Pangab Jenderal Feisal Tanjung disambut ulama di pesantren al-Kautsar al-Akbar, Medan. (Foto: Repro buku "ABRI-Islam Mitra Sejati" karya Feisal Tanjung)
FEISAL Tanjung sering disebut the rising star. Kariernya melesat sejak dia ditunjuk sebagai ketua Dewan Kehormatan Militer (DKM) pada 1992. Dewan ini dibentuk selepas peristiwa Santa Cruz, Dili, pada 1991. Posisinya kala itu mayor jenderal. Dia bertugas menyelidiki aparat yang bertindak di luar kepatutan.
Sejumlah perwira ABRI pun ditindak. Pangdam Udayana Mayjen Sintong Panjaitan, misalnya, harus melepas jabatannya. Brigjen Warouw, panglima Komando Lapangan Operasi Timor Timur, bahkan diberhentikan dari ABRI. Hasil kerjanya itu memuaskan Presiden Soeharto.
Kala itu Soeharto lagi mencari perwira yang dapat dipercaya. Dia mulai menjauh dari kelompok Benny Moerdani, jenderal kepercayaannya pada dekade 1980. Sebabnya, dia dengar kabar Benny ingin menjadi presiden.
“Akibatnya Soeharto merasa kesal dan berusaha mencari perwira lain yang belum dikenalnya,” tulis Kivlan Zein dalam “Hubungan Integrasi Internal TNI-AD Dengan Integrasi Bangsa,” tesis pada Universitas Indonesia tahun 2002. Salah satu perwira itu adalah Feisal Tanjung. Menurut Kivlan, Feisal, melalui kelompok Prabowo Subianto, berjanji akan membersihkan pengikut Benny Moerdani.
Feisal dianggap dekat dengan kalangan Islam. Ini sesuai dengan politik yang ditempuh Soeharto sejak 1990-an: mendekat ke kalangan Islam. Maka, Feisal segera dipromosikan sebagai Kepala Staf Umum ABRI pada 1992. Tujuannya untuk memuluskan langkah Feisal ke tampuk pimpinan ABRI. Setahun kemudian, Soeharto menyematkannya jabatan Panglima ABRI (Pangab). Kelompok Benny pun akhirnya tersingkir.
Keputusan ini disambut hangat kalangan Islam yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Mereka menilai Feisal lebih simpatik terhadap umat muslim. Terlebih latar belakang keluarganya, yang aktivis Muhammadiyah, mendukung.
Tapi kedekatan itu segera beroleh ujian. Peristiwa Haor Koneng meletus pada Agustus 1993. Aparat menyerbu sebuah padepokan tarekat di Majalengka, Jawa Barat, yang dianggap menyempal. Akibatnya empat orang tewas. KH Hasan Basri, ketua Majelis Ulama Indonesia, pun protes. Feisal berkilah peristiwa itu sebagai kriminal biasa. Ada orang yang melawan aparat.
Peristiwa berdarah lainnya muncul pada 27 Juli 1996. Musababnya kekhawatiran Soeharto terhadap Megawati yang terpilih sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dia gusar kalau kelak Megawati menjadi saingannya untuk posisi presiden.
Untuk menggagalkan skenario itu, Soeharto menggunakan kekerasan: menyerang markas PDI yang diduduki pendukung Mega. Feisal dianggap tahu banyak soal peristiwa ini. Tapi dia memilih diam. Pada tahun yang sama, Feisal meluncurkan sebuah buku, ABRI-Islam Mitra Sejati. Isinya mengudar pandangan Feisal terhadap Islam. Ini menandai kedekatan kembali ABRI dengan Islam.
Feisal yang lahir di Tarutung, Sumatra Utara, pada 17 Juni 1939 sempat menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan di era Presiden BJ Habibie. Dia wafat di RS Siloam pada 18 Februari 2013 karena kanker empedu.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email