Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ammar bin Yasir*. Show all posts
Showing posts with label Ammar bin Yasir*. Show all posts

Umar Bin Khatab : Taat kepada Muawiyah Masuk Neraka

Jumat, 29 Juni 2012 14:01 Redaksi
E-mail Cetak PDF
Bekasi –

Husein bin Hamid Alattas akui dirinya tidak menganggap Muawiyah RA sebagai sahabat Nabi SAW, ia juga mengakui Muawiyah RA boleh dihujat dan dikritik. Meskipun, dirinya menyatakan bermanhaj sebagai Ahlus Sunnah.

“Secara lughowy (bahasa) Muawiyah termasuk sahabat, tetapi secara syar’i Muawiyah tidak termasuk sahabat,” kata Husein Hamid Alattas di tengah acara dialog dan mubahalah antara ustadz Haidar Abdullah Bawazir dengan Husein bin Hamid Alattas di Radio Silaturahim, Jl. Masjid Silaturahim No. 36, Cibubur, Bekasi, Rabu (27/6).

Husein berpendapat, Muawiyah RA merupakan  pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya orang beriman dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah RA dengan Ali bin Abi Tholib RA yang berujung dengan peperangan. Pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah. “Memecahbelah umat dan menguasai harta,” tambah Husein.

Pendapat bahwa terdapat perbedaan makna sahabat secara bahasa dan syar’i dan ketidaksepakatan ulama dalam menilai sahabat yang membunuh orang beriman, menurutnya adalah berdasarkan kitab ulasan orang-orang yang sesuai dengan buku kalangan sunni kontemporer karya Hasan Farhan Al Maliki yang berjudul ‘Assubhu was Sahabah’. “Dalam buku itu tidak terdapat ijma dalam ahlussunnah berkaitan pandangan tersebut (status sahabat bagi orang yang membunuh orang beriman),” ujar Husein.

Penjelasan tersebut diutarakan Husein, setelah menolak definisi sahabat oleh jumhur ulama yang diutarakan ustadz Haidar Bawazir, yakni seseorang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan beriman ketika hidup dan  beriman hingga ia meninggal dunia.

Perang Siffin yang mengorban lebih 70.000 orang, kebanyakannya sahabat dan tabi’in .
Kesesasan yang Nyata .


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut[312], padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (Qs.An Nisa [4] : 60).

Al Qur’an adalah petunjuk Allah Swt kejalan yang lurus (Qs.2 :2-3), maka siapa yang meninggalkannya akan sesat (diri sendiri) dan menyesaatkan orang lain (Suami/istri/anak2/saudara/tetangga,dan orang lain), seberapa jauh kesesatannya tergantung kepada seberapa jauh ia meninggalkan Al Qur’an.


Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh. Muawiyah dan Amru bin Ash, yang mengobarkan perang Shiffin melawan Imam Ali. Percayakah anda, jika seorang lelaki dengan ketinggian spiritual, sebagaimana yang dinyatakan mazhab Sunni divonis neraka ??

Allah berfirman: “Barang siapa yang membunuh mukmin secara sengaja, Neraka Jahanam adalah balasan bagi mereka. Allah mengutuk dan memurkainya, dan azab yang sangat pedih menantinya” (QS. an-Nisa :93).

Dengan demikian, apakah kita harus menghormati seluruh sahabat dan mengikuti mereka semua, meski di antara mereka telah dikutuk Allah dengan ayat diatas? Mengapa kita harus mencintai orang yang dimurkai oleh Allah, dan kenapa kita harus taat pada orang yang telah dijanjikan baginya neraka?

Dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka.”

Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar : “Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).

Tahukah anda bahwa Nabi Muhammad bersabda seperti yang diriwayatkan Musnad Ahmad ibn Hanbal: “Barang siapa yang mengutuk Ali secara terang-terangan, maka ia telah mengutuk aku, dan barangsiapa yang telah mengutuk aku, maka ia telah mengutuk Allah, dan barangsiapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparkannya ke neraka jahanam.”

Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis ! Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).

Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.

Nabi SAW menyebut Mu’awiyah cs sebagai kelompok pemberontak sesat !
Sabda Rasulullah SAW kepada Ammar: “Betapa kasihan Ammar, golongan pembangkang telah membunuhnya, padahal dia menyeru mereka kepada kebenaran (surga) sementara mereka menyeru kepada kesesatan (neraka)” (Hr. Bukhari, Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad).

Padahal Allah SWT menyatakan : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal didalamnya dan Allah murka kepada, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Qs. An Nisa ayat 93).

Juga sabda nya : “Anakku Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar yang berselisih”. Dan sabdanya pada Abu Dzar bahwa ia akan mati sendirian dan terasing. Demikian pula dengan sabda nya : “Imam imam setelahku ada 12, semuanya dari Quraisy”.

Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).

Pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa ‘Ammar dibunuh  kelompok  pemberontak.

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu alGhadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya. Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”.  ( Ibn Qutaibah, AlMa’arif, hlm. 112 ).

Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu alGhadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as Saksaki ( Ibn Abil Hadid, Syarh NahjulBalaghah,jilid 10, hlm. 105).

SHAHIH BUKHARI NO.428 MERIWAYATKAN BAHWA RASUL MENGATAKAN BAHWA AMMAR BIN YASIR AKAN DIBUNUH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Khalid Al Hadza’] dari [‘Ikrimah], Ibnu ‘Abbas kepadaku dan kepada Ali, anaknya, “Pergilah kalian bedua menemui [Abu Sa’id] dan dengarlah hadits darinya!” Maka kami pun berangkat. Dan kami dapati dia sedang membetulkan dinding miliknya, ia mengambil kain selendangnya dan duduk ihtiba`. Kemudian ia mulai berbicara hingga menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia mengkisahkan, “Masing-masing kami membawa bata satu persatu, sedangkan ‘Ammar membawa dua bata dua bata sekaligus. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau berkata sambil meniup debu yang ada padanya: “Kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh golongan durjana. Dia mengajak mereka ke surga sedangkan mereka mengajaknya ke neraka.” Ibnu ‘Abbas berkata, “‘Ammar lantas berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah tersebut.”(Hr.Bukhari).

SIAPAKAH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU..??
Telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] ia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Ma’mar] dari [Thawus] dari [Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm] dari [Bapaknya] ia berkata, “Ketika Ammar bin Yasir di bunuh, [Amru bin Hazm] menemui Amru bin Ash dan berkata, “Ammar telah dibunuh! Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’” Amru bin Ash berdiri dengan penuh keterkejutan seraya mengucapkan kalimat tarji’ (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun), lalu ia mendatangi Mu’awiyah. Mu’awiyah pun bertanya padanya, “Apa yang terjadi denganmu?” [Amru bin Ash] menjawab, “Ammar telah dibunuh!” Maka Mu’awiyah berkata, “Ammar telah dibunuh, lalu apa masalahnya?” Amru bin Ash menjawab, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’” Mu’awiyah berkata, “Kamu berpihak pada anakmu! Apakah kami yang membunuhnya? Yang membunuhnya adalah Ali dan para sahabatnya, mereka membawanya lalu melemparkan di tengah-tengah tombak-tombak kami, -atau ia mengatakan, “di antara pedang kami.”.

JELAS KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU ADALAH KELOMPOK MUAWIYAH YANG BERUSAHA MENGATAKAN ALI DAN SAHABATNYA YANG MEMBUNUH AMMAR BIN YASIR, PADAHAL IMAM ALI TERPILIH SECARA DEMOKRASI LANGSUNG SAH SECARA DEMOKRASI MAUPUN TEOKRASI.

KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA INI HENDAK MENGATAKAN SESUNGGUHNYA RASULULLAH SAWW TELAH MEMBUNUH SAYYIDINA HAMZAH KARENA MENGIKUTSERTAKANNYA KE PERANG UHUD.
NAUDZUBILLAH MIN DZALIK.

‘Ammar ibn Yasir ibn ‘Amir al-’Ansi al-Madzhiji al-Makhzûmi masuk Islam di masa dini, dan Muslim pertama yang membangun mesjid dalam rumahnya sendiri di mana ia beribadat kepada Allah. (Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian I, h. 178; Usd al-Ghâbah, IV, h. 46; Ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 311).‘Ammar masuk Islam bersama ayahnya Yasir dan ibunya Sumayyah. Mereka mengalami siksaan di tangan kaum Quraisy karena masuk Islam. Ayah dan ibu ‘Ammar syahid dalam siksaan, lelaki dan wanita pertama yang syahid dalam Islam.Banyak hadis diriwayatkan dari Nabi (saw) mengenai kebajikan, perilakunya yang menonjol dan amal perbuatannya yang mulia, seperti hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh ‘A’isyah dan lain-lainnya bahwa Nabi telah bersabda, bahwa ‘Ammar dipenuhi dengan iman dari ubun-ubun kepalanya sampai ke tapak kakinya. (Ibn Majah, as-Sunan, I, h. 65; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, I, h. 139; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 295; al-Istî’âb, III, h. 1137; al-Ishâbah, II, h. 512).

Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar,“‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).

Juga dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka. Pembunuhnya dan orang-orang yang merebut senjata dan pakaiannya akan berada di neraka.”.

Ibn Hajar al-’Asqalani (dalam Tahdzîb at-Tahdzîb, h. 409; al-Ishâbah, II, h. 512) dan as-Suyûthî (dalam al-Khashâ’ish al-Kubrâ, II, h. 140) mengatakan,
“Riwayat hadis (tersebut di atas) ini adalah mutawâtir.” Yakni, hadis itu diriwayatkan secara berurut-turut oleh sekian banyak orang sehingga tidak ada keraguan mengenai keasliannya.

Ibn ‘Abdul Barr (dalam al-Istî’âb, III, h. 1140) mengatakan,
“Hadis itu mengikuti kesinambungan tanpa putus dari Nabi, bahwa beliau berkata, ‘Suatu kelompok pendurhaka akan membunuh ‘Ammar,’ dan ini adalah suatu ramalan dari pengetahuan rahasia Nabi dan tanda kenabiannya. Hadis ini termasuk yang paling sahih dan yang tercatat secara paling tepat.”.

Setelah wafatnya Nabi, ‘Ammar termasuk penganut dan pendukung terbaik Amirul Mukminin dalam masa pemerintahan ketiga khalifah pertama. Dalam masa kekhalifahan ‘Utsman, ketika kaum Muslim memprotes kepada ‘Utsman terhadap kebijakannya dalam pembagian harta baitul mal, ‘Utsman berkata dalam suatu pertemuan umum bahwa uang yang berada dalam perbendaharaan adalah suci dan adalah milik Allah, dan bahwa dia (sebagai khalifah Nabi) berhak untuk membelanjakannya menurut yang dianggapnya pantas.

‘Utsman mengancam dan mengutuk semua yang hendak memprotes atau menggerutu atas apa yang dikatakannya. Atasnya, ‘Ammar ibn Yâsir dengan beraninya menyatakan keberatannya dan mulai menuduh kecondongannya yang telah mendarah daging untuk mengabaikan kepentingan rakyat umum; ia menuduhnya telah menghidupkan adat kebiasaan kaflr yang dihapus oleh Nabi. Atasnya ‘Utsman memerintahkan supaya ia dipukuli, dan beberapa orang dari kalangan Bani Umayyah, kerabat Khalifah, segera menyerang ‘Ammar yang mulia itu, dan khalifah itu sendiri menyepak kemaluan ‘Ammar dengan kaki bersepatu, yang menyebabkan ia menderita hernia. ‘Ammar pingsan selama tiga hari dan dirawat oleh Ummul Mu’minin Umm Salamah di rumahnya (Umm Salamah). (al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, V, h. 48, 54, 88; Ibn Abil Hadid, III, h. 47-52; al-Imâmah was-Siyâsah, I, h. 35-36; al-’lgd al-Farîd, IV, h. 307; ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 185; Târîkh al-Khamîs, II, h. 271).

Ketika Amirul Mukminin menjadi khalifah, ‘Ammar adalah salah seorang pendukungnya yang paling setia. la ikut serta dalam semua kegiatan sosial, politik dan militer dalam masa itu, terutama dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Namun, ‘Ammar gugur dalam Perang Shiffin pada 9 Safar 37 H. dalam usia lebih sembilan puluh tahun. Pada hari syahidnya, ‘Ammar ibn Yasir menghadap ke langit seraya berkata,
“Ya Allah Tuhanku. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa apabila aku mengetahui bahwa kehendak-Mu supaya aku menerjunkan diri ke Sungai (Efrat) dan tenggelam, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa apabila Engkau rida sekiranya aku menaruh pedang di dada dan menekannya keras-keras sehingga keluar di punggungku, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku! Aku tidak mengira ada sesuatu yang lebih menyenangkan bagi-Mu daripada berjuang melawan kelompok berdosa ini, dan apabila kuketahui bahwa suatu perbuatan lebih Engkau ridai, aku akan melakukannya.”
Abu ‘Abdur-Rahman as-Sulami meriwayatkan,
“Kami hadir bersama Amirul Mukminin di Shiffln di mana saya melihat ‘Ammar ibn Yasir tidak memalingkan wajahnya ke sisi mana pun, atau ke wadi-wadi (lembah) Shiffin melainkan para sahabat Nabi mengikutinya seakan-akan ia merupakan suatu panji bagi mereka. Kemudian saya mendengar ‘Ammar berkata kepada Hasyim ibn ‘Utbah (al-Mirqal), “Wahai Hasyim, menyerbula ke barisan musuh, surga berada di bawah pedang. Hari ini saya menemui kekasih saya, Muhammad dan partainya.”.

“Kemudian ia berkata. ‘Demi Allah, sekiranya pun mereka membuat kita lari hingga ke pepohonan kurma Hajar (sebuah kota di Bahrain), namun kita dengan yakin bahwa kita benar dan mereka salah.’

“Kemudian ‘Ammar melajutkan (berkata kepada musuh):
Kami menyerangmu (dahulu) untuk (beriman) pada wahyu
Dan kini kami menyerangmu untuk tafsirnya;
Serangan yang memisahkan kepala dari tumpuannya;
Dan membuat kawan lupa akan sahabat setianya;
Sampai kebenaran kembali kepada jalannya.”‘
Lalu ia (as-Sulami) berkata, “Saya tidak (pernah) melihat para sahabat Nabi terbunuh pada saat mana pun sebanyak terbunuhnya mereka pada hari ini.”.

Kemudian ‘Ammar memacu kudanya, memasuki medan pertempuran dan mulai bertempur. la bersikeras memburu musuh, melancarkan serangan demi serangan, dan mengangkat slogan-slogan menantang sampai akhirnya sekelompok orang Suriah yang berjiwa kerdil mengepungnya pada semua sisi, dan seorang lelaki bernama Abu al-Ghadiyah al-Juhari (al-Fazari) menimpakan luka padanya sedemikian rupa sehingga tak dapat ditanggungnya lalu ia kembali ke kemahnya. la meminta air. Semangkuk susu dibawakan kepadanya. Ketika ‘Ammar melihat mangkuk itu ia berkata, ‘Rasulullah telah mengatakan yang sebenarnya.’ Orang bertanya kepadanya apa yang dimaksudnya dengan kata-kata itu. la berkata, ‘Rasulullah telah memberitahukan kepada saya bahwa rezeki terakhir bagi saya di dunia ini adalah susu.’ Kemudian ia mengambil mangkuk susu itu, meminumnya, lalu menyerahkan nyawanya kepada Allah Yang Mahakuasa. Ketika Amirul Mukminin mengetahui kematiannya, ia datang ke sisi ‘Ammar, menaruh kepalanya ke pangkuannya sendiri dan mengucapkan elegi yang berikut,
“Sesungguhnya seorang Muslim yang tidak sedih atas terbunuhnya putra Yasir, dan tidak terpukul oleh petaka sedih ini, tidaklah ia beriman yang sesungguhnya.

“Semoga Allah memberkati ‘Ammar di hari ia masuk Islam, semoga Allah memberkatinya di hari ia terbunuh, dan semoga Allah memberkati ‘Ammar ketika ia dibangkitkan kembali.
“Sesungguhnya saya mendapatkan ‘Ammar (pada tingkat sedemikian) sehingga tiga sahabat Nabi tak dapat disebut tanpa ‘Ammar kecuali dia adalah yang keempat, dan empat nama dari mereka tak dapat disebut kecuali ‘Ammar sebagai yang kelima.

“Tak ada di antara para sahabat Nabi yang meragukan bahwa bukan saja surga sekali atau dua kali dilimpahkan dengan paksa kepada ‘Ammar, melainkan ia mendapatkan haknya atasnya (berkali-kali). Semoga surga memberikan kenikmatan kepada ‘Ammar.
“Sesungguhnya dikatakan (oleh Nabi), ‘Sungguh, ‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar.”‘

Lalu Amirul Mukminin melangkah maju dan melakukan salat jenazah baginya, dan kemudian dengan tangannya sendiri ia menguburkannya.

Kematian ‘Ammar menyebabkan gejolak besar pada barisan Mu’awiah pula, karena ada sejumlah orang terkemuka yang berperang pada pihaknya berpikiran bahwa peperangan Mu’awiah melawan Amirul Mukminin adalah perjuangan yang benar. Orang-orang itu mengetahui akan ucapan Nabi bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh suatu kelompok yang berada di pihak yang batil. Ketika mereka melihat bahwa ‘Ammar telah terbunuh oleh tentara Mu’awiah mereka menjadi yakin bahwa Amirul Mukminin pastilah di pihak yang benar. Kecemasan di kalangan para pemimpin maupun prajurit tentara Mu’awiah diredakan olehnya dengan argumen bahwa justru Amirul Mukminin yang membawa ‘Ammar ke medan pertempuran dan karena itu ialah yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Ketika argumen Mu’awiah disebutkan kepada Amirul Mukminin, ia mengatakan bahwa seakan-akan Nabi harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Hamzah karena beliau yang membawanya ke Pertempuran Uhud. (ath-Thabari, at-Târîkh, I, h. 3316-3322; III, h. 2314-2319; Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 176-189; Ibn Atsîr, al-Kâmil, III, h. 308-312; Ibn Katsir, at-Târîkh, VII, h. 267-272; al-Minqarî, Shiffin, h. 320-345; Ibn ‘Abdil Barr, al-Istî’âb, III, h. 1135-1140; IV, h. 1725; Ibn al-Atsir, Usd al-Ghâbah, IV, h. 43-47; V, h. 267; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jilid V, h. 252-258; VIII, h. 10-28; X, h. 102-107; al-Hakim, al-Mustadrak, III, h. 384-394; Ibn ‘Abdi Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, IV, h. 340-343; al-Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, II, h. 381-382; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 292-298; al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf (biografi Amirul Mukminin), h. 310-319.


Baladzuri mencatat dalam Ansab al-Asyraf (3/ 403) :

حدثني الحسين بن علي بن الأسود، ثنا يحيى بن آدم عن وكيع عن إسماعيل بن أبي خالد عن شبيل اليحصبي قال: كانت لي حاجة إلى عمر بن الخطاب، فغدوت لأكلمه فيها، فسبقني إليه رجل فكلمه فسمعت عمر يقول له: لئن أطعتك لتدخلني النار، فنظرت فإذا هو معاوية.

“Aku mempunyai kebutuhan dari Umar bin Khatab, maka aku pergi kepadanya untuk bicara dengannya, namun seseorang laik-laki  sebelumku berbicara kepadanya, aku dengar bahwa Umar mengatakan kepadanya : Jika aku ta’at kepadamu, kau akan membuatku masuk neraka”..lalu aku melihat dan itu (orang tsb) adalah Muawiyah”
  1. Husain bin Ali al Aswad : Ibn Hajar berkata : “Shaduq” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.216).
  2. Yahya bin Adam : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.2 / h.296).
  3. Waki : Ibn Hajar berkata: “Tsiqah” (Taqrib al-Tahdib, j.2 / h.284).
  4. Ismail bin Abi Khalid : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1 / h.93).
  5. Syubail al Yahshabi : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.412).
tak diragukan kalau Imam Ali benar dalam tindakannya memerangi Muawiyah. Sebagaimana yang telah dengan jelas disebutkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok pemberontak [baaghiyyah]. Hanya saja beberapa orang dari pengikut salafy yang ghuluw mencintai Muawiyah tidak bisa menerima kenyataan ini, mereka dengan segenap usaha “yang melelahkan” membela Muawiyah. Tidak jarang demi membela Muawiyah mereka mengutip perkataan Imam Ali. Bagaimana sebenarnya pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah dan para pengikutnya?. Perhatikanlah hadis-hadis berikut
.
Doa Imam Ali Untuk Muawiyah dan Pengikutnya

حدثنا تميم بن المنتصر الواسطي قال أخبرنا إسحاق يعني الأزرق عن شريك عن حصين عن عبد الرحمن بن معقل المزني قال صليت مع علي بن أبي طالب رضوان الله عليه الفجر ” فقنت على سبعة نفر منهم فلان وفلان وأبو فلان وأبو فلان

Telah menceritakan kepada kami Tamim bin Muntashir Al Wasithiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ishaq yakni Al Azraq dari Syarik dari Hushain dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy yang berkata “aku shalat fajar bersama Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu maka ia membaca qunut untuk tujuh orang, diantara mereka adalah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2628].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syarik ia memang seorang yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya. Ishaq Al Azraq meriwayatkan dari Syarik sebelum hafalannya berubah maka riwayatnya shahih.
  • Tamim bin Muntashir Al Wasithiy adalah perawi Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’I menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 958]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dhabit [At Taqrib 1/143-144]
  • Ishaq bin Yusuf Al Azraq adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shahih hadisnya shaduq tidak ada masalah dengannya”. Yaqub bin Syaibah berkata “ia termasuk orang yang alim diantara yang meriwayatkan dari Syarik”. Al Khatib berkata “termasuk tsiqat dan ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bazzar menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 486]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/87]
  • Syarik Al Qadhi adalah Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ia diperbincangkan sebagian ulama bahwa ia melakukan kesalahan dan terkadang hadisnya mudhtharib diantara yang membicarakannya adalah Abu Dawud, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban tetapi mereka tetap menyatakan Syarik tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 587]. Hafalan yang dipermasalahkan pada diri Syarik adalah setelah ia menjabat menjadi Qadhi dimana ia sering salah dan mengalami ikhtilath tetapi mereka yang meriwayatkan dari Syarik sebelum ia menjabat sebagai Qadhi seperti Yazid bin Harun dan Ishaq Al Azraq maka riwayatnya bebas dari ikhtilath [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 8507]
  • Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman As Sulami Al Kufi seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan  kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 2 no 659]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi  menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124].
  • Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].
Riwayat di atas menyebutkan bahwa Imam Ali membaca qunut nazilah untuk beberapa orang pada shalat fajar. Terdapat riwayat lain yang menyebutkan kalau Imam Ali juga membaca qunut ini [nazilah] pada shalat maghrib

حدثني عيسى بن عثمان بن عيسى قال حدثنا يحيى بن عيسى عن الأعمش عن عبد الله بن خالد عن عبد الرحمن بن معقل قال صليت خلف علي المغرب فلما رفع رأسه من الركعة الثالثة قال اللهم العن فلانا وفلانا وأبا فلان وأبا فلان

Telah menceritakan kepadaku Isa bin Utsman bin Isa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Isa dari Al A’masy dari ‘Abdullah bin Khalid dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata “aku shalat maghrib di belakang Ali ketika ia mengangkat kepalanya pada rakaat ketiga, ia berkata “ya Allah laknatlah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2627].

Riwayat ini sanadnya hasan dengan penguat riwayat sebelumnya. ‘Abdullah bin Khalid adalah seorang kufah yang tsiqat dimana telah meriwayatkan darinya Sufyan Ats Tsawri dan Al A’masy.
  • Isa bin Utsman bin Isa adalah perawi Tirmidzi. Telah meriwayatkan darinya jama’ah hafizh diantaranya Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Nasa’I menyatakan “shalih” [At Tahdzib juz 8 no 410]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/772]
  • Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]
  • Sulaiman bin Mihran Al A’masy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]
  • ‘Abdullah bin Khalid meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy dan telah meriwayatkan darinya Sufyan dan ‘Amasy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 8812]. Al Fasawiy menyebutkan ia seorang yang tsiqat [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/104]
  • Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].
Kedua riwayat ini menyebutkan kalau Imam Ali membaca qunut nazilah pada shalat shubuh dan maghrib dimana Beliau mendoakan keburukan atau melaknat orang-orang tertentu. Siapa orang-orang tersebut memang tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarir tetapi tampak jelas kalau perawi [entah siapa] menyembunyikan nama-nama mereka karena tidak mungkin ada seseorang bernama fulan atau abu fulan. Alhamdulillah ternyata terdapat riwayat-riwayat yang menyebutkan nama beberapa diantara mereka.

حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه

Telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau berkata “Ya Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya, Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050].

Riwayat ini sanadnya shahih, Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]. Sedangkan Hushain dan Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan kalau mereka tsiqat.

حَدَّثَنَا عُبَيد الله بن معاذ قَال حدثني أبي قَال حَدَّثَنَا شُعبة عن عُبَيد أبي الحسن سمع عبد الرحمن بن معقل يقول شهدت علي بن أبي طالب قنت في صلاة العتمة بعد الركوع يدعو في قنوته على خمسة رهط على معاوية وأبي الأعور

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Ubaid Abi Hasan yang mendengar ‘Abdurrahman bin Ma’qil berkata “aku menyaksikan Ali bin ‘Abi Thalib membaca qunut dalam shalat ‘atamah [shalat malam yaitu maghrib atau isya’] setelah ruku’ untuk lima orang untuk Mu’awiyah dan Abul A’war [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/134].

Riwayat ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat termasuk perawi Bukhari Muslim [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin perawi kutubus sittah [At Taqrib 2/193]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Ubaid bin Hasan Al Muzanniy atau Abu Hasan Al Kufiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Nasa’I menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 128]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/643]. Dan ‘Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan bahwa ia tabiin yang tsiqat.
Kedua riwayat Abdurrahman bin Ma’qil ini menyebutkan kalau diantara mereka yang didoakan [dalam qunut] keburukan atau laknat oleh Imam Ali adalah Mu’awiyah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Imam Ali, Muawiyah dan pengikutnya itu menyimpang dan telah sesat plus menyesatkan banyak orang sehingga Imam Ali sampai membaca qunut nazilah untuk mereka. Abbas Ad Duuriy berkata

سمعت يحيى يقول أبو الأعور السلمي رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وكان مع معاوية وكان علي يلعنه في الصلاة

Aku mendengar Yahya [bin Ma’in] berkata “Abul A’war As Sulamiy seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ia bersama Muawiyah dan Ali telah melaknatnya di dalam shalat” [Tarikh Ibnu Ma’in 3/43 no 175].

Kelompok Muawiyah Berada Di Jalan Yang Bathil

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hidzaa’ dari Ikrimah yang berkata Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Ali, pergilah kalian kepada Abu Sa’id dan dengarkanlah hadis darinya maka kami menemuinya. Ketika itu ia sedang memperbaiki dinding miliknya, ia mengambil kain dan duduk kemudian ia mulai menceritakan kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia berkata “kami membawa batu satu persatu sedangkan Ammar membawa dua batu sekaligus, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, kemudian Beliau berkata sambil membersihkan tanah yang ada padanya “kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah [pembangkang], ia [Ammar] mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhari 1/97 no 447]

Telah terbukti kalau ‘Ammar terbunuh dalam perang shiffin dan ia berada di pihak Imam Ali jadi kelompok baaghiyyah [pembangkang] yang membunuh ‘Ammar dalam hadis Bukhari di atas adalah kelompok Muawiyah. Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok yang mengajak ke neraka. Jadi berdasarkan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dalam perang shiffin Imam Ali dan pengikutnya berada dalam kebenaran sedangkan Muawiyah dan pengikutnya berada dalam kesesatan.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت عبد الله بن سلمة يقول رأيت عمارا يوم صفين شيخا كبيرا آدم طوالا آخذا الحربة بيده ويده ترعد فقال والذي نفسي بيده لقد قاتلت بهذه الراية مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث مرات وهذه الرابعة والذي نفسي بيده لو ضربونا حتى يبلغوا بنا شعفات هجر لعرفت أن مصلحينا على الحق وأنهم على الضلالة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Salamah berkata “aku melihat ‘Ammar dalam perang shiffin, dia seorang Syaikh yang berumur, berkulit agak gelap dan berperawakan tinggi, ia memegang tombak dengan tangan bergetar. Ia berkata “demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku telah berperang membawa panji ini bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiga kali dan ini adalah yang keempat. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya sekiranya mereka menebas kami hingga membawa kami kepada kematian maka aku yakin bahwa orang-orang shalih yang bersama kami berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kesesatan [Musnad Ahmad 4/319 no 18904].

Riwayat ini sanadnya hasan. ‘Abdullah bin Salamah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit perbincangan karena hafalannya. Riwayat ini juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 no 5651.
  • Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
  • Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
  • ‘Amru bin Murrah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan shaduq tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair dan Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 8 no 163]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah [At Taqrib 1/745]
  • ‘Abdullah bin Salamah adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ai Ijli menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat termasuk thabaqat pertama dari ahli fiqih kufah setelah sahabat”. Abu Hatim berkata “dikenal dan diingkari”. Bukhari berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah”. Ibnu Ady berkata “aku kira tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 5 no 421]. Ibnu Hajar berkata “shaduq mengalami perubahan pada hafalannya” [At Taqrib 1/498]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Al Kasyf no 2760], Adz Dzahabi juga memasukkannya dalam Man Tukullima Fihi wa huwa Muwatstsaq no 182. Ibnu Hibban telah menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080]. Ibnu Khuzaimah telah berhujjah dan menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/104 no 208]. Al Hakim ketika membawakan hadis ‘Abdullah bin Salamah ia menyatakan hadis tersebut shahih sanadnya walaupun syaikhan tidak berhujjah dengan ‘Abdullah bin Salamah tetapi tidak ada cela terhadapnya [Al Mustadrak juz 1 no 541] itu berarti Al Hakim menganggap ‘Abdullah bin Salamah tsiqat. Pendapat yang rajih, ‘Abdullah bin Salamah adalah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit pembicaraan dalam hafalannya tetapi itu tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan.
Riwayat ini dengan tegas menyatakan kalau ‘Ammar dan orang-orang shalih di pihak Imam Ali adalah berada di atas kebenaran sedangkan mereka kelompok Muawiyah berada di atas kesesatan atau kebathilan. Kami tidak akan berbasa-basi seperti sebagian orang yang mengklaim kalau Muawiyah berijtihad dan walaupun salah ijtihadnya tetap mendapat pahala. Itu berarti Muawiyah yang dalam perang shiffin dikatakan mengajak orang ke neraka tetap mendapat pahala. Sungguh perkataan yang aneh bin ajaib.
Kami juga ingin menegaskan kepada orang yang memang tidak punya kemampuan memahami perkataan orang lain bahwa kami tidak pernah menyatakan kalau Muawiyah dan pengikutnya kafir dalam perang shiffin berdasarkan hadis-hadis di atas. Jika dikatakan mereka bermaksiat maka itu sudah jelas, orang yang mengajak ke jalan neraka maka sudah jelas ia bermaksiat. Tetapi apakah maksiat itu membawa kepada kekafirannya maka hanya Allah SWT yang tahu. Soal Muawiyah kami sudah pernah membahas hadis shahih yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mati tidak dalam agama islam sedangkan soal pengikutnya yang lain kami tidak memiliki dalil yang jelas soal itu.

Syubhat Salafy Dalam Membela Muawiyah.

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ ، قَالَ : سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ ، فَقَالَ : قَتْلاَنَا وَقَتْلاَهُمْ فِي الْجَنَّةِ ، وَيَصِيرُ الأَمْرُ إلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayub Al Maushulliy dari Ja’far bin Burqaan dari Yazid bin Al Aasham yang berkata Ali pernah ditanya tentang mereka yang terbunuh dalam perang shiffin. Ia menjawab “yang terbunuh diantara kami dan mereka berada di surga” dan masalah ini adalah antara aku dan Muawiyah [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/302 no 39035].

Riwayat ini secara zahir sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat tetapi terdapat illat di dalamnya. Adz Dzahabi mengatakan tentang Yazid bin Al Aasham kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih [As Siyar 4/517 no 211]. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi ia menemui masa khalifah Ali tetapi tetap saja Adz Dzahabi sendiri mengatakan kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih. Cukup ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa terkadang ada perawi yang melihat atau bertemu atau semasa dengan perawi lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dikatakan tidak shahih. Salah satu contohnya adalah Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Madini berkata tentangnya “ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520].
Ada yang berhujjah sembarangan dengan hadis ini. Mereka dengan hadis ini membela Muawiyah dan pengikutnya. Ini namanya asal berhujjah, telah kami tunjukkan bagaimana pandangan Imam Ali sebenarnya kepada kelompok Muawiyah. Jika Imam Ali sendiri berdoa dalam qunut nazilah agar Muawiyah dan pengikutnya mendapatkan hukuman dari Allah SWT maka sudah jelas menurut Imam Ali mereka kelompok Muawiyah berada dalam kesesatan atau kebathilan dan hal ini pun sesuai dengan petunjuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan pandangan ‘Ammar bin Yasir radiallahu ‘anhu.

Jadi jika riwayat di atas diartikan bahwa Imam Ali membenarkan Muawiyah dan pengikutnya maka itu keliru. Kami pribadi menganggap atsar tersebut matannya mungkar dan sanadnya memang mengandung illat. Bukankah dalam perang shiffin Muawiyah dan pengikutnya telah terbukti berada di atas Jalan yang menuju ke neraka berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih. Apakah mereka yang gugur karena membela kebathilan akan mendapat imbalan surga?. Jadi dari sisi ini kalau riwayat tersebut diartikan secara zahir maka mengandung pertentangan dengan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Seandainyapun orang-orang tersebut menerima riwayat Imam Ali di atas maka sudah seharusnya diartikan bahwa yang dimaksud bukan secara umum. Bukankah salafy sendiri [Muawiyah dan pengikutnya] menganggap bahwa dalam kelompok Imam Ali terdapat para pembunuh Utsman radiallahu ‘anhu. Nah apakah mereka yang terbunuh dalam kelompok Imam Ali ini akan mendapat surga? Silakan mereka salafy menjawabnya. Begitu pula mungkin saja dalam kelompok Muawiyah terdapat orang-orang yang tidak memahami persoalan, mereka tertipu oleh propaganda Muawiyah atau dengan bahasa yang lebih kasar fitnah kalau Imam Ali dan pengikutnya melindungi para pembunuh khalifah Utsman radiallahu ‘anhu. Mungkin saja kelompok ini yang dikatakan Imam Ali bahwa yang terbunuh diantara mereka mendapat surga. Sehingga sangat wajar di akhir riwayat Imam Ali mengatakan kalau masalah ini adalah antara diri Beliau dan Muawiyah.

Selain itu sangat ma’ruf kalau tidak semua orang yang ikut berperang memiliki niat yang baik walaupun mereka berada di pihak yang benar. Kedudukannya tergantung niat orang tersebut, jika ia berperang dengan niat mendapatkan harta atau niat lain yang buruk dan gugur dalam perang tersebut bukan berarti ia lantas mendapat surga. Terdapat kisah dimana salah seorang sahabat gugur di medan perang kemudian para sahabat yang lain mengatakan ia syahid tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membantahnya dan mengatakan kalau ia di neraka karena sahabat tersebut telah berkhianat dalam harta rampasan perang. Kami cuma ingin menyampaikan bahwa atsar Imam Ali di atas seandainya kita terima maka ia tidak bisa diartikan secara umum untuk semua orang yang terbunuh di shiffin. Apalagi sangat tidak benar menjadikan hadis ini untuk membela Muawiyah dan pengikutnya yang lain.

Sebenarnya ada hal lucu yang tidak terpikirkan oleh salafy. Bukankah mereka sering merendahkan Syiah yang katanya  Syiah mengatakan bahwa Imam Ali mengetahui perkara yang ghaib. Padahal yang dilakukan syiah mungkin hanya berhujjah dengan riwayat yang ada di sisi mereka. Sekarang lihatlah riwayat Imam Ali di atas, bukankah pengetahuan siapa yang akan masuk surga adalah pengetahuan yang bersifat ghaib lantas kenapa sekarang salafy anteng-anteng saja meyakini riwayat tersebut. Sekarang dengan lucunya [demi membela Muawiyah] salafy mengakui kalau Imam Ali mengetahui perkara ghaib bahwa yang terbunuh di shiffin itu masuk surga. Sungguh tanaqudh dan memprihatinkan mereka suka mencela mazhab lain tetapi apa yang mereka cela ada pada diri mereka sendiri.

Salam Damai.

Para nawashib berkhotbah bahwa Ali di khianati oleh pengikutnya sendiri, mereka tak lain dan tak bukan adalah syiah. Sejarah syiah dipenuhi dengan tindakan pengkhianatan demi pengkhianatan, bahkan dari ibu bernama syiah dengan rahim hitam kelam dan berayah Kufah terlahir jabang bocah bernama khawarij… Benarkah itu ?

Bismillahirrahmanirrahim.
Allahumma sholi ala muhammad wa ali muhammad.

Para pengikut sekte Nawashib  sudah sejak lama membuat  tuduhan yang menyebut syiah telah melakukan pengkhianatan kepada Imam mereka sendiri. Kepada Ali bin Abi Thalib, orang-orang syiah yang semula mendukung Ali, kemudian balik memusuhi dan mengkhianati dengan membentuk aras baru  bernama khawarij. Nawashib menuduh, khawarij lahir dari rahim syiah dan mereka semula adalah orang-orang syiah. Kepada Hasan, syiah kembali berkhianat dengan melakukan penyerangan kepada Imam mereka sendiri, dan puncak pengkhianatan syiah adalah dengan dikirimnya 18.000 surat yang ditulis oleh warga kufah kepada Imam Husain.

Tuduhan tersebut  adalah sebagai bentuk kedustaan belaka, karena  faktanya, kalangan sejahrawan ahlu sunnah sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa telah terjadi pengkhianatan syiah kepada Imam  Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Para sejahrawan ahlu sunnah  menuliskan bahwa para pengkhianat itu dilakukan oleh para badut politik yang hendak melakukan tawar menawar politik demi meraih peruntungan pribadi.

Sejahrwan ahlu sunnah menyebut para pengkhianat ini dengan sebutan Asyraf al Qaba’il, menariknya kelompok ini terbentuk dari hasil kebijakan Abu Bakar di perteguh oleh Umar bin Khatab dan sempurna ditangan Usaman bin Affan. Melalui artikel ini ibnu jawi al jogjakartani mencoba melacak jejak siapakah  kelompok Asyraf al Qaba’il dan bagaimana motif-motif pengkhinatanya.


DEMOGRAFI MASYARAKAT KUFAH.

Untuk mengetahui siapakah masyarakat kufah dan kecendrungan aliranya maka yang perlu dilihat dalah struktur kemasyarakat (demografi) dari  penghuni kufah tersebut. Ibnu Jawi al Jogjakartani sebelumnya telah menulis komposisi  masyarakat kufah dalam tulisan  ”Syiah terlibat dalam pembunuhan Imam husain as ?” untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke blog kami syiahnews.wordpress.com. Namu secara sepintas kami akan mengulang sebagian pada artikel ini.

Menurut Baladzuri (Futuh al Buldan)  kota Kufah didirikan pada Tahun 17/638, sekitar tiga tahun setelah Umar bin Khatab menjabat khalifah di Madinah, kota ini didirikan atas perintah khalifah kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, usai pasukan Muslimin memperoleh kemenangan dalam pertempuran al Qadisiyah (15/636H).  Lamanya jarak pendirian kota Kufah yang memakan waktu dua tahun tersebut, disebabkan pada faktor pemilihan lokasi, bahwa tempat tersebut harus  sesuai dengan lingkungan orang Arab serta dapat memenuhi kebutuhan mereka. Sa’ad meminta bantuan Salman al Farisi dan Hudzaifah al Yamani, dan pilihan jatuh di tepi barat  sungai Efrat dekat Hira kota lama Persia.

Kota Kufah semula ditujukan sebagai garninsun prajurit Islam, menilik dari instruksi Umar bin Khatab yang menyebut, agar memilih tempat untuk tentara Islam sebagai dar hijrah (tempat beremigrasi dalam Istilah TNI disebut sebagai Garninsun) dan markas untuk melancarkan perang (dalam surat Umar disebut Manzil Jihad).

Baladzuri menambahkan bahwa tempat tersebut dikemudian hari dapat difungsikan sebagai tempat berkumpulnya kesatuan-kesatuan militer ( dalam surat umar menyebut qayrawan/ kalau di Indonesia sejenis dengan Resimen Induk Daerah Militer (RINDAM)) Dan kota tersebut sesuai perencanaanya kemudian menjadi Qayrawan Kufah (kalau dibahasa indonesiakan RESIMEN INDUK DAERAH MILITER /RINDAM KUFAH). Kesatuan-kesatuan yang berkumpul disini, menurut Baladzuri, berasal dari  veteran Al Qadisiyah atau dikenal  sebagai Ahl Al Ayyam Wa al Qadisiyah.

Menurut sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri dalam bukunya Origin and Early Development of shi’a Islam hal 149, Orang-orang Arab (termasuk para sahabat) tidak banyak pengalaman dalam mendirikan kota. Konsepsi kota sebagai unit politik  dan sosial yang komplek masih terasa asing bagi mereka. Kota-kota di tanah mereka berasal seperti Thaif, makkah dan Madinah, unit sosio politiknya bukanlah kota melainkan kabilah/suku. Sementara itu kesatuan-kesatuan militer Islam tersebut sangat heterogen sehingga diperlukan cara penyusunan  administratif dan bagaimana melakukan deployment tempat tinggal mereka.

Oleh karenanya kemudian Sa’ad bin abi waqash sebagimana diceritakan oleh Baladzuri dan Yaqut (Mu’jam al Buldan IV/323)  menyusun masyarakat kufah kedalam katagori kesukuan yang luas, yaitu Kelompok Nizari (Orang Arab Utara)  yang diberikan tempat diwilayah Barat dan Kelompok Yamani ( Orang Arab Selatan)  tinggal di wilayah Timur,  wilayah tinggal tersebut dibatasi ditengah-tengahnya dengan Masjid, Baitul Mal dan kediaman Gubernur Kufah.

Tetapi penempatan dengan cara membagi wilayah kufah menjadi dua tempat, kemudian terbukti gagal dan menimbulkan persoalan, menurut Thabari (Tarikh I/2495)  permasalahan yang dihadapi masyarakt kufah yang disusun atas para wajib militer ini  adalah kesukaran dalam pendistribusian gaji (diwan) yang merupakan sumber pendapatan penduduk kufah.

Sebagai solisunya, sebagaiaimana diceritakan oleh Thabari, Umar bin Khatab (Tarikh I/2496)  memerintahkan kepada Saad bin Abi Waqash agar  mereorganisir populasi penduduk kufah  dengan cara seperti menyusun masyarakat seperti sebelum islam datang (pra Islam). Para penduduk kufah akan dikelompkan berdasarkan organisasi kesukuan tradisional arab dimana klan atau suku-suku dijadikan persekutuan politik dalam bentuk konfiderasi longgar.  Dalam meralisasikan itu maka ’addala, ta’dil dibuat berdasarkan silsilah dan persekutuan, Umar memerintahkan Sa’ad agar meminta bantuan dua ahli dalam masalah keturunan Arab (Nussab).

Akhirnya, masyarakat kufah dikelompokan menjadi tujuh kelompok,  ulama ahlu sunnah seperti Thabari dalam Tarikh Juz I mulai halaman  mulai 2497, Umar Rida Kahhalah, dalam kitab Mu’jam Qaba’il al Arab, Ibn Abd Rabbih kitab al ‘Iqd al Farid khususnya pada juz III. Struktur Demografi masyarakat Kuffah yang terbagi menjadi tujuh klan  yang terdiri dari :
1. Kinana  dan ahabisy , Qays’ Ailan.
2. Quda’ah, Ghassan, Bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd.
3. Madzhik, Humyar, Hamdan,
4. Grup Mudhar, yang di isi dari Tamim, Rihab, Hawzin.
5. Asad Ghatfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan Taghlib.
6. Iyad, ’Akk, ’Abd al Qays, Ahl al Hajar dan Hamra.
7. Sub’.

Thabari, Umar Ridha Kahhalah menammbahkan, Ketujuh kelompok penduduk kufah tersebut kemudian dinamakan dengan Tujuh Kesatuan Suku (Muqatilah), mereka menempati tujuh distrik militer di kota kufah, dan di setiap distrik masing-masing  disediakan lokasi untuk :
  1. Tempat pertemuan mobilisasi persiapan perang.
  2. Tempat untuk distribusi Gaji (diwan).
  3. Tempat untuk pembagian harta rampasan perang.
  4. Tempat untuk menggembalakan ternak dan alat transportasi kavaleri (tempatnya dinamakan Jabbanah).
  5. Tempat Pekuburan.
Menurut Thabari (Tarikh I/2414 dst) Untuk melaksanakan tugas-tugas administratif, Umar bin Khatab  mengorganisir para  petugas yang mengatur diwan (gaji), pembagian rampasan perang dan lain-lain sebagai berikut : ”bahwa untuk mendistribusikan tiap kelompok dipecah kedalam group-group (unit-unit kecil) sebagai penanggungjawab unit kecil/ group ditunjuk satu orang  pengawas dari tiap group. Para pengawas group/unit kecil tersebut dinamakan dengan ’Irafah (sipemikul tanggung jawab sebagai arif (jamak ’urafa), dan sejumlah besar para ’Urafa tersebut,- sebagaimana disebutkan oleh Thabari (Tarikh I/2496)- kemudian  dinamakan dengan ASYRAF AL QABA’IL, mereka yang mendapat sebutan ASYRAF AL QABAIL ini bukan hanya para ’Urafa saja, tetapi juga para pemimpin Klan/Kabilah. Karena Para Pemimpin Klan ada yang merangkap jabatan sebagai ’Urafa.

Menurut Thabari di halaman yang sama, Umar bin Khatab pada tahun 20/641 menetapkan kriteria diwan (penggajian) penduduk kufah  sebagai berikut :
Bahwa jumlah gaji yang diterimakan (penduduk kufah) besaranya mengkiti urutan sebagai berikut
  1. Penerima gaji tertinggi adalah group Muhajirin dan Anshar.
  2. Urutan kedua adalah mereka yang ikut dalam operasi melawan kemurtadan dan pemberontakan
  3. Urutan  ketiga  mereka yang disebut sebagai Ahl al ayyam wa’l Qadisiyah  yakni mereka yang ikut ke Yarmuk dan Qadisiyah dan kemudian ambil bagian dalam pertempuran ini.
  4. Urutan ke empat adalah mereka yang disebut sebagai rawadif  yakni mereka  yang datang ke kufah setelah Yarmuk dan Qadisiyah,
  5. Berikutnya adalah gelombang imigran yang dijenjangkan  menurut waktu mereka pertama kali ikut penakulukan-penaklukan.
Perlu ditambahkan dari keterangan yang tidak ditulis Thabari,  menurut Ad Duri ( Muqaddamah fi Tarikh Shadr al Islam hal 50-58), Bahwa Umar bin Khatab menetapkan distribusi diwan (selain yang disebut diatas-ibnu jawi al jogjakartani)  umar membedakan diwan (gaji) antara orang Qurasy dan non Qurasy, dimana orang-orang Qurasy diberikan tunjangan lebih tinggi. Umar bin Khatab  juga menetapkan perbedaan pendapatan dimana Orang Arab memperoleh tunjangan lebih banyak dari pada non Arab.

Bahkan ulama ahlu sunnah Ad Dinawari ( ’Uyun al Akhbar I/230) dan al Baihaqi (al Mahasin wa al masawi  2/150) menyebutkan dalam kitab mereka mengutip dari Ma’mun bahwa, Umar bin Khatab berpendapat, jika seorang Arab  membutuhkan uang, dan tetangga seorang arab itu seorang non Arab (dalam bukunya disebut Nibthi), maka orang arab tersebut boleh menjual orang Nibthi tersebut agar orang arab mendapatkan uang.

Sistim Muqatilah tersebut berlaku selama hampir 20 tahun,  hingga mengalami perubahan lagi dimasa Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib.

KUFFAH DIMASA PEMERINTAHAN USMAN BIN AFFAN.


Dimasa pemerintahan Usman bin Affan,  kedudukan Asyraf Al Qabail semakin disempurnakan. Menurut  Rasul Ja’farian ( History of the caliphs : From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad dynaty 11 – 132 AH hal 222-223) ”Usman bin Afan meneruskan kebijakan Umar bin Khatab, dengan meneruskan dan menyempurnakan system yang dibentuk Umar yang telah membentuk system dan dewan yang berbasis system etnis, guna melindungi identitas Arab disatu sisi dan Qurasy disisi lain”. Dan kebijakan itupun akhirnya berdampak pula pada rekonstruksi pejabat Asyraf al Qabail.

Setelah Usman mengangkat  Al Walid b Uqbah   sebagai gubernur Kufah, kebijakan yang dirintis Umar bin khatab  diteruskan dan disempurnakan,  para Asyraf al Qabail  pun diformat ulang, ada yang semakin kukuh posisinya, ada pula yang di singkirkan, mereka yang bukan berasal dari  keluarga prestis di singkirkan, meskipun memiliki prestise keislaman yang tinggi,  Muhammad Jafri   (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 170)  menyebutkan”dibawah kekuasaan Al Walid bin Uqbah, pemimpin klan ( dan asyraf al qabail)  Kufah banyak yang digantikan,  penggantian tidak didasarkan pada prestise keislaman tetapi lebih mempertimbangkan keunggulan suku dan keluarga.  Sebagai contoh Al Asy’ats bin Qays al Kindi –dia kelak yang menggalang  asyraf al qabail melakukan pengkhianatan- menggeser Hujr b ’Adi al Kindi ”, Jafri menyebutkan ”Hujar b Adi al Kindi memiliki prestis keislaman, tetapi digeser oleh seorang aristokrat yang  pernah memimpin kaum murtad”.  Jafri memberikan contoh yang lain,  Sa’d b Qays al Hamdani (seorang aristokrat yang tidak memiliki keunggulan Islam) menggantikan Yazid bin Qays al Arhabi  yang dikenal sebagai pemimpin Islam yang shaleh”.

Baladzuri ( Ansab V/46) menyebutkan dalam daftar panjang para ’urafah yang tergabung dalam Asyraf al Qabail  yang digantikan,  untuk disebutkan sebagian kecil saja adalah sebagai berikut, Musayyab bin Najabah al Fazari, yazid bin Qays al Arhabi, Adi Bin Hatim al Thai, Sha’sha’ah bin shuhan al ”abdi dll.  Dengan demikian komposisi masyarakat kufah baik ditinjau dari pemimpin suku  maupun pemimpin group/unit terkecil (’Urafah) di isi oleh orang-orang dari kalangan ningrat.  Ibn Sa’d (ath thabaqat al kabir, VI/11) menyebutkan ”Bahwa seluruh kaum ningrat Arab (ibnu Sa’ad menyebut sebagai Zuyutat al ’Arab)  terwakili dan duduk dalam  struktur penting asyraf al qabail)”. Ini menjadikan bukti program Umar bin Khatab dalam membentuk landscap masyarakat kufah dimana Qurasy menjadi unsur utama yang harus diprioritaskan diatas suku arab lain, dan arab atas non arab mendekati kesempurnaan ditangan Usman bin affan.  (Al tanzimat al Ijtima’yah wa’l iqtishadiyah fi’l Bashrah hal 88 mencatat ” dimasa Umar dan Utsman, orang-orang non Arab yang tinggal dikufah diperlakukan agak berbeda dari orang-orang Arab  menyangkut jiziah dan kharaj, dan warga non arab adalah warga kelas dua”.

Meskipun masih menggunakan polah tujuh, menurut jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 172) hakekatnya kota kufah terbagi menjadi hanya du kelompok besar, yaitu :

1. Kelompok Asyraf al Qabail , mereka yang disebut sebagai  pemimpin Klan, pemimpin group/unit terkecil (’irafah) yang sebagian besar diisi oleh  kalangan ningrat arab yang disebut Ibn Sa’ad sebagi Zuyutat al ’Arab. Masing-masing memiliki sejumlah pengikut yang besar. (Al tanzimat al Ijtima’yah wa’l iqtishadiyah fi’l Bashrah hal 82 dst) mencatat sejumlah mawali menjadi pendukung Asyraf al Qabail, diantaranya dari Group Hamra atu Daylamiah  dibawah yuridikasi Umayyah yang ditugaskan sebagai Penjaga keamanan (Polisi), Para mawali petani yang  dibawah yuridikasi Umayyah pula, Kelompok mawali  saudagar dan mawali buruh diyuridikasikan sesuai keinginan klan yang ingin dimintai afiliasi perlindungan,  Mawali budak yang di ikat pada yuridikasi  keluarga yang sebelumnya memperbudaknya dan Mawali ningrat mereka yang diberi sedikit kelonggaran dalam masalah jizah dan kharaj tetapi kedudukan mereka adalah kelas dua dihadapan orang Arab.

2. Orang-orang yang kurang memiliki keningratan dalam kesukuan kebanyakan mereka memiliki keunggulan dalam prestis dalam keislaman. Sejumlah besar qurra yang juga rata-rata adalah cendikiawan keagamaan. Dan sejumlah group-group dari klan-klan serpihan yang tidak memiliki kekuatan dihadapan klan besar.

Meskipun eksistensi Aysraf al Qabail kufah mendapatkan kedudukan yang tinggi, tetapi  hak-hak mereka masih dibawah jauh dari klan-klan bani umayah, dan Kebijakan Usman inilah yang menggelisahkan masyarakat kufah dan sebagian asyraf al qabail, yakni dengan diberikanya kekuasaan yang terlampau besar kepada klan umayyah, dan ini yang membedakan dengan gaya kepemimpinan Umar bin Khatab yang memberikan dominasinya kepada  suku Qurasy lebih luas.  Bahkan salah seorang sahabat bernama Abdurahman bin Auf menyatakan ” Kekhalifahan Utsman mesti dianggap sebagai awal dari kerajaan bani Ummayah (Baladzuri, al Futuh al Buldan 2/99) penulis sejarah, Ibnu A’tsam, memberikan sebutan kepada Utsman bin Afan sebagai ” Pemimpin Bani Umayyah”.

Pada giliranya kebijakan yang dirintis oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Utsman bin Affan yang memberikan previlage kepada klan ummayah diatas Qurasy, Arab dan Non Arab, telah  menuai protes keras dari kalangan Muslim dan menyebabkan terjadinya drama pengepungan rumah Utsman bin Affan yang berakhir  dengan terbunuhnya Utsman bin Affan. Para Asyraf al Qabail kufah terlibat aktif dalam gerakan oposisional tersebut, sebagimana disebutkan  Jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 161) ” bahwa para ’Irafah dari Asyraf al Qabail ini  mengambil peran memimpin kelompok mereka dihari-hari keruh khalifah Utsman  bin affan” tujuanya adalah agar khalifah Utsman bin Affan mengembalikan hak-hak finansialnya yang tersita oleh klan Umayyah dan mengembalikan kebijakan  kepada mereka sebagaimana dimasa Umar bin Khatabb.

Dan hak-hak finansial –yang dahulu ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan disempurnakan oleh Utsman bin affan- inilah yang kemudian menjadi nilai tukar bagi pengkhianatan asyraf al Qabail terhadap Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan dan Imam Husain. Namun Patut di catat, bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Usman bin Affan, pondasi rintisan awalnya telah diletakan oleh Abu Bakar yang menetapkan prinsip bahwa depresiasi diwan (gaji) ditetapkan berdasarkan keterdahuluan masuk Islam, dengan kata lain, orang yang masuk islam lebih awal akan mendapatkan gaji dan tunjangan lebih besar. Umar meneguhkan bukan hanya keterdahuluan saja yang menjadi dasar melainkan faktor identitas Qurasy dan Ke Araban turut menjadi acuan klasifikasi diwan (gaji), Usman lebih mentahkik lagi, dengan  mengkrucutkan Qurasy pada klan Ummayah yang mendapat prioritas lebih tinggi.

Ketika Imam Ali di ikut sertakan dalam  Dewan Syuro bentukan umar, yang bertugas memilih khalifah, Abdurahman bin Auf sebagai eksekutor mengajukan syarat kepada calon Khalifah ”bahwa mereka harus bersedia mengikuti kebijakan (sunnah) dua klhalifah sebelumya” dan Imam Ali menolak syarat tersebut sementara Usman menerima syarat tersebut. Dibawah akan disajikan bagaimana imam Ali tatkala terpilih sebagai khalifah melakukan banyak dialog dengan berbagai kelompok baik itu sahabat yang  belakangan disebut (Qaidin) maupun kalangan Asyraf al Qabail  tentang reformasi diwan yang  merubah seluruh tata aturan yang telah ditetapkan oleh ketiga khalifah sebelumnya, dan ini yang melatari  netralitas para sahabat terhadap konflik yang dihadapi Imam Ali dan melatari pengkhianatan Asyraf al Qabail.

IMAM ALI MERUBAH STRUKTUR MASYARAKAT KUFAH BENTUKAN  UMAR BIN KHATAB.


Pasca meninggalnya Utsman, Imam Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai khalifah, gaya kepemimpinanya berbeda dengan gaya kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Para asyraf al qabail mengharapkan hak-hak mereka (yang saat di masa Usman dinikmati oleh kelompok Umayyah) akan kembali sebagaimana seperti sedia kala, dengan berbagai limpahan tunjangan keuangan yang besar. Tetapi Imam Ali bin Abi Thalib mengambil kebijakan sebagimana yang dituntunkan oleh Allah dan Rasulullah saww.


Sejahrawan ahlu sunnah at Thabari (tarikh I/3174) Khalif Yusuf (Hayat asy syi’r fi’l Kufah  hal 29)  menyebutkan bahwa, ”Ketika Ali datang ke Kufah, selama dua puluh tahun  struktur kekuatan dalam masing-masing  dari tujuh kelompok tersebut telah berubah drastis, sejumlah klan-klan tertentu  dalam berbagai kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain, klan-klan yang kuat melakukan pengutipan terhadap komponen-komponen klan lain. Kedatangan anggota-anggota suku ke kufah juga menjadi penyebab perimbangan kekuatan antar klan dan dalam kelompok,  Karena itu, Ali, sementara tetap memelihara jumlah kelompok untuk tetap dalam bentuk Muqatilah, ia melakukan perubahan susunan kelompok masyarakat kufah”.

Terhadap sisitem struktur masyarakat kufah Imam Ali mengeluarkan kebijakan menghilangkat sekat dominasi sikuat terhadap si lemah yang telah dibentuk oleh para khalifah pendahulunya, Imam Ali merubah struktur masyarakay kufah dengan pola perimbangan komposisi yang seimbang, Ath Thabari dan Khalif Yusuf, menyebutkan  masyarkat kufah oleh Imam Ali   direformasi susunanya sehingga tersusun sebagai berikut :
1. Hamdan dan Himyar (orang yaman)
2. Madzhij, Asy’ar dan Thayy (orang yaman)
3. Kinda, Hadramaut, Qudha’ah dan Mahar (orang Yaman)
4. Azd, Bajilah, Khats’am dan Anshar (orang Yaman)
5. seluruh  cabang Nizari dari qays, ’Abs Dzubyah dan ’Abd al Qays Bahrain. (Nizari)
6. Bakr, taghlib dan seluruh cabang rabi’ah (Nizar)
7. Qurasy, Kinana, Sad, Tammim, Dhabbah, Ribaba (Orang Nizar).

Menurut Muhammad jafri – seorang sarjana sunni yang berkeyakinan syiah sebagai produk sosioatropologis  masyarakat arab selatan – menuliskan (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 156) Bahwa ada dua catatan krusial mengapa Ali  merekonstruksi kembali masyarakat kufah.
  1. Terdapat beberapa nama klan seperti Asy’ar, Mahar dan Dabbah yang dimasa sebelumnya disepelekan, oleh Ali kedudukanya di setarakan dengan klan lainya.
  2. Penguasa sebelumnya mengorganisasi  Suku Yamani dalam tiga group dan Nizari dalam empat group. Oleh Ali di regorganisasi menjadi Yamani menjadi empat group  dan Nizari dalam tiga group.  Ali tampak memperhitungkan kekuatan populasi dua cabang Arab itu dan mengatur kembali group-group  itu menurut jumlah mereka, dengan demikian memberi perimbangan kuantitatif antar klan.
Ibnujawialjogjakartani menambahkan, komposisi yang disusun kembali oleh imam Ali bin Abi Thalib, telah membawa pada keseimbangan pada kuantitas antar klan sehingga superioritas klan dihilangkan oleh imam Ali. Dengan demikian apa yang disebut sebagai  Thabari “berbagai kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain” di selesaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib.

Imam Ali juga melakukan penataan ulang pemimpin Klan meskipun  meskipun mendapat penentangan keras dari pemimpin sebelumnya, Sebagaimana dituliskan oleh Nashr bin Muzahim (waq’at Shiffin hal 12)  “ Dalam pengaturan kembali kepemimpinan baru di kufah, Ali  mempercayakan kepemimpinan kelompok di kufah kepada mereka yang memiliki keunggulan Islam, orang-orang seperti Malik bin Harits al Asytar dipercaya memimpin kelompok Madzhij,  Nakha’i dan beberapa sub lain, Hujr bin Adi al Klindi memimpin Kinda, Adi bin Hatim al Ta’i memimpin Thayy. Tetapi upaya penataan Ali tersebut mendapat tantangan keras dari para pemimpin klan dar ‘Urafa ( Asyraf al qabail)”.

IMAM ALI MEREFORMASI KEBIJAKAN ABU BAKAR, UMAR DAN USMAN DALAM MASALAH “DIWAN”.


Kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib berikutnya adalah mereformasi kebijakan para khalifah pendahulunya, yaitu dalam masalah diwan.  (Political History of Islam 2, hal 286) menyebutkan, “Ketika Ali bin Abi Thalib berkuasa, ia melakukan perubahan pada kebijakan distribusi gaji, Ali melakukan alokasi (peruntukan) yang diterima oleh masyarakat Islam secara proposional” . Ath Thabari (Tarikh I/3227) mencatat reformasi yang dilakukan Imam Ali bin Abi Thalib menyangkut kebijakan keuangan, sebagai berikut :
  1. Dalam Distribusi Ali bin Abi Thalib menghapus perbedaan gaji yang dibuat oleh kebijakan sebelumnya ( dimana khalifah sebelumnya menetapkan faktor keterdahuluan masuk Islam, maupun keterdahuluan memasuki Kufah  sebagai pembeda penerimaan gaji). Dengan kata lain Imam Ali memperlakukan mereka secara sama tanpa melihat asal suku, keterdahuluan masuk Islam dan keterdahuluan masuk kufah.
  2. Ali bin Abi Thalib menetapkan persamaan hak  antara masyarakat Arab dan Non Arab.
Imam Ali bin abi Thalib menyatakan : “Sikulit hitam dan si kulit putih akan mendapat perlakuan yang setara, proporsional dan adil ( Mustadrak al wasa’il XI/93)
Sebagai catatan Imam Ali menjelaskan kebijakan ini sebagaimana dapat dibaca pada Nahjul Balaghah pada Kutbah ke 21, 23, 24, 42.

PROTES SAHABAT DAN ASYRAF AL QABAIL TERHADAP KEBIJAKAN ADIL IMAM ALI BIN ABI THALIB.

Rupanya reformasi yang dilakukan Imam Ali dengan prinsip Al Qur’an dan Sunnah yang menekankan prinsip keadilan dan pemerataan mendapatkan reaksi dari mereka yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan khalifah sebelumnya, sejumlah sahabat tak urung melakukan protes, kalangan Asyraf al Qaba’il yang mengharapkan pundi-pundi mereka  berlebihan sebagaimana di masa Umar bin Khatab harus gigit jari menghadapi kebijakan Imam Ali tersebut.

Sebagaimana disebutkan Thabari (Tarikh I/3228)  Mas’udi (Muruj Dzahab II/404)  dan Jafri ( Origin and Early Development of shi’a Islam hal 177) “kebijakan Ali telah menggelisahkan asyraf al qaba’il karena disamping pertimbangan finansial yang berkurang dan mesti berbagi dengan orang non Arab, dalam benak para asyraf al qaba’il, mereka percaya bahwa non arab sebagai orang yang ditaklukan tidak boleh dan tidak dapat diperlakukan sama dengan para penakluk.

Dan berikut ringkasan sebagian kecil dari protes-protes yang dilakukan oleh sahabat dan para Asyraf al Qabail :
  1. Ketika Imam Ali tengah di atas mimbar Asy’ats bin Qais  (pemimpin klan Kinda/Asyraf al Qabail) berteriak “ Kalian lihat sendiri kan bahwa non Arab (mawali) berkulit putih telah mengalahkan kita “ Imam Ali pun marah mendengar teriakan itu . (ath Thaqafi,  al Gharat hal 186 dan  al Hirawi ,Gharib al Hadith III/484),
  2. Mughirah Dabbi mengatakan, ”Ali memandang penting kaum non arab (Mawali), dan berbuat baik kepada mereka. Bandingkan dengan Umar, dia tidak suka terhadap mawali dan menjaga jarak dengan mereka ” (ath Thaqafi,  al Gharat hal 187)
  3. Dari kalangan sahabat yangmengajukan protes adalah Thalha dan Zubair, mereka mengatakan kepada Imam Ali, mengapa, Imam Ali telah memberikan bagian pada mereka tak beda dengan bagian yang diterima oleh orang lain, padahal, menurut mereka, orang lain tersebut tidak pernah mengalami kesulitan dan penderitaan beragama dalam memperjuangkan Islam.  Imam Ali menjawab ”bukankah kita semua menyaksikan sendiri bahwa Rasul saw melakukan apa yang dikatakan kitab Allah,  mengenai nilai lebih kalian,   kaum muhajir serta anshar, keterdahuluan kalian insya Allah akan mendapat penghargaan dan pahala dari Allah”   Thalha dan Zubeir melanjutkan protesnya  dan bertanya , ” mengapa Imam Ali menolak mengikuti tradisi Umar bin Khatab ?” Imam Ali menjawab ”Mana yang harus didahulukan : Mengikuti sunah, praktik dan Tradisi Nabi ataukah mengikuti praktik dan tradisi umar” (Ibn abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah VII/37 dst;  Disebutkan oleh sumber lain, karena sangat tidak setuju dengan kebijakan Ali, maka sebagian sahabat memintya Ali untuk memprioritaskan bangsawan Qurasy dan orang Arab. (Mahmudi, Nahj as Sa’adah I/229);
  4. Bahkan dari kalangan wanita mengajukan protes, manakala mendapati tidak dibedakanya pendapatan antara kalangan orang-arab dan non arab,  mereka mengatakan ”Aku ini kan orang Arab, sedangkan dia kan mawali kenapa kami diperlakuikan sama” Imam Ali menjawab ”aku ini membaca al Qur’an, aku juga merenungkan dan mengkajinya. Disana tak aku temukan sedikitpun yang mengindikasikan keunggulan keturunan Ismail atas keturunan yang lain (Baladzuri Ansab al asyraf II/141) Kepada kalangan Muhajirin dan Anshar Imam Ali menjelaskan kebijakan beliau :”Aku tak menemukan dalam Al Qur’an yang mengindikasikan untuk membedakan antara orang Arab dan non Arab.  Si Kulit hitam dan si kulit putih akan mendapatkan perlakuan yang setara, proposional dan Adil  (Mahmudi,  Nahj as Sa’adah 1/212-213)
  5. Nashir bin Muzhahim menuliskan pula (dalam kitabnya waq’at ash shiffin), diantara para pemerotes tersebut sebagian berasal dari kaum hafizh kufah, (sebagian sejahrawan menyebut al Qurra’). – Catatan dari Ibnu Jawi al Jogjakartani, jika pembaca menelusuri kitab sejarah awal akan menemukan bahwa para syiah Kuffah sebagian adalah Qurra’, seperti  Malik al Asytar dan Hujr bin Adi yang juga disebut sebagai pemimpin al Qurra,  untuk menghindari kerancuan antara para Qurra (yang syiah) dan Qurra yang kelak mejadi khawarij,  baiknya kita kutipkan hasil risert sarjana ahlu sunnah bernama  Muhammad jafri  yang menjelaskan dalam bukunya secara apik, ” Kata qurra’ sebagaimana digunakan dalam laporan di masa Ali bin Abi Thalib pada umumnya dan pada peristiwa Shiffin pada khususnya harus didekati sedikit hati-hati, bahwa sebagian Qurra’  adalah para pendukung gigih Ali bin Abi Thalib . Disamping  qurra yang menjadi syiah Ali ini, ditemukan sejumlah besar orang yang disebut sebagai qurra’, merka berasal dari  daerah yang jauh dan merata keterdahuluanya dalam masuk Islam. Mereka ini yang kemudian  melakukan protes terhadap kebijakan egaliter Ali bin Abi Thalib. Dan belakangan atas hasutan para asyraf al qabail  memaksa Ali untuk mengikuti arbitrase dan kemudian menentang Arbitrase.  belakangan  membentuk Khawarij (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 176) Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Rasul Ja’farian dalam bukunya History of the caliphs hal 384) ia menambahkan meskipun mereka disebut qurra (al hafizh) dalam mengemukakan argumen al Qur’an, mereka melakukan interpretasi secara gegabah yang menghasilkan difinisi-difinisi yang radikal (buku yang sama halaman 391), Rasul Ja’farian menuliskan, bahwa kelompok ini berasal dari suku-suku jauh, mereka merasa kecewa melihat dominasi Quraisy (halaman 386). Ahlu Qurra tidak selalu di artikan sebagai penghafal Al Qur’an, sebagaimana keterangan Nourouzzaman, para sejahrawan mengartikan ahlu qurra yang -memotori lahirnya khawarij- sebagai para penetap (Khawarij, hal 31)  Baladzuri meriwayatkan, selain ketidak puasan terhadap kebijakan diwan dan dominasi quraisy yang ditetapkan oleh Ali , para qurra ini merasa tidak habis mengerti dengan kebijakan Ali yang tidak mengizinkan harta rampasan perang dibagi-bagikan setelah menundukkan kaum kafir atau pemberontak. Bagaimana ceritanya membunuh mereka dibolehkan, tapi mengambil aset atau harta mereka malah diharamkan (Ansab al Asyraf II/360).
Ketidak sukaan pada kebijakan egaliter Imam Ali tersebut tak urung  membuat Harits A’war menyampaikan kepada Imam Ali, ia berkata :”Orang-orang melakukan protes dan tidak suka dengan kebijakan anda. Imam Ali menjawab ” Biarkan saja mereka”  (Musthathrafat as sara’ir 146).

Kondisi diatas menjelaskan bagaimana  kondisi sosial masyarakat Kufah yang dihadapi Imam Ali bin Abi Thalib, mereka menentang kebijakan Imam Ali yang menetapkan sistem egalitarian bersendikan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saww, sementara para Asyraf al Qabail  menghendaki sistem yang ditetapkan adalah Sunnah tiga khalifah dengan mengurangi dominasi Umayyah. Bahkan Imam Ali menyatakan dalam kotbahnya ” Kondisi kalian sekarangini kelihatanya seperti zaman ketika Allah mengutus Rasul-Nya ( Nahj al Balghah Khotbah ke 38).

TIDAK SELURUH MASYARAKAT KUFAH ADALAHA SYIAH.


Kompleksitas masyarakat kufah yang dilaporkan oleh para sejahrawan ahlu sunnah, sudah membuktikan bawa masyarakat kufah tidaklah seratus pesrsen adalah syi’ah. Pandangan yang menyebut bahwa masyarakat Kufah pada masa itu adalah mutlak syiah adalah pendapat yang tidak didukung oleh fakta. Sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri -yang  juga salah satu dosen tamu di Universitas Kebangsaan Malysia -, menuliskan Origin and Early Development of shi’a Islam halaman 169 “Tidak seluruh warga kufah  dari suku Yamani (Arab selatan) adalah syi’ah,  dan bukan pula seluruh  suku Nizari yang berasal dari Arab Utara yang tinggal di kufah  berpihak kepada madzhab syiah “. Muhammad Jafri dalam bukunya menegaskan bahwa yang dimaksud Syiah disini bukan difinisi longgar bahwa semua yang berada dalam barisan Ali, Hasan dan yang mengundang Husain  dikatagorisasikan sebagai syiah.  Karena dalam barisan yang mendukung ketiga tokoh tersebut terdapat kelompok besar kaum pragmatis. Bahwa yang disebut sebagai syiah adalah mereka yang memiliki  sikap relegius terhadap masalah kepemimpinan yang berada ditangan keturunan Muhammad (Origin and Early Development of shi’a Islam halaman 169).

Fakta yang menarik adalah bahwa para ulama ahlu sunnah sendiri –dan ini berlawanan dengan pandangan kaum nawashib- telah mengkatagorisasikan para pengikut Ahlul Ba’it (khususnya pengikut : Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain) dengan katagorisasi yang memuji kaum syiah (bukan menuduh sebagai pengkhianat),
Misalnya, Ath Thabari dalam kitabnya Tarikh ar Rasul wa al Muluk 2/1dan  Ibn Nadim dalam kitabnya Kitab al Fihrist hal 175, mengkatagorisasikan syiah sebagai berikut :

1. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah Al Ashfiyah, yakni mereka yang  disebutan sebagai  sahabat-sahabat tulus. Masuk dalam katagori ini adalah Miqdad, Salman al Farisi, Amar bin Yaser, Abu Dzar al Ghifari,  Hudzaifah al Yamani, Abu Hamzah, Abu Sashan, Syutair dan lain-lain, Selain mendapat sebutan Al Ashfiyah, Ammar, Miqdad, Salman dan Abu Dzar mendapat  sebutan lain yaitu “al Arkan al Arba’a Empat Pilar” Syiah.

2. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah Al Awliya, yakni mereka yang disebut sebagai Sahabat-Sahabat Ta’at. Masuk dalam kelompok ini adalah Malik Asytar, Maitasm, Muhammad Bin Abu Bakar ( beliau adalah putra Khalifah Pertama, Muhammad bin Abu Bakar  juga merupakan kakek buyut dari Imam Ja’far ash shadiq. Beliau menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada wasiat Rasulullah saw untuk mengikuti Imamah Ahlu Ba’it, kendati Muawiyah telah menuduhnya sebagai orang yang menentang ayahnya dalam masalah kekhalifahan- ket : ibnujawi al jogjakartani).

3. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah al Syurthat al Khamis, yakni mereka yang disebut sebagai “divisi terbaik”, masuk kelompok ini adalah para sahabt-sahabat yang menunjukan dedikasi dalam berbagai pertempuran melawan al Nakitsin (dalam perang jamal), al Qasithin  (dalam perang shifin) dan al Mariqin (dalam perang menghadapi Khawarij) , Masuk di dalam kelompok ini adalah para lasykar syiah yang turut membela Imam Hasan as,

4. Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah al Ashhab, yakni mereka yang disebut sebagai sahabat-sahabat. Masuk kelompok ini adalah para sahabat yang syahid bersama Imam Husain di Karbala maupun terlibat dalam gerakan Tawwabun. 

Sehingga dengan demikian jika kita perhatikan dari poin dua (2) hingga (4) jika merujuk pada peran syiah terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain, sejahrawan ahlu sunnah tidak menyatakan mereka sebagai pengkhianat, mereka adalah loyalis Ahlul Ba’it yang mendapatkan gelar-gelar yang mulia. Bukan gelar-gelar sebagaimana dilekatkan oleh para nawashib  yang tidak memiliki basis faktualnya.

PETA ALIRAN IDIOLOGIS MASYARAKAT KUFAH.


Diatas sudah dipaparkan bahwa Kufah bukanlah masyarakat monolitis aliran dengan satu pandangan syi’ah ansich. Tetapi masyarakat kufah yang tersusun atas suku-suku yang beragam  masih ditambah keragaman aliran idiologi mereka (saya menggunakan istilah idologi hanya untuk mempermudah saja, idiologi yang saya maksud adalah kecendrungan-kecendrungan, meskipun saya sadari penggunaan sitilah idologi tidaklah tepat –ibnujawi aljogjakartani). Bahkan dalam masing-masing suku, anggota-anggota penyusunya memiliki kecendrungan yang beragam pula. Sebagai ilustrasi sederhanya adalah sebagai berikut, Kufah kita samakan dengan kota Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di yogyakarta berasal dari seluruh suku yang ada di indonesia. Mereka bahkan membuat perkumpula-perkumpulan. Dalam masing-masing kelompok suku tersebut, masih terpolarisasi lagi dalam kecendrungan aliran idiologis keagamaanya. Misalkan saja yang dari suku jawa, ada yang beraliran tradisional NU, Modern Muhammadiyah, Tarbiyah, Syabab Hizbut Tahrir, Wahabbi… dan lain sebagainya. Begitulah masyarakat Joga, dan begitu pula  masyarakat Kufah pada waktu itu.

Para sejahrawan Islam telah berupaya keras memetakan aliran-aliran kecendrungan masyarakat kufah ini yang dibagi dalam aras persekutuan klan mereka. Tapi ternyata itu bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena aliran menyangkut idnividu-individu. Namun demikian usaha sejahrawan layak dipuji, karena melalui laporan mereka, kita dapat mengetahui bahwa, Kufah adalah masyarakat yang komplek, dan keberpihakan mereka pada Imam Ali, Imam Hasan dan kemudian bertanggungjawab atas pengundangan mereka terhadap Imam Husain, tidak lak mutlak didasari atas idiologi yang dianut mereka. Ada sebagian kecil masyarakat kufah yang loyal kepada para ahlul bait dan mereka adalah syiah, tetapi ada sebagian besar dari mereka adalah golongan pragmatis yang plin-plan dan hanyut  mengikuti arus kepentingan pragmatis mereka. Dan berikut adalah peta Aliran kecendrungan masyarakat kufah  yang kami rangkumkan dari sumber sejahrawan Islam, Para sejahrawan Islam menjelaskan populasi masyarakat kufah, kedalam tujuh muqatilah yang dilukiskan sebagai asba’ dalam unit sebagai berikut  :
Ath Thabari (Tarikh I/2495)  menjelaskan, Kinana dikumpulkan dengan sekutu mereka ahabisy sehingga membentuk Klan Jadilah. Kinana adalah suku Makkah dan Quraisy  adalah salah satu cabangnya, sedangkan Jadilah, cabang suku Qays ’ailan, ia berasal dari Hijaz dan punya sedikit hubungan dengan Kinana. Menurut Thabari, kedua suku tersebut adalah kelompok prestise (ahl al ’aliyah) . Dimasa lalu Kinana dan Qurasy bersama dengan group-group seperti Jadilah, Qays ”Ailan pernah membentuk group persekutuan yang dikenal dengan Khindif. Menurut Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qabail al ’Arab, 173)  dan Ibn Abd Rabbih ( al Iqd al Farid IIII/350) Sejak Kufah didirikan kelompok ini memiliki hubungan istimewa dengan penguasa terutama dari gubernur-gubernur Qurasy. Dimasa Imam Ali melaksanakan kebijakan reformasi diwan, kelompok ini banyak yang melakukan protes.

’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 957 dst; 844 dst, 63 dst, 131, dst 998, dst 282 dst 15 dst)  dan Ibn Abd Rabbih ( al Iqd al Farid III/393) menyebutkan kelompok kedua penyusun masyarakat Kuffah, yakni  Qud’ah, Ghassan, bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd, digabung menjadi satu membentuk kesatuan Yamani yang kuat. Dua dari group ini dipimpin orang yang berpengaruh besar dikufah, yakni Bajilah dipimpin oleh Jarir bin Abdullah, ia adalah sahabat dekat  Umar bin Khatab. Kelak dimasa Imam Ali bin Abi Thalib  menjabat Khalifah, ia melakukan persekongkolan dengan Muawiyyah, dan dengan pengaruhnya memprovokasi kabilah-kabilah kufah keluar dari barisan Imam, (di tulisan berikut akan kami bahas)  Dan Kinda yang  dipimpin Asy’ats bin Qays, seorang yang memiliki pengaruh besar dan penganut idologi pragmatis yang kelak dengan pengaruhnya berusaha menggembosi Imam Ali, bahkan mengancam Imam Ali bin Abi Thalib agar memerintahkan pasukan syiah -yang yang masih bertempur dengan tentara muawiyah- agar segera menghentikan peperangan, Keluarga dia memiliki reputasi buruk Asy’ats bin Qays sendiri  selain berperan memberi tumpangan ibn Muljam laknatullah,  anak perempuanya Ja’dah binti Asy’ats adalah orang yang berkonspirasi dengan Muawiyyah untuk meracun Imam Hasan. Pun demikian anak laki-lakinya yang bernama Muhammad Ibn al Asy’ats berperan dalam pembunuhan Muslim bin Aqil dan tragedi Karbala. Sebagaimana disebutkan di atas tentang keragaman dalam masing-masing suku, di kinda terdapat pula pribadi-pribadi yang loyal terhadap ahlul ba’it (syi’ah) dan kelak di masa Imam Hasan mereka dikhianati suku mereka sendiri untuk diserahkan kepada Muawiyah untuk dibunuh (akan dibahas kemudian).  Sedangkan suku Bajila dalam satu group memiliki prespektif yang berbeda, ad Dinawari menyebutkan , sekitar empat ratus orang yang berasal dari suku Bajila dengan dipimpin Rabi’ah bin Khutsaim,  menyatakan tidak mendukung peperangan Imam Ali, dan mereka  mundur di garis perbatasan Rai, dan sebagian ke Dailam (akhbar ath thiwal hal 165).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  1062 dst) dan Abd Rabbih ( al Iqd al Farid III/393) Menyebutkan, Madzhij, Himyar, Hamdan dan sekutu-sekutu mereka, Kahlah menjelaskan, dari Madzhij terdapat banyak cabang-cabang suku penting, seperti Nakhkha dan Thay.  Ini adalah kelompok Yamani kuat, dimana  dari Hamdan melahirkan beberapa pendukung gigih syi’ah, meskipun tak dapat diabaikan terdapat banyak anggota kelompok ini yang pandanganya berubah-ubah. Ad Dinawari  menyebutkan, sebagian kelompok syiah yang berasal dari kabilah Hamdan  memberi  perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Ali  saat di serang kelompok Khawarij(al akhbar at Tiwal/156)  Namun demikian sebagian lainya yang bukan syiah di saat Kufah berhasil dikuasai Muawiyah, mereka justru  meringkus pengikut Hasan bin Ali dan  diserahkan kepada tentara Ziyad ( Thabari, Tarikh II/117).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  126 dst, 315, 1231)  dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/343,345 dan 353) menyebutkan, Tamim, Rihab dan Hawzin digabung dalam group Mudhar . Kahhalah menyebutkan, bahwa dalam group ini terdapat keragaaman aliran. Ath Thabari  (Tarikh II136) menyebutkan ” anggota suku-suku  dari Tamim, Hawazin dan Rihab, yang diketahui sebagai syiah di tangkap oleh sukunya sendiri dan diserahkan kepada  tentara Ziyad”, Sebagian dari bani Tamim  diketahui menunjukan ketidak sukaan terhadap Imam Ali,  Baladzuri menyebutkan, bahwa tokoh asyraf al qabail bernama  Ahnaf bin Qais dari Bani Tamim menggunakan pengaruhnya untuk menyatakan netral dan tidak terlibat dalam pertempuran Jamal  dan menyatakan menarik diri dari perang (Asyraf al Qabail, II/327).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  21 dst)  dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/340 dst) menyebutkan Asad, Ghtfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan  Taghlib, kebanyakan kelompok group Nizar dari Rabi’ah dan Bakr disatukan dalam satu group.  Ad Dinawari  menyebutkan, sebagian kelompok syiah yang berasal dari kabilah Rabi’ah  memberi  perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Alli  saat di serang kelompok Khawarij(al akhbar at Tiwal/163) ia melanjutkan populasi  Rabi’ah di kufah sedikitdemi sedikit menyusut, karena banyak yang gugur dalam peperangan.

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  52 dst)   menyebutkan,  Iyad, ’Akk, ”abd al Qys, Ahl al hajar dan Hamra, disatukan dalam satu group. Iyad dan Akk (menurut Kahhalah,  asal usul Akk tidak diketahui, sebagian menyebut termasuk Qahtani, yang lain m,enyebut Adnani dari al Daits b ”Adnan). Mereka berasal muasal dari Nizari ’Adnani, mereka telah lama tinggal di kawasan Iraq, dari group ini yang memiliki dukungan kuat sebagai syiah Ali adalah berasal dari suku Abd al Qays kendati tidak bisa dikatakan bahwa group ini adalah syiah, selalu ditemukan ada individu-individu syiah dalam masing-masing klan namun ada yang bukan seorang yang berkecendrungan syiah.

’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  691) menyebut kelompok dari group ketujuh Sub, yang adalah suku Thayy, sebuah kabilah kuat yang berasal dari Yaman, Menurut Kahhalah, menyebut peristiwa  di tahun 11 H /630 di saat suku-suku sekitarnya murtad, Thayy tetap menunjukkan komitmenya memeluk Islam, hingga mereka bergabung dnegan Mutsanna b al haritsah dalam penaklukan al Hirah lalu mengambil bagian dalam al Qadisiyah.  Pemipin suku ini adlah Adi bin Hatim, Ibnu abil al Hadidi (syarh Nahjul balghah XVI/38) dan Abul  Faraj al ishfahani  (Maqatil ath Thalibiyin 61) menyebutkan  Suku Thayy menjadi pendukung utama Imam Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Perang Shiffin, dan setelah Imam Ali wafat, mereka menjadi penyeru di tengah-tengah Masyarakat Kufah, untuk menyokong Imam Hasan.  Kahlah menyebutkan (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal  691)  tetapi populasi Thay di Kufah berangsur-angsur melorot sebagai akibat peperangan, yang tersisa dari mereka bergabung ke benteng-benteng diantara Bashrah dan Kufah.  Ath Thabari (Tarikh II/304) menyebutkan,  dengan  kekuatan yang tersisa, klan Thay bermaksud membawa Imam Husain ke pegunungan Thay yang aman dan tersembunyi, Thirimmah b ’Adi at Ta’iy  yang mencegat Imam Husain dan membujuk beliau agar sudi ikut mereka, tetapi Imam Husain menolak.

Kenyataan Populasi syiah di kufah dengan melihat  laporan diatas bukanlah komunitas mayoritas pada saat itu. Bahkan dalam satu group yang di isi dari suku-suku terntentu, syi’ah bukanlah kelompok yang dominan. Sehingga ketika Kufah berhasil dikuasai oleh Muawiyyah, maka tidakan pemindahan orang-orang syiah pun dilakukan dengan relatif mudah sebagimana disebutkan Ath Thabari dalam kitabya ((Tarikh I/1920) ”segera sesudah menguasai Kufah, Muawiyyah memindahkan beberapa suku yang setia kepada ahlul bait dari kota itu, dan menggantikanya  mereka dengan orang-orang dari syria, bashrah dan al Jazirah yang loyal kepadanya.”.


PERBEDAAN SIKAP MASYARAKAT KUFAH TERHADAP AHLUL BAIT.


Para sejahrawan Ahlu sunnah  melaporkan dengan detail  perbedaan sikap masyarakat kufah terhadap Ahlul Ba’it,  meskipun mereka sama-sama berdiri dibelakang imam – imam Ali misalnya-, tetapi motif keberpihakan mereka sangat berbeda. Muhammad Jafri menuliskan:

Kelompok pertama adalah pengikut setia yang memiliki komited terhadap kepemimpinan Ahlul Bait nabi,  mereka memiliki keyakinan  bahwa ide nilai-nilai keadilan dan keagamaan, akan  terwujud hanya melalui kepemimpinan yang ditunjuk Allah melalui Muhammad. Bagi kelompok ini pertimbangan kegamaan dan spiritual merupakan satu-satunya tenaga dorong untuk menunjukan loyalitas kepada mereka.

Kelompok kedua adalah kelompok besar masyarakat kufah, terdiri dari para Pemimpin klan dan kabilah  serta para ’urafa pengawas unit yang lazim disebut sebagai asyraf al qabail. Bersama mereka terdapat orang-orang yang kepentinganya tergantung pada orang-orang mulia dan terhormat ini (asyraf al qabail), Mereka berkepentingan dalam menjaga dan memelihara kedudukan politis dan memonopoli ekonomi, yang sangat terancam  bila Ali berhasil dengan kokoh menegakkan pemerintahan dio kufah. Tetapi pada saat yang bersamaan  mereka ragu untuk menyerah  secara terbuka kepada Muawiyah yang akan menghilangkan posisi tawar menawar mereka. Karena alasan inilah maka pada lahirnya tetap dalam jajaran dan barisan laskar Ali demi menekan muawiyah agar memberi konsesni itimewa pada mereka.

Kelompo ketiga adalah kelompk pragmatis yang berasal dari masa kufah, kebanyakan Yamani dan mawali non Arab, mereka berdiri  di belakang Ali dengan harapan  berakhirnya dominasi quraisy dan terlebih khusus superioritas  klan Umayyah. Sebagian merupakan hafizh (qura), Tetapi baladzuri menjelaskan, “Mereka ini tidak mengerti kalau imamah dan politik merupakan dua hal yang berada di luar topik atau masalah  suku. Kecendrungan mereka terlihat dalam cara berfikir mereka yang menafsirkan secara menyimpang (Ansab al Asyraf II/363). Muhammad jafri menambahkan,  Secara emosional, kapan saja mereka melihat ada harapan berhasil dari seorang ahlul al bayt, mereka segera mengerumininya, praktis, mereka kemudian membuangnya begitu mereka melihat harapan yang akan diperolehnya sangat tipis (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 181).

Untuk melihat sejauhmana perbedaan motif-motif  dari orang-orang kufah yang  berdiri di belakang para Imam ini yang di informasikan secara melimpah oleh para ulama dan sejahrawan ahlu sunnah, Para penulis sejahrawan awal, terutama yang memberi perhatian khusus pada peritiwa shififn seperti  Nasr bin Muzahim al Minqari dengan kitabnya Waq’at ash Shiffin, Baladzuri Ansyab al asyraf  dan Futuh al Buldan, menceritakan bagaimana perbedan tegas antara para syiah dan kelompok diluar syiah yang berdiri dibelakang Imam Ali  dan berikut sebagian kecil kutipanya :
Diceritakan oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf  II/293 dst dan Futuh al Buldan II /362, 460-470) , Menghadapi ganguan yang dilancarkan oleh Damaskus  secara terus menerus, Ali bin Abi Thalib memanggil  sahabat dan tokoh-tokoh penting kufah, untuk dimintai pendapatnya. (perhatikan jawaban yang diriwayatkan oleh sejahrawan ahlu sunnah ini sikapnya sangat berbeda antara kaum syiah dan para badut-badut politik kufah-ibnu jawi al jogjakartani) dan masing-masing memberikan pandanganya,
Ammar bin Yassar mengatakan, “ akan lebih baik jika bergerak sehari lebih cepat” kemudian Ammar bersyair “Bergeraklah untuk memerangi kelompok-kelompok yang merupakan musuh musuh Nabi, karena sebaik-baik  orang adalah syiah Ali “.

Qais bin Sa’ad berkata, “ Berjihad melawan orang Damaskus lebih wajib ketimbang berjihad melawan Turki dan Romawi “ Nasr bin Muzahim menambahkan, bahwa Qais bin Sa’ad selalu menekankan dengan berbicara atas nama Anshar mendorong orang-orang kufah menghadapi Muawiyyah, Qais menekankan bahwa para sahabat Rasulullah ada bersama mereka, dan tujuh puluh orang ahli badr bersama mereka, sementara pemimpin kita adalah saudara sepupu Nabi, washi Rasulullah dan seorang tokoh andalan Badr.
Sahl  bin Hunaif menyatakan kepada Ali, bahwa “Anshar menyatakan siap dan taat mengikuti perintah-perintah Ali”.

Sementara itu perhatikan jawaban-jawaban para asyraf al qabail dan tokoh Qura sebagaimana ditulsikan oleh oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf  II/293 dst dan Futuh al Buldan II /362, 460-470) dibawah ini :
Ketika Sahl bin Hunaif menyatakan, bahwa anshar siap dan taat kepada Ali bin Abi Thalib, sebagian orang-orang kufah yang hadir disana gaduh, dan ada yang berkeberatan, dia adalah Hanzalah bin Rabi’ah, ia mengatakan, “ anda mau mengirim  kami untuk membunuh orang-orang Damaskus, sementara kemarin anda sudah membawa kami untuk membunuh orang-orang Basrah”. Mendengar itu Malik Asytar menukas, dan berkata kepada Ali bin Abi Thalib “ Anda tidak usah cemas, merasa tidak enak dan jangan diambil hati ucapan pengkhianat ini, kami muslim adalah syiahmu yang akan membela engkau” .  Kemudian diketahui Hanzalah atas tekanan sukunya malam-malam pergi bergabung dengan Muawiyah, namun tidak ikut ambil bagian dalam Perang.

Itris bin Arqub Syaibani  -Baladzuri menuturkan kelak ia menjadi khawarij, dan dia adalah sahabt Abdullah bin Mas’ud (Ansab al asyraf II 363)- mewakili kaum qura dan sukunya menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib“ Kami bersama dan ikut anda tetapi perlu anda ketahui, bahwa kesertaan kami kepada anda tidak menyebabkan kami terikat kepada anda”.

Rabi’ah bin Khutsaim seorang asyraf al qabail, menyatakan bahwa “membawa masyarakt kufah dalam peperangan menghadapi Muawiyyah adalah  ketidak mungkinan “ lalu ia menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib,  bahwa ia dan kabilahnya yang sependapat dengan dirinya akan mundur ke Rai, dan Nasr bin Muzahim al Minqari menyebut ia di ikuti empat ratus orang dari sukunya. Sementara itu kabilah Bajila  mundur ke daerah Dailami.

Ath Thabari (Tarikh I/3256) meringkaskan sikap sebagian besar Asyraf al Qabail, ia menyatakan  Para kabilah (ayraf al qabail) menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib agar tidak memerangi Muawiyyah”, sementara itu Muhammad Jafri,  menambahkan “ kebanyakan asyraf al qabail tidak memperlihatkan hasrat memerangi Muawiyah, mereka berangkat ke shifin dalam semangat netral, dan dengan serta merta menerima perdamaian yang ditawarkan melalui usulan arbitrase” Origin and Early Development of shi’a Islam hal 175).

Sikap pragmatis orang-orang kufah (yang bukan pengikut syi’ah) yang menjadikan motif keuntungan sebagai aliran ini juga tampak jelas, Baladzuri menceritakan ” Sebagian pasukan kufah gampang  berubah pikiran dan bergabung dengan Muawiyah, ketika Muawiyah memberika jeumlah uang kepada pasukan Ali yang berasal dari Kufah ” (al Futuh buldan III/121) Dan sejahrawan Ahlu sunnah sendiri, banyak menuliskan sikap-sikap para syi’ah yang menolak sogokan Muawiyyah ini dan inilah yang membedakan secara tegas antar syi’ah dan para pragmatis, Kepada Ziyad bin hafsah, Muawiyah berkata : Aku ingin anda sekeluarga bergabung dengan kami. Aku Berjanji kelak nanti kalau kemenangan sudah kami raih maka akan kami berikan kepqad anda kota yang anda inginkan, Ziyad bin Hafsah menjawab :” Aku memegang teguh  prinsip atau kebenaran dari Allah, dan aku tak mungkin mendukung orang yang tidak menghormati hukum Allah dan tidak bermoral seperti anda ( Nasr bin Muzahim al Minqari, Waqa’at ash Siffin 199)  nasr menceritakan, Qays bin sa’ad pun tak luput dari upaya sogokaan oleh Muawiyah, tetapi ia tampik dengan keras, dan mengatakan “ Engkau ingin memperdaya aku dengan uangmu dalam agamaku , pergilah kalian” Bandingkan dengan sikap asyraf al qabail yang diceritakan oleh Ibn A’tsam ( al Futuh IV/hal 156)  dimana par asyraf al qabail yang membelot ke kubu Muawiyah karena sogokan. Ibn A’tsam mengungkapkan secara detail bagaimana  pengaruh sogokan Muawiyah dimasa Imam Hasan.

Satu hal yang membuat saya (ibnu jawi al jogjakartani) heran, bagaimana orang dengan moralitas yang menghalalkan sogokan untuk meraih tujuan disebut sebagai orang yang patut diteladani, semntara mereka yang kukuh dan teguh membela kebenaran justru di sebut sebagai rafidhah sesat, bila demikian mengapa ahlu sunnah tidak menghalalkan saja sogokan, bukankah dalam versi kalian sunnah sahabay juga menjqdi rujukan, dan bukankah muawiyah menghalalkan sogokan.

Dari sedikit kutipan dari para sejahrawan diatas, jelas membuktikan bagaimana struktur sosial masyarakat kufah, kesertaan mereka tyerhadap para Imam Ali bin Abi Thalib tidak serta merta menyebabkan orang kufah menjadi syiah, para sejahrawan teal menunjukan bagaimana warna kecendrungan yang dimiliki masing-masing kelompok yang kelak mengkristal mejadi syiah, khawarij dan pendukung Muawiyyah yang mewujud menjadi ahlu sunnah wal jama’ah.

KESIMPULAN AKHIR.


Dengan memperhatikan uraian panjang diatas, ibnu jawi al jogjakartani dapat mengambil kesimpulkan bahwa:
  1. Struktur sosial yang membentuk masyarakat Kufah tidaklah homogen, tetapi memiliki heterogenitas kesukuan.
  2. Bahwa kebijakan Diwan para penguasa sebelum Imam Ali atas Kuffah, kelak menaburkan benih “ketidak setiaan” mereka terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
  3. Masyarakat Kufah tidak seluruhnya adalah Syi’ah,  kesertaan mereka terhadap Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as tidak dapat secara sembrono disebut sebagai syi’ah, karena sejahrawan telah dengan sangat jenius mengkatagorisasikan syiah disatu sisi dan di sisi lain  menunjukkan kelompok-kelompok pragmatis  Pragmatis tersebut
  4. Kelompok Pragmatis di tubuh masyarakat kufah tersebut adalah:
    1. Kelompok Asyraf al Qabaail (yang terdiri dari para pemimpin Klan dan ’Urafa (pengawas dan pemimpin unit terkecil) yang berpihak kepada Imam untuk mengukuhkan posisinya dan menghapuskan dominasi Umayyah.
    2. Kelompok para qurra (al hafizh) yang berpihak kepada Imam dengan kepentingan sama seperti kelompok Asyraf al Qabail, yang membedakan adalah kelompok hafizh ini  menuntut kesetaraan atas dominasi kaum Qurasy maupun bani Ummayah.
Dengan demikian peta sosial kondisi masyarakat kufah sudah dapat dijelaskan, dan denganya diketahui betapa heterogenya struktur masyarakat kufah dan kompleksnya kepentingan mereka terhadap eksistensi Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
Wallhu alam bhi showab,

Bersambung Insya Allah pada tulisan :

MELACAK KELOMPOK PENGKHIANATAN MASYARAKAT KUFAH  KEPADA IMAM ALI as, IMAM HASAN as DAN IMAM HUSAIN as (2).

Pengkhianatan Asyraf al Qabail dan Para Qurra terhadap Imam Ali bin Abi Thalib
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma sholi ala muhammad wa ali muhammad


Para nawashib berkotbah, Ali di khianati oleh pengikutnya sendiri, mereka tak lain dan tak bukan adalah syiah. Sejarah syiah dipenuhi dengan tindakan pengkhianatan demi pengkhianatan, bahkan dari ibu bernama syiah dengan rahim hitam kelam dan berayah Kufah  terlahir jabang bocah bernama khawarij… Benarkah itu ? Bukankah Allah memuji syi’ah  :” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh  mereka itu sebaik-baik makhluk” (QS.AlBayyinah: 7-8 ) bukankah Rasulullah saww memuji syiah “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syi’ahmu. Engkau dan syi’ahmu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan ridho dan di ridho’i”. Aroma busuk sengaja dihembuskan kaum nawashib kepada kaum awam, bahwa syiah memanglah pengkhiat dengan menunjukan sarang syiah di kufah.

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama Melacak kelompok pengkhianat kepada Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dari Masyarakat Kufah (1) struktur sosial penyusun masyarakat kufah. Pada tulisan kali ini akan di ulas lebih jauh kiprah pengkhianat dari masyarakat kufah  terhadap Imam Ali bin Abi Thalib baik dari kelompok Asyraf al qabail maupun dari kalangan qurra (hafizh)…

Pendahuluan.

Pada saat imam Ali menjabat sebagai khalifah beliau menghadapi sekurang-kurangya tiga pengkhiantan dari dalam –ini diluar kajian para pengkhianat dari kelompook al Nakitsin (pengobar perang Jamal) dan kelompok Qasithin (pengobar perang Shifin) –  diantaranya adalah pengkhianatan kelompok khawarij (dalam riwayat disebut sebagai al mariqin) dan sikap keengganan masyarakat kufah dalam menghadapi invasi Damaskus pimpinan Muawiyyah bin Abu Sofyan. Para nawashib gencar menghembuskan kabar bahwa para pengikut Khawarij  semula adalah orang-orang syiah, tetapi karena berselisih paham dengan Ali bin Abi Thalib, maka mereka  menyatakan keluar dari barisan Ali dan mendirikan Khawarij, sisanya tetap mengikuti Ali tapi dengan menyembunyikan watak aslinya  sebagi pengkhianat dengan cara enggan dan ogah-ogahan mendukung Ali dalam menghadapi musuh-musuhnnya.

Kekeliruan mendasar dari para nawashib tersebut adalah bahwa mereka dalam menuduh tidak berpijak dari fakta-fakta yang ada, dan mereka mengeneralisasikan bahwa seluruh orang yang berpihak pada Imam Ali dalam peperangan beliau, harus disebut sebagai syi’ah. Padahal para ulama ahlu sunnah sendiri sudah menjelaskan bahwa terdapat pengikut sejati Ali (syi’ah) -yang harus dibatasi pada pengertian relegius, yakni, kesyi’ahan  yang dilandasi pada keyakinan bahwa Imamah berada di imam Ahlul Ba’it- dan mereka yang bersifat pragmatis, berpihak kepada Imam Ali karena kepentingan-kepentingan pragmatis (lihat kembali di tulisan pertama).

Asal  Kaum Khawarij  Bukan Kaum Syi’ah.


Yang pertama kita bahas kelompok Khawarij, kelompok pengkhianat pertama dari barisan Imam Ali adalah kaum Khawarij,  menurut Rasul Ja’farian, orang-orang yang kelak menyempal dari barisan Ali dan mendirikan Khawarij,adalah kelompok yang berasal dari kaum nomad yang pada tahun-tahun ketika Kufah dibangun berdatangan ke tempat tersebut,  mereka ikut aksi penaklukan, dan mereka mendapat kemenangan dramatis, memperoleh aset rampasan perang yang terlalu banyak untuk dihitung. (History of the caliphs : From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad dynaty 11 – 132 AH hal 384),  Di antara kaum nomad ini, ada yang menjadi hafizh (Qura’) (harus di bedakan antara Qura yang menjadi syiah sejati (dibawah pimpinan Malik asytar dan Adi bin Hatim)  dengan  Qura dari kaum nommad ini lihat ditulisan pertama).

Memetakan keberadaan kelompok nommad di kufah yang kelak menjadi khawarij ini tidak lah mudah, karena keberadaanya tersebar di kabilah di kufah,  para penulis sejarah  menyebutkan asal kelompok yang dominan di tubuh khaarij, Nourouzzaman (Khawarij hal 37)  menyebutkan, kabilah yang banyak menjadi pengikut khawarij berasal dari Bani Tamim,  Sementara itu Baladzuri menyebutkan bahwa, pengikut Khawarij banyak yang berasal dari suku nommad  seperti bani Tamim, suku Bakar bin Wail dan suku nomad kecil lainya yang turut bergabung dengan khawarij (Ansyab al asyraf II/363)  namun demikian Baladzuri menambahkan, bahwa kecendrungan Khawarij ada dalam setiap kabilah baik yamani maupun nizari. Sementara itu ad diniwari menyebutkan Bani Murad, Bani Rasib dan Bani Tamim sebagai yang mendominasi Khawarij (akhbar at tiwal 196).

Alasan Kaum Khawarij Berada di Pihak Imam Ali.


Sebelum menjelma menjadi khawarij, kelompok ini hanya dikenal sebagai bagian dari masyarakat kufah sebagian dari merea didapati sebagai Qurra. Keberpihakan mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib kw, tidak didasarkan pada keyakinan relegius, sebagaimana keberpihakan kaum syiah. Hal ini dijelaskan oleh Baladzuri, “Kaum khawarij pada umumnya didukung oleh suku-suku nomad. Mereka ini tidak mengerti kalau imamah dan politik merupakan dua hal yang berada di luar topik atau masalah  suku. Kecendrungan mereka terlihat dalam cara berfikir mereka yang menafsirkan secara menyimpang (Ansab al Asyraf II/363)
Kesertaan kaum nommad di belakang Imam Ali dimulai dari krisis Utsman bin Affan. Para sejahrawan menceritakan sepertiBaladzuri (Ansyab al asyraf V/26, 60-61); Thabari (Tarikh I /2948) menyebutkan, para Hafizh nommad terlibat aktif dalam krisis dimasa Utsman bin Affan), Para Hafizh Nomad dan pendukungnya memberikan tudingan kepada Utsman bin Affan  sebagai telah banyak membuat bid’ah.  Ketidak puasan para hafizh  nomad ini sebagaimana diceritakan oleh Baladzuri (Ansab al asyraf V/40 ; Mas’udi (Murudz Dzahab II/337) dan Thabari (Tarikh I/2916) diakibatkan oleh : “Kebijakan Utsman yang mengangkat banyak anggota klanya pada pos-pos yang  memiliki pemasukan besar (Pos basah-ibnu jawi), serta tindakan Ustman memberikan hadiah-hadiah berlebihan”, Selain itu, kemarahan para nomad kepada utsman tersebut lantaran dipicu oleh tindakan keras Ustman kepada Abdullah bin Mas’ud yang menui protes dari salah seorang qura bernama Itris bin Arquib syaibani (kelak dia bergabung bersama khawarij) (Baladzuri, Ansab al asyraf  II/360 dan Yaqubi, Tarikh II/170).

Faktor ketidak puasan suku-suku nomad terhdap utsman bin Affan tersebut mendorong mereka menggunakan Ali sebagai mediasinya, dan ktika mediasi gagal yang berujung terbunuhnya Utsman bin Affan, Mereka menjadi bagian yang menyatakan kesetianya kepad Imam Ali bin Abi Thalib. Tetapi ada fakta menarik yang dicatat oleh Baladzuri, bahwa mereka akan membunuh Imam Husain sebagaimana mereka membunuh Ustman manakala tidak sesuai dengan harapan mereka (Futuh al Buldan, II/246). Jadi alasan pertama kaum nomad –yang kelak menjadi khawarij ini – lebih dilatar belakangi sikap pragmatis politis terhadap ketidak puasan kepada kebijakan penguasa, dan kemudian kelompok ini mencari figur lain sebagai pengganti.

Selain alasan diatas, terdapat alasan lainya, bahwa suku-suku nomad merasa kecewa terhadap dominasi Qurasy (syaikh Mufid, al Irsyad I/254) dan belakang hari pandangan negatif mereka terhadap qurasy mengejawantah pada landasan doktrinal mereka yang menyebut : bahwa khalifah tidaklah harus berasal dari suku Quraisy.

Dengan dermikian faktor yang mendorong, bergabungnya mereka dengan Imam Ali bin Abi Thalib, bukan dilandasi pijakan fundamental doktrinal imamah melainkan pada  idologi pragmatis yakni pemerataan dan kesetaraan.

Jejak Pengkhianatan Kaum Khawarij.


Pengkhianatan kepada imam Ali bin Abi Thalib oleh suku-suku nomad yang kemudian menjelma menjadi khawarij ini dilakukan tidak hanya pada Perang shiffin tetapi dilakukan pada saat  panggilan perang jamal, berikut uraian singkatnya :
Az Zamakhshari, menuliskan, “ Perang jamal merupakan aksi pertama ketika kaum mulsim terlibat konflik dengan sesama, Dalam perang ini meskipun ada pihak pemenang, namun tidak ada aset rampasan perang, sehingga hal ini menjadi masalah bagi sebagian pendukung Ali, terutama dari kalangan suku-suku pengelana, dari kalangan hafizh kelompok mereka, mengajukan protes “ bagaimana ceritanya perangnya dibolehkan namun aset pihak yang kalah tak boleh diambil ( al Fa’iq IV/129). Inilah protes pertama kaum khawarij kepada Imam Ali.

Pengkhiantan kedua kaum nommad dan qurra pengelana kepada imam Ali bin Abi Thalib  terjadi pada saat perang shifin. Nasr biin Muzahim menyebutkan, berulangkali Imam Ali bin Abi Thalib mengajak pasukan Damaskus menyelesaikan persoalan dengan menggunakan  Al Qur’an sebagai rujukan, dan beberapa utusan dikirim. Tetapi pasukan Damaskus membunuh utusan Ali (Waq’qt ash shifiin, 244), Setelah terjadi pertempuran hebat –para sejahrawan menyebut sebagai Layla al Harir- pasukan Damaskus hampir menemui kekalahan, pada saat itu Lima ratus kitab Al Qur’an diletakkan tombak Damaskus. Dan terjadilah kericuhan  di Barisan Imam Ali,  sementara Imam Ali  memerintahkan terus bertempur sementara pasukan syiah terus menggempur pasukan dibawah Asyraf al qabail dan pendukungnya menyerukan pertempuran harus dihentikan,  seruan tersebut disambut suku-suku pengelana, Nasr bin Muzhahim mencatat  kepada imam Ali menghadap imam Ali agar pertempuran dihentikan, (waq’at ash shiffin 490)  Sebagian pendukung Ali datng menghadap, dengan tanpa memanggil Ali bin Abi Thalib dengan Amirul Mukmini, mereka meminta Ali untuk menyudahi perang dan menyelesaikan melalui Al Qur’an. Nasr bin Muzahim menyebutkan,   diantar orang-orang ini ada sejumlh hafizh yang sudah merasa cukup hanya dengan hafal Al Qur’an  menjadikan mereka memiliki hak untuk membenarkan sikap mereka ( Waq’at ash shiffin, 492) Imam Ali menjawab seruan mereka “ Aku patut menerima penyelesaian melalui Kitab Allah, lebih dari lainya : namun Muawiyyah dan para sahabtnya bukanlah sahabat dalam agama dan bukan sahabat dalam Al Qur’an. Aku lebih kenal mereka daripada kalian, sejak kecil aku sudah bersama mereka “ (Waq’at ash shiffin, 492). Dan pada saat itu pasuka syi’ah dibawah pimpinan Malik asytar  terus melakukan gempuran. Namun dibelakang daerah pertempuran. Imam Ali terus dipaksa untuk mengentikan pertempuran dan segera menarik Malik asytar.  (Waq’at ash shiffin, 494) dan inilah pengkhianatan kedua kepada Imam Ali. Sementara pasukan syiah tetap bertemur pasukan dari suku pengelana dan  pasukan dari pimpinan asyraf al qabail menghendaki berhenti.
Pengkhianatan ke tiga kaum pengelana dan para hafizhnya yang merasa cukup hanya dengan bacaan al Qur’an adalah pada saat penunjukan  wakil  Imam Ali dalam Arbitrase, Imam Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas atau Malik Asytar tetapi ajuan Imam Ali ditolak olek kalangan asyraf al qabail (yang nanti akan dijelaskan pula)  Sementara Malik Asytar ditolak oleh kelompok asyraf al qabail, maka Ibnu Abbas ditolak oleh para hafizh  (Waq’at ash shiffin, 498).

Pengkhianatan ke tiga kaum pengelana ini, adalah  Penetangan mereka atas usul mereka sendiri, yakni arbitrase,  Baladzuri menyebutkan,  kelompok penetang arbitrase keluar dari kesatuan, mereka memisahkan diri dari lasykar dan pergi ke Harura yang berjarak 2,5 km dari kufah.

Puncak pengkhianatan mereka adalah Pembunuhan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib.

PENGKHIANATAN  BANI NAJIYAH.


Terdapat gerakan yang memiliki kemiripan dengan Khawarij, yang sama-sama semula berdiri dibelakang Imam Ali bin Abi Thalib,  pengkhiantan ini berasal dari Bani Najiyah pimpinan Khirrit bin rasyid, Baladzuri mennuliskan, Pemberontakan Khirit bin rasyid didukung sukunya Bani Najiyah dan Suku Kurdi, khirit beraksi sedemikian rupa sehingga kaum khawarij mengira khirit sependapat dengan pandanganya,” Pengkhianatan ini berhasil dipadamkan pasukan syi’ah pimpinan Ma’qil bin Qais Riyahi.

KHAWARIJ DALAM PENGKABARAN RASULULLAH SAWW.


Fenomena khawarij, ini adalah unik, mereka kebanyakan adalah orang-orang yang dikenal gemar beribadah, bahkan mendapatkan sebutan Qurra.  Pemimpin mereka Abdullah bin Wahab bahkan mendapat julukan Dzuts Tsafanat (orang yang di dahinya ada tanda sujud), tetapi sebagaimana diceritakan oleh Rasul Ja’farian “bahwa orang-orang khawarij merasa lebih unggul  dengan ke hafizanya dibanding orang lain, dan merasa lebih akurat atas sikap yang mereka ambil (History of the caliphs : From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad dynaty 11 – 132 AH)  Ad Dinawari memberikan ilustrasi  kekeliruan mereka, yang terjadi pada saat perang Jamal. Ketika Ali bin Abi Thalib tidak membenarkan orang memanfaatkan harta pribadi orang lain, kecuali harta yang digunakan musuh dalam pertempuran. Orang-orang dari suku pengelana pun merasa heran, karena kebijakan sebelumnya membolehkan  bila berhasil memenangi perang merampas seluruh aset musuhnya. Pada saat itu Imam Ali berkata, mengapa kalian tidak memperdulikan Aisyah, kalau harta  kalian rampas seluruhnya,  dimana letak kepedulian kalian ? Orang-orang pengelana dan sebagian orang-orang arab yang masih sederhana pikiranya disertai para qurra mereka, mempertanyakan sikap Ali bin Abi Thalib, karena menurut mereka, manamungkin membunuh musuh dalam perang namun hartanya tidak boleh diambil (Akhbar ath Thiwal 151).

Sempitnya mereka dalam memahami Al Qur’an  menyebabkan mereka terjatuh pada kejumudan yang fatal, dan Rasulullah saww sendiri  telah mengisyaratkan muncul serta watak kaum khawarij ini, sekalipun mendapat sebutan hafizh, Rasulullah mengisyaratkan kualitas buruk kehafizanya, meski disebut sebut sebagai ahli ibadah tetapi Rasulullah saww menyebutkan buruknya kualitas ibadah mereka, berikut kutipan rangkuman Hadits Rasulullah saww :
Muslim bin Hajjaj berkata dalam Shahihnya, “Abdu bin Humaid telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdurrazzaq bin Hammam telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdul Malik bin Abi Sulaiman telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, Salamah bin Kuhail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata, ‘Zaid bin Wahab al-Juhani telah menceri-takan kepadaku bahwa ia termasuk salah seorang anggota pasukanyang berangkat bersama Ali ra. untuk memerangi kaum Khawarij. Ali ra. berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Akan muncul satu kaum dari umatku yang membaca al-Qur’an, bacaan al-Qur’an kalian tidak ada apa-apanya dibanding bacaan mereka, shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat mereka, puasa kalian tidak ada apaapanxja dibanding puasa mereka. Mereka membaca al-Qur’an dan menyangka al-Qur’an itu menjadi hujjah ijang mendukung mereka padahal al-Qur’an menjadi hujjah yang membantah mereka. Shalat mereka tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah keluar dari busurnya. Sekiranya pasukan yang memerangi kaum ini tahu apa yang telah disediakan buat mereka melalui lisan nabi mereka niscaya mereka akan meninggalkan amal. Tanda-tandanya adalah di antara kaum ini terdapat seorang lelaki yang memiliki lengan atas tapi tidak memiliki lengan bawah. Dan di pangkal lengan atasnya terdapat seperti mata payudara dan padanya terdapat rambut yang telah memutih.”.

Abdullah bin Mas’ud, haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al- Musnad (1/404), at-Tirmidzi dalam Sunannya (nomor 2188), Ibnu Majah (nomor 168) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi nomor 1779 dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Akan muncul nanti di akhir zaman satu kaum yang dangkal akalnya, muda nbelia, atau beliau berkata, muda usianya, mereka mengucapkan sebaik-baik perkataan manusia, mereka membaca al-Qur’an dengan lisan mereka namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Barangsiapa mendapati mereka maka perangilah mereka sebab bagi yang memerangi mereka telah tersedia pahala yang besar di sisi Allah.

PENGKHIANATAN ASYRAF AL QABAIL.


Pengkhianat lain dari barisan Imam Ali yang lain adalah pengkhianatan dari kalangan asyraf al Qabail,  untuk mengetahui siapakah asyraf al qabail silahkan kembali merujuk pada tulisan pertama yang ditulis ibnu jawi al jogjakartani penulis artikel ini). Kalangan sejahrawan ahlu sunnah menyebutkan bagaimana para asyraf al qabail ini melakukan pengkhianatan. Setelah mendapati kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib tidak seperti yang ditempuh oleh para penguasa sebelumnya yang cendrung menguntungkan mereka.

Sikap plin plan dan acuh tak acuh para Asyraf al Qabail  dan pengikutnya terbaca pula oleh Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diceritakan oleh Nasr bin Muzahim dan Baladzuri “Imam Ali bin Abi Thalib senantiasa berpesan  kepada para sahabat-sahabat dan pengikutnya (baca syiah), agar mewaspadai dan berhati-hati kepada sikap para asyraf al qabail kufah” (waq’at ash shiffin II/144 ; al Futuh II/468). Sikap plin plan par asyraf al qabail ini dengan jelas diceritakan oleh  Nashir bin Muzahim dan Baladzuri dalam Kitabnya : “ Para asyraf al qabail mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan Ali bin Abi Thalib usai perang jamal. Pada kesempatan itu  mereka memaparkan alasan-alasan yang membenarkan diri mereka sendiri  atas sikap yang diambil untuk tidak memberikan dukungan  kepada Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa jamal,  tetapi pada saat yang sama mereka mengukuhkan dan memperkuat kembali ba’iat kepada Ali bin Abi Thalib (Waq’at ash shiffin 21, al futuh II/370-371).  Menyebutkan sikap-sikap khianat dan plin-plan kalangan asyraf al qabail secara keseluruhan tentu akan membuat panjang artikel ini –pada artikel pertama kami sudah menyinggung sedikit-, kami hanya akan menyajikan sikap-sikap pragmatis mereka dimasa Imam Ali bin Abi Thalib, yang memiliki dampak dan pengaruh yang besar, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pengkhianatan gembong Asyraf al Qabail – Asyat bin Qais al Kindi-

Sikap  Asy’ats bin Qays al kindi orang yang tidak memiliki kualitas keislaman baik, yang diangkat oleh Walid bin Uqbah (Gubernur Utsman bin Affan)  untuk menggantikan Hujar b Adi al Kindi. Asy’ats bin Qays memiliki peran besar dalam menggalang pengkhianatan dari kalangan Asyraf al qabail berikut ‘urafa yang menjadi anggotanya.  ad Dinawari menceritakan, ketika terjadi pemberontakan anti Utsman, Asy’ats bin Qays  sempat melarikan diri ke Damaskus, namun kemudian ia kembali ke kufah (Akhbar ath Thiwal/156). Asy’at bin Qais adalah orang yang memprotes kebijakan Diwan Imam Ali, serta orang yang menggalang dukungan untuk menolak penggantian dirinya oleh Imam Ali bin Abi Thalib sebagai Asyraf al Qabail, dimana dirinya akan digantikan oleh Hujr bin Adi. Asy’at bin Qais mampu memainkan sebagai orang yang merusak barisan Imam Ali dari dalam (lihat tulisan ibnu jawi di artikel I).

Baladzuri menceritakan, bahwa Asyat bin Qais salah seorang tokoh asyraf al qabail berpengaruh  sempat akan bergabung dengan Muawiyyah, peristiwa tersebut terjadi ketika Ali bin Abi Thalib memerintahkan satu tim khusus untuk memeriksa dan menaksir aset-aset yang dimiliki para asyraf al qabail ( Ansab al asyraf 2/296).

Asyats bin Qais juga memanfaatkan pengaruhnya untuk merusak barisan Imam Ali, Sebagaimana diceritakan oleh Nasir bin Muzhahim: Pada tanggal 5 syawal 36 H dari Nukhaila Imam Ali bangkit melakukan perlawanan terbuka,  perpecahan pertama dalam tubuh pasukan Ali bin Abi Thalib terjadi akibat provokasi Asy’ats bin Qays yang melakukan protes atas diangkatnya Hassan bin Makhduj untuk memimpin pasukan Yaman, provokasi tersebut nyaris membuat bentrokan antara kabilah Kinda dan Rabiah  (Waq’at ash shiffin 127), Nashr menceritakan, Melihat perpecahan tersebut, Muawiyyah mengirimkan penyair orang Kinda untuk menyemangati Asy’ats menentang Ali, tetapi upayanya gagal, karena Asy’ats dibiarkan mempin pasukan sayap kiri yang terdiri dari suku kinda” (Baladzuri, Futuh al Buldan III/105).

Aksi pragmatis asyraf al qaba’il yang dipimpin oleh Asy’at bin Qais ini, adalah dengan menempatkan diri mereka dengan posisi yang mengambang – lihat penjelasan Muhammad Jafri di artikel pertama yang kami tulis (ibnu jawi al jogjakartani)- di antara dua pihak yang bertikai, bila dilihat ada posisi yang lebih menguntungkan maka pihak tersebut yang akan di dukung diam-diam. Saat terjadi perang shiffin, Asy’ats bin Qais di satu sisi berperang dan memimpin klannya di pihak Imam Ali bin Abi Thalib tapi di pihak lain dia menjalin kontak-kontak rahasia dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan. Ya’qubi menceritakan “ bahwa Asy’ats bin Qais pada saat perang shiffin mengambil peran penting mengajak para kabilah lain agar perang  diberhentikan. Peran Asy’at bin Qais dalam peristiwa yang mendorong terjadinya arbitrase tersebut, sebagai hasil korespondensi antara Asy’ats bin Qais dan  Muawiyyah ( Tarikh al Ya’qubi II/188) Sikap plin-plan Asy’at bin Qays ini terlihat ambigu, di satu sisi saat berperang dia mengobarkan  perlawanan tetapi disisi lain dia  mememcah kesatuan, al Yaqubi menceritakan secara detail dalam kitab tarikhnya.

Ketika tentara Muawiyyah mengangkat lima ratus Kitab Al Qur’an yang diletakan di atas tombak mereka, Ali bin Abi Thalib menyatakan “bahwa ulah mereka hanyalah tipu daya, dan Sha’sha’a  bin Shauhan  kemudian melanjutkan gempuran ke kubu Muawiyah,  pada saat  berlangsung pertempuran sengit ia mendengar Asy’ats bin Qais berteriak agar memikirkan kaum wanita dan bila perang dilanjutkan kaum Arab akan mengalami krisis, Sha’sha tetap melanjutkan pertempuran, sementara Asy’ats bin Qais merupakan orang pertama yang  menentang Ali melanjutkan perang ( Nasr bin Muzahim al Minqari, Waq’at ash shiffin 478),  Baladzuri dan Nasr binh Muzahim al Minqari  menuliskan, “disaat tentara yang dipimpin sahabat Ali melakukan gempuran ke arah tentara Damaskus,  sebagian  para asyraf dengan membawa laskarnya menghadap Ali, tanpa memanggil Ali dengan sebutan Amirul Mukmini, mereka meminta  Ali menerima penyelesian masalah melalui Al Qur’an. Dalam kelompok ini ikut serta para hafizh (yang kelak bergabung menjadi khawarij) (Waq’at ash shifin 490 dst ; Ansab al asyraf II/331) Pada saat imam Ali di datangi para pemipin kabilah kufah dan para hafizh, Malik asytar sudah mencapai garis depan kamp pasukan Muawiyah, pada saat itu kaum pemrotes,  meminta Ali  agar mengeluarkan perintah mundur pasukan sahabat-sahabatnya atau Ali akan menghadapi perpecahan, sebagian pemerotes berteriak “anda telah menyemangati sahabt-sahabt anda untuk melanjutkan pertempuran, jika Malik tidak segera kembali, dan pasukan anda tidak segera menghentikan peperangan, maka kami akan membunuh anda”, Ali kemudian memenuhi permintaan mereka demi menghindari perpecahan yang mengancam kesatuan pasukanya Ali mengirimkan Yazid bin Hani untuk menarik mundur pasukan yang masih bertempur (Waq’at ash shifin 493)
Asy’ats bin Qais mengambil peran yang sangat dominan dalam arbitrase, ia bersama para asyraf al qabail kufah yang mengatur proses arbitrase,  Nasr bin Muzahim menuliskan ia menemui Muawiyyah untuk membicarakan bagaimana cara melakukan arbitrase (Waq’at ash shifin 495). Asy’at bin Qais  bersama dengan para khawarij  mengajukan Abu Musa Asy’ari sebagai wakil pihak Imam Ali, tetapi Imam Ali menolak – menurut  al Dinawari, Abu Musa al ‘asyari adalah  orang mulia dari kalangan asyraf al qabail, yang dimasa Ali bin Abi Thalib menghadapi kaum Jamal, Ali memerintahkan Hasym bin Utbah agar Abu Musa menyiapkan masyarakatnya, tetapi Abu Musa malah  meminta masyarakat kufah untuk tidak terburu-buru memberikan dukungan kepada Ali (Akhbar ath Thiwal 145) – Ali bin Abi Thalib menginginkan wakil arbitrase adalah Ibn Abbas atau Malik Asytar (Nasr bin Muzahin,  Waq’at ash shiffin 499) Ibnu Abbas mengomentari sikap badung para pemrotes dari kalangan asyraf al qabail dan dari kaum khawarij ini, ibnu Abbas mengatakan (Kalau saja pada saat itu mereka mau bersabar, kemenangan pasti akan diraih” (Baladzuri, ansab al asyraf II/331).

Dalam penyusunan perjanjian fornal, asy’ats bin qais  adalah orang yang paling ngotot dalam menghilangkan gelar Amirul Mukminin bagi Ali bin Abi Thalib, Nasr bin Muzahin (waq’at ash shiffin. 508) Ya’qubi (Tarikh II/189) menuliskan, Dalam perjanjian formal ini, Ali dan Muawiyah ditetapkan memiliki hak yang sama/ Pada tahap pertama, nama Ali diikuti dengan gelar “Amirul Mukmini” (pemimpin kaum beriman), namun untuk muawiyah, penyematan gelar itu tidak dapat diterima. Asy’ats bin Qais bersikeras agar gelar Amirul Mukmini dihapus saja. Ali bin Abi Thalib yang mendengar itu menyatakan “Maha suci Allah, sebuah sunah seperti sunah Nabi. Dalam kesepakatan damai hudaibiyah, Suhail bin Amr wakil kaum musyrik ngotot minta supaya sebutan “Rasulullah “ dihapus”.

Watak plin plan asya’ts bin qais yang mewakili watak para pengikutnya kembali muncul setelah arbitrase yang dipaksakan oleh kelompok mereka kepada Imam Ali ternyata tidak menguntungkan mereka.  Baladzuri menuliskan “ sejumlah orang seperti asy’ats bin Qais dan banyak anggota lasykar kufah mengungkapkan ketidak sudian tunduk kepada Damaskus, mereka menentang arbitrase tetapi tidak sampai keluar dari jama’ah ( Baladzuri  ansab al asyraf II/351)  Ya’qubi menceritakan, Dalam perjalanan kembali ke shifin kelompok pemerotes terbagi menjadi dua, satu kelompok menentang arbitrase tetapi tidak keluar, sedang satu kelompok keluar dari jama’ah dan kesatuan mereka  pergi ke Harura yang berjarak 2,5 Km dari kufah. (Tarikh Ya’qubi II/191).

Baladzuri (Ansab al asyraf II/374) dan (Futuh al Buldan III/277) menceritakan Ketika Imam Ali bin Abi Thalib meminta masyarakat Kufah bersiap menghadapi serbuan kembali pasukan Damaskus,  Asy’ats bin Qais menyatakan keberatanya, sehingga yang mendukung Ali tinggal sedikit sehingga tidak mampu menghadapi pasukan Damaskus, Ali bin Abi Thalib memutuskan kembali ke Kufah”
Puncak pengkhianatan antara kaum khawarij dan asyraf al qabail terhadap Imam Ali bin Abi Thalib,  adalah konspirasi diantara kedua kelompok tersebut, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi ad Dunya menceritakan  pada malam sebelum pembunuhan  Imam Ali bin Abi Thalib,  Abdurahman bin Muljam sempat singgah di rumah Asy’at bin Qais (Maqtal al Imam Amiril Mukminin Ali Bin Abi Thalib hal 28, 33 No 11).

Pengkhiantan Asyraf al Qabail  Jarir bin Abdullah Bajali.

Jarir bin Abdullah Bajali adalah kawan karib dari Umar bin Khatabb dia menjadi tokoh asyraf al Qabail yang berpengaruh dan mapan ketika Imam Ali bin Abi Thalib berpindah ke kufah. Imam Ali bin Abi Thalib mempercayakan negosasi dengan Muawiyah kepadanya, karena masing-masing memiliki kedekatan dengan Umar, sehingga bisa dibicarakan agar Muawiyah menghentikan aksi membangkangnya, tanpa melalui jalan peperangan. Tetapi sayangnya Jarir bin Abdullah Bajali bersikap menjadi pembela Muawiyyah Baladzuri menceritakan, Muawiyyah  berkata kepada Jarir bin Abdullah, “Kirinm surat untuk Ali untuk menetapkan secara penuh bahwa Damaskus dan mesir untuiki. Dan bia kelak ia meninggal, dia tidak boleh mengabaikan ikrar setia orang kepadaku”  Ali bin Abi Thalib menjawab surat Muawiyah yang ditulis Jarir tersebut “ Mughirah di Madinah pernah mengusulkan ini kepadaku, tetapi aku tolak. Aku tak mungkin berbuat seperti ini karena Allah tak pernah melihatku dalam posisi memanfatkan kaum penyimpang untuk mendukungku ( Futuh al Buldan II/392)    Empat bulan kemudian, Jarir bin Abdullah meninggalkan Damaskus untuk kembali ke kufah, Malik asytar menjatuhkan hukuman keras kepada dia, dan menyebut jarir bin Abdulaj telah melakukan kesalahan dengan menggadaikan agamanya kepada Muawiyah di Damaskus. (Futuh al Buldan II/404) Jarir kemudian meninggalkan Kufah menuju Qirqisa, dia mengajak sukunya Bajilah keluar dari Kufah untuk mengurangi kekuatan Ali bin Abi Thalib menghadapi Muawiyah.  Kecuali sembilan orang, suku Bajilah mengikuti Jarir bin Abdulah  ke Qirqisa. Kepergian Jarir bin Abdulah disertai oleh Tsuwair bin Amir  (Nasr bin Muzahim al minqari, Waq’at ash shiffin 61).

Pertarungan antara Asyraf al Qabail dengan Syiah di klan Bani Tamimi.


Bahawa suku-suku dalam kufah tidaklah mutlak syiah, juga dipaparkan secara tegas oleh para sejahrawan ahlu sunnah. Di dalam suku masing-masing terjadi perdebatan tentang kemana suku mereka mesti mendukung Ath Thaqofi menuliskan. “ Muawiyah  memerintahkan Abdullah bin Amir Hadhrami untuk menemui  Usmaniah dari Bani Tamim meminta dukungan,  Dalam pertemuan tersebut, Abdullah berbicara dengan tema menuntut balas kematian Usman, ketika menjelaskan, Dhahhak bin Abdullah Hilali memprotesnya dengan mengatakan “ Apakah anda menyuruh kami untuk mencabut pedang dan berperang satu sama lain hanya demi mempertahankan tahta Muawiyyah,  demi anda agar menjadi mentrinya, dan untuk melanggar baiat yang telah kami berikan kepada Ali ? Demi Allah, satu harinya Ali dimasa hayat Nabi jauh lebih baik dibanding segala prestasi muawiyyah dan silsilahnya”  Dan kemudian Bani Tamimi mengalami kekiSruhan, pemipin suku menyuarakan mendukung Muawiyyah dan sekelompok kecil  seperti Ahnaf bin Qais tetap mendukung Imam Ali” (lebih rinci lihat Al Gharat II/302-322 ) Ath Thaqofi juga menceritakan polarisasi antara kaum syiah dan kelompok pragmatis terjadi ditubuh Kaum Azd, dan kaum Mudhari di kufah.

Raqqa Utsmani kalangan Agamawan pro Usmaniah di Kuffah.


Ya’qubi menuliskan dalam kitabnya, bahwa di kufah adal sekelompok agamawan  yang dahulu merupakan pendukung Utsman, dan belakangan berkecendrungan kepada Muawiyyah, mereka menghimpun dalam komunitas bernama Raqqa Utsmani  kelompok ini menunjukkan netralitas disetiap pertempuran yang dijalani Ali bin Abi Thalib. Raqqa Usmani kufah pernah diperintah Imam Ali agar membuat jembatan penyebrangan bagi pasukan Imam Ali, tetapi mereka menolak, kemudian  Ali bin Abi Thalib  memerintahkan Malik Asytar agar kembali meminta mereka membuat jembatan penyebrangan.  Akhirnya mereka mau melaksanakan ( Tarikh al Yaqubi II/187).



Kritikan Imam Ali bin Abi Thalib kepada Asraf al Qabail.



Imam Ali bin Abi Thalib menghadapi pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh kelompok asyraf al qabail, yang enggan memberikan dukungan kepada beliau,  ath Tsaqafi, menuturkan, Ketika Pasukan Muawiyyah melakukan Invasi dibawah pimpinan Sufyan bin Auf Ghamidi yang didukung pasukan berkekuatan enam ribu serdadu, pasukan besar ini hanya dihadapi oleh segelintir pasukan yang setia kepada Imam Ali (baca syiah) dibawah pimpinan Asyras bin Hassan Bakri,  meski dengan kekuatan minim Asyras melakukan perlawanan meski akhirnya dia gugur karena musuh terlampau banyak, Imam Ali lalu memanggil para pemimpin suku (asyraf al qabail) kufah agar mengerahkan masanya berkumpul di Nukhaila untuk menghentikan aksi Sufyan, tapi sambutan kabilah di kufah sangat sepi kemudian  Imam Ali menuturkan kesedihannya atas sikap mereka : “…Pada saat ini kalian tak pernah mau keluar. Kenapa kalian Cuma selalu menunggu dan menunggu ? kalian telah menutup mata terhadap kota-kota kalian yang direbut dan terhadap muslim syiahku  yang dibunuhi? Di perbatsan tak terlihat seorang penjaga perbatasan, namun yang terlihat justru musuh…( Al Gharat I/302-303)  ath Tsaqafi menceritakan, Imam Ali hanya dapat memberangkatkan pasukan dari kalangan pengikut Imam Ali (baca syiah) sebanyak delapan ribu orang, dan Imam menunjuk Said bin Qais Hamdani sebagai pemipin pasukan.

LOYALITAS  MASYARAKAT SYIAH KUFAH TERHADAP IMAM ALI.


Sudah dipaparkan diatas bagaimana mayoritas pengikut asyraf al qabail dan kaum khawarij berkhianat kepada Imam Ali,  adalah hal yang bijaksana untuk menengok bagaimana sikap kaum syiah manakala mendapati Imam mereka dikhianati secara bertubi-tubi. Sejahrawan Besar Ahlu Sunnah  Ath Thabari dan Baladzuri menuliskan dalam kitabnya ,  Sekembalinya Ali dari Shiffin dan tiba di Kufah, pasukan Ali terpecah menjadi tida bagian,  kaum khawarij  yang memisahkan diri, kaum penentang arbitrase yang tidak keluar dari barisan Ali, dan para pengikut setia Ali (baca syiah-ibnu jawi al jogjakartani) yang tetap patuh kepadanya,  para pengikut Ali yang setia tersebut mengemukakan kembali komitmen setia mereka kepada Ali, mereka berkewajiban untuk kembali bersumpah setia dengan mengatakan “Kami akan berbaik hati  dan ramah dengan sahabat anda, dan akan memusuhi dengan orang yang menentang dan melawan anda” (Tarikh Thobari V/64 dan Asab al Asyraf II/348).

Agaknya loyalitas para pengikut Ali tersebut yang kemudian mendorong para sejahrawan melakukan katagorisasi  atas kesyiahan mereka –sebagaimana telah dicatat dalam tulisan pertama -, Pribadi-pribadi agung tersebut banyak yang gugur syahid membela Imam Ali,  sebuah loyalitas spiritual  yang patuh pada perintah Rasulullah untuk mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib,  mereka adalah Ammar bin Yaser, Khuzaimah,  Muhammad bi Abu Bakar (Kakek buyut Imam Ja’far dari pihak Ibu yang juga anak Abu Bakar), Zaid bin Shauhan, Saihan bin Shauhan, Shaq’ab, Abdullah, Salim bin Mikhnaf (kake Abu Mikhnaf) Alba’ Bin harits sadusi. Hind Jamali dan seterusnya tentu mencatat nama mereka menjadi rentetan daftar panjang, kaum syiah bukanlah pengkhianat sebagaimana yang dituduhkan kaum Nawashib, karena justru para nawashib justru mengangkat tinggi-tinggi kepada kaum pangkhianat, bahkan mempetcayai mereka sebagai pembawa kebenaran agama…

Wallahu ‘Alam bhi Showab.

Bersambung Insya Allah pada tulisan :
MELACAK KELOMPOK PENGKHIANATAN MASYARAKAT KUFAH  KEPADA IMAM ALI as, IMAM HASAN as DAN IMAM HUSAIN as (3)
Pengkhianatan Asyraf al Qabail dan Para Qurra terhadap Imam Hasan as.

Terkait Berita: