam, PAN dan PPP menelurkan Perda syariah di 7 Kabupaten dalam periode 2004 – 2009.
Adapun PKS yang dianggap biang penerapan perda syariah, tak punya suara mayoritas di satu DPRD pun. Singkatnya partai sekulerlah yang mendominasi DPRD dalam menerbitkan perda syariah.
Perda syariah adalah buah kerja sama calon pemimpin yang tidak berakar dan tokoh tokoh lokal yang dapat memobilisasi massa dalam kampanye pemilihan kepala daerah. Aturan aturan itu merupakan tanda terima kasih calon terpilih kepada tokoh tokoh yang mendukungnya.
Beberapa perda syariah menciptakan secara de facto monopoli atas distribusi alcohol. Lebih dari 20 kabupaten telah mengeluarkan perda pengumpulan zakat. Para kepala daerah mendapatkan kekuasaan tak terbatas dalam pengumpulan dan pembagian amal ‘ relijius ‘. Sebagian mereka menggunakan dana ini untuk membangun kesetiaan dari pendukungnya. Mantan Walikota Makasar Ilham Arief Sirajudin menyampaikan bahwa perda zakat menghasilkan setidaknya 2 Milyar setiap bulan.
Melalui kongkalikong ini lahir aturan baru yang seolah olah punya potensi luhur memperbaiki moral bangsa yang terpuruk. Lahirnya peraturan syariah barangkali lebih efektif ketimbang dakwah para kiai di kampung kampung, karena peraturan itu menggunakan kekuasaan untuk memaksa pasangan yang mau menikah agar belajar membaca Al-Quran. Namun kemungkinan besar peraturan itu tetap tak bisa menjawab persoalan substansial bangsa ini seperti kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan dan korupsi. Ini menjelaskan bagaimana Perda ini akhirnya tidak pernah bisa menjadi landasan hukum yang dihormati.
Bahkan sebagian besar peraturan ini tidak bisa berjalan efektif, Misal di kawasan wisata seperti pantai Bira, yang masuk wilayah administrasi Bulukumba. Disini minuman alkohol dan bir masih dijual bebas untuk para wisatawan. Sama seperti di Aceh, Qanun yang mengatur larangan menjual minuman alcohol ternyata tidak sepenuhnya bisa diterapkan di wilayah Pulau We yang terkenal dengan wisata baharinya. Bahkan beberapa pantai masih terbuka untuk perempuan memakai bikini.
Gorontalo – ketika masih dijabat Fadel Muhammad – pernah mengeluarkan perda syariah larangan perempuan untuk keluar rumah sendiri. Tapi setelah disahkan, perda itu hanya menjadi macan kertas. Tak ada aparat pengawas dan pelaksananya. Walhasil Gorontalo masih tetap seperti biasa, para perempuan bisa keluar rumah malam malam.
Di Garut, peraturan syariah yang diterapkan Bupati tentang kewajiban pegawainya untuk memakai busana muslim, juga hanya dipatuhi pada jam kantor. Selepas jam kantor, Sisika seorang pegawai dinas Kesehatan, melepas jilbabnya.
Pemerintah dengan hak ‘ executive review ‘ bisa mencabut dan membatalkan Peraturan Daerah (Perda) bermasalah. Ini bagian kewenangan ppemerintah pusat terhadap pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Ini bertujuan agar Perda memberikan kepastian hukum, serta bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat
Pada akhirnya kita harus mengingat pidato Bung Karno di depan sidang BPUPKI, saat menjelaskan fondasi negara yang akan dibentuk.
“Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”.
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
“Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua.”
(Blog-Imam-Brotoseno/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email