Pesan Rahbar

Home » » Akibat Abu bakar-Umar-Usman cs tidak tundukpatuh kepada Rasulullahlah hingga semua Imam yang diutus kecuali Imam Mahdi, dibunuh dan diracun oleh Penguasa Bani Umaiyah (mulai dari Muawiyah bin abi Sofyan) dan Penguasa Bani Abbaisiah

Akibat Abu bakar-Umar-Usman cs tidak tundukpatuh kepada Rasulullahlah hingga semua Imam yang diutus kecuali Imam Mahdi, dibunuh dan diracun oleh Penguasa Bani Umaiyah (mulai dari Muawiyah bin abi Sofyan) dan Penguasa Bani Abbaisiah

Written By Unknown on Tuesday 28 October 2014 | 16:26:00

“Saat ini tercatat 400 juta orang yang mengikuti jalan Ahlul Bait “

Sesungguhnya akibat tidak tundukpatuh kepada Rasulullahlah hingga semua Imam yang diutus kecuali Imam Mahdi, dibunuh dan diracun oleh PenguasaBani Umaiyah (mulai dariMuawiyah bin abi Sofyan) dan Penguasa Bani Abbaisiah.

Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara.

Memang antara Sunnah dan Syiah walaupun dikupas dan diplitur tetap berbeda. Kuncinya adalah Hadist Saqalain: “Kutinggalkan kepadamu dua perkara, yaitu Al Qur-an dan keluargaku dimana kalau kamu berpegang teguh pada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya sampai menemuiku di pancutan Kautsar”.


Andaikata seluruh orang yang mengaku diri Muslim memahami konsekwensi daripada Hadist ini, pasti berkesimpulan bahwa Syiah Imamiah 12 lah yang benar.

Sayangnya ketika Muawiyah yang sesat melawan Khalifah yang sah (baca Imam Ali as) memalsukan hadist tersebut melalui tangan Abu Hurairah cs hingga berbunyi:”Kutinggalkan kepadamu dua perkara, yaitu Al Qur-an dan Sunnahku dimana kalau kamu berpegang teguh kepada keduanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya”.

Apa perbedaan yang significan antara kata “keluarga Rasul” dan “Hadist”? Yang pertama berfungsi sebagai filter dimana hadist nabi terjaga dari pemalsuan tangan jahil hingga Islam tidak akan pecah dijaman kita ini. Andaipun terpecah pasti mayoritas memahami mana golongan atau firqah yang redha Allah dan Rasulnya.

Sayang akibat ada pihak yang menggantikan kata keluarga Rasul dengan Hadist, semua pihak dapat mengklaim bahwa hadist mereka saheh sebagaimana banyak hadis di Bukhari dan Muslim mengklaim sebagai hadist saheh. Ketika kita analisa ternyata banyak hadist di Bukhari dan Muslim yang bukan saja palsu tapi memalukan Rasul sendiri.

Sebagai contoh ada hadist yang bahwa Rasulullah menaikkan Aisyah diatas kuduknya agar dapat melihat permainan dengan jelas.

Sebagai orang biasa yang masih punya rasa malu saja tidak mungkin melakukan hal seperti itu didepan khalayak ramai, konon pula Rasulullah, betapa anehnya pihak yang mengklaim hadist mereka saheh? Ini persoalan serius tetapi hemat saya kurang baik kalau terlalu panjang. Justeru itu kita cukupkan disini saja dulu.

Al Qur-an itu tidak dapat dipahami tanpa pendampingnya. Pendamping Qur-an adalah Imam Ali, Fatimah az Zahara, Hassan dan Hussein. nabi berkata: “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).

Hadis diatas adalah hadis Tsaqalain, disebut Tsaqalain karena berarti dua peninggalan yang berat, berharga atau dua pusaka. Hadis ini menjelaskan tentang wasiat Rasulullah SAW kepada umatnya agar tidak sesat dengan cara berpegang teguh kepada Al Quran dan Itrati Ahlul Bait Rasul as. dan Kedua hal tersebut yang dimaksud dengan At Tsaqalain atau dua peninggalan yang berharga. Kebanyakan dari umat muslim lebih sering mendengar hadis dengan redaksi yang berbeda yaitu:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”(Hadis riwayat Malik dalam Al Muwatta dan Al Hakim dalam Al Mustadrak As Shahihain).

Hadist tersebut memiliki sanad yang dhaif dan yang lshahih adalah hadist dengan redaksi wa itraty ahlul baity atau hadist Tsaqalain. Walaupun pada dasarnya Kitabullah dan Sunah Rasulullah saww adalah dua sumber hukum yang mutlak bagi umat Islam dan hal ini telah ditetapkan dengan dalil yang qathi dari Al Quranul Karim. Sebenarnya tidak diragukan lagi bahwa hal ini bersifat pasti kebenarannya, tetapi yang ingin ditekankan disini bahwa Rasulullah saww telah berpesan kepada ummatnya untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan Ahlul Bait Rasul as, karena redaksi inilah yang sanadnya shahih Sedangkan redaksi Kitabullah dan Sunah RasulNya memiliki sanad yang dhaif .
______________________________________

ANALISIS HADIS “KITAB ALLAH DAN SUNAHKU”

Al Quranul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam. Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).

Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).

Jadi Sunnah Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia. Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu

Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh.”.

Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan) ataupun dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty” yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang tidak shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis ini.


Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik, Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At Tamhid Syarh Al Muwatta Ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq Al Muhriqah Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm dan Tarikh At Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedhaifannya.

Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu
1. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal
2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung


Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al Muhriqah, dan Tarikh At Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya

Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda” Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.

Dalam Al Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.


Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya:

Al Baihaqi dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada “ Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.

Selain pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi SAW melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada satu orang perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.

Al Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunah NabiNya”.

Hadis ini tidak berbeda dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.


Sebuah Pembelaan dan Kritik

Hafiz Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.

Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”

Hadis ini sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut catatan anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………). Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-‘Aziz Sagheir Hadis Mursal baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.

Hasan ‘Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis). Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.

Nampaknya al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya, terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.

Kritik kami adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata kata Hasan Al Bashri

“Jika empat shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis itu saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau lebih”.

Tetapi adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu:
"Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat."

Dengan kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.


Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar 93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.


Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu Hajar berkata:
”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.

Lihat baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya karena terdapat dalam Al Muwatta.


Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah
1. Jalur Ibnu Abbas ra
2. Jalur Abu Hurairah ra
3. Jalur Amr bin Awf ra
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra


Jalan Sanad Ibnu Abbas

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.

1. Ibnu Abi Uwais
a. Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong. Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”
b. Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.
Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.

Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.

2. Abu Uwais
a. Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”. Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
b. Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.

Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata ”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.


Jalan Sanad Abu Hurairah ra

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.

Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
1. Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkata hadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
2. Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
3. Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).
4. Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
5. Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.


Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif. Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.

Mengapa para ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada “Kitab Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat cacat pada salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.

Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya. Selain itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.


Jalan Sanad Amr bin Awf ra

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telahmenghadiskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya.

"Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya."

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah .
1. Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
2. Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
3. Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
4. Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
5. Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
6. Dalam Kitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
7. Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
8. Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
9. Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
10. Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”

Jadi hadis Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.


Jalur Abu Said Al Khudri ra

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri ra.
Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
1. Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
2. Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
3. Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh zindiq dan seorang pemalsu hadis.
4. Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan apa-apanya.

Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan tidak diikuti seorangpun.

Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para ulama.


Hadis Tersebut Dhaif

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan SunahKu”.

Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih Walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.


Tanggapan Terhadap Ali As Salus

Pernyataan pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta ini adalah tidak shahih. Pernyataan Selanjutnya Ali As Salus bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.

Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan:
1. Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
2. Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.

Mengenai pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan Beliau menshahihkannya. Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih karena cacat yang jelas pada perawinya.


Begitu pula pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat Beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang Beliau nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan Beliau menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah hadis yang dhaif.

Salah satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908.

Nabi Isa pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba.Sesungguhnya Setiap manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan kalian”.

Riwayat ini dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.

Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini:
”sekali lagi saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang menyesatkan dan tidak ayal lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata dinisbatkan kepada Beliau padahal Beliau terbebas darinya”.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini shahih hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.


Yang Aneh adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” sanad-sanadnya tidak shahih seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.


Jadi kalau hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah membandingkan kedua hadis tersebut dengan metode yang tidak berimbang. Untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut.

Wallahu’alam.

___________________________________________


Kondisi orang Islam di zaman kita ini sepertinya sama dengan kondisi ketika Imam Hussein dan keluarga Rasulullah di bantai di Karbala dulu. Ironisnya mereka mengaku orang Islam tapi ketika Imam orang Islam ditindas mereka diam seribu satu bahasa.

Islam Masa Imam Ali :
Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.

_______________________________

PARA SAHABAT YANG MEMBUNUH UTSMAN

Seseorang dari mazhab Wahabi menyebutkan, Muawiyah merasa bahwa pembunuh-pembunuh Amirul Mukminin Utsman bin Affan tidak boleh meneruskan perbuatan jahat mereka terhadap Islam. Muawiyah tidak berperang untuk kekuasaan pribadi. Ali tidak menyerahkan pembunuhnya kepada Muawiyah padahal terdapat bukti kuat dan konkret yang dimilikinya. Oleh karenanya, penduduk Syam bergabung dengan Muawiyah memerangi Ali.

Tidak mengherankan apabila saudara Wahabi ini melupakan perkataan Nabi Muhammad tentang takdir orang-orang yang akan memerangi Imam Ali yang dicatat dalam kitab-kitab yang mereka anggap shahih dan berpegang pada apa saja yang dipalsukan oleh pemimpin yang munafik, Amirul Munafiqin Muawiyah sendiri. Namun demikian, kami tidak perlu mengharapkan apapun dari Wahabi ini.

Pernyataan yang menyatakan bahwa Muawiyah bangkit memerangi khalifah yang sah pada zamannya dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslim untuk menuntut balas kematian Utsman adalah kebohongan. Sekiranya Muawiyah berpikiran demikian, pertama-tama ia harus membunuh pemimpin pasukannya lebih dulu dan banyak pembantupembantunya karena sejarah Sunni membuktikan bahwa orang-orang yang membunuh Utsman adalah sahabat-sahabat dekat Muawiyah, dan juga musuh-musuh Imam Ali. Faktanya adalah pemimpin licik yang haus kekuasaan ini memerlukan dalih untuk perbuatan jahatnya, dan hal ini tidak aneh bagi Muawiyah. Sebagaimana yang akan dilihat dalam sumber hadis Sunni berikut ini, orang-orang yang memberontak menentang Utsman adalah orang-orang yang maju ke depan pertama kali untuk menuntut balas dengan satu niat dalam benaknya, yaitu menjatuhkan kekuasaan Imam Ali.

Para sejarahwan Sunni menegaskan bahwa pemberontakan menentang khalifah diawali oleh orang-orang berpengaruh di antara para sahabat. Kelemahan Utsman dalam mengatasi persoalan negara menyebabkan banyak sahabat yang menentangnya.

Tentu saja hal. ini menimbulkan perebutan kekuasaan di antara para sahabat yang berpengaruh di Madinah. Sejarahwan Sunni seperti Thabari, Ibnu Atsir, dan Baladzuri serta masih banyak lagi memberikan hadis yang menegaskan bahwa para sahabat ini adalah orang-orang pertama yang mengajak yang lainnya, tinggal di kota lain untuk bergabung melakukan pemberontakan kepada Utsman. Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika orang-orang melihat apa yang dilakukan Utsman, para sahabat Nabi di Madinah menulis surah kepada sahabat yang lain yang tersebar di sepanjang batas provinsi:

Kalian telah berjuang di jalanAllah, demi agama Muhammad. Ketika kalian tiada, agama Muhammad telah dirusak dan ditinggalkan. Maka kembalilah untuk menegakkan kembali agama Muhammad.

Kemudian mereka berdatangan dari segala penjuru hingga mereka membunuh Utsman.1

Sebenarnya, Thabari mengutip paragraf di atas dari Muhammad bin Ishaqbin Yasar Madani yang merupakan sejarahwan Sunni paling terkemuka dan penulis kitab - kitab Sirah Rasulullah. Sejarah mengungkapkan bahwa orang - orang berpengaruh ini merupakan kunci penggerak penentangan terhadap Utsman. Mereka di antaranya Thalhah, Zuhair, Aisyah binti Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf, dan Amru bin Ash.


Thalhah bin Ubaidillah

Thalhah bin Ubaidillah adalah satu penggerak utama menentang Utsman dan orang yang berkomplot dalam kematiannya. Kemudian ia menggunakan peristiwa itu membalas dendam kepada Ali dengan mengobarkan perang saudara yang pertama kali terjadi dalam sejarall Islam (Perang Unta). Berikut ini beberapa paragraf dari Thabari dan Ibnu Atsir untuk membuktikan pendapat di atas. Di bawah ini paragraf pertama yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (di beberapa naskah, paragraf ini diriwayatkan oleh Ibnu Ayash).

Aku memasuki rumah Utsman (ketika pemberontakan terhadapnya terjadi) dan berbincang dengannya selama satu jam. la berkata, "Kemarilah Ibnu Abbas/Ayash!" la mengamit tanganku dan menyuruhku mendengar apa yang tengah diucapkan orang di depan pintunya. Kami mendengar beberapa orang berkata, "Apa yang engkau tunggu?" Sedang lainnya berkata, "Tunggu, mungkin ia akan bertobat!" Kami berdua berdiri di sana (di belakang pintu dan mendengar mereka). Thalhah bin Ubaidillah lewat dan berseru, "Mana Ibnu Udais?" Dijawab, "la ada disana." Ibnu Udais mendekati Thalhah dan membisikkan sesuatu padanya, lalu ia kembali kepada kawan-kawannya dan berkata, "Jangan biarkan seorangpun masuk (ke rumah Utsman) untuk melihat lelaki ini atau meninggalkan rumahnya!" Utsman berkata kepadaku, "ltu adalah perintah Thalhah." la melanjutkan, "Ya Allah, lindungilah aku dari Thalhah karena ia telah membangkitkan umat untuk menentangku! Ya Allah, aku berharap tidak terjadi sesuatu, dan darahnya sendiri akan tertumpah. Thalhah telah menganiayaku secara tidak hak. Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Darah seorang Muslim halal menurut tiga perkara; kekafiran, perzinaan dan orang young membunuh tanpa hak halal menuntut balas kepada orang Lain.

Lalu atas alasan apa aku harus dibunuh?"

lbnu Abbas/Ayash melanjutkan, "Aku ingin meninggalkan rumah itu, tetapi mereka menghalangi jalanku hingga Muhammad bin Abu Bakar yang lewat meminta untuk melepaskan aku, dan mereka pun melepaskanku.2

Riwayat berikut juga mendukung bahwa pembunuhan Utsman dimotori oleh Thalhah, dan para pembunuhnya keluar untuk memberitahukan pemimpin mereka bahwa mereka telah membereskan Utsman.

Abzay berkata, 'Aku menyaksikan hari ketika mereka pergi untuk memberontak pada Utsman. Mereka masuk rumah lewat pintu dari kediaman Amru bin Hazm. Terdengar pertempuran kecil dan mereka masuk. Demi Allah, aku tidak pernah lupa bahwa Sudan bin Humran keluar dan aku mendengar ia berkata,''Mana Thalhah bin Ubaidillah? Kami telah membunuh Ibnu Affan!"3

Utsman dikepung di Madinah ketika Imam Ali sedang berada di Khaibar. Imam Ali datang ke Madinah dan melihat orang - orang terus berkumpul di kediaman Thalhah. Kemudian Imam Ali pergi menemui Utsman. Ibnu Atsir menuliskan,

Utsman berkata kepada Ali, "Engkau berhutang kepadaku hak keislamanku dan persaudaraan serta kekerabatan. Jika aku tidak memiliki hak ini dan jika aku berada pada masa-masa sebelum Islam, tetap akan memalukan bagi keturunan Abdu Manaf (keturunan Ali dan Utsman) untuk membiarkan seorang lelaki dari keturunan Tyme (Thalhah) merampas hak kami." Ali berkata kepada Utsman, "Engkau harus tahu apa yang aku lakukan." Kemudian Ali pergi ke rumah Thalhah.

Orang banyak berkumpul di sana. Ali berkata kepada Thalhah, 'Apa yang menyebabkanmu sehingga engkau terjerumus?" Thalhah menjawab, "Wahai Abu Hasan! Semua sudah terlambat!"4

Thabari juga meriwayatkan percakapan berikut antara Imam Ali dengan Thalhah ketika rumah Utsman dikepung. Ali berkata kepada Thalhah, "Aku meminta engkau agar orang-orang berhenti untuk menyerang Utsman." Thalhah menjawab, "Tidak, demi Allah! Tidak, hingga Umayah secara sukarela menyerahkan yang hak!" (Utsman adalah pemimpin Umayah)5

Thalhah bahkan tidak memberi air kepada Utsman. Abdurrahman bin Asawd berkata bahwa dia terus menerus melihat Ali menghindar dari Utsman dan bertindak seperti sebelumnya. Tetapi Abdurrahman tahu bahwa ia berkata - kata dengan Thalhah ketika Utsman dikepung hingga Utsman tidak diberi air. Ali sangat kecewa tentang hal itu hingga akhirnya air minum diberikan kepada Utsman.6

Kita perhatikan riwayat dari Perang Unta yang telah disebutkan dibanyak kitab - kitab sejarah dan hadis Sunni. Riwayat berikut membuktikan bahwa bahkan pemimpin Umayah seperti Marwan (yang bersama Thalhah) memerangi Imam Ali mengetahui bahwa Thalhah dan Zubair adalah pembunuh Utsman. Ulama Sunni mencatat bahwa Yahya bin Sa'id meriwayatkan :

Marwan bin Hakam yang berada di kelompok Thalhah, melihat Thalhah mundur (ketika pasukannya dikalahkan di medan perang). Karena ia dan semua Bani Umayah mengetahui bahwa ia dan Zubair adalah pembunuh Utsman, dia melepaskan panah kepadanya dan membuatnya terluka parah. la kemudian berkata pada Aban, putra Utsman, "Aku telah menyelamatkanmu dari salah satu pembunuh ayahmu." Thalhah dibawa ke sebuah reruntuhan rumah di Bashrah di mana ia wafat.7


Zubair

Zuhri, perawi Sunni terkemuka lainnya yang sangat terkenal karena kebenciannya kepada Ahlulbait, meriwayatkan percakapan antara Imam Ali dengan Zubair serta Thalhah sebelum dimulainya perang unta.

Ali berkata, "Zubair, apakah engkau memerangiku karena darah Utsman setelah engkau membunuhnya? Semoga Allah memberikan balasan setimpal kepada Utsman di antara kita akibat yang tidak disukai orang itu." Ali berkata kepada Thalhah, "Thalhah, engkau telah mumbawa keluar istri Rasul (Aisyah), memanfaatkannya untuk berperang sedangkan kau tinggalkan istrimu di rumah (di Madinah)! Bukankah engkau telah membaiatku ?" Thalhah berkata, "Aku membaiatmu saat pedang masih disarungkan di punggungku."

Pada saat itu Ali mengajak berdamai dan memaafkan mereka. Ali berkata pada pasukannya, "Siapa di antara kalian yang akan membawa Quran ini kepada pasukan musuh, apabila ia kehilangan satu tangannya, ia akan memegangnya dengan tangan yang lain...?" Seorang pemuda Kufah bangkit dan berkata, "Aku akan melakukannya." Ali berkeliling kepada pasukannya menawarkan tugas itu. Hanya pemuda Kufah itu yang menerimanya. Kemudian Ali berkata, "Tunjukkan Quran ini kepada mereka dan katakan kepada mereka. Kitab ini adalah perantara di antara kalian dan kami dari awal hingga akhir. Ingatlah Allah, dan selamatkanlah jiwa kami dan jiwa kalian!"

Usai pemuda itu menyerahkan kepada mereka untuk kembali pada Quran dan menyerahkan diri kepada kebenarannya, pasukan Basrit menyerang dan membunuhnya. Pada saat itu Ali berkata pada pasukannya " Sekaranglah saatnya peperangan diperbolehkan !" Lalu pecahlah perang tersebut.8

Sebagaimana yang terlihat hadis di atas, Imam Ali dengan jelas-jelas menyatakan bahwa Zubair adalah salah satu dari orang yang membunuh Utsman.

Sekiranya para pemberontak itu mengangkat Thalhah atau Zubair, bukan Imam Ali, menjadi khalifah, mereka akan memberikan hadiah yang besar kepada pembunuh Utsman. Tentunya para pemimpin itu tidak menuntut balas atas darah Utsman, karena mereka sendiri yang ada di balik persekongkolan itu. Mereka berpura-pura melakukan hal itu sebagai cara menjatuhkan kekhalifahan Imam Ali.


Aisyah

Thalhah dan Zubair bukan hanya orang-orang yang berkomplot memerangi Utsman. Sejarah Sunni mengungkapkan bahwa sepupu Thalhah, Aisyah, berkomplot dan berkampanye memerangi Utsman. Paragraf berikut yang juga berasal dari Tarikh at-Thabari, juga menunjukkan persekongkolan Aisyah dengan Thalhah dalam menjatuhkan Utsman.

Ketika Ibnu Abbas sedang pergi ke Mekkah, ia melihat Aisyah berada di as-Sulsul (7 mil di utara Madinah). Aisyah berkata, "Wahai Abu Abbas, aku mengajak engkau demi Allah untuk menjatuhkan lelaki ini (Ustman) dan menabur benih keraguan di antara orang-orang mengenai dirinya, karena engkau memiliki lidah tajam. Orang-orang telah menunjukan kebersetujuan mereka, dan pelita menunjuki mereka. Aku melihat Thalhah mengambil kunci harta umat dan Baitul Mal. Jika ia menjadi khalifah (setelah Utsman), ia akan menapaki jejak sepupu dari ayahnya, Abu Bakar."

Ibnu Abbas berkata,"Wahai Ummul Mukminin, jika terjadi sesuatu terhadapnya (Ustman), orang-orang akan mencari perlindungan hanya kepada sahabat kami (Ali). "Aisyah berteriak,"Diamlah! Aku tidak berminat berdebat denganmu atau menetangmu."9

Banyak sejarahwan Sunni meriwayatkan bahwa Aisyah suatu kali pernah menemui Utsman dan meminta bagian dari warisan Nabi Muhammad (setelah bertahun-tahun lamanya sejak kematian Nabi Muhammad). Utsman tidak memberi Aisyah uang tersebut dengun mengingatkannya bahwa ia adalah salah satu orang yang memberi kesaksian dengan mendorong Abu Bakar untuk tidak memberi warisan kepada Fathimah. Maka, apabila Fathimah tidak mendapatkan warisan, maka mengapa ia mendapatkannya? Aisyah menjadi sangat murka kepada Utsman dan ia keluar sambil berkata, "Bunuh Na'thal ini, karena ia telah menjadi kafir!"'10

Sejarahwan Sunni lain, Baladzuri, dalam kitab sejarahnya (Ansab al-Asyraf) berkata bahwa ketika situasi semakin memburuk, Utsman memerintahkan Marwan bin Hakam dan Abdurrahman bin Attab bin Usaid untuk membujuk Aisyah agar ia berhenti berkampanye menentangnya. Mereka menemuinya ketika ia tengah siap-siap pergi berhaji, mereka berkata kepadanya, "Kami berdoa semoga engkau berada di Madinah dan Allah akan menyelamatkan lelaki ini melalui engkau."

Aisyah berkata, "Aku telah mempersiapkan perbekalan dan perjalanan dan berjanji akan melaksanakan ibadah haji. Demi Allah, aku tidak akan mengabulkan permohonanmu. Aku berharap ia (Utsman) berada di salah satu tasku sehingga aku dapat membawanya. Lalu aku melemparkan ia ke laut."11


Amr bin Ash

Amr bin Ash (orang nomor dua di pemerintahan Muawiyah) adalnh salah satu penggerak yang berbahaya dalam menentang Utsman dan memiliki banyak alasan untuk bersekongkol melawannya. la adalah Gubernur Mesir pada masa khalifah Umar. Tetapi, khalifah ketiga, Utsman, menurunkannya dari jabatan dan menggantikannya dengan saudara tertuanya, Abdullah bin Sa'd bin Abu Syarh. Akibatnya, Amru sangat membenci Utsman. la kembali ke Madinah dan mulai berkampanye menentang Utsman, dengan menuduhnya banyak berbuat kesalahan. Utsman menyalahkan Amru dan ia berkata kepadanya dengan kasar. Hal ini bahkan membuat Amru semakin membencinya. la sering bertemu Zubair dan Thalhah lalu bersekongkol menentang Utsman. la sering menemui jemaah haji dan memberitahu penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Utsman. Menurut Thabari, ketika Utsman dikepung, Amru tinggal di istana Ajlan dan bertanya kepada orang-orang tentang keadaan Utsman.

Amru tidak meninggalkan tempat duduknya sebelum penunggang kuda kedua lewat. Amru memanggilnya, "Bagaimana keadaan Utsman?" Lelaki itu berkata, "la telah dibunuh." Kemudian Amru berkata, "Aku adalah Abu Abdillah. Bila aku ingin menggaruk luka, aku akan merobeknya (artinya bila aku menginginkan sesuatu, aku akan mendapatkannya). Aku telah menyulut umat untuk melawannya, bahkan para penggembala di puncak gunung." Lalu Salamah bin Raun berkata kepadanya, "Engkau, suku Quraisy, telah memutuskan ikatan yang kuat antara dirimu dengan orang-orang Arab. Mengapa kau lakukan hal itu?" Amru menjawab, "Kami ingin mengambil kebenaran dari tangan kejahatan, dan membuat orang-orang memiliki pijakan yang sama mengenai kebenaran."12

Para pemecah belah kaum Muslimin melupakan sesuatu yang terkenal dalam sejarah Islam yang diriwayatkan oleh perawi-perawi Sunni. Pemberontakan terhadap Utsman diakibatkan oleh usaha sahabat-sahabat yang berpengaruh di Madinah seperti Aisyah, Thalhah, Zuhair, Abdurrahman bin Auf, dan Amru bin Ash. Pembunuhan Utsman memberikan kambing hitam yang pantas bagi orang-orang telah memperebutkan banyak lagi kekuasaan, disaat mereka pun mengabdi kepada pemerintahan Utsman. Sebagian besar mereka adalah kerabatnya, Bani Umayah, seperti Muawiyah, Marwan yang memanfaatkan Utsman sebelum ia wafat dan sesudahnya.

Imam Ali berkata pada Perang Unta, "Kebenaran dan kebatilan tidakldapat dikenali dari kebaikan orang. Pahamilah kebenaran terlebih dahulu, engkau akan mengetahui siapa yang taat mengikutinya!"


Perubahan-perubahan yang Dilakukan Khalifah-khalifah Sebelumnya

Kepribadian Utsman (1): Tiadakah orang-orang yang lebih baik?' ` Di kalangan kaum Sunni terdapat sebuah ahman bahwa orang yang ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah akan selamat selamanya. Merekn tidak akan mendustai Nabi Muhammad dan tidak akan melakukan dosa besar. Hal yang samapun kadang-kadang dinyatakan kepada orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar. Mari kita terima saja dua aturan ini selama anda membaca artikel ini. (Hal ini sangat mengejutkan seolah-olah mereka adalah orang-orang suci).

Utsman Ibnu Affan, khalifah ketiga setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ternyata; 1) tidak ikut dalam perang Badar; 2) Melarikan diri di perang Uhud; 3) Tidak mengikuti perjanjian Hudaibiyah dan tidak menyaksikannya.

Kami ingin bertanya kepada anda;

1) Jika anda berpikir bahwa orang yang dimaksudkan hadis ini tidak benar, atau diputarbalikkan, atau sengaja disalahartikan, kemukanlah versi hadis yang anda miliki, beserta orang yang dimaksud pada hadis tersebut.

2) Bacalah hadis berikut! Bacalah secara teliti, apakah anda puas dengan jawaban Ibnu Umar dalam hadis ini! Bagaimanapun, jika 'ya' atau 'tidak', kajilah posisi utama di antara para sahabat Nabi. Contohnya, bagaimana anda membandingkan Utsman dengan para sahabat lain yang benar-benar ikut dalam perang Badar, yang tidak melarikan diri di perang Uhud, dan ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah. Jelaskanlah pendapat anda sehingga kami memahami pendapat anda mengenai Utsman!

3) Siapa saja yang melakukan hal-hal sebagai berikut pada saat yang sama? Turut serta dalam perang Badar, tidak melarikan diri dari perang Uhud, turut serta dalam perjanjian Hudaibiyah? Kami mengetahui berapa orang yang ikut serta dalam masing-masing perintah tersebut, tetapi hanya sedikit sekali yang ikut serta dalam ketiganya. Sebutkanlah nama-nama para sahabat tersebut, dan sumber rujukan anda.

4) Apakah orang-orang yang turut serta dalam ketiga hal tadi masih hidup ketika Umar wafat? Jika ya, mana yang menurut anda patut menjadi khalifah anda?
Dalam Shahih al-Bukhari hadis 48,14 diriwayatkan bahwa Utsman bin Muhim, orang Mesir yang datang dan berhaji ke Kabah melihat beberapa orang tengah duduk.

la bertanya, "Siapakah orang-orang ini?" Seseorang menjawab, "Mereka dari suku Quraisy." la bertanya lagi, "Siapa orang tua di antara mereka?" Mereka menjawab, "Dia Abdullah bin Umar." "Oh, Ibnu Umar! Saya ingin bertanya kepada anda tentang sesuatu, tolong beritahu saya! Apakah anda tahu bahwa Utsman melarikan diri pada perang Uhud? Apakah anda tahu juga bahwa Utsman tidak pula ikut perang Badar dan ia tidak ada di sana?" Ibnu Umar menjawab, "Ya."

Laki-laki itu bertanya, "Apakah anda tahu bahwa ia tidak ikut perjanjian ar-Ridwan dan tidak menyaksikannya?" Ibnu Umar menjawab, "Ya." Laki-laki itu berseru, "Allahu Akbar!" Ibnu Umar berkata, "Akan aku ceritakan semuanya (ketiga hal itu). Ketika ia melarikan diri pada perang Uhud aku bersaksi bahwa Allah telah mengampuninya, dan ketika ia tidak berperang pada perang Badar, itu karena putri Rasulullah, yang merupakan istrinya, tengah sakit. Nabi Muhammad berkata padanya,'Engkau akan menerima balasan yang setimpal dan Mendapat harta rampasan yang sama dengan orang-orang yang berperang (bila tinggal bersamanya).' Sedangkan ketika ia tidak hadir dalam perjanjian ar-Ridwan untuk berbaiat, disana telah ada orang yang lebih dipercaya dari pada Utsman (sebagai wakil) Nabi Muhammad pasti telah mengutus Utsman dan bukan orang itu. tidak diragukan, Nabi Muhammad telah mengutusnya dan peristiwa perjanjian ar-Ridwan terjadi setelah Utsman pergi ke Mekkah. Nabi Muhammad mengangkat tangan kanannya bahwa 'lni adalah tangan Utsman'. la mengangkat tangan kanan lainnya, "Perjanjian ini karena Utsman." Kemudian Ibnu Umar berkata kepada lelaki itu, "Ingatlah alasan ini olehmu!"

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 4359, diriwayatkan Ibnu Umar, "Utsman tidak bergabung dalam perang Badar karena ia menikah dengan salah satu putri Nabi Muhammad." Lalu, Nabi berkata kepadanya, "Engkau akan mendapatkan balasan dan menerima bagian (rampasan perang) yang sama dengan pahala dan bagian harta orang yang berperang di perang Badar."

Pertanyaan kami adalah bahwa alasan apapun yang dikemukakan Utsman untuk tidak bergabung dalam perang Badar bagaimana Sunni menilainya di antara sahabat lain yang bergabung dalam perang Badar? Berikut ini kami sajikan lagi referensi lain.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 5290, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, "Orang-orang beriman yang berperang dalam Perang Badar dan orang-orang yang tidak bergabung mendapatkan balasan yang tidak sama."

Ada ayat yang di turunkan berkaitan dengan Ali bin Abi Tllalib dan io diberi kedudukan khusus. Bacalah hadis berikut dan bandingkan dengan Utsman, di mana tidak ada ayat (berkenaan dengan perang Badar) yang turun untuknya, dengan ayat yang turun bagi Ali bin Abi T'halib.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 5304, diriwayatkan oleh Abu Mujlar. dari Qais bin Ubaid bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku adalah orang pertama yang bersujud kepada Allah, Yang Maha Pengasih untuk mendapat keputusan Allah pada hari kebangkitan."

Qais bin baid juga berkata, "Ayat berikut turun berkenaan denganya, " Dua orang mukmin dan orang kafir bermusuhan ini mempertengkarkan Tuhan mereka " (QS.al-Hajj : 19)".

Qais berkata bahwa mereka adalah orang-orong yang berpurong di perang Badar, yaitu Hamzah, Ubaidah/Abu Ubaidah bin Harits, Syaibah bin Rabi'ah, Utbah dan Walid bin Utbah.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 5305, diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa ayat 'Dua orang yang bermusuhan ini (mukmin dan kafir) berdebat satu sama lain mempertentangkan Tuhan mereka' (QS. 22:19), turun berkenaan dengan enam orang dari suku Quraisy, yaitu Ali, Hamzah, Ubaidah bin Harits, Syaibah bin Rabi'ah, Utbah bin Rabi'ah dan Walid bin Utbah.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 5306, diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa ayat '...Dua orang yang saling bermusuhan ini (orang mukmin dan orang kafir) berdebat mengenai Tuhan mereka' (QS. 22.19), turun berkenaan dengan mereka.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 5307, diriwayatkan oleh Qais bin Ubaid bahwa dia mendengar Abu Dzar bersumpah bahwa ayat ini turun bagi enam orang pada peristiwa perang Badar.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 5308, diriwayatkan oleh Qais bahwa dia mendengar bahwa Abu Dzar bersumpah bahwa ayat `... dua orang yang saling bermusuhan (orang mukmin dan orang kafir) mempertengkarkan Tuhan mereka' (22.19), turun berkenaan dengan orang-orang yang berperang pada perang Badar. Mereka adalah Hamzah, Ali, Ubaidah bin Harits, Utbah dan Syaibah, dua putra Rabi'ah dan Walid bin Utbah.


Melarikan Diri dari Perang Uhud

Untuk mengingatkan anda (tidak memberitahu anda), ada ayat dalam Surah Ali Imran yang menyatakan, "Orang-orang yang berpaling di antara kalian ketika dua kelompok bertemu hanya karena diperintahkan oleh apa yang telah mereka lakukan dan Allah mengarnpuni mereka."

Anda bahkan tidak bersusah-susah untuk melihat kitab suci Allah. Mungkin anda tengah membicarakan surah Ali Imran ayat 152 dan 155. Anda perlu membaca ayat 152-156. Kami berharap wafat bukan menjadi salah satu dari mereka. Allah mengampuni umat. Hal itu adalah karuniaNya. Allah telah mengampuni banyak sahabat ketika Nabi masih hidup.

Allah mengampuni tiga orang yang telah melarikan diri dari perang Tabuk. Apakah anda berangan - angan menjadi salah satu dari orang - orang yang tidak melaksanakan perintah Nabi Muhammad dan akhirnya Allah mengampuni mereka?

Akan tetapi pertanyaan kami bukan ini. Kami meminta anda untuk membandingkan orang-orang yang melarikan diri (bercerai berai) di perang Uhud dengan orang-orang yang tidak melarikan diri. Bagaimann anda menilai mereka?

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 4706, diriwayatkan oleh Jubair bin Mut'im:
Utsman Ibnu Affan pergi menemui Nabi Muhammad dan berkata, "Wahai Rasulullah! Engkau telah memberi harta kepada Bani Muthalib dan tidak memberi kami meskipun kami dan mereka memiliki hubungan yang sama denganmu!" Nabi berkata, "Hanya Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang merupakan satu keluarga."Kami harap anda dapat melihat dan memahami bahwa Nabi Muhammad memperlakukan Bani Hasyim dan Bani Muthalib berbeda dengan Utsman dan keluarganya. Sehingga, hubungan pernikahan antara Utsman dengan putri Nabi Muhammad sama sekali tidak berkaitan sedikitpun dengan maqam spiritual.


Membuat Hukum Islam Baru; Aturan Shalat dalam Perjalanan15

Setelah membaca hadis berikut anda akan mengetahui bahwa shalat Safar sebenarnya diperpendek dan Nabi Muhammad tidak shalat secara penuh ketika ia sedang dalam perjalanan singkat.

Abu Bakar dan Utsman melakukan hal yang sama;
Utsman melakukan hal yang sama di masa awal kekhalifahannya; Kemudian Utsman mengubah aturan shalat dalam perjalanan dan shalat secara penuh ketika dalam perjalanan;

Aisyah mengikuti aturan Utsman ini.

Pertanyaan kami: Atas perintah siapa, Utsman melakukan shalat Ketika dalam perjalanan secara penuh? Mengapa Aissyah mengikuti Ustman dalam hal ini?
Catatan penting: Jika anda ingin membaca buku Eiqih, lakukanlah secara bebas. Kami ingin anda mengajikan semua alasan mazhab Sunni dan menunjukkan bagaimana mereka memahami beberapa hukum Islam selain hadis ini dan kami ingin anda menegaskan hasilnya dengan hadis ini, kata demi kata.

Kami mengetengahkan beberapa hadis yang tidak memiliki kekecualian. Bahkan kami tidak memberi satupun kata kunci sehingga dapat menerapkan aturan ini dan itu hanya pada beberapa orang tertentu. Itulah sebenarnya yang anda lihat dalam hadis. Apabila anda membaca buku para ulama, anda akan menemukan bahwa mereka berkata hal ini dan hal itu untuk beberapa kasus dan mereka tidak menerapkannya pada siapapun. Kami ingin anda menunjukkan pada kami bagaimana anda tidak dapat memberlakukan hadis tersebut kepada seseorang. Kami ingin anda, memisah-misahkan hadis sepotong demi sepotong dan membuktikan apa yang telah anda dengar atau anda baca dari kitab-kitab para ulama. Kami telah memberikan hadis yang ash dan tidak menyebutkan nama ulama manapun, dan kami tidak peduli orang ini atau itu adalah ulama atau bukan. Kami hanya ingin anda menyebutkan bagaimana orang yang berilmu ini meramu kesimpulan di luar hadis-hadis mi.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2206, diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
Aku menemui Rasulullah dan ia tidak pernah melakukan shalat lebih dari dua rakaat ketika dalam perjalanan. Abu Bakar, Umar dan Utsman dulu biasa melakukan hal yang sama.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2717, diriwayatkan oleh Aisyah:
"Ketika shalat pertama kali diperintahkan, jumlah inasing-masing shalat adalah dua rakaat. Kemudian, shalat dalam perjalanan ditetapkan sebagaimana sebelumnya tetapi bagi orang yang tidak dalam perjalanan jumlah rakaat shalatnya tetap penuh." Zuhri berkata, "Aku bertanya kepada Urwah apa yang membuat Aisyah shalat secara penuh (ketika dalam perjalanan)." la menjawab, "la melakukan hal yang dilakukan Utsman."

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2188, diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar :
Saya melakukan shalat bersama Rasulullah, Abu Bakar, Umar di Mina dan jumlahnya dua rakaat. Utsman di masa awal kekhalifahannya melakukan hal yang sama, tetapi kemudian ia shalat dalam jumlah yang penuh.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2189, diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahab, "Nabi Muhammad mengimami kami shalat di Mina pada masa perdamaian sebanyak dua rakaat."

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2190, diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Yazid:
Kami melakukan shalat 4 rakaat di Mina yang diimami oleh Ibnu Affan. Abdullah bin Mas'ud diberitahu tentang hal itu. la berkata dengan sedih, "Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali." la menambahkan, 'Aku shalat dua rakaat di Mina bersama Rasulullah dan hal yang sama juga dilakukan Abu Bakar dan Umar (semasa kekhalifahan mereka). Semoga aku beruntung melaksanakan dua rakaat shalat dan la (Allah) menerimanya.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2195, diriwayatkan oleh Anas bin Malik, "Melaksanakan shalat empat rakaat bersama Nabi Muhammad di Madinah dan dua rakaat di Dzul Hulaifah (mengqashar shalat Ashar).


Mengubah Aturan Haji Umrah 16

Setelah membaca hadis tersebut anda akan menemukan bahwa:
Di haji terakhir Nabi Muhammad SAW, beberapa orang melaksanaknn ibadah umrah dan haji bersamaan;
Utsman melarang orang-orang melaksanakan umrah dan haji bersamaan pada masa kekhalifahannya;

Ali dengan tegas tidak sependapat dengan Utsman, dan memberi tahunya bahwa perintahnya bukan berasal dari sunnah Nabi.
Kami memiliki satu pertanyaan: Atas perintah siapa Utsman melarang orang-orang melaksanakan haji dan umrah bersamaan? Mengapa Utsman tidak menaati Nabi dalam hal ini? Seperti yang anda lihat, Utsman tidak menaati hadis Nabi. Menurut anda, apakah keputusannya benar?

Satu catatan penting: Cobalah baca buku fiqih anda, dan berikanlah alasan-alasan ulama Sunni! Telitilah hadis berikut satu demi satu dan rujukkanlah bagaimana anda memperoleh hasilnya! Karena kami telah mengetengahkan hadis yang asli, kami ingin anda mengemukakan semua pemahaman anda dari awal. Kami sangat mengutamakan pendapat perawi hadis-hadis ini dan tidak begitu mengutamakan pendapat para ulama. (Kami harus menambahkan bahwa anda sebaiknya meneliti secara cermat apa yang dikatakan para ulama karena kami mengetahui jenis hadis.yang akan anda berikan).

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2633, diriwayatkan oleh Aisyah:
Kami berangkat bersama Rasulullah (ke Mekkah) pada tahun haji Rasulullah yang terakhir. Beberapa orang dari kami menganggap ihram hanya untuk umrah, sedang beberapa orang lainnya menganggap ihram untuk umrah dan juga haji. Sedangkan yang lain menganggap ihram untuk haji. Maka, barangsiapa yang menganggap ihram untuk haji atau untuk haji dan umrah, ia belum menyelesaikan ihram hingga hari berkurban."

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2364, diriwayatkan oleh Marwan bin Hakam:
Saya melihat Utsman dan Ali. Utsman sering melarang orang-orang melakukan Haji Tamattu dan Haji Qiran (melaksanakan haji dan umrah bersam-aan) dan ketika Ali melihat (perbuatan Utsman) ia melakukan ihram untuk haji dan umrah secara bersamaan. la berkata, "Labaik, untuk umrah dan haji," dan berkata, "Aku tidak akan meninggalkan hadis Nabi karena ucapan seseorang."

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2640, Ali dan Utsman memiliki pendapat berbeda mengenai haji tamattu ketika mereka berada di Uafah (satu tempat di mekkah) Ali berkata, " Aku melihat engkau berniat melarang orang - orang untuk melakukan hal yang Nabi Muhammad lakukan?" Ketika Ali melihat hal itu, ia menganggap ihram bagi haji dan umarah.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2.642, diriwayatkan oleh Imran:
Kami melakukan haji tamattu ketika Rasulullah masih hidup. Kemudian, ayat Quran turun berkenaan haji tamattu. Seseorang (baca: UtsmanbinAffan) berkata bahwa yang ia inginkan (berkenaan dengan Hajj at-Tamattu) berasal dari pendapatnya sendiri.

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2747, diriwayatkan Abu Jamrah:
Aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang haji tamattu. la memerintahkanku untuk melakukannya. Aku bertanya tentang kurban. la berkata, "Engkau harus menyembelih unta, sapi atau domba, atau engkau akan membaginya dengan yang lain!" Nampaknya ada beberapa orang yang tidak menyukai haji tamattu. Aku tertidur dan bermimpi seolah-olah seseorang berkata, "Allah Maha Besar...(itulah) hadis Abu Qasim (Nabi Muhammad)." Diriwayatkan oleh Syu'bah bahwa seruan dalam mimpi itu adalah "Umrah yang diterima dan haji yang mabrur."

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 2638, diriwayatkan oleh Syu'bah, bahwa Abu Jamrah Nasr bin Imran Duba'i berkata:
Aku berniat melakukan haji tamattu dan orang-orang menganjurkan aku untuk tidak melakukannya. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai hal itu dan ia memerintahkanku untuk melakukan haji tamattu. Kemudian aku mendengar dalam mimpi seseorang berkata kepadaku, "Haji mabrur dan umrah diterima." Lalu aku bercerita kepada Ibnu Abbas tentang mimpi itu. la berkata, "Itulah hadis Abu Qasim." Kemudian ia berkata kepadaku, "Tunggulah sebentar, aku akan memberimu sebagian hartaku." Aku (Syu'bah) bertanya, "Mengapa (ia mengajakmu)?" la (Abu jamrah) berkata, "Karena mimpi yang aku lihat tadi malam."


Mengubah Hukum Zakat 18

Hadis berikut dengan jelas menunjukkan bahwa Utsman membuat beberapa aturan baru dalam pembayaran zakat. Ali tidak sependapat dengannya dan memberitahu Utsman apa yang Rasulullah tetap dalam aturan zakat. Utsman dengan jelas menyatakan bahwa ia tidak memerlukan hadis Nabi. Kami ingin meminta anda untuk menjelaskan mengapa Utsman melakukan hal yang bertentangan dengan hadis Nabi?

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 4343, diriwayatkan oleh Ibnu Hanafiyah:
Jika Ali berkata sesuatu yang buruk tentang Utsman, ia akan menyebutkan hari ketika beberapa orang menemuinya dan mengeluh tentang aturan zakat yang dibuat Utsman. Ali berkata padaku, "Pergilah, temui Utsman dan katakan padanya, 'Surah ini berisi aturan mengeluarkan sedekah menurut Rasulullah!' Oleh karenanya, sesuaikanlah aturan zakatmu dengannya!" Aku membawa surah itu kepada Utsman. Utsman berkata, "Ambillah, kami tidak memerlukannya!" Aku kembali kepada Ali dengan membawa surah itu dan memberitahu kejadian itu padanya. Ali berkata, "Letakkanlah di mana kamu mengambilnya!"

Diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Suqah:
Aku mendengar Mundzir Thusi menceritakan Ibnu Hanafiyah yang berkata, "Ayahku mengutusku." la berkata, "Bawalah surah ini kepada Utsman karena surah ini berisi perintah Nabi Muhammad mengenai aturan sedekah."

Sebagaimana kami nyatakan di artikel lain, surah ini menjadi terkenal sebagai kitab Ali bin Abi Thalib. Hadis lain dalam Shahih al-Bukhari juga menegaskan adanya surah tersebut.


Kepribadian Umar

Ketika Umar membuat aturan-aturan Islam yang baru menurut pendapatnya sendiri seperti yang anda lihat di referensi, ia berkata, "Ni'mah al-Bid'ah Hadza. "
Tahukah anda apa yang dilakukan Allah SWT terhadap orang-orang yang menciptakan aturan Islam yang baru, mengumumkannya kepada umat dan merasa bangga dengan hasil ciptaannya?

Dalam Shahih al-Bukhari hadis 3227, diriwayatkan olch Abu Hurairah:

Rasululah bersabda " Barang siapa yang shalat di malam hari sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan balasan Allah, semua dosa di masa lalunya akan diampuni."

Ibnu Syihab (perawi kedua) berkata, "Rasulullah telah wafat dan umat melihat shalat itu tetap demikian (nawafil sendiri, dan tidak berjamaah), dan hal itu tetap demikian semasa kekhalifahan Abu Bakar sampai awal kekhalifahan Umar."

Abdurrahman bin Abdul Qari berkata, 'Aku pergi menemani Umar bin Khattab di suatu malam Ramadhan ke Masjid. Di sana kami melihat orang-orang shalat dalam kelompok yang berbeda-beda. Seorang lelaki shalat sendirian atau yang lainnya shalat dengan sekelompok orang di belakangnya. Kemudian Umar berkata, "Aku lebih menyukai menyatukan orang-orang ini shalat dipimpin oleh seorang imam." Lalu, ia memutuskan untuk menyatukan mereka dalam shalat dengan imam Ubay bin Ka'ab.

Kemudian pada suatu malam lain, aku bersama lagi dengan Umar dan orang-orang tengah shalat berjamaah. Melihat hal itu, Umar berkomentar, "Betapa indah bid 'ah ini, shalat yang tidak mereka lakukan, tetapi tidur saat itu lebih baik daripada shalat yang mereka lakukan."


Kepribadian Umar: Aturan Mengenai Shalat lainnya

Hal ini berkenaan dengan mengacungkan jari telunjuk ketika shalat. Setelah mendengar persoalan ini, pertanyaan muncul di benak kami; 1) Siapa yang memulai dilakukannya praktik ini?; 2) Apakah hal ini dipraktikkan Rasulullah SAW?; 3) Jika dilakukan Rasulullah SAW, tolong sebutkan referensinya?; 4) Jika tidak, lalu bagaimana hal ini bisa terjadi?

Berikut ini jawaban kami: Umar adalah orang pertama yang memulai praktik ini. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ditemukan hadis yang menegaskan kebenarannya. Berikut adalah referensinya. Ia (Umar) sedang shalat, dan ketika mengucapkan ayat 'Maka sembahlah Tuhan pemilik Kabah!' la mengacungkan jari telunjuknya ke Kabah. Syah Waliyullah berkomentar bahwa gerakan seperti itu diperbolehkan dalam shalat.19

Di samping itu, kitab The Reliance of Traveller, tidak menyebutkan hadis ini dalam konteks ini (sejauh yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika memang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad, buktikanlah!


Apakah Terdapat Orang-orang Munafik di Antara Para Sahabat?

Kami memiliki beberapa pertanyaan sederhana dari saudara Sunni. Sebagian besar kalian menyatakan bahwa semua sahabat bukan orang munafik, tidak seorang pun dari mereka munafik. Mari kita terima dulu pendapat ini. Pertanyaan kami adalah; apakah terdapat orang-orang munafik di antara para sahabat?
Dengan kata lain, definisikanlah kata 'sahabat' dengan jelas dan secara terperinci?

Jelaskan bahwa sahabat seperti Abdullah bin Ubay, yang merupakan orang munafik yang paling terkenal, disebut sahabat atau bukan? Jelaskanlah apakah orang-orang munafik yang ada ketika Nabi masih hidup di antaranya adalah sahabat atau bukan?
Jika jawaban pertanyaan no. 3 adalah 'tidak', sebutkanlah semua orang munafik yang bukan sahabat! Dengan kata lain, anda harus dapat membedakan antara sahabat dan orang munafik. Anda harus dapat mengkategorikan dan menyebutkan orang-orang munafik itu, semuanya. Jika tidak semuanya, sebutkanlah sekitar 100 orang dari mereka! Jika anda tidak dapat membedakan antara sahabat dan munafik bagaimana kami tahu mana orang yang munafik dan mana orang yang merupakan salah satu sahabat Nabi?

Dan jika jawaban no. 3 adalah'ya' yang artinya bahwa orang munafik adalah sahabat nabi, setujikah anda apabila kami menampilkan seseorang yang merupakan sahabat Nabi dan juga orang munafik, yang bernama Abdullah bin Ubay? Lalu, apakah anda sepakat bila kami mengetengahkan beberapa sahabat lain yang juga munafik atau tidak?

Kebenarannya adalah (kami tidak peduli apakah mazhab Syi'ah/Sunni menyukainya atau tidak) bahwa anda tidak dapat menycbut seseorang itu bukan Islam ketika ia mengucapkan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah Rasulullah". Jika anda menyebut orang itu non muslim dengan begitu mudah dari mulut anda, maka anda harus bersiap - siap mengahadapi api neraka Allah.

Seseorang akan tetap menjadi Muslim sepanjang ia mengucap dua kalimat syahadat di atas, tidak peduli apakah ia menyatakan; sebuah hadis benar atau tidak, seorang sahabat berdusta kepada Nabi atau tidak, seorang sahabat telah mencuri sesuatu (ia adalah pencuri), seorang sahabat telah membunuh secara sengaja dan tidak memiliki hak untuk melakukannya, dan seorang sahabat telah berperang di jalan yang sesat demi setan.
Gantikanlah kata sahabat dengan 'ulama terhormat' dan bacalah sekali lagi.

Persoalan masyarakat Islam saat ini adalah mereka membiarkan diri mereka saling menyerang (Sunni atau Syi'ah) dan menuduh satu sama lainnya sebagai kafir. Jika orang-orang ini berkuasa, mereka akan membunuh siapa saja yang tidak sependapat dengan mereka, seperti yang dilakukan ratusan tahun lalu. Kebiasaan buruk yang menyenangkan setan dan membuat Allah murka sekarang ini menyebar di masyarakat Islam.

Kami menantang anda berulang kali dan anda tidak dapat berbuat apa-apa. Jika anda memahami bahwa tidak ada sumber rujukan bagi kebiasaan buruk anda, maka setidaknya anda berusaha menyembunyikan hal tersebut. Kebiasaan tersebut bukan kepribadian Muslim sejati.

Seseorang berkata: Jika seseorang berkata bahwa salah satu sahabat X telah berdusta atas nama Nabi, artinya bahwa sahabat ini kafir? Karena ia telah menuduh seorang Muslim X sebagai orang kafir, ia sendiri, Mali menjadi kafir.

Kami tidak keberatan dengan pernyataan kedua karena kami sendiri telah menampilkannya. Persoalan kami secara spesifik dimaksudkan bagi pertanyaan pertama. Kami meminta anda membawa kamus Jepang atau Arab dan menunjukkan kata baru tersebut kepada kami.

Jika anda tidak dapat membuktikannya, bersikap manusiawilah dan tinggalkan kebiasaan buruk anda.

Seseorang yang menggunakan kata di atas kepada mukmin lainnya, ia dianggap sebagai orang kafir. Bukan kami yang mengatakan hal ini. Karena kami bukan seorang ulama (kata 'kafir' ini bukan kata yang ringan, kata ini adalah kata yang berat yang besertanya api neraka, dan kata ini harus diucapkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Inilah yang dicatat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim. Jika anda peduli dengan kedua buku ini dan anda mendengar serta menaati kedua kitab ini, sedikitnya'menaati' hadis dalam kedua buku ini, kami memperingatkan anda dengan jelas bahwa orang ini dianggap kafir dengan aturan berikut, "Jika seseorang X menyatakan Muslim lainnya Y sebagai kafir, sedang ia tahu bahwa Y adalah Muslim, maka X menjadi kafir. Orang seperti ini dianggap sebagai orang murtad, karena ia meninggalkan Islam dengan menyebut saudaranya seiman sebagai kafir secara sengaja.[]

Catatan Kaki : 
1. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, hal. 184.
2. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, ha1.199-200. -
3. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, hal. 200.
4. Referensi hadis Sunni: al-Kamil, Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 84.
5. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, hal. 235.
6. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, hal. 180-181.
7. Referensi hadis Sunni: Tabaqat, Ibnu Sa'd, jilid 3, bag. 1, hal. 159; al-Ishabah, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 3, hal. 532-533; Tarikh, Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 244; Usd al-Ghabah, jilid 3, hal. 87-88; al-Istiab, Ibnu Abdul Barr, jilid 2, hal. 766; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 7, hal. 248; Riwayat serupa diceritakan juga di al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 169, 371.
8. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Arab, peristiwa tahun 36 H, jilid 4, hal. 905.
9. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, hal. 238-239.
10. Referensi hadis Sunni: Tarikh, Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 206; Lisanul Arab, jilid 14, ha1.141; al-Iqd al-Farid, jilid 4, hal. 290; Syarh, Ibnu Abi Hadid, jilid 16, hal. 220-223.
11. Referensi hadis Sunni: Ansab al-Asyraf, Baladzuri, bagian 1, jilid 4, hal. 75.
12. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 15, hal. 171-172.
13. Hadis dalam artikel ini diambil dari terjemahan Shahih a1-Bukhari, versi bahasa Arab-Inggris, Dr. Mohammad Muhsin Khan, Universitas Islam, Madinah Munawwarah, Terbitan Kaje, 1529 North Wells Street, Chicago. 11160610 (USA), (Revisi ke-3, 1977) (Edisi revisi ke-4, Maret 1979), No.Telp. (di perpustakaan Waterloo University): BP 135. A124E54.
14. Hadis yang sama pun diriwayatkan di jilid 5, no. 395.
15. Hadis berikut diambil dari terjemahan Shahih al-Bukhari, versi bahasa Arab-Inggris, Dr. Muhammad Muhsin Khan, Islamic University, Madinah Munawwarah, Kaze, 1529 North Wells Street, Chicago, ILL. 60610 (USA), (revisi ke-3,1977) (edisi revisi ke-4, Maret 1979), No. Telp. ( di perpustakaan Waterloo University): BP 135.A124E54.
16. Hadis berikut diambil dari terjemahan Shahih al-Bukhari, Arab-Inggris, Dr. Mohammad Mushin Khan, Islamic University, Madinah Munawwarah, Kaze, 1529 North Wells Street, Chicago ILL.60610 (USA), (revisi ke-3,1977), (edisi revisi ke-4, Maret 1979), No. Telp. (di perpustakaan Waterloo University): BP135.A124E54.
17. Lihat hadis No. 631, 636, dan 639.
18. Hadis berikut diambil dari terjemahan Shahih al-Bukhari, versi ArabInggris, Dr. Muhammad Mushin Khan, Islamic University, Madinah Munawarah, Kaze, 1529 North Wells Street, Chicago, Ialah.6061 (USA), (revisi ke-3, 1977) (Edisi revisi ke-4, Maret 1979), No. Telp. (di perpustakaan Waterloo University): Bpk.A12E54.
19. Referensi hadis Sunni: al-Faruq, vol. II & III, hal. 314, Syilbi Numani, penerbit Sh. Muhammad Asyraf Lahore, Pakistan; Izlatul Khifa, jilid III, hal. 346, Syah Waliyullah Muhadis Dehlavi, Qadeemi kitab Khala, Karachi Pakistan.
______________________________________

Nabi SAW adalah mentor dan guru Imam Ali karena beliau sekaligus menjadi pengasuhnya. Ali memiliki ikatan emosi dan menjadi orang terdekat Nabi SAW hingga akhirnya pada usia dewasa dijadikan menanti Nabi dengan mempersunting Fatimah Al Zahra. Ini terjadi setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga (Bani Hasyim), Sekaligus orang yang pertama kali mempercayai kenabian Muhammad setelah Khadijah. Selain itu Nabi jelas memahami seluk beluk kebribadian, watak dan karakter Ali.

Sebagian besar ulama sufi (Ahli Tasawuf) menganggap Nabi telah menurunkan pengetahuan dan gemblengan ruhani berupa tasawuf secara khusus hanya diberikan kepada imam Ali. Ini dengan asumsi bahwa untuk ilmu syariat, fiqih, tauhid, dan seputar ibadah memang harus disampaikan secara luas kepada semua orang. Namun untuk ilmu tasawuf hanya diberikan kepada orang-orang istimewa (dalam keimanan dan ilmunya) mengingat tasawuf adalah tataran tertinggi dalam hubungan antara manusia dengan sang pencipta. Gemblengan secara langsung dari nabi SAW, menjadikan Ali seorang pemimpin yang komplit. Cerdas, Berani, Bijaksana dan berpengetahuan luas.

(Syiah-Ali/Scondprince/Al-Hassanain/Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: