Pesan Rahbar

Home » » Bagaimana Bisa Bung Karno menyetujui Peraturan Rasis?

Bagaimana Bisa Bung Karno menyetujui Peraturan Rasis?

Written By Unknown on Sunday, 27 March 2016 | 20:02:00


Aksi demo ( sebagian ) mahasiswa terhadap Pemerintahan Jokowi, menarik perhatian karena ada organisasi KAMMI yang mengusung sentimen keberpihakan kepada pribumi. Ini dianggap sebuah kampanye rasis, sehingga ada yang mention saya di TL untuk memperbandingkan dengan kebijakan jaman Presiden Sukarno.
Tepatnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 / 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.

Peraturan yang diberlakukan mulai 1 Januari 1960, serta merta mematikan para pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Lebih jauh lagi, menggoncangkan sendi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia, karena saat itu UU Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga membuat kebingungan mana yang waga asli dan warga asing.

Orang Tionghoa tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun dilarang tinggal di tempat tersebut. Penguasa milter dengan sewenang wenang mengusir warga Tionghoa. Mereka yang diusir, bukan orang Tionghoa asing, tetapi juga orang orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.

Dampak dari kebijakan ini, ada 136 ribu lebih warga Tionghoa menuju daratan Tiongkok, setelah Pemerintah RRT mengirim kapal dan mengundang mereka kembali ke tanah leluhur. Banyak kisah penderitaan mereka yang pindah akhirnya tidak betah, karena kendala bahasa serta budaya. Merasa tidak betah, mereka berusaha keluar dari daratan Tiongkok dan bermukim di Hongkong. Kisah kisah ini bergulir di Indonesia sehingga menurunkan minat mereka yang ingin pindah, sampai akhirnya surut sama sekali di akhir tahun 1960an.

Pertanyaannya, apakah Bung Karno telah bersikap rasis ? Padahal beliau memiliki banyak teman atau bahkan menteri menteri dalam kabinet Pemerintahannya yang berasal dari golongan Tionghoa.

Dalam pidato 1 Juni 1945. Bung Karno telah menekankan makna persatuan philosophische grondslag. Sebagaiman dia katakan,
… mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?..

Ini bukan kebetulan, bahwa nama Lim Koen Hian – disamping nama Baswedan – disebut berulang ulang oleh Bung Karno dalam pidatonya tentang dasar negara dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki tgl 1 Juni 1945.

Dua nama tersebut bisa menjadi sosok identitas ‘ bukan pribumi ‘ dalam sebuah bentukan negara baru. Satu keturunan Tionghoa dan satu lagi berasal dari Arab.

Tetapi ada kisah yang menarik dibalik pemberlakuan peraturan itu. Rupanya peraturan itu sengaja dikeluarkan ketika Bung Karno di luar negeri dalam lawatan ke Jepang. Saat peraturan itu dikeluarkan, banyak tokoh yang memprotes, bahwa peraturan seperti itu tidak bisa keluar dari seorang menteri, tapi harus sebuah produk hukum yang disahkan DPR. Ketika kembali ke Indonesia, Bung Karno sangat marah kepada Menteri Rachmat Muljomiseno yang asal NU, sehingga dalam kabinet yang dibentuk setelah 5 Juli 1959, dia tidak diikutsertakan lagi

Kenapa akhirnya Bung Karno menyetujui, mungkin karena desakan militer dan partai partai Islam. Pada umumnya perdagangan eceran di daerah pedalaman dikuasai pedagang Tionghoa yang telah berpengalaman dan turun termurun, sehingga menyulitkan bagi pedagang pedagang Islam yang baru bermunculan. Para pedagang Islam yang umumnya berafiliasi dengan NU dan Masyumi merasa sulit bersaing, sehingga dengan adanya peraturan itu akan menguntungkan mereka.

Tapi tidak hanya partai partai Islam yang mendesak Bung Karno. Golongan Nasionalis juga meyakinkan Bung Karno untuk berpihak kepada kaum pribumi berdasarkan sejarah penindasan pribumi. Sehingga melihat PP 10/1959, kita tidak bisa meletakkan dalam kacamata kekinian, kita harus melihat sejarah sejak masa penjajahan. Bagaimana Belanda membagi 3 golongan masyarakat di hadapan hukum, yakni Golongan Eropa, Golongan Indonesia dan Golongan Timur Jauh.


Belanda menggunakan masyarakat golongan Timur Jauh, khususnya keturunan India, Arab, dan Cina. untuk menjadi perpanjangan tangan penjajah untuk menguasai perekonomian rakyat, termasuk disini kekuatan kapital.

Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia menyadari bahwa orang Indonesia yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit. Hampir 90% penduduk Indonesia buta huruf. Kaum pribumi pun tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin bersaing dengan perusahaan asing dan Tionghoa.

Setelah persetujuan di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang salah satu isinya menyatakan bahwa Indonesia akan mengembalikan semua perusahaan asing yang telah diambil alih kepada pemiliknya. Sebagai gantinya untuk memperkuat ekonomi pribumi maka pemerintah Indonesia diberikan hak untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan “golongan ekonomi lemah”. Kelak diluncurkan program ‘ Benteng ‘ untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha pribumi, terutama untuk lisensi impor barang barang komoditi. Program ini akhirnya hanya melahirkan pat gulipat yang disebut ‘ Ali Baba ‘, yakni antara pengusaha pribumi yang mempunyai akses tapi miskin modal, dengan pengusaha Tionghoa yang memiliki modal.

Pada akhirnya pelaksanaan PP 10 menimbulkan dampak merugikan bagi perekonomian bangsa. Daerah daerah yang ditinggalkan pedagang Tionghoa mengalami kelangkaan barang barang pokok, sehingga harga membumbung tinggi. Para pedagang Islam atau koperasi ternyata tidak dapat mengisi kekosongan jaringan distribusi yang ditinggalkan pedagang Tionghoa. Demikianlah peraturan yang sangat rasialis akhirnya berakhir tragis.

(Blog-Imam-Brotoseno/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: