Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , , » Para nawashib berkhotbah bahwa Ali di khianati oleh pengikutnya sendiri, mereka tak lain dan tak bukan adalah syiah. Sejarah syiah dipenuhi dengan tindakan pengkhianatan demi pengkhianatan, bahkan dari ibu bernama syiah dengan rahim hitam kelam dan berayah Kufah terlahir jabang bocah bernama khawarij… Benarkah itu ?

Para nawashib berkhotbah bahwa Ali di khianati oleh pengikutnya sendiri, mereka tak lain dan tak bukan adalah syiah. Sejarah syiah dipenuhi dengan tindakan pengkhianatan demi pengkhianatan, bahkan dari ibu bernama syiah dengan rahim hitam kelam dan berayah Kufah terlahir jabang bocah bernama khawarij… Benarkah itu ?

Written By Unknown on Saturday 1 November 2014 | 15:23:00

Bismillahirrahmanirrahim.
Allahumma sholi ala muhammad wa ali muhammad.

Para pengikut sekte Nawashib  sudah sejak lama membuat  tuduhan yang menyebut syiah telah melakukan pengkhianatan kepada Imam mereka sendiri. Kepada Ali bin Abi Thalib, orang-orang syiah yang semula mendukung Ali, kemudian balik memusuhi dan mengkhianati dengan membentuk aras baru  bernama khawarij. Nawashib menuduh, khawarij lahir dari rahim syiah dan mereka semula adalah orang-orang syiah. Kepada Hasan, syiah kembali berkhianat dengan melakukan penyerangan kepada Imam mereka sendiri, dan puncak pengkhianatan syiah adalah dengan dikirimnya 18.000 surat yang ditulis oleh warga kufah kepada Imam Husain.

Tuduhan tersebut  adalah sebagai bentuk kedustaan belaka, karena  faktanya, kalangan sejahrawan ahlu sunnah sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa telah terjadi pengkhianatan syiah kepada Imam  Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Para sejahrawan ahlu sunnah  menuliskan bahwa para pengkhianat itu dilakukan oleh para badut politik yang hendak melakukan tawar menawar politik demi meraih peruntungan pribadi.

Sejahrwan ahlu sunnah menyebut para pengkhianat ini dengan sebutan Asyraf al Qaba’il, menariknya kelompok ini terbentuk dari hasil kebijakan Abu Bakar di perteguh oleh Umar bin Khatab dan sempurna ditangan Usaman bin Affan. Melalui artikel ini ibnu jawi al jogjakartani mencoba melacak jejak siapakah  kelompok Asyraf al Qaba’il dan bagaimana motif-motif pengkhinatanya.


DEMOGRAFI MASYARAKAT KUFAH.

Untuk mengetahui siapakah masyarakat kufah dan kecendrungan aliranya maka yang perlu dilihat dalah struktur kemasyarakat (demografi) dari  penghuni kufah tersebut. Ibnu Jawi al Jogjakartani sebelumnya telah menulis komposisi  masyarakat kufah dalam tulisan  ”Syiah terlibat dalam pembunuhan Imam husain as ?” untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke blog kami syiahnews.wordpress.com. Namu secara sepintas kami akan mengulang sebagian pada artikel ini.

Menurut Baladzuri (Futuh al Buldan)  kota Kufah didirikan pada Tahun 17/638, sekitar tiga tahun setelah Umar bin Khatab menjabat khalifah di Madinah, kota ini didirikan atas perintah khalifah kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, usai pasukan Muslimin memperoleh kemenangan dalam pertempuran al Qadisiyah (15/636H).  Lamanya jarak pendirian kota Kufah yang memakan waktu dua tahun tersebut, disebabkan pada faktor pemilihan lokasi, bahwa tempat tersebut harus  sesuai dengan lingkungan orang Arab serta dapat memenuhi kebutuhan mereka. Sa’ad meminta bantuan Salman al Farisi dan Hudzaifah al Yamani, dan pilihan jatuh di tepi barat  sungai Efrat dekat Hira kota lama Persia.

Kota Kufah semula ditujukan sebagai garninsun prajurit Islam, menilik dari instruksi Umar bin Khatab yang menyebut, agar memilih tempat untuk tentara Islam sebagai dar hijrah (tempat beremigrasi dalam Istilah TNI disebut sebagai Garninsun) dan markas untuk melancarkan perang (dalam surat Umar disebut Manzil Jihad).

Baladzuri menambahkan bahwa tempat tersebut dikemudian hari dapat difungsikan sebagai tempat berkumpulnya kesatuan-kesatuan militer ( dalam surat umar menyebut qayrawan/ kalau di Indonesia sejenis dengan Resimen Induk Daerah Militer (RINDAM)) Dan kota tersebut sesuai perencanaanya kemudian menjadi Qayrawan Kufah (kalau dibahasa indonesiakan RESIMEN INDUK DAERAH MILITER /RINDAM KUFAH). Kesatuan-kesatuan yang berkumpul disini, menurut Baladzuri, berasal dari  veteran Al Qadisiyah atau dikenal  sebagai Ahl Al Ayyam Wa al Qadisiyah.

Menurut sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri dalam bukunya Origin and Early Development of shi’a Islam hal 149, Orang-orang Arab (termasuk para sahabat) tidak banyak pengalaman dalam mendirikan kota. Konsepsi kota sebagai unit politik  dan sosial yang komplek masih terasa asing bagi mereka. Kota-kota di tanah mereka berasal seperti Thaif, makkah dan Madinah, unit sosio politiknya bukanlah kota melainkan kabilah/suku. Sementara itu kesatuan-kesatuan militer Islam tersebut sangat heterogen sehingga diperlukan cara penyusunan  administratif dan bagaimana melakukan deployment tempat tinggal mereka.

Oleh karenanya kemudian Sa’ad bin abi waqash sebagimana diceritakan oleh Baladzuri dan Yaqut (Mu’jam al Buldan IV/323)  menyusun masyarakat kufah kedalam katagori kesukuan yang luas, yaitu Kelompok Nizari (Orang Arab Utara)  yang diberikan tempat diwilayah Barat dan Kelompok Yamani ( Orang Arab Selatan)  tinggal di wilayah Timur,  wilayah tinggal tersebut dibatasi ditengah-tengahnya dengan Masjid, Baitul Mal dan kediaman Gubernur Kufah.

Tetapi penempatan dengan cara membagi wilayah kufah menjadi dua tempat, kemudian terbukti gagal dan menimbulkan persoalan, menurut Thabari (Tarikh I/2495)  permasalahan yang dihadapi masyarakt kufah yang disusun atas para wajib militer ini  adalah kesukaran dalam pendistribusian gaji (diwan) yang merupakan sumber pendapatan penduduk kufah.

Sebagai solisunya, sebagaiaimana diceritakan oleh Thabari, Umar bin Khatab (Tarikh I/2496)  memerintahkan kepada Saad bin Abi Waqash agar  mereorganisir populasi penduduk kufah  dengan cara seperti menyusun masyarakat seperti sebelum islam datang (pra Islam). Para penduduk kufah akan dikelompkan berdasarkan organisasi kesukuan tradisional arab dimana klan atau suku-suku dijadikan persekutuan politik dalam bentuk konfiderasi longgar.  Dalam meralisasikan itu maka ’addala, ta’dil dibuat berdasarkan silsilah dan persekutuan, Umar memerintahkan Sa’ad agar meminta bantuan dua ahli dalam masalah keturunan Arab (Nussab).

Akhirnya, masyarakat kufah dikelompokan menjadi tujuh kelompok,  ulama ahlu sunnah seperti Thabari dalam Tarikh Juz I mulai halaman  mulai 2497, Umar Rida Kahhalah, dalam kitab Mu’jam Qaba’il al Arab, Ibn Abd Rabbih kitab al ‘Iqd al Farid khususnya pada juz III. Struktur Demografi masyarakat Kuffah yang terbagi menjadi tujuh klan  yang terdiri dari :
1. Kinana  dan ahabisy , Qays’ Ailan.
2. Quda’ah, Ghassan, Bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd.
3. Madzhik, Humyar, Hamdan,
4. Grup Mudhar, yang di isi dari Tamim, Rihab, Hawzin.
5. Asad Ghatfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan Taghlib.
6. Iyad, ’Akk, ’Abd al Qays, Ahl al Hajar dan Hamra.
7. Sub’.

Thabari, Umar Ridha Kahhalah menammbahkan, Ketujuh kelompok penduduk kufah tersebut kemudian dinamakan dengan Tujuh Kesatuan Suku (Muqatilah), mereka menempati tujuh distrik militer di kota kufah, dan di setiap distrik masing-masing  disediakan lokasi untuk :
  1. Tempat pertemuan mobilisasi persiapan perang.
  2. Tempat untuk distribusi Gaji (diwan).
  3. Tempat untuk pembagian harta rampasan perang.
  4. Tempat untuk menggembalakan ternak dan alat transportasi kavaleri (tempatnya dinamakan Jabbanah).
  5. Tempat Pekuburan.
Menurut Thabari (Tarikh I/2414 dst) Untuk melaksanakan tugas-tugas administratif, Umar bin Khatab  mengorganisir para  petugas yang mengatur diwan (gaji), pembagian rampasan perang dan lain-lain sebagai berikut : ”bahwa untuk mendistribusikan tiap kelompok dipecah kedalam group-group (unit-unit kecil) sebagai penanggungjawab unit kecil/ group ditunjuk satu orang  pengawas dari tiap group. Para pengawas group/unit kecil tersebut dinamakan dengan ’Irafah (sipemikul tanggung jawab sebagai arif (jamak ’urafa), dan sejumlah besar para ’Urafa tersebut,- sebagaimana disebutkan oleh Thabari (Tarikh I/2496)- kemudian  dinamakan dengan ASYRAF AL QABA’IL, mereka yang mendapat sebutan ASYRAF AL QABAIL ini bukan hanya para ’Urafa saja, tetapi juga para pemimpin Klan/Kabilah. Karena Para Pemimpin Klan ada yang merangkap jabatan sebagai ’Urafa.

Menurut Thabari di halaman yang sama, Umar bin Khatab pada tahun 20/641 menetapkan kriteria diwan (penggajian) penduduk kufah  sebagai berikut :
Bahwa jumlah gaji yang diterimakan (penduduk kufah) besaranya mengkiti urutan sebagai berikut
  1. Penerima gaji tertinggi adalah group Muhajirin dan Anshar.
  2. Urutan kedua adalah mereka yang ikut dalam operasi melawan kemurtadan dan pemberontakan
  3. Urutan  ketiga  mereka yang disebut sebagai Ahl al ayyam wa’l Qadisiyah  yakni mereka yang ikut ke Yarmuk dan Qadisiyah dan kemudian ambil bagian dalam pertempuran ini.
  4. Urutan ke empat adalah mereka yang disebut sebagai rawadif  yakni mereka  yang datang ke kufah setelah Yarmuk dan Qadisiyah,
  5. Berikutnya adalah gelombang imigran yang dijenjangkan  menurut waktu mereka pertama kali ikut penakulukan-penaklukan.
Perlu ditambahkan dari keterangan yang tidak ditulis Thabari,  menurut Ad Duri ( Muqaddamah fi Tarikh Shadr al Islam hal 50-58), Bahwa Umar bin Khatab menetapkan distribusi diwan (selain yang disebut diatas-ibnu jawi al jogjakartani)  umar membedakan diwan (gaji) antara orang Qurasy dan non Qurasy, dimana orang-orang Qurasy diberikan tunjangan lebih tinggi. Umar bin Khatab  juga menetapkan perbedaan pendapatan dimana Orang Arab memperoleh tunjangan lebih banyak dari pada non Arab.

Bahkan ulama ahlu sunnah Ad Dinawari ( ’Uyun al Akhbar I/230) dan al Baihaqi (al Mahasin wa al masawi  2/150) menyebutkan dalam kitab mereka mengutip dari Ma’mun bahwa, Umar bin Khatab berpendapat, jika seorang Arab  membutuhkan uang, dan tetangga seorang arab itu seorang non Arab (dalam bukunya disebut Nibthi), maka orang arab tersebut boleh menjual orang Nibthi tersebut agar orang arab mendapatkan uang.

Sistim Muqatilah tersebut berlaku selama hampir 20 tahun,  hingga mengalami perubahan lagi dimasa Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib.

KUFFAH DIMASA PEMERINTAHAN USMAN BIN AFFAN.


Dimasa pemerintahan Usman bin Affan,  kedudukan Asyraf Al Qabail semakin disempurnakan. Menurut  Rasul Ja’farian ( History of the caliphs : From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad dynaty 11 – 132 AH hal 222-223) ”Usman bin Afan meneruskan kebijakan Umar bin Khatab, dengan meneruskan dan menyempurnakan system yang dibentuk Umar yang telah membentuk system dan dewan yang berbasis system etnis, guna melindungi identitas Arab disatu sisi dan Qurasy disisi lain”. Dan kebijakan itupun akhirnya berdampak pula pada rekonstruksi pejabat Asyraf al Qabail.

Setelah Usman mengangkat  Al Walid b Uqbah   sebagai gubernur Kufah, kebijakan yang dirintis Umar bin khatab  diteruskan dan disempurnakan,  para Asyraf al Qabail  pun diformat ulang, ada yang semakin kukuh posisinya, ada pula yang di singkirkan, mereka yang bukan berasal dari  keluarga prestis di singkirkan, meskipun memiliki prestise keislaman yang tinggi,  Muhammad Jafri   (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 170)  menyebutkan”dibawah kekuasaan Al Walid bin Uqbah, pemimpin klan ( dan asyraf al qabail)  Kufah banyak yang digantikan,  penggantian tidak didasarkan pada prestise keislaman tetapi lebih mempertimbangkan keunggulan suku dan keluarga.  Sebagai contoh Al Asy’ats bin Qays al Kindi –dia kelak yang menggalang  asyraf al qabail melakukan pengkhianatan- menggeser Hujr b ’Adi al Kindi ”, Jafri menyebutkan ”Hujar b Adi al Kindi memiliki prestis keislaman, tetapi digeser oleh seorang aristokrat yang  pernah memimpin kaum murtad”.  Jafri memberikan contoh yang lain,  Sa’d b Qays al Hamdani (seorang aristokrat yang tidak memiliki keunggulan Islam) menggantikan Yazid bin Qays al Arhabi  yang dikenal sebagai pemimpin Islam yang shaleh”.

Baladzuri ( Ansab V/46) menyebutkan dalam daftar panjang para ’urafah yang tergabung dalam Asyraf al Qabail  yang digantikan,  untuk disebutkan sebagian kecil saja adalah sebagai berikut, Musayyab bin Najabah al Fazari, yazid bin Qays al Arhabi, Adi Bin Hatim al Thai, Sha’sha’ah bin shuhan al ”abdi dll.  Dengan demikian komposisi masyarakat kufah baik ditinjau dari pemimpin suku  maupun pemimpin group/unit terkecil (’Urafah) di isi oleh orang-orang dari kalangan ningrat.  Ibn Sa’d (ath thabaqat al kabir, VI/11) menyebutkan ”Bahwa seluruh kaum ningrat Arab (ibnu Sa’ad menyebut sebagai Zuyutat al ’Arab)  terwakili dan duduk dalam  struktur penting asyraf al qabail)”. Ini menjadikan bukti program Umar bin Khatab dalam membentuk landscap masyarakat kufah dimana Qurasy menjadi unsur utama yang harus diprioritaskan diatas suku arab lain, dan arab atas non arab mendekati kesempurnaan ditangan Usman bin affan.  (Al tanzimat al Ijtima’yah wa’l iqtishadiyah fi’l Bashrah hal 88 mencatat ” dimasa Umar dan Utsman, orang-orang non Arab yang tinggal dikufah diperlakukan agak berbeda dari orang-orang Arab  menyangkut jiziah dan kharaj, dan warga non arab adalah warga kelas dua”.

Meskipun masih menggunakan polah tujuh, menurut jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 172) hakekatnya kota kufah terbagi menjadi hanya du kelompok besar, yaitu :

1. Kelompok Asyraf al Qabail , mereka yang disebut sebagai  pemimpin Klan, pemimpin group/unit terkecil (’irafah) yang sebagian besar diisi oleh  kalangan ningrat arab yang disebut Ibn Sa’ad sebagi Zuyutat al ’Arab. Masing-masing memiliki sejumlah pengikut yang besar. (Al tanzimat al Ijtima’yah wa’l iqtishadiyah fi’l Bashrah hal 82 dst) mencatat sejumlah mawali menjadi pendukung Asyraf al Qabail, diantaranya dari Group Hamra atu Daylamiah  dibawah yuridikasi Umayyah yang ditugaskan sebagai Penjaga keamanan (Polisi), Para mawali petani yang  dibawah yuridikasi Umayyah pula, Kelompok mawali  saudagar dan mawali buruh diyuridikasikan sesuai keinginan klan yang ingin dimintai afiliasi perlindungan,  Mawali budak yang di ikat pada yuridikasi  keluarga yang sebelumnya memperbudaknya dan Mawali ningrat mereka yang diberi sedikit kelonggaran dalam masalah jizah dan kharaj tetapi kedudukan mereka adalah kelas dua dihadapan orang Arab.

2. Orang-orang yang kurang memiliki keningratan dalam kesukuan kebanyakan mereka memiliki keunggulan dalam prestis dalam keislaman. Sejumlah besar qurra yang juga rata-rata adalah cendikiawan keagamaan. Dan sejumlah group-group dari klan-klan serpihan yang tidak memiliki kekuatan dihadapan klan besar.

Meskipun eksistensi Aysraf al Qabail kufah mendapatkan kedudukan yang tinggi, tetapi  hak-hak mereka masih dibawah jauh dari klan-klan bani umayah, dan Kebijakan Usman inilah yang menggelisahkan masyarakat kufah dan sebagian asyraf al qabail, yakni dengan diberikanya kekuasaan yang terlampau besar kepada klan umayyah, dan ini yang membedakan dengan gaya kepemimpinan Umar bin Khatab yang memberikan dominasinya kepada  suku Qurasy lebih luas.  Bahkan salah seorang sahabat bernama Abdurahman bin Auf menyatakan ” Kekhalifahan Utsman mesti dianggap sebagai awal dari kerajaan bani Ummayah (Baladzuri, al Futuh al Buldan 2/99) penulis sejarah, Ibnu A’tsam, memberikan sebutan kepada Utsman bin Afan sebagai ” Pemimpin Bani Umayyah”.

Pada giliranya kebijakan yang dirintis oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Utsman bin Affan yang memberikan previlage kepada klan ummayah diatas Qurasy, Arab dan Non Arab, telah  menuai protes keras dari kalangan Muslim dan menyebabkan terjadinya drama pengepungan rumah Utsman bin Affan yang berakhir  dengan terbunuhnya Utsman bin Affan. Para Asyraf al Qabail kufah terlibat aktif dalam gerakan oposisional tersebut, sebagimana disebutkan  Jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 161) ” bahwa para ’Irafah dari Asyraf al Qabail ini  mengambil peran memimpin kelompok mereka dihari-hari keruh khalifah Utsman  bin affan” tujuanya adalah agar khalifah Utsman bin Affan mengembalikan hak-hak finansialnya yang tersita oleh klan Umayyah dan mengembalikan kebijakan  kepada mereka sebagaimana dimasa Umar bin Khatabb.

Dan hak-hak finansial –yang dahulu ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan disempurnakan oleh Utsman bin affan- inilah yang kemudian menjadi nilai tukar bagi pengkhianatan asyraf al Qabail terhadap Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan dan Imam Husain. Namun Patut di catat, bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Usman bin Affan, pondasi rintisan awalnya telah diletakan oleh Abu Bakar yang menetapkan prinsip bahwa depresiasi diwan (gaji) ditetapkan berdasarkan keterdahuluan masuk Islam, dengan kata lain, orang yang masuk islam lebih awal akan mendapatkan gaji dan tunjangan lebih besar. Umar meneguhkan bukan hanya keterdahuluan saja yang menjadi dasar melainkan faktor identitas Qurasy dan Ke Araban turut menjadi acuan klasifikasi diwan (gaji), Usman lebih mentahkik lagi, dengan  mengkrucutkan Qurasy pada klan Ummayah yang mendapat prioritas lebih tinggi.

Ketika Imam Ali di ikut sertakan dalam  Dewan Syuro bentukan umar, yang bertugas memilih khalifah, Abdurahman bin Auf sebagai eksekutor mengajukan syarat kepada calon Khalifah ”bahwa mereka harus bersedia mengikuti kebijakan (sunnah) dua klhalifah sebelumya” dan Imam Ali menolak syarat tersebut sementara Usman menerima syarat tersebut. Dibawah akan disajikan bagaimana imam Ali tatkala terpilih sebagai khalifah melakukan banyak dialog dengan berbagai kelompok baik itu sahabat yang  belakangan disebut (Qaidin) maupun kalangan Asyraf al Qabail  tentang reformasi diwan yang  merubah seluruh tata aturan yang telah ditetapkan oleh ketiga khalifah sebelumnya, dan ini yang melatari  netralitas para sahabat terhadap konflik yang dihadapi Imam Ali dan melatari pengkhianatan Asyraf al Qabail.

IMAM ALI MERUBAH STRUKTUR MASYARAKAT KUFAH BENTUKAN  UMAR BIN KHATAB.


Pasca meninggalnya Utsman, Imam Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai khalifah, gaya kepemimpinanya berbeda dengan gaya kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Para asyraf al qabail mengharapkan hak-hak mereka (yang saat di masa Usman dinikmati oleh kelompok Umayyah) akan kembali sebagaimana seperti sedia kala, dengan berbagai limpahan tunjangan keuangan yang besar. Tetapi Imam Ali bin Abi Thalib mengambil kebijakan sebagimana yang dituntunkan oleh Allah dan Rasulullah saww.


Sejahrawan ahlu sunnah at Thabari (tarikh I/3174) Khalif Yusuf (Hayat asy syi’r fi’l Kufah  hal 29)  menyebutkan bahwa, ”Ketika Ali datang ke Kufah, selama dua puluh tahun  struktur kekuatan dalam masing-masing  dari tujuh kelompok tersebut telah berubah drastis, sejumlah klan-klan tertentu  dalam berbagai kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain, klan-klan yang kuat melakukan pengutipan terhadap komponen-komponen klan lain. Kedatangan anggota-anggota suku ke kufah juga menjadi penyebab perimbangan kekuatan antar klan dan dalam kelompok,  Karena itu, Ali, sementara tetap memelihara jumlah kelompok untuk tetap dalam bentuk Muqatilah, ia melakukan perubahan susunan kelompok masyarakat kufah”.

Terhadap sisitem struktur masyarakat kufah Imam Ali mengeluarkan kebijakan menghilangkat sekat dominasi sikuat terhadap si lemah yang telah dibentuk oleh para khalifah pendahulunya, Imam Ali merubah struktur masyarakay kufah dengan pola perimbangan komposisi yang seimbang, Ath Thabari dan Khalif Yusuf, menyebutkan  masyarkat kufah oleh Imam Ali   direformasi susunanya sehingga tersusun sebagai berikut :
1. Hamdan dan Himyar (orang yaman)
2. Madzhij, Asy’ar dan Thayy (orang yaman)
3. Kinda, Hadramaut, Qudha’ah dan Mahar (orang Yaman)
4. Azd, Bajilah, Khats’am dan Anshar (orang Yaman)
5. seluruh  cabang Nizari dari qays, ’Abs Dzubyah dan ’Abd al Qays Bahrain. (Nizari)
6. Bakr, taghlib dan seluruh cabang rabi’ah (Nizar)
7. Qurasy, Kinana, Sad, Tammim, Dhabbah, Ribaba (Orang Nizar).

Menurut Muhammad jafri – seorang sarjana sunni yang berkeyakinan syiah sebagai produk sosioatropologis  masyarakat arab selatan – menuliskan (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 156) Bahwa ada dua catatan krusial mengapa Ali  merekonstruksi kembali masyarakat kufah.
  1. Terdapat beberapa nama klan seperti Asy’ar, Mahar dan Dabbah yang dimasa sebelumnya disepelekan, oleh Ali kedudukanya di setarakan dengan klan lainya.
  2. Penguasa sebelumnya mengorganisasi  Suku Yamani dalam tiga group dan Nizari dalam empat group. Oleh Ali di regorganisasi menjadi Yamani menjadi empat group  dan Nizari dalam tiga group.  Ali tampak memperhitungkan kekuatan populasi dua cabang Arab itu dan mengatur kembali group-group  itu menurut jumlah mereka, dengan demikian memberi perimbangan kuantitatif antar klan.
Ibnujawialjogjakartani menambahkan, komposisi yang disusun kembali oleh imam Ali bin Abi Thalib, telah membawa pada keseimbangan pada kuantitas antar klan sehingga superioritas klan dihilangkan oleh imam Ali. Dengan demikian apa yang disebut sebagai  Thabari “berbagai kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain” di selesaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib.

Imam Ali juga melakukan penataan ulang pemimpin Klan meskipun  meskipun mendapat penentangan keras dari pemimpin sebelumnya, Sebagaimana dituliskan oleh Nashr bin Muzahim (waq’at Shiffin hal 12)  “ Dalam pengaturan kembali kepemimpinan baru di kufah, Ali  mempercayakan kepemimpinan kelompok di kufah kepada mereka yang memiliki keunggulan Islam, orang-orang seperti Malik bin Harits al Asytar dipercaya memimpin kelompok Madzhij,  Nakha’i dan beberapa sub lain, Hujr bin Adi al Klindi memimpin Kinda, Adi bin Hatim al Ta’i memimpin Thayy. Tetapi upaya penataan Ali tersebut mendapat tantangan keras dari para pemimpin klan dar ‘Urafa ( Asyraf al qabail)”.

IMAM ALI MEREFORMASI KEBIJAKAN ABU BAKAR, UMAR DAN USMAN DALAM MASALAH “DIWAN”.


Kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib berikutnya adalah mereformasi kebijakan para khalifah pendahulunya, yaitu dalam masalah diwan.  (Political History of Islam 2, hal 286) menyebutkan, “Ketika Ali bin Abi Thalib berkuasa, ia melakukan perubahan pada kebijakan distribusi gaji, Ali melakukan alokasi (peruntukan) yang diterima oleh masyarakat Islam secara proposional” . Ath Thabari (Tarikh I/3227) mencatat reformasi yang dilakukan Imam Ali bin Abi Thalib menyangkut kebijakan keuangan, sebagai berikut :
  1. Dalam Distribusi Ali bin Abi Thalib menghapus perbedaan gaji yang dibuat oleh kebijakan sebelumnya ( dimana khalifah sebelumnya menetapkan faktor keterdahuluan masuk Islam, maupun keterdahuluan memasuki Kufah  sebagai pembeda penerimaan gaji). Dengan kata lain Imam Ali memperlakukan mereka secara sama tanpa melihat asal suku, keterdahuluan masuk Islam dan keterdahuluan masuk kufah.
  2. Ali bin Abi Thalib menetapkan persamaan hak  antara masyarakat Arab dan Non Arab.
Imam Ali bin abi Thalib menyatakan : “Sikulit hitam dan si kulit putih akan mendapat perlakuan yang setara, proporsional dan adil ( Mustadrak al wasa’il XI/93)
Sebagai catatan Imam Ali menjelaskan kebijakan ini sebagaimana dapat dibaca pada Nahjul Balaghah pada Kutbah ke 21, 23, 24, 42.

PROTES SAHABAT DAN ASYRAF AL QABAIL TERHADAP KEBIJAKAN ADIL IMAM ALI BIN ABI THALIB.

Rupanya reformasi yang dilakukan Imam Ali dengan prinsip Al Qur’an dan Sunnah yang menekankan prinsip keadilan dan pemerataan mendapatkan reaksi dari mereka yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan khalifah sebelumnya, sejumlah sahabat tak urung melakukan protes, kalangan Asyraf al Qaba’il yang mengharapkan pundi-pundi mereka  berlebihan sebagaimana di masa Umar bin Khatab harus gigit jari menghadapi kebijakan Imam Ali tersebut.

Sebagaimana disebutkan Thabari (Tarikh I/3228)  Mas’udi (Muruj Dzahab II/404)  dan Jafri ( Origin and Early Development of shi’a Islam hal 177) “kebijakan Ali telah menggelisahkan asyraf al qaba’il karena disamping pertimbangan finansial yang berkurang dan mesti berbagi dengan orang non Arab, dalam benak para asyraf al qaba’il, mereka percaya bahwa non arab sebagai orang yang ditaklukan tidak boleh dan tidak dapat diperlakukan sama dengan para penakluk.

Dan berikut ringkasan sebagian kecil dari protes-protes yang dilakukan oleh sahabat dan para Asyraf al Qabail :
  1. Ketika Imam Ali tengah di atas mimbar Asy’ats bin Qais  (pemimpin klan Kinda/Asyraf al Qabail) berteriak “ Kalian lihat sendiri kan bahwa non Arab (mawali) berkulit putih telah mengalahkan kita “ Imam Ali pun marah mendengar teriakan itu . (ath Thaqafi,  al Gharat hal 186 dan  al Hirawi ,Gharib al Hadith III/484),
  2. Mughirah Dabbi mengatakan, ”Ali memandang penting kaum non arab (Mawali), dan berbuat baik kepada mereka. Bandingkan dengan Umar, dia tidak suka terhadap mawali dan menjaga jarak dengan mereka ” (ath Thaqafi,  al Gharat hal 187)
  3. Dari kalangan sahabat yangmengajukan protes adalah Thalha dan Zubair, mereka mengatakan kepada Imam Ali, mengapa, Imam Ali telah memberikan bagian pada mereka tak beda dengan bagian yang diterima oleh orang lain, padahal, menurut mereka, orang lain tersebut tidak pernah mengalami kesulitan dan penderitaan beragama dalam memperjuangkan Islam.  Imam Ali menjawab ”bukankah kita semua menyaksikan sendiri bahwa Rasul saw melakukan apa yang dikatakan kitab Allah,  mengenai nilai lebih kalian,   kaum muhajir serta anshar, keterdahuluan kalian insya Allah akan mendapat penghargaan dan pahala dari Allah”   Thalha dan Zubeir melanjutkan protesnya  dan bertanya , ” mengapa Imam Ali menolak mengikuti tradisi Umar bin Khatab ?” Imam Ali menjawab ”Mana yang harus didahulukan : Mengikuti sunah, praktik dan Tradisi Nabi ataukah mengikuti praktik dan tradisi umar” (Ibn abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah VII/37 dst;  Disebutkan oleh sumber lain, karena sangat tidak setuju dengan kebijakan Ali, maka sebagian sahabat memintya Ali untuk memprioritaskan bangsawan Qurasy dan orang Arab. (Mahmudi, Nahj as Sa’adah I/229);
  4. Bahkan dari kalangan wanita mengajukan protes, manakala mendapati tidak dibedakanya pendapatan antara kalangan orang-arab dan non arab,  mereka mengatakan ”Aku ini kan orang Arab, sedangkan dia kan mawali kenapa kami diperlakuikan sama” Imam Ali menjawab ”aku ini membaca al Qur’an, aku juga merenungkan dan mengkajinya. Disana tak aku temukan sedikitpun yang mengindikasikan keunggulan keturunan Ismail atas keturunan yang lain (Baladzuri Ansab al asyraf II/141) Kepada kalangan Muhajirin dan Anshar Imam Ali menjelaskan kebijakan beliau :”Aku tak menemukan dalam Al Qur’an yang mengindikasikan untuk membedakan antara orang Arab dan non Arab.  Si Kulit hitam dan si kulit putih akan mendapatkan perlakuan yang setara, proposional dan Adil  (Mahmudi,  Nahj as Sa’adah 1/212-213)
  5. Nashir bin Muzhahim menuliskan pula (dalam kitabnya waq’at ash shiffin), diantara para pemerotes tersebut sebagian berasal dari kaum hafizh kufah, (sebagian sejahrawan menyebut al Qurra’). – Catatan dari Ibnu Jawi al Jogjakartani, jika pembaca menelusuri kitab sejarah awal akan menemukan bahwa para syiah Kuffah sebagian adalah Qurra’, seperti  Malik al Asytar dan Hujr bin Adi yang juga disebut sebagai pemimpin al Qurra,  untuk menghindari kerancuan antara para Qurra (yang syiah) dan Qurra yang kelak mejadi khawarij,  baiknya kita kutipkan hasil risert sarjana ahlu sunnah bernama  Muhammad jafri  yang menjelaskan dalam bukunya secara apik, ” Kata qurra’ sebagaimana digunakan dalam laporan di masa Ali bin Abi Thalib pada umumnya dan pada peristiwa Shiffin pada khususnya harus didekati sedikit hati-hati, bahwa sebagian Qurra’  adalah para pendukung gigih Ali bin Abi Thalib . Disamping  qurra yang menjadi syiah Ali ini, ditemukan sejumlah besar orang yang disebut sebagai qurra’, merka berasal dari  daerah yang jauh dan merata keterdahuluanya dalam masuk Islam. Mereka ini yang kemudian  melakukan protes terhadap kebijakan egaliter Ali bin Abi Thalib. Dan belakangan atas hasutan para asyraf al qabail  memaksa Ali untuk mengikuti arbitrase dan kemudian menentang Arbitrase.  belakangan  membentuk Khawarij (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 176) Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Rasul Ja’farian dalam bukunya History of the caliphs hal 384) ia menambahkan meskipun mereka disebut qurra (al hafizh) dalam mengemukakan argumen al Qur’an, mereka melakukan interpretasi secara gegabah yang menghasilkan difinisi-difinisi yang radikal (buku yang sama halaman 391), Rasul Ja’farian menuliskan, bahwa kelompok ini berasal dari suku-suku jauh, mereka merasa kecewa melihat dominasi Quraisy (halaman 386). Ahlu Qurra tidak selalu di artikan sebagai penghafal Al Qur’an, sebagaimana keterangan Nourouzzaman, para sejahrawan mengartikan ahlu qurra yang -memotori lahirnya khawarij- sebagai para penetap (Khawarij, hal 31)  Baladzuri meriwayatkan, selain ketidak puasan terhadap kebijakan diwan dan dominasi quraisy yang ditetapkan oleh Ali , para qurra ini merasa tidak habis mengerti dengan kebijakan Ali yang tidak mengizinkan harta rampasan perang dibagi-bagikan setelah menundukkan kaum kafir atau pemberontak. Bagaimana ceritanya membunuh mereka dibolehkan, tapi mengambil aset atau harta mereka malah diharamkan (Ansab al Asyraf II/360).
Ketidak sukaan pada kebijakan egaliter Imam Ali tersebut tak urung  membuat Harits A’war menyampaikan kepada Imam Ali, ia berkata :”Orang-orang melakukan protes dan tidak suka dengan kebijakan anda. Imam Ali menjawab ” Biarkan saja mereka”  (Musthathrafat as sara’ir 146).

Kondisi diatas menjelaskan bagaimana  kondisi sosial masyarakat Kufah yang dihadapi Imam Ali bin Abi Thalib, mereka menentang kebijakan Imam Ali yang menetapkan sistem egalitarian bersendikan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saww, sementara para Asyraf al Qabail  menghendaki sistem yang ditetapkan adalah Sunnah tiga khalifah dengan mengurangi dominasi Umayyah. Bahkan Imam Ali menyatakan dalam kotbahnya ” Kondisi kalian sekarangini kelihatanya seperti zaman ketika Allah mengutus Rasul-Nya ( Nahj al Balghah Khotbah ke 38).

TIDAK SELURUH MASYARAKAT KUFAH ADALAHA SYIAH.


Kompleksitas masyarakat kufah yang dilaporkan oleh para sejahrawan ahlu sunnah, sudah membuktikan bawa masyarakat kufah tidaklah seratus pesrsen adalah syi’ah. Pandangan yang menyebut bahwa masyarakat Kufah pada masa itu adalah mutlak syiah adalah pendapat yang tidak didukung oleh fakta. Sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri -yang  juga salah satu dosen tamu di Universitas Kebangsaan Malysia -, menuliskan Origin and Early Development of shi’a Islam halaman 169 “Tidak seluruh warga kufah  dari suku Yamani (Arab selatan) adalah syi’ah,  dan bukan pula seluruh  suku Nizari yang berasal dari Arab Utara yang tinggal di kufah  berpihak kepada madzhab syiah “. Muhammad Jafri dalam bukunya menegaskan bahwa yang dimaksud Syiah disini bukan difinisi longgar bahwa semua yang berada dalam barisan Ali, Hasan dan yang mengundang Husain  dikatagorisasikan sebagai syiah.  Karena dalam barisan yang mendukung ketiga tokoh tersebut terdapat kelompok besar kaum pragmatis. Bahwa yang disebut sebagai syiah adalah mereka yang memiliki  sikap relegius terhadap masalah kepemimpinan yang berada ditangan keturunan Muhammad (Origin and Early Development of shi’a Islam halaman 169).

Fakta yang menarik adalah bahwa para ulama ahlu sunnah sendiri –dan ini berlawanan dengan pandangan kaum nawashib- telah mengkatagorisasikan para pengikut Ahlul Ba’it (khususnya pengikut : Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain) dengan katagorisasi yang memuji kaum syiah (bukan menuduh sebagai pengkhianat),
Misalnya, Ath Thabari dalam kitabnya Tarikh ar Rasul wa al Muluk 2/1dan  Ibn Nadim dalam kitabnya Kitab al Fihrist hal 175, mengkatagorisasikan syiah sebagai berikut :

1. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah Al Ashfiyah, yakni mereka yang  disebutan sebagai  sahabat-sahabat tulus. Masuk dalam katagori ini adalah Miqdad, Salman al Farisi, Amar bin Yaser, Abu Dzar al Ghifari,  Hudzaifah al Yamani, Abu Hamzah, Abu Sashan, Syutair dan lain-lain, Selain mendapat sebutan Al Ashfiyah, Ammar, Miqdad, Salman dan Abu Dzar mendapat  sebutan lain yaitu “al Arkan al Arba’a Empat Pilar” Syiah.

2. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah Al Awliya, yakni mereka yang disebut sebagai Sahabat-Sahabat Ta’at. Masuk dalam kelompok ini adalah Malik Asytar, Maitasm, Muhammad Bin Abu Bakar ( beliau adalah putra Khalifah Pertama, Muhammad bin Abu Bakar  juga merupakan kakek buyut dari Imam Ja’far ash shadiq. Beliau menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada wasiat Rasulullah saw untuk mengikuti Imamah Ahlu Ba’it, kendati Muawiyah telah menuduhnya sebagai orang yang menentang ayahnya dalam masalah kekhalifahan- ket : ibnujawi al jogjakartani).

3. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah al Syurthat al Khamis, yakni mereka yang disebut sebagai “divisi terbaik”, masuk kelompok ini adalah para sahabt-sahabat yang menunjukan dedikasi dalam berbagai pertempuran melawan al Nakitsin (dalam perang jamal), al Qasithin  (dalam perang shifin) dan al Mariqin (dalam perang menghadapi Khawarij) , Masuk di dalam kelompok ini adalah para lasykar syiah yang turut membela Imam Hasan as,

4. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah al Ashhab, yakni mereka yang disebut sebagai sahabat-sahabat. Masuk kelompok ini adalah para sahabat yang syahid bersama Imam Husain di Karbala maupun terlibat dalam gerakan Tawwabun. 

Sehingga dengan demikian jika kita perhatikan dari poin dua (2) hingga (4) jika merujuk pada peran syiah terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain, sejahrawan ahlu sunnah tidak menyatakan mereka sebagai pengkhianat, mereka adalah loyalis Ahlul Ba’it yang mendapatkan gelar-gelar yang mulia. Bukan gelar-gelar sebagaimana dilekatkan oleh para nawashib  yang tidak memiliki basis faktualnya.

PETA ALIRAN IDIOLOGIS MASYARAKAT KUFAH.


Diatas sudah dipaparkan bahwa Kufah bukanlah masyarakat monolitis aliran dengan satu pandangan syi’ah ansich. Tetapi masyarakat kufah yang tersusun atas suku-suku yang beragam  masih ditambah keragaman aliran idiologi mereka (saya menggunakan istilah idologi hanya untuk mempermudah saja, idiologi yang saya maksud adalah kecendrungan-kecendrungan, meskipun saya sadari penggunaan sitilah idologi tidaklah tepat –ibnujawi aljogjakartani). Bahkan dalam masing-masing suku, anggota-anggota penyusunya memiliki kecendrungan yang beragam pula. Sebagai ilustrasi sederhanya adalah sebagai berikut, Kufah kita samakan dengan kota Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di yogyakarta berasal dari seluruh suku yang ada di indonesia. Mereka bahkan membuat perkumpula-perkumpulan. Dalam masing-masing kelompok suku tersebut, masih terpolarisasi lagi dalam kecendrungan aliran idiologis keagamaanya. Misalkan saja yang dari suku jawa, ada yang beraliran tradisional NU, Modern Muhammadiyah, Tarbiyah, Syabab Hizbut Tahrir, Wahabbi… dan lain sebagainya. Begitulah masyarakat Joga, dan begitu pula  masyarakat Kufah pada waktu itu.

Para sejahrawan Islam telah berupaya keras memetakan aliran-aliran kecendrungan masyarakat kufah ini yang dibagi dalam aras persekutuan klan mereka. Tapi ternyata itu bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena aliran menyangkut idnividu-individu. Namun demikian usaha sejahrawan layak dipuji, karena melalui laporan mereka, kita dapat mengetahui bahwa, Kufah adalah masyarakat yang komplek, dan keberpihakan mereka pada Imam Ali, Imam Hasan dan kemudian bertanggungjawab atas pengundangan mereka terhadap Imam Husain, tidak lak mutlak didasari atas idiologi yang dianut mereka. Ada sebagian kecil masyarakat kufah yang loyal kepada para ahlul bait dan mereka adalah syiah, tetapi ada sebagian besar dari mereka adalah golongan pragmatis yang plin-plan dan hanyut  mengikuti arus kepentingan pragmatis mereka. Dan berikut adalah peta Aliran kecendrungan masyarakat kufah  yang kami rangkumkan dari sumber sejahrawan Islam, Para sejahrawan Islam menjelaskan populasi masyarakat kufah, kedalam tujuh muqatilah yang dilukiskan sebagai asba’ dalam unit sebagai berikut  :
Ath Thabari (Tarikh I/2495)  menjelaskan, Kinana dikumpulkan dengan sekutu mereka ahabisy sehingga membentuk Klan Jadilah. Kinana adalah suku Makkah dan Quraisy  adalah salah satu cabangnya, sedangkan Jadilah, cabang suku Qays ’ailan, ia berasal dari Hijaz dan punya sedikit hubungan dengan Kinana. Menurut Thabari, kedua suku tersebut adalah kelompok prestise (ahl al ’aliyah) . Dimasa lalu Kinana dan Qurasy bersama dengan group-group seperti Jadilah, Qays ”Ailan pernah membentuk group persekutuan yang dikenal dengan Khindif. Menurut Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qabail al ’Arab, 173)  dan Ibn Abd Rabbih ( al Iqd al Farid IIII/350) Sejak Kufah didirikan kelompok ini memiliki hubungan istimewa dengan penguasa terutama dari gubernur-gubernur Qurasy. Dimasa Imam Ali melaksanakan kebijakan reformasi diwan, kelompok ini banyak yang melakukan protes.

’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 957 dst; 844 dst, 63 dst, 131, dst 998, dst 282 dst 15 dst)  dan Ibn Abd Rabbih ( al Iqd al Farid III/393) menyebutkan kelompok kedua penyusun masyarakat Kuffah, yakni  Qud’ah, Ghassan, bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd, digabung menjadi satu membentuk kesatuan Yamani yang kuat. Dua dari group ini dipimpin orang yang berpengaruh besar dikufah, yakni Bajilah dipimpin oleh Jarir bin Abdullah, ia adalah sahabat dekat  Umar bin Khatab. Kelak dimasa Imam Ali bin Abi Thalib  menjabat Khalifah, ia melakukan persekongkolan dengan Muawiyyah, dan dengan pengaruhnya memprovokasi kabilah-kabilah kufah keluar dari barisan Imam, (di tulisan berikut akan kami bahas)  Dan Kinda yang  dipimpin Asy’ats bin Qays, seorang yang memiliki pengaruh besar dan penganut idologi pragmatis yang kelak dengan pengaruhnya berusaha menggembosi Imam Ali, bahkan mengancam Imam Ali bin Abi Thalib agar memerintahkan pasukan syiah -yang yang masih bertempur dengan tentara muawiyah- agar segera menghentikan peperangan, Keluarga dia memiliki reputasi buruk Asy’ats bin Qays sendiri  selain berperan memberi tumpangan ibn Muljam laknatullah,  anak perempuanya Ja’dah binti Asy’ats adalah orang yang berkonspirasi dengan Muawiyyah untuk meracun Imam Hasan. Pun demikian anak laki-lakinya yang bernama Muhammad Ibn al Asy’ats berperan dalam pembunuhan Muslim bin Aqil dan tragedi Karbala. Sebagaimana disebutkan di atas tentang keragaman dalam masing-masing suku, di kinda terdapat pula pribadi-pribadi yang loyal terhadap ahlul ba’it (syi’ah) dan kelak di masa Imam Hasan mereka dikhianati suku mereka sendiri untuk diserahkan kepada Muawiyah untuk dibunuh (akan dibahas kemudian).  Sedangkan suku Bajila dalam satu group memiliki prespektif yang berbeda, ad Dinawari menyebutkan , sekitar empat ratus orang yang berasal dari suku Bajila dengan dipimpin Rabi’ah bin Khutsaim,  menyatakan tidak mendukung peperangan Imam Ali, dan mereka  mundur di garis perbatasan Rai, dan sebagian ke Dailam (akhbar ath thiwal hal 165).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  1062 dst) dan Abd Rabbih ( al Iqd al Farid III/393) Menyebutkan, Madzhij, Himyar, Hamdan dan sekutu-sekutu mereka, Kahlah menjelaskan, dari Madzhij terdapat banyak cabang-cabang suku penting, seperti Nakhkha dan Thay.  Ini adalah kelompok Yamani kuat, dimana  dari Hamdan melahirkan beberapa pendukung gigih syi’ah, meskipun tak dapat diabaikan terdapat banyak anggota kelompok ini yang pandanganya berubah-ubah. Ad Dinawari  menyebutkan, sebagian kelompok syiah yang berasal dari kabilah Hamdan  memberi  perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Ali  saat di serang kelompok Khawarij(al akhbar at Tiwal/156)  Namun demikian sebagian lainya yang bukan syiah di saat Kufah berhasil dikuasai Muawiyah, mereka justru  meringkus pengikut Hasan bin Ali dan  diserahkan kepada tentara Ziyad ( Thabari, Tarikh II/117).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  126 dst, 315, 1231)  dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/343,345 dan 353) menyebutkan, Tamim, Rihab dan Hawzin digabung dalam group Mudhar . Kahhalah menyebutkan, bahwa dalam group ini terdapat keragaaman aliran. Ath Thabari  (Tarikh II136) menyebutkan ” anggota suku-suku  dari Tamim, Hawazin dan Rihab, yang diketahui sebagai syiah di tangkap oleh sukunya sendiri dan diserahkan kepada  tentara Ziyad”, Sebagian dari bani Tamim  diketahui menunjukan ketidak sukaan terhadap Imam Ali,  Baladzuri menyebutkan, bahwa tokoh asyraf al qabail bernama  Ahnaf bin Qais dari Bani Tamim menggunakan pengaruhnya untuk menyatakan netral dan tidak terlibat dalam pertempuran Jamal  dan menyatakan menarik diri dari perang (Asyraf al Qabail, II/327).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  21 dst)  dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/340 dst) menyebutkan Asad, Ghtfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan  Taghlib, kebanyakan kelompok group Nizar dari Rabi’ah dan Bakr disatukan dalam satu group.  Ad Dinawari  menyebutkan, sebagian kelompok syiah yang berasal dari kabilah Rabi’ah  memberi  perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Alli  saat di serang kelompok Khawarij(al akhbar at Tiwal/163) ia melanjutkan populasi  Rabi’ah di kufah sedikitdemi sedikit menyusut, karena banyak yang gugur dalam peperangan.

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  52 dst)   menyebutkan,  Iyad, ’Akk, ”abd al Qys, Ahl al hajar dan Hamra, disatukan dalam satu group. Iyad dan Akk (menurut Kahhalah,  asal usul Akk tidak diketahui, sebagian menyebut termasuk Qahtani, yang lain m,enyebut Adnani dari al Daits b ”Adnan). Mereka berasal muasal dari Nizari ’Adnani, mereka telah lama tinggal di kawasan Iraq, dari group ini yang memiliki dukungan kuat sebagai syiah Ali adalah berasal dari suku Abd al Qays kendati tidak bisa dikatakan bahwa group ini adalah syiah, selalu ditemukan ada individu-individu syiah dalam masing-masing klan namun ada yang bukan seorang yang berkecendrungan syiah.

’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  691) menyebut kelompok dari group ketujuh Sub, yang adalah suku Thayy, sebuah kabilah kuat yang berasal dari Yaman, Menurut Kahhalah, menyebut peristiwa  di tahun 11 H /630 di saat suku-suku sekitarnya murtad, Thayy tetap menunjukkan komitmenya memeluk Islam, hingga mereka bergabung dnegan Mutsanna b al haritsah dalam penaklukan al Hirah lalu mengambil bagian dalam al Qadisiyah.  Pemipin suku ini adlah Adi bin Hatim, Ibnu abil al Hadidi (syarh Nahjul balghah XVI/38) dan Abul  Faraj al ishfahani  (Maqatil ath Thalibiyin 61) menyebutkan  Suku Thayy menjadi pendukung utama Imam Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Perang Shiffin, dan setelah Imam Ali wafat, mereka menjadi penyeru di tengah-tengah Masyarakat Kufah, untuk menyokong Imam Hasan.  Kahlah menyebutkan (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  691)  tetapi populasi Thay di Kufah berangsur-angsur melorot sebagai akibat peperangan, yang tersisa dari mereka bergabung ke benteng-benteng diantara Bashrah dan Kufah.  Ath Thabari (Tarikh II/304) menyebutkan,  dengan  kekuatan yang tersisa, klan Thay bermaksud membawa Imam Husain ke pegunungan Thay yang aman dan tersembunyi, Thirimmah b ’Adi at Ta’iy  yang mencegat Imam Husain dan membujuk beliau agar sudi ikut mereka, tetapi Imam Husain menolak.

Kenyataan Populasi syiah di kufah dengan melihat  laporan diatas bukanlah komunitas mayoritas pada saat itu. Bahkan dalam satu group yang di isi dari suku-suku terntentu, syi’ah bukanlah kelompok yang dominan. Sehingga ketika Kufah berhasil dikuasai oleh Muawiyyah, maka tidakan pemindahan orang-orang syiah pun dilakukan dengan relatif mudah sebagimana disebutkan Ath Thabari dalam kitabya ((Tarikh I/1920) ”segera sesudah menguasai Kufah, Muawiyyah memindahkan beberapa suku yang setia kepada ahlul bait dari kota itu, dan menggantikanya  mereka dengan orang-orang dari syria, bashrah dan al Jazirah yang loyal kepadanya.”.


PERBEDAAN SIKAP MASYARAKAT KUFAH TERHADAP AHLUL BAIT.


Para sejahrawan Ahlu sunnah  melaporkan dengan detail  perbedaan sikap masyarakat kufah terhadap Ahlul Ba’it,  meskipun mereka sama-sama berdiri dibelakang imam – imam Ali misalnya-, tetapi motif keberpihakan mereka sangat berbeda. Muhammad Jafri menuliskan:

Kelompok pertama adalah pengikut setia yang memiliki komited terhadap kepemimpinan Ahlul Bait nabi,  mereka memiliki keyakinan  bahwa ide nilai-nilai keadilan dan keagamaan, akan  terwujud hanya melalui kepemimpinan yang ditunjuk Allah melalui Muhammad. Bagi kelompok ini pertimbangan kegamaan dan spiritual merupakan satu-satunya tenaga dorong untuk menunjukan loyalitas kepada mereka.

Kelompok kedua adalah kelompok besar masyarakat kufah, terdiri dari para Pemimpin klan dan kabilah  serta para ’urafa pengawas unit yang lazim disebut sebagai asyraf al qabail. Bersama mereka terdapat orang-orang yang kepentinganya tergantung pada orang-orang mulia dan terhormat ini (asyraf al qabail), Mereka berkepentingan dalam menjaga dan memelihara kedudukan politis dan memonopoli ekonomi, yang sangat terancam  bila Ali berhasil dengan kokoh menegakkan pemerintahan dio kufah. Tetapi pada saat yang bersamaan  mereka ragu untuk menyerah  secara terbuka kepada Muawiyah yang akan menghilangkan posisi tawar menawar mereka. Karena alasan inilah maka pada lahirnya tetap dalam jajaran dan barisan laskar Ali demi menekan muawiyah agar memberi konsesni itimewa pada mereka.

Kelompo ketiga adalah kelompk pragmatis yang berasal dari masa kufah, kebanyakan Yamani dan mawali non Arab, mereka berdiri  di belakang Ali dengan harapan  berakhirnya dominasi quraisy dan terlebih khusus superioritas  klan Umayyah. Sebagian merupakan hafizh (qura), Tetapi baladzuri menjelaskan, “Mereka ini tidak mengerti kalau imamah dan politik merupakan dua hal yang berada di luar topik atau masalah  suku. Kecendrungan mereka terlihat dalam cara berfikir mereka yang menafsirkan secara menyimpang (Ansab al Asyraf II/363). Muhammad jafri menambahkan,  Secara emosional, kapan saja mereka melihat ada harapan berhasil dari seorang ahlul al bayt, mereka segera mengerumininya, praktis, mereka kemudian membuangnya begitu mereka melihat harapan yang akan diperolehnya sangat tipis (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 181).

Untuk melihat sejauhmana perbedaan motif-motif  dari orang-orang kufah yang  berdiri di belakang para Imam ini yang di informasikan secara melimpah oleh para ulama dan sejahrawan ahlu sunnah, Para penulis sejahrawan awal, terutama yang memberi perhatian khusus pada peritiwa shififn seperti  Nasr bin Muzahim al Minqari dengan kitabnya Waq’at ash Shiffin, Baladzuri Ansyab al asyraf  dan Futuh al Buldan, menceritakan bagaimana perbedan tegas antara para syiah dan kelompok diluar syiah yang berdiri dibelakang Imam Ali  dan berikut sebagian kecil kutipanya :
Diceritakan oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf  II/293 dst dan Futuh al Buldan II /362, 460-470) , Menghadapi ganguan yang dilancarkan oleh Damaskus  secara terus menerus, Ali bin Abi Thalib memanggil  sahabat dan tokoh-tokoh penting kufah, untuk dimintai pendapatnya. (perhatikan jawaban yang diriwayatkan oleh sejahrawan ahlu sunnah ini sikapnya sangat berbeda antara kaum syiah dan para badut-badut politik kufah-ibnu jawi al jogjakartani) dan masing-masing memberikan pandanganya,
Ammar bin Yassar mengatakan, “ akan lebih baik jika bergerak sehari lebih cepat” kemudian Ammar bersyair “Bergeraklah untuk memerangi kelompok-kelompok yang merupakan musuh musuh Nabi, karena sebaik-baik  orang adalah syiah Ali “.

Qais bin Sa’ad berkata, “ Berjihad melawan orang Damaskus lebih wajib ketimbang berjihad melawan Turki dan Romawi “ Nasr bin Muzahim menambahkan, bahwa Qais bin Sa’ad selalu menekankan dengan berbicara atas nama Anshar mendorong orang-orang kufah menghadapi Muawiyyah, Qais menekankan bahwa para sahabat Rasulullah ada bersama mereka, dan tujuh puluh orang ahli badr bersama mereka, sementara pemimpin kita adalah saudara sepupu Nabi, washi Rasulullah dan seorang tokoh andalan Badr.
Sahl  bin Hunaif menyatakan kepada Ali, bahwa “Anshar menyatakan siap dan taat mengikuti perintah-perintah Ali”.

Sementara itu perhatikan jawaban-jawaban para asyraf al qabail dan tokoh Qura sebagaimana ditulsikan oleh oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf  II/293 dst dan Futuh al Buldan II /362, 460-470) dibawah ini :
Ketika Sahl bin Hunaif menyatakan, bahwa anshar siap dan taat kepada Ali bin Abi Thalib, sebagian orang-orang kufah yang hadir disana gaduh, dan ada yang berkeberatan, dia adalah Hanzalah bin Rabi’ah, ia mengatakan, “ anda mau mengirim  kami untuk membunuh orang-orang Damaskus, sementara kemarin anda sudah membawa kami untuk membunuh orang-orang Basrah”. Mendengar itu Malik Asytar menukas, dan berkata kepada Ali bin Abi Thalib “ Anda tidak usah cemas, merasa tidak enak dan jangan diambil hati ucapan pengkhianat ini, kami muslim adalah syiahmu yang akan membela engkau” .  Kemudian diketahui Hanzalah atas tekanan sukunya malam-malam pergi bergabung dengan Muawiyah, namun tidak ikut ambil bagian dalam Perang.

Itris bin Arqub Syaibani  -Baladzuri menuturkan kelak ia menjadi khawarij, dan dia adalah sahabt Abdullah bin Mas’ud (Ansab al asyraf II 363)- mewakili kaum qura dan sukunya menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib“ Kami bersama dan ikut anda tetapi perlu anda ketahui, bahwa kesertaan kami kepada anda tidak menyebabkan kami terikat kepada anda”.

Rabi’ah bin Khutsaim seorang asyraf al qabail, menyatakan bahwa “membawa masyarakt kufah dalam peperangan menghadapi Muawiyyah adalah  ketidak mungkinan “ lalu ia menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib,  bahwa ia dan kabilahnya yang sependapat dengan dirinya akan mundur ke Rai, dan Nasr bin Muzahim al Minqari menyebut ia di ikuti empat ratus orang dari sukunya. Sementara itu kabilah Bajila  mundur ke daerah Dailami.

Ath Thabari (Tarikh I/3256) meringkaskan sikap sebagian besar Asyraf al Qabail, ia menyatakan  Para kabilah (ayraf al qabail) menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib agar tidak memerangi Muawiyyah”, sementara itu Muhammad Jafri,  menambahkan “ kebanyakan asyraf al qabail tidak memperlihatkan hasrat memerangi Muawiyah, mereka berangkat ke shifin dalam semangat netral, dan dengan serta merta menerima perdamaian yang ditawarkan melalui usulan arbitrase” Origin and Early Development of shi’a Islam hal 175).

Sikap pragmatis orang-orang kufah (yang bukan pengikut syi’ah) yang menjadikan motif keuntungan sebagai aliran ini juga tampak jelas, Baladzuri menceritakan ” Sebagian pasukan kufah gampang  berubah pikiran dan bergabung dengan Muawiyah, ketika Muawiyah memberika jeumlah uang kepada pasukan Ali yang berasal dari Kufah ” (al Futuh buldan III/121) Dan sejahrawan Ahlu sunnah sendiri, banyak menuliskan sikap-sikap para syi’ah yang menolak sogokan Muawiyyah ini dan inilah yang membedakan secara tegas antar syi’ah dan para pragmatis, Kepada Ziyad bin hafsah, Muawiyah berkata : Aku ingin anda sekeluarga bergabung dengan kami. Aku Berjanji kelak nanti kalau kemenangan sudah kami raih maka akan kami berikan kepqad anda kota yang anda inginkan, Ziyad bin Hafsah menjawab :” Aku memegang teguh  prinsip atau kebenaran dari Allah, dan aku tak mungkin mendukung orang yang tidak menghormati hukum Allah dan tidak bermoral seperti anda ( Nasr bin Muzahim al Minqari, Waqa’at ash Siffin 199)  nasr menceritakan, Qays bin sa’ad pun tak luput dari upaya sogokaan oleh Muawiyah, tetapi ia tampik dengan keras, dan mengatakan “ Engkau ingin memperdaya aku dengan uangmu dalam agamaku , pergilah kalian” Bandingkan dengan sikap asyraf al qabail yang diceritakan oleh Ibn A’tsam ( al Futuh IV/hal 156)  dimana par asyraf al qabail yang membelot ke kubu Muawiyah karena sogokan. Ibn A’tsam mengungkapkan secara detail bagaimana  pengaruh sogokan Muawiyah dimasa Imam Hasan.

Satu hal yang membuat saya (ibnu jawi al jogjakartani) heran, bagaimana orang dengan moralitas yang menghalalkan sogokan untuk meraih tujuan disebut sebagai orang yang patut diteladani, semntara mereka yang kukuh dan teguh membela kebenaran justru di sebut sebagai rafidhah sesat, bila demikian mengapa ahlu sunnah tidak menghalalkan saja sogokan, bukankah dalam versi kalian sunnah sahabay juga menjqdi rujukan, dan bukankah muawiyah menghalalkan sogokan.

Dari sedikit kutipan dari para sejahrawan diatas, jelas membuktikan bagaimana struktur sosial masyarakat kufah, kesertaan mereka tyerhadap para Imam Ali bin Abi Thalib tidak serta merta menyebabkan orang kufah menjadi syiah, para sejahrawan teal menunjukan bagaimana warna kecendrungan yang dimiliki masing-masing kelompok yang kelak mengkristal mejadi syiah, khawarij dan pendukung Muawiyyah yang mewujud menjadi ahlu sunnah wal jama’ah.

KESIMPULAN AKHIR.


Dengan memperhatikan uraian panjang diatas, ibnu jawi al jogjakartani dapat mengambil kesimpulkan bahwa:
  1. Struktur sosial yang membentuk masyarakat Kufah tidaklah homogen, tetapi memiliki heterogenitas kesukuan.
  2. Bahwa kebijakan Diwan para penguasa sebelum Imam Ali atas Kuffah, kelak menaburkan benih “ketidak setiaan” mereka terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
  3. Masyarakat Kufah tidak seluruhnya adalah Syi’ah,  kesertaan mereka terhadap Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as tidak dapat secara sembrono disebut sebagai syi’ah, karena sejahrawan telah dengan sangat jenius mengkatagorisasikan syiah disatu sisi dan di sisi lain  menunjukkan kelompok-kelompok pragmatis  Pragmatis tersebut
  4. Kelompok Pragmatis di tubuh masyarakat kufah tersebut adalah:
    1. Kelompok Asyraf al Qabaail (yang terdiri dari para pemimpin Klan dan ’Urafa (pengawas dan pemimpin unit terkecil) yang berpihak kepada Imam untuk mengukuhkan posisinya dan menghapuskan dominasi Umayyah.
    2. Kelompok para qurra (al hafizh) yang berpihak kepada Imam dengan kepentingan sama seperti kelompok Asyraf al Qabail, yang membedakan adalah kelompok hafizh ini  menuntut kesetaraan atas dominasi kaum Qurasy maupun bani Ummayah.
Dengan demikian peta sosial kondisi masyarakat kufah sudah dapat dijelaskan, dan denganya diketahui betapa heterogenya struktur masyarakat kufah dan kompleksnya kepentingan mereka terhadap eksistensi Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
Wallhu alam bhi showab,

Bersambung Insya Allah pada tulisan :

MELACAK KELOMPOK PENGKHIANATAN MASYARAKAT KUFAH  KEPADA IMAM ALI as, IMAM HASAN as DAN IMAM HUSAIN as (2).

Pengkhianatan Asyraf al Qabail dan Para Qurra terhadap Imam Ali bin Abi Thalib
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma sholi ala muhammad wa ali muhammad


Para nawashib berkotbah, Ali di khianati oleh pengikutnya sendiri, mereka tak lain dan tak bukan adalah syiah. Sejarah syiah dipenuhi dengan tindakan pengkhianatan demi pengkhianatan, bahkan dari ibu bernama syiah dengan rahim hitam kelam dan berayah Kufah  terlahir jabang bocah bernama khawarij… Benarkah itu ? Bukankah Allah memuji syi’ah  :” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh  mereka itu sebaik-baik makhluk” (QS.AlBayyinah: 7-8 ) bukankah Rasulullah saww memuji syiah “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syi’ahmu. Engkau dan syi’ahmu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan ridho dan di ridho’i”. Aroma busuk sengaja dihembuskan kaum nawashib kepada kaum awam, bahwa syiah memanglah pengkhiat dengan menunjukan sarang syiah di kufah.

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama Melacak kelompok pengkhianat kepada Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dari Masyarakat Kufah (1) struktur sosial penyusun masyarakat kufah. Pada tulisan kali ini akan di ulas lebih jauh kiprah pengkhianat dari masyarakat kufah  terhadap Imam Ali bin Abi Thalib baik dari kelompok Asyraf al qabail maupun dari kalangan qurra (hafizh)…

Pendahuluan.

Pada saat imam Ali menjabat sebagai khalifah beliau menghadapi sekurang-kurangya tiga pengkhiantan dari dalam –ini diluar kajian para pengkhianat dari kelompook al Nakitsin (pengobar perang Jamal) dan kelompok Qasithin (pengobar perang Shifin) –  diantaranya adalah pengkhianatan kelompok khawarij (dalam riwayat disebut sebagai al mariqin) dan sikap keengganan masyarakat kufah dalam menghadapi invasi Damaskus pimpinan Muawiyyah bin Abu Sofyan. Para nawashib gencar menghembuskan kabar bahwa para pengikut Khawarij  semula adalah orang-orang syiah, tetapi karena berselisih paham dengan Ali bin Abi Thalib, maka mereka  menyatakan keluar dari barisan Ali dan mendirikan Khawarij, sisanya tetap mengikuti Ali tapi dengan menyembunyikan watak aslinya  sebagi pengkhianat dengan cara enggan dan ogah-ogahan mendukung Ali dalam menghadapi musuh-musuhnnya.

Kekeliruan mendasar dari para nawashib tersebut adalah bahwa mereka dalam menuduh tidak berpijak dari fakta-fakta yang ada, dan mereka mengeneralisasikan bahwa seluruh orang yang berpihak pada Imam Ali dalam peperangan beliau, harus disebut sebagai syi’ah. Padahal para ulama ahlu sunnah sendiri sudah menjelaskan bahwa terdapat pengikut sejati Ali (syi’ah) -yang harus dibatasi pada pengertian relegius, yakni, kesyi’ahan  yang dilandasi pada keyakinan bahwa Imamah berada di imam Ahlul Ba’it- dan mereka yang bersifat pragmatis, berpihak kepada Imam Ali karena kepentingan-kepentingan pragmatis (lihat kembali di tulisan pertama).

Asal  Kaum Khawarij  Bukan Kaum Syi’ah.


Yang pertama kita bahas kelompok Khawarij, kelompok pengkhianat pertama dari barisan Imam Ali adalah kaum Khawarij,  menurut Rasul Ja’farian, orang-orang yang kelak menyempal dari barisan Ali dan mendirikan Khawarij,adalah kelompok yang berasal dari kaum nomad yang pada tahun-tahun ketika Kufah dibangun berdatangan ke tempat tersebut,  mereka ikut aksi penaklukan, dan mereka mendapat kemenangan dramatis, memperoleh aset rampasan perang yang terlalu banyak untuk dihitung. (History of the caliphs : From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad dynaty 11 – 132 AH hal 384),  Di antara kaum nomad ini, ada yang menjadi hafizh (Qura’) (harus di bedakan antara Qura yang menjadi syiah sejati (dibawah pimpinan Malik asytar dan Adi bin Hatim)  dengan  Qura dari kaum nommad ini lihat ditulisan pertama).

Memetakan keberadaan kelompok nommad di kufah yang kelak menjadi khawarij ini tidak lah mudah, karena keberadaanya tersebar di kabilah di kufah,  para penulis sejarah  menyebutkan asal kelompok yang dominan di tubuh khaarij, Nourouzzaman (Khawarij hal 37)  menyebutkan, kabilah yang banyak menjadi pengikut khawarij berasal dari Bani Tamim,  Sementara itu Baladzuri menyebutkan bahwa, pengikut Khawarij banyak yang berasal dari suku nommad  seperti bani Tamim, suku Bakar bin Wail dan suku nomad kecil lainya yang turut bergabung dengan khawarij (Ansyab al asyraf II/363)  namun demikian Baladzuri menambahkan, bahwa kecendrungan Khawarij ada dalam setiap kabilah baik yamani maupun nizari. Sementara itu ad diniwari menyebutkan Bani Murad, Bani Rasib dan Bani Tamim sebagai yang mendominasi Khawarij (akhbar at tiwal 196).

Alasan Kaum Khawarij Berada di Pihak Imam Ali.


Sebelum menjelma menjadi khawarij, kelompok ini hanya dikenal sebagai bagian dari masyarakat kufah sebagian dari merea didapati sebagai Qurra. Keberpihakan mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib kw, tidak didasarkan pada keyakinan relegius, sebagaimana keberpihakan kaum syiah. Hal ini dijelaskan oleh Baladzuri, “Kaum khawarij pada umumnya didukung oleh suku-suku nomad. Mereka ini tidak mengerti kalau imamah dan politik merupakan dua hal yang berada di luar topik atau masalah  suku. Kecendrungan mereka terlihat dalam cara berfikir mereka yang menafsirkan secara menyimpang (Ansab al Asyraf II/363)
Kesertaan kaum nommad di belakang Imam Ali dimulai dari krisis Utsman bin Affan. Para sejahrawan menceritakan sepertiBaladzuri (Ansyab al asyraf V/26, 60-61); Thabari (Tarikh I /2948) menyebutkan, para Hafizh nommad terlibat aktif dalam krisis dimasa Utsman bin Affan), Para Hafizh Nomad dan pendukungnya memberikan tudingan kepada Utsman bin Affan  sebagai telah banyak membuat bid’ah.  Ketidak puasan para hafizh  nomad ini sebagaimana diceritakan oleh Baladzuri (Ansab al asyraf V/40 ; Mas’udi (Murudz Dzahab II/337) dan Thabari (Tarikh I/2916) diakibatkan oleh : “Kebijakan Utsman yang mengangkat banyak anggota klanya pada pos-pos yang  memiliki pemasukan besar (Pos basah-ibnu jawi), serta tindakan Ustman memberikan hadiah-hadiah berlebihan”, Selain itu, kemarahan para nomad kepada utsman tersebut lantaran dipicu oleh tindakan keras Ustman kepada Abdullah bin Mas’ud yang menui protes dari salah seorang qura bernama Itris bin Arquib syaibani (kelak dia bergabung bersama khawarij) (Baladzuri, Ansab al asyraf  II/360 dan Yaqubi, Tarikh II/170).

Faktor ketidak puasan suku-suku nomad terhdap utsman bin Affan tersebut mendorong mereka menggunakan Ali sebagai mediasinya, dan ktika mediasi gagal yang berujung terbunuhnya Utsman bin Affan, Mereka menjadi bagian yang menyatakan kesetianya kepad Imam Ali bin Abi Thalib. Tetapi ada fakta menarik yang dicatat oleh Baladzuri, bahwa mereka akan membunuh Imam Husain sebagaimana mereka membunuh Ustman manakala tidak sesuai dengan harapan mereka (Futuh al Buldan, II/246). Jadi alasan pertama kaum nomad –yang kelak menjadi khawarij ini – lebih dilatar belakangi sikap pragmatis politis terhadap ketidak puasan kepada kebijakan penguasa, dan kemudian kelompok ini mencari figur lain sebagai pengganti.

Selain alasan diatas, terdapat alasan lainya, bahwa suku-suku nomad merasa kecewa terhadap dominasi Qurasy (syaikh Mufid, al Irsyad I/254) dan belakang hari pandangan negatif mereka terhadap qurasy mengejawantah pada landasan doktrinal mereka yang menyebut : bahwa khalifah tidaklah harus berasal dari suku Quraisy.

Dengan dermikian faktor yang mendorong, bergabungnya mereka dengan Imam Ali bin Abi Thalib, bukan dilandasi pijakan fundamental doktrinal imamah melainkan pada  idologi pragmatis yakni pemerataan dan kesetaraan.

Jejak Pengkhianatan Kaum Khawarij.


Pengkhianatan kepada imam Ali bin Abi Thalib oleh suku-suku nomad yang kemudian menjelma menjadi khawarij ini dilakukan tidak hanya pada Perang shiffin tetapi dilakukan pada saat  panggilan perang jamal, berikut uraian singkatnya :
Az Zamakhshari, menuliskan, “ Perang jamal merupakan aksi pertama ketika kaum mulsim terlibat konflik dengan sesama, Dalam perang ini meskipun ada pihak pemenang, namun tidak ada aset rampasan perang, sehingga hal ini menjadi masalah bagi sebagian pendukung Ali, terutama dari kalangan suku-suku pengelana, dari kalangan hafizh kelompok mereka, mengajukan protes “ bagaimana ceritanya perangnya dibolehkan namun aset pihak yang kalah tak boleh diambil ( al Fa’iq IV/129). Inilah protes pertama kaum khawarij kepada Imam Ali.

Pengkhiantan kedua kaum nommad dan qurra pengelana kepada imam Ali bin Abi Thalib  terjadi pada saat perang shifin. Nasr biin Muzahim menyebutkan, berulangkali Imam Ali bin Abi Thalib mengajak pasukan Damaskus menyelesaikan persoalan dengan menggunakan  Al Qur’an sebagai rujukan, dan beberapa utusan dikirim. Tetapi pasukan Damaskus membunuh utusan Ali (Waq’qt ash shifiin, 244), Setelah terjadi pertempuran hebat –para sejahrawan menyebut sebagai Layla al Harir- pasukan Damaskus hampir menemui kekalahan, pada saat itu Lima ratus kitab Al Qur’an diletakkan tombak Damaskus. Dan terjadilah kericuhan  di Barisan Imam Ali,  sementara Imam Ali  memerintahkan terus bertempur sementara pasukan syiah terus menggempur pasukan dibawah Asyraf al qabail dan pendukungnya menyerukan pertempuran harus dihentikan,  seruan tersebut disambut suku-suku pengelana, Nasr bin Muzhahim mencatat  kepada imam Ali menghadap imam Ali agar pertempuran dihentikan, (waq’at ash shiffin 490)  Sebagian pendukung Ali datng menghadap, dengan tanpa memanggil Ali bin Abi Thalib dengan Amirul Mukmini, mereka meminta Ali untuk menyudahi perang dan menyelesaikan melalui Al Qur’an. Nasr bin Muzahim menyebutkan,   diantar orang-orang ini ada sejumlh hafizh yang sudah merasa cukup hanya dengan hafal Al Qur’an  menjadikan mereka memiliki hak untuk membenarkan sikap mereka ( Waq’at ash shiffin, 492) Imam Ali menjawab seruan mereka “ Aku patut menerima penyelesaian melalui Kitab Allah, lebih dari lainya : namun Muawiyyah dan para sahabtnya bukanlah sahabat dalam agama dan bukan sahabat dalam Al Qur’an. Aku lebih kenal mereka daripada kalian, sejak kecil aku sudah bersama mereka “ (Waq’at ash shiffin, 492). Dan pada saat itu pasuka syi’ah dibawah pimpinan Malik asytar  terus melakukan gempuran. Namun dibelakang daerah pertempuran. Imam Ali terus dipaksa untuk mengentikan pertempuran dan segera menarik Malik asytar.  (Waq’at ash shiffin, 494) dan inilah pengkhianatan kedua kepada Imam Ali. Sementara pasukan syiah tetap bertemur pasukan dari suku pengelana dan  pasukan dari pimpinan asyraf al qabail menghendaki berhenti.
Pengkhianatan ke tiga kaum pengelana dan para hafizhnya yang merasa cukup hanya dengan bacaan al Qur’an adalah pada saat penunjukan  wakil  Imam Ali dalam Arbitrase, Imam Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas atau Malik Asytar tetapi ajuan Imam Ali ditolak olek kalangan asyraf al qabail (yang nanti akan dijelaskan pula)  Sementara Malik Asytar ditolak oleh kelompok asyraf al qabail, maka Ibnu Abbas ditolak oleh para hafizh  (Waq’at ash shiffin, 498).

Pengkhianatan ke tiga kaum pengelana ini, adalah  Penetangan mereka atas usul mereka sendiri, yakni arbitrase,  Baladzuri menyebutkan,  kelompok penetang arbitrase keluar dari kesatuan, mereka memisahkan diri dari lasykar dan pergi ke Harura yang berjarak 2,5 km dari kufah.

Puncak pengkhianatan mereka adalah Pembunuhan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib.

PENGKHIANATAN  BANI NAJIYAH.


Terdapat gerakan yang memiliki kemiripan dengan Khawarij, yang sama-sama semula berdiri dibelakang Imam Ali bin Abi Thalib,  pengkhiantan ini berasal dari Bani Najiyah pimpinan Khirrit bin rasyid, Baladzuri mennuliskan, Pemberontakan Khirit bin rasyid didukung sukunya Bani Najiyah dan Suku Kurdi, khirit beraksi sedemikian rupa sehingga kaum khawarij mengira khirit sependapat dengan pandanganya,” Pengkhianatan ini berhasil dipadamkan pasukan syi’ah pimpinan Ma’qil bin Qais Riyahi.

KHAWARIJ DALAM PENGKABARAN RASULULLAH SAWW.


Fenomena khawarij, ini adalah unik, mereka kebanyakan adalah orang-orang yang dikenal gemar beribadah, bahkan mendapatkan sebutan Qurra.  Pemimpin mereka Abdullah bin Wahab bahkan mendapat julukan Dzuts Tsafanat (orang yang di dahinya ada tanda sujud), tetapi sebagaimana diceritakan oleh Rasul Ja’farian “bahwa orang-orang khawarij merasa lebih unggul  dengan ke hafizanya dibanding orang lain, dan merasa lebih akurat atas sikap yang mereka ambil (History of the caliphs : From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad dynaty 11 – 132 AH)  Ad Dinawari memberikan ilustrasi  kekeliruan mereka, yang terjadi pada saat perang Jamal. Ketika Ali bin Abi Thalib tidak membenarkan orang memanfaatkan harta pribadi orang lain, kecuali harta yang digunakan musuh dalam pertempuran. Orang-orang dari suku pengelana pun merasa heran, karena kebijakan sebelumnya membolehkan  bila berhasil memenangi perang merampas seluruh aset musuhnya. Pada saat itu Imam Ali berkata, mengapa kalian tidak memperdulikan Aisyah, kalau harta  kalian rampas seluruhnya,  dimana letak kepedulian kalian ? Orang-orang pengelana dan sebagian orang-orang arab yang masih sederhana pikiranya disertai para qurra mereka, mempertanyakan sikap Ali bin Abi Thalib, karena menurut mereka, manamungkin membunuh musuh dalam perang namun hartanya tidak boleh diambil (Akhbar ath Thiwal 151).

Sempitnya mereka dalam memahami Al Qur’an  menyebabkan mereka terjatuh pada kejumudan yang fatal, dan Rasulullah saww sendiri  telah mengisyaratkan muncul serta watak kaum khawarij ini, sekalipun mendapat sebutan hafizh, Rasulullah mengisyaratkan kualitas buruk kehafizanya, meski disebut sebut sebagai ahli ibadah tetapi Rasulullah saww menyebutkan buruknya kualitas ibadah mereka, berikut kutipan rangkuman Hadits Rasulullah saww :
Muslim bin Hajjaj berkata dalam Shahihnya, “Abdu bin Humaid telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdurrazzaq bin Hammam telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdul Malik bin Abi Sulaiman telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Salamah bin Kuhail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, ‘Zaid bin Wahab al-Juhani telah menceri-takan kepadaku bahwa ia termasuk salah seorang anggota pasukanyang berangkat bersama Ali ra. untuk memerangi kaum Khawarij. Ali ra. berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Akan muncul satu kaum dari umatku yang membaca al-Qur’an, bacaan al-Qur’an kalian tidak ada apa-apanya dibanding bacaan mereka, shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat mereka, puasa kalian tidak ada apaapanxja dibanding puasa mereka. Mereka membaca al-Qur’an dan menyangka al-Qur’an itu menjadi hujjah ijang mendukung mereka padahal al-Qur’an menjadi hujjah yang membantah mereka. Shalat mereka tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah keluar dari busurnya. Sekiranya pasukan yang memerangi kaum ini tahu apa yang telah disediakan buat mereka melalui lisan nabi mereka niscaya mereka akan meninggalkan amal. Tanda-tandanya adalah di antara kaum ini terdapat seorang lelaki yang memiliki lengan atas tapi tidak memiliki lengan bawah. Dan di pangkal lengan atasnya terdapat seperti mata payudara dan padanya terdapat rambut yang telah memutih.”.

Abdullah bin Mas’ud, haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al- Musnad (1/404), at-Tirmidzi dalam Sunannya (nomor 2188), Ibnu Majah (nomor 168) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi nomor 1779 dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Akan muncul nanti di akhir zaman satu kaum yang dangkal akalnya, muda nbelia, atau beliau berkata, muda usianya, mereka mengucapkan sebaik-baik perkataan manusia, mereka membaca al-Qur’an dengan lisan mereka namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Barangsiapa mendapati mereka maka perangilah mereka sebab bagi yang memerangi mereka telah tersedia pahala yang besar di sisi Allah.

PENGKHIANATAN ASYRAF AL QABAIL.


Pengkhianat lain dari barisan Imam Ali yang lain adalah pengkhianatan dari kalangan asyraf al Qabail,  untuk mengetahui siapakah asyraf al qabail silahkan kembali merujuk pada tulisan pertama yang ditulis ibnu jawi al jogjakartani penulis artikel ini). Kalangan sejahrawan ahlu sunnah menyebutkan bagaimana para asyraf al qabail ini melakukan pengkhianatan. Setelah mendapati kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib tidak seperti yang ditempuh oleh para penguasa sebelumnya yang cendrung menguntungkan mereka.

Sikap plin plan dan acuh tak acuh para Asyraf al Qabail  dan pengikutnya terbaca pula oleh Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diceritakan oleh Nasr bin Muzahim dan Baladzuri “Imam Ali bin Abi Thalib senantiasa berpesan  kepada para sahabat-sahabat dan pengikutnya (baca syiah), agar mewaspadai dan berhati-hati kepada sikap para asyraf al qabail kufah” (waq’at ash shiffin II/144 ; al Futuh II/468). Sikap plin plan par asyraf al qabail ini dengan jelas diceritakan oleh  Nashir bin Muzahim dan Baladzuri dalam Kitabnya : “ Para asyraf al qabail mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan Ali bin Abi Thalib usai perang jamal. Pada kesempatan itu  mereka memaparkan alasan-alasan yang membenarkan diri mereka sendiri  atas sikap yang diambil untuk tidak memberikan dukungan  kepada Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa jamal,  tetapi pada saat yang sama mereka mengukuhkan dan memperkuat kembali ba’iat kepada Ali bin Abi Thalib (Waq’at ash shiffin 21, al futuh II/370-371).  Menyebutkan sikap-sikap khianat dan plin-plan kalangan asyraf al qabail secara keseluruhan tentu akan membuat panjang artikel ini –pada artikel pertama kami sudah menyinggung sedikit-, kami hanya akan menyajikan sikap-sikap pragmatis mereka dimasa Imam Ali bin Abi Thalib, yang memiliki dampak dan pengaruh yang besar, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pengkhianatan gembong Asyraf al Qabail – Asyat bin Qais al Kindi-

Sikap  Asy’ats bin Qays al kindi orang yang tidak memiliki kualitas keislaman baik, yang diangkat oleh Walid bin Uqbah (Gubernur Utsman bin Affan)  untuk menggantikan Hujar b Adi al Kindi. Asy’ats bin Qays memiliki peran besar dalam menggalang pengkhianatan dari kalangan Asyraf al qabail berikut ‘urafa yang menjadi anggotanya.  ad Dinawari menceritakan, ketika terjadi pemberontakan anti Utsman, Asy’ats bin Qays  sempat melarikan diri ke Damaskus, namun kemudian ia kembali ke kufah (Akhbar ath Thiwal/156). Asy’at bin Qais adalah orang yang memprotes kebijakan Diwan Imam Ali, serta orang yang menggalang dukungan untuk menolak penggantian dirinya oleh Imam Ali bin Abi Thalib sebagai Asyraf al Qabail, dimana dirinya akan digantikan oleh Hujr bin Adi. Asy’at bin Qais mampu memainkan sebagai orang yang merusak barisan Imam Ali dari dalam (lihat tulisan ibnu jawi di artikel I).

Baladzuri menceritakan, bahwa Asyat bin Qais salah seorang tokoh asyraf al qabail berpengaruh  sempat akan bergabung dengan Muawiyyah, peristiwa tersebut terjadi ketika Ali bin Abi Thalib memerintahkan satu tim khusus untuk memeriksa dan menaksir aset-aset yang dimiliki para asyraf al qabail ( Ansab al asyraf 2/296).

Asyats bin Qais juga memanfaatkan pengaruhnya untuk merusak barisan Imam Ali, Sebagaimana diceritakan oleh Nasir bin Muzhahim: Pada tanggal 5 syawal 36 H dari Nukhaila Imam Ali bangkit melakukan perlawanan terbuka,  perpecahan pertama dalam tubuh pasukan Ali bin Abi Thalib terjadi akibat provokasi Asy’ats bin Qays yang melakukan protes atas diangkatnya Hassan bin Makhduj untuk memimpin pasukan Yaman, provokasi tersebut nyaris membuat bentrokan antara kabilah Kinda dan Rabiah  (Waq’at ash shiffin 127), Nashr menceritakan, Melihat perpecahan tersebut, Muawiyyah mengirimkan penyair orang Kinda untuk menyemangati Asy’ats menentang Ali, tetapi upayanya gagal, karena Asy’ats dibiarkan mempin pasukan sayap kiri yang terdiri dari suku kinda” (Baladzuri, Futuh al Buldan III/105).

Aksi pragmatis asyraf al qaba’il yang dipimpin oleh Asy’at bin Qais ini, adalah dengan menempatkan diri mereka dengan posisi yang mengambang – lihat penjelasan Muhammad Jafri di artikel pertama yang kami tulis (ibnu jawi al jogjakartani)- di antara dua pihak yang bertikai, bila dilihat ada posisi yang lebih menguntungkan maka pihak tersebut yang akan di dukung diam-diam. Saat terjadi perang shiffin, Asy’ats bin Qais di satu sisi berperang dan memimpin klannya di pihak Imam Ali bin Abi Thalib tapi di pihak lain dia menjalin kontak-kontak rahasia dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan. Ya’qubi menceritakan “ bahwa Asy’ats bin Qais pada saat perang shiffin mengambil peran penting mengajak para kabilah lain agar perang  diberhentikan. Peran Asy’at bin Qais dalam peristiwa yang mendorong terjadinya arbitrase tersebut, sebagai hasil korespondensi antara Asy’ats bin Qais dan  Muawiyyah ( Tarikh al Ya’qubi II/188) Sikap plin-plan Asy’at bin Qays ini terlihat ambigu, di satu sisi saat berperang dia mengobarkan  perlawanan tetapi disisi lain dia  mememcah kesatuan, al Yaqubi menceritakan secara detail dalam kitab tarikhnya.

Ketika tentara Muawiyyah mengangkat lima ratus Kitab Al Qur’an yang diletakan di atas tombak mereka, Ali bin Abi Thalib menyatakan “bahwa ulah mereka hanyalah tipu daya, dan Sha’sha’a  bin Shauhan  kemudian melanjutkan gempuran ke kubu Muawiyah,  pada saat  berlangsung pertempuran sengit ia mendengar Asy’ats bin Qais berteriak agar memikirkan kaum wanita dan bila perang dilanjutkan kaum Arab akan mengalami krisis, Sha’sha tetap melanjutkan pertempuran, sementara Asy’ats bin Qais merupakan orang pertama yang  menentang Ali melanjutkan perang ( Nasr bin Muzahim al Minqari, Waq’at ash shiffin 478),  Baladzuri dan Nasr binh Muzahim al Minqari  menuliskan, “disaat tentara yang dipimpin sahabat Ali melakukan gempuran ke arah tentara Damaskus,  sebagian  para asyraf dengan membawa laskarnya menghadap Ali, tanpa memanggil Ali dengan sebutan Amirul Mukmini, mereka meminta  Ali menerima penyelesian masalah melalui Al Qur’an. Dalam kelompok ini ikut serta para hafizh (yang kelak bergabung menjadi khawarij) (Waq’at ash shifin 490 dst ; Ansab al asyraf II/331) Pada saat imam Ali di datangi para pemipin kabilah kufah dan para hafizh, Malik asytar sudah mencapai garis depan kamp pasukan Muawiyah, pada saat itu kaum pemrotes,  meminta Ali  agar mengeluarkan perintah mundur pasukan sahabat-sahabatnya atau Ali akan menghadapi perpecahan, sebagian pemerotes berteriak “anda telah menyemangati sahabt-sahabt anda untuk melanjutkan pertempuran, jika Malik tidak segera kembali, dan pasukan anda tidak segera menghentikan peperangan, maka kami akan membunuh anda”, Ali kemudian memenuhi permintaan mereka demi menghindari perpecahan yang mengancam kesatuan pasukanya Ali mengirimkan Yazid bin Hani untuk menarik mundur pasukan yang masih bertempur (Waq’at ash shifin 493)
Asy’ats bin Qais mengambil peran yang sangat dominan dalam arbitrase, ia bersama para asyraf al qabail kufah yang mengatur proses arbitrase,  Nasr bin Muzahim menuliskan ia menemui Muawiyyah untuk membicarakan bagaimana cara melakukan arbitrase (Waq’at ash shifin 495). Asy’at bin Qais  bersama dengan para khawarij  mengajukan Abu Musa Asy’ari sebagai wakil pihak Imam Ali, tetapi Imam Ali menolak – menurut  al Dinawari, Abu Musa al ‘asyari adalah  orang mulia dari kalangan asyraf al qabail, yang dimasa Ali bin Abi Thalib menghadapi kaum Jamal, Ali memerintahkan Hasym bin Utbah agar Abu Musa menyiapkan masyarakatnya, tetapi Abu Musa malah  meminta masyarakat kufah untuk tidak terburu-buru memberikan dukungan kepada Ali (Akhbar ath Thiwal 145) – Ali bin Abi Thalib menginginkan wakil arbitrase adalah Ibn Abbas atau Malik Asytar (Nasr bin Muzahin,  Waq’at ash shiffin 499) Ibnu Abbas mengomentari sikap badung para pemrotes dari kalangan asyraf al qabail dan dari kaum khawarij ini, ibnu Abbas mengatakan (Kalau saja pada saat itu mereka mau bersabar, kemenangan pasti akan diraih” (Baladzuri, ansab al asyraf II/331).

Dalam penyusunan perjanjian fornal, asy’ats bin qais  adalah orang yang paling ngotot dalam menghilangkan gelar Amirul Mukminin bagi Ali bin Abi Thalib, Nasr bin Muzahin (waq’at ash shiffin. 508) Ya’qubi (Tarikh II/189) menuliskan, Dalam perjanjian formal ini, Ali dan Muawiyah ditetapkan memiliki hak yang sama/ Pada tahap pertama, nama Ali diikuti dengan gelar “Amirul Mukmini” (pemimpin kaum beriman), namun untuk muawiyah, penyematan gelar itu tidak dapat diterima. Asy’ats bin Qais bersikeras agar gelar Amirul Mukmini dihapus saja. Ali bin Abi Thalib yang mendengar itu menyatakan “Maha suci Allah, sebuah sunah seperti sunah Nabi. Dalam kesepakatan damai hudaibiyah, Suhail bin Amr wakil kaum musyrik ngotot minta supaya sebutan “Rasulullah “ dihapus”.

Watak plin plan asya’ts bin qais yang mewakili watak para pengikutnya kembali muncul setelah arbitrase yang dipaksakan oleh kelompok mereka kepada Imam Ali ternyata tidak menguntungkan mereka.  Baladzuri menuliskan “ sejumlah orang seperti asy’ats bin Qais dan banyak anggota lasykar kufah mengungkapkan ketidak sudian tunduk kepada Damaskus, mereka menentang arbitrase tetapi tidak sampai keluar dari jama’ah ( Baladzuri  ansab al asyraf II/351)  Ya’qubi menceritakan, Dalam perjalanan kembali ke shifin kelompok pemerotes terbagi menjadi dua, satu kelompok menentang arbitrase tetapi tidak keluar, sedang satu kelompok keluar dari jama’ah dan kesatuan mereka  pergi ke Harura yang berjarak 2,5 Km dari kufah. (Tarikh Ya’qubi II/191).

Baladzuri (Ansab al asyraf II/374) dan (Futuh al Buldan III/277) menceritakan Ketika Imam Ali bin Abi Thalib meminta masyarakat Kufah bersiap menghadapi serbuan kembali pasukan Damaskus,  Asy’ats bin Qais menyatakan keberatanya, sehingga yang mendukung Ali tinggal sedikit sehingga tidak mampu menghadapi pasukan Damaskus, Ali bin Abi Thalib memutuskan kembali ke Kufah”
Puncak pengkhianatan antara kaum khawarij dan asyraf al qabail terhadap Imam Ali bin Abi Thalib,  adalah konspirasi diantara kedua kelompok tersebut, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi ad Dunya menceritakan  pada malam sebelum pembunuhan  Imam Ali bin Abi Thalib,  Abdurahman bin Muljam sempat singgah di rumah Asy’at bin Qais (Maqtal al Imam Amiril Mukminin Ali Bin Abi Thalib hal 28, 33 No 11).

Pengkhiantan Asyraf al Qabail  Jarir bin Abdullah Bajali.

Jarir bin Abdullah Bajali adalah kawan karib dari Umar bin Khatabb dia menjadi tokoh asyraf al Qabail yang berpengaruh dan mapan ketika Imam Ali bin Abi Thalib berpindah ke kufah. Imam Ali bin Abi Thalib mempercayakan negosasi dengan Muawiyah kepadanya, karena masing-masing memiliki kedekatan dengan Umar, sehingga bisa dibicarakan agar Muawiyah menghentikan aksi membangkangnya, tanpa melalui jalan peperangan. Tetapi sayangnya Jarir bin Abdullah Bajali bersikap menjadi pembela Muawiyyah Baladzuri menceritakan, Muawiyyah  berkata kepada Jarir bin Abdullah, “Kirinm surat untuk Ali untuk menetapkan secara penuh bahwa Damaskus dan mesir untuiki. Dan bia kelak ia meninggal, dia tidak boleh mengabaikan ikrar setia orang kepadaku”  Ali bin Abi Thalib menjawab surat Muawiyah yang ditulis Jarir tersebut “ Mughirah di Madinah pernah mengusulkan ini kepadaku, tetapi aku tolak. Aku tak mungkin berbuat seperti ini karena Allah tak pernah melihatku dalam posisi memanfatkan kaum penyimpang untuk mendukungku ( Futuh al Buldan II/392)    Empat bulan kemudian, Jarir bin Abdullah meninggalkan Damaskus untuk kembali ke kufah, Malik asytar menjatuhkan hukuman keras kepada dia, dan menyebut jarir bin Abdulaj telah melakukan kesalahan dengan menggadaikan agamanya kepada Muawiyah di Damaskus. (Futuh al Buldan II/404) Jarir kemudian meninggalkan Kufah menuju Qirqisa, dia mengajak sukunya Bajilah keluar dari Kufah untuk mengurangi kekuatan Ali bin Abi Thalib menghadapi Muawiyah.  Kecuali sembilan orang, suku Bajilah mengikuti Jarir bin Abdulah  ke Qirqisa. Kepergian Jarir bin Abdulah disertai oleh Tsuwair bin Amir  (Nasr bin Muzahim al minqari, Waq’at ash shiffin 61).

Pertarungan antara Asyraf al Qabail dengan Syiah di klan Bani Tamimi.


Bahawa suku-suku dalam kufah tidaklah mutlak syiah, juga dipaparkan secara tegas oleh para sejahrawan ahlu sunnah. Di dalam suku masing-masing terjadi perdebatan tentang kemana suku mereka mesti mendukung Ath Thaqofi menuliskan. “ Muawiyah  memerintahkan Abdullah bin Amir Hadhrami untuk menemui  Usmaniah dari Bani Tamim meminta dukungan,  Dalam pertemuan tersebut, Abdullah berbicara dengan tema menuntut balas kematian Usman, ketika menjelaskan, Dhahhak bin Abdullah Hilali memprotesnya dengan mengatakan “ Apakah anda menyuruh kami untuk mencabut pedang dan berperang satu sama lain hanya demi mempertahankan tahta Muawiyyah,  demi anda agar menjadi mentrinya, dan untuk melanggar baiat yang telah kami berikan kepada Ali ? Demi Allah, satu harinya Ali dimasa hayat Nabi jauh lebih baik dibanding segala prestasi muawiyyah dan silsilahnya”  Dan kemudian Bani Tamimi mengalami kekiSruhan, pemipin suku menyuarakan mendukung Muawiyyah dan sekelompok kecil  seperti Ahnaf bin Qais tetap mendukung Imam Ali” (lebih rinci lihat Al Gharat II/302-322 ) Ath Thaqofi juga menceritakan polarisasi antara kaum syiah dan kelompok pragmatis terjadi ditubuh Kaum Azd, dan kaum Mudhari di kufah.

Raqqa Utsmani kalangan Agamawan pro Usmaniah di Kuffah.


Ya’qubi menuliskan dalam kitabnya, bahwa di kufah adal sekelompok agamawan  yang dahulu merupakan pendukung Utsman, dan belakangan berkecendrungan kepada Muawiyyah, mereka menghimpun dalam komunitas bernama Raqqa Utsmani  kelompok ini menunjukkan netralitas disetiap pertempuran yang dijalani Ali bin Abi Thalib. Raqqa Usmani kufah pernah diperintah Imam Ali agar membuat jembatan penyebrangan bagi pasukan Imam Ali, tetapi mereka menolak, kemudian  Ali bin Abi Thalib  memerintahkan Malik Asytar agar kembali meminta mereka membuat jembatan penyebrangan.  Akhirnya mereka mau melaksanakan ( Tarikh al Yaqubi II/187).



Kritikan Imam Ali bin Abi Thalib kepada Asraf al Qabail.



Imam Ali bin Abi Thalib menghadapi pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh kelompok asyraf al qabail, yang enggan memberikan dukungan kepada beliau,  ath Tsaqafi, menuturkan, Ketika Pasukan Muawiyyah melakukan Invasi dibawah pimpinan Sufyan bin Auf Ghamidi yang didukung pasukan berkekuatan enam ribu serdadu, pasukan besar ini hanya dihadapi oleh segelintir pasukan yang setia kepada Imam Ali (baca syiah) dibawah pimpinan Asyras bin Hassan Bakri,  meski dengan kekuatan minim Asyras melakukan perlawanan meski akhirnya dia gugur karena musuh terlampau banyak, Imam Ali lalu memanggil para pemimpin suku (asyraf al qabail) kufah agar mengerahkan masanya berkumpul di Nukhaila untuk menghentikan aksi Sufyan, tapi sambutan kabilah di kufah sangat sepi kemudian  Imam Ali menuturkan kesedihannya atas sikap mereka : “…Pada saat ini kalian tak pernah mau keluar. Kenapa kalian Cuma selalu menunggu dan menunggu ? kalian telah menutup mata terhadap kota-kota kalian yang direbut dan terhadap muslim syiahku  yang dibunuhi? Di perbatsan tak terlihat seorang penjaga perbatasan, namun yang terlihat justru musuh…( Al Gharat I/302-303)  ath Tsaqafi menceritakan, Imam Ali hanya dapat memberangkatkan pasukan dari kalangan pengikut Imam Ali (baca syiah) sebanyak delapan ribu orang, dan Imam menunjuk Said bin Qais Hamdani sebagai pemipin pasukan.

LOYALITAS  MASYARAKAT SYIAH KUFAH TERHADAP IMAM ALI.


Sudah dipaparkan diatas bagaimana mayoritas pengikut asyraf al qabail dan kaum khawarij berkhianat kepada Imam Ali,  adalah hal yang bijaksana untuk menengok bagaimana sikap kaum syiah manakala mendapati Imam mereka dikhianati secara bertubi-tubi. Sejahrawan Besar Ahlu Sunnah  Ath Thabari dan Baladzuri menuliskan dalam kitabnya ,  Sekembalinya Ali dari Shiffin dan tiba di Kufah, pasukan Ali terpecah menjadi tida bagian,  kaum khawarij  yang memisahkan diri, kaum penentang arbitrase yang tidak keluar dari barisan Ali, dan para pengikut setia Ali (baca syiah-ibnu jawi al jogjakartani) yang tetap patuh kepadanya,  para pengikut Ali yang setia tersebut mengemukakan kembali komitmen setia mereka kepada Ali, mereka berkewajiban untuk kembali bersumpah setia dengan mengatakan “Kami akan berbaik hati  dan ramah dengan sahabat anda, dan akan memusuhi dengan orang yang menentang dan melawan anda” (Tarikh Thobari V/64 dan Asab al Asyraf II/348).

Agaknya loyalitas para pengikut Ali tersebut yang kemudian mendorong para sejahrawan melakukan katagorisasi  atas kesyiahan mereka –sebagaimana telah dicatat dalam tulisan pertama -, Pribadi-pribadi agung tersebut banyak yang gugur syahid membela Imam Ali,  sebuah loyalitas spiritual  yang patuh pada perintah Rasulullah untuk mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib,  mereka adalah Ammar bin Yaser, Khuzaimah,  Muhammad bi Abu Bakar (Kakek buyut Imam Ja’far dari pihak Ibu yang juga anak Abu Bakar), Zaid bin Shauhan, Saihan bin Shauhan, Shaq’ab, Abdullah, Salim bin Mikhnaf (kake Abu Mikhnaf) Alba’ Bin harits sadusi. Hind Jamali dan seterusnya tentu mencatat nama mereka menjadi rentetan daftar panjang, kaum syiah bukanlah pengkhianat sebagaimana yang dituduhkan kaum Nawashib, karena justru para nawashib justru mengangkat tinggi-tinggi kepada kaum pangkhianat, bahkan mempetcayai mereka sebagai pembawa kebenaran agama…

Wallahu ‘Alam bhi Showab.

Bersambung Insya Allah pada tulisan :
MELACAK KELOMPOK PENGKHIANATAN MASYARAKAT KUFAH  KEPADA IMAM ALI as, IMAM HASAN as DAN IMAM HUSAIN as (3)
Pengkhianatan Asyraf al Qabail dan Para Qurra terhadap Imam Hasan as.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: