Profesor Dr. Taufiq Al-Bouthi dalam pidatonya di Auditorium Notonagoro, Universitas Gadjah Mada memaparkan berbagai persoalan menyangkut keadaan umat Islam dunia. Putra almarhum Syaikh Ramadhan Al-Bouthi yang dikenal luas di Indonesia sebagai mursyid tasawuf Syam ini memaparkan sejumlah isu sensitif yang menimpa umat dalam seminar bertema “Peran Akademisi dalam Rekonsiliasi: Krisis Politik dan Ideologi di Timur Tengah” yang diadakan pada Minggu 6 Maret kemarin hasil kerjasama antara Fakultas Filsafat UGM, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) dan Ikatan Alumni Syam-Indonesia (Al-Syami).
Dalam paparannya, putra mufti Syafii asal Damaskus itu secara ringkas menjelaskan bahwa di Suriah tidak ada permusuhan antar pengikut mazhab dalam Islam. Ribuan tahun berbagai penganut mazhab Islam, terutama Sunni-Syiah, hidup berdampingan di bumi Syam tanpa ada konflik berdarah yang berkepanjangan seperti saat ini. Bahkan, mereka bersama-sama, bahu-membahu mengusir penjajah Prancis dan Israel dari tanah Suriah.
Yang sesungguhnya terjadi di Suriah, katanya, adalah fitnah yang didesain oleh Amerika, Israel dan didukung oleh beberapa negara di kawasan seperti Arab Saudi, Qatar dan Turki. Desain ini ujungnya bertujuan untuk melemahkan umat dari dalam dan memalingkan mereka dari masalah Palestina serta berbagai prioritas lain yang lebih krusial.
Selanjutnya, tutur pria yang mulai tampak beruban ini, ulama dari berbagai mazhab diadu domba satu sama lain. Mereka diiming-imingi harta dan kedudukan. Bahkan, ayahnya sendiri, Almarhum Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi sempat ditawari untuk keluar dari Suriah dan ikut menyulut konflik berdarah di sana. Sebagai imbalannya, almarhum akan diberi rumah mewah di Eropa beserta seluruh kebutuhan hidupnya secara cuma-cuma.
Akan tetapi, lanjut profesor yang mulai tampak beruban ini, karena Almarhum menolak, dia justru dibunuh sesaat setelah sholat Jum’at dan memberikan ceramah di masjid Umayyah, Damaskus, bersama sekitar 40 jamaah lainnya. Belakangan diketahui bahwa kelompok teroris Jabhat Al-Nusra mengklaim bertanggungjawab atas aksi keji tersebut.
Selain itu, profesor di bidang studi Islam ini, mengingatkan publik Indonesia untuk jangan sekali-kali mempercayai media, terutama media arus utama. Termasuk televisi milik Kerajaan Qatar, Al-Jazeera, yang dijulukinya sebagai pembohong besar. Media bayaran itu tidak hanya menyiarkan berita yang keliru, melainkan juga mengarang berita yang sama sekali tidak ada faktanya. Berdasarkan berita yang dikarang tersebut kemudian itulah lalu Saudi dan Qatar serta Turki membuat keputusan sendiri untuk menginvasi Suriah dan mendatangkan puluhan ribu orang dari seantero dunia untuk bertempur di negeri ini.
Fitnah yang sama, menurut Al-Bouthi, kini juga dikembangkan berkenaan dengan Yaman dan sejumlah negeri lain. Labelisasi Hizbullah yang merupakan gerakan perlawanan atas pendudukan Israel di Lebanon Selatan sebagai organisasi teroris oleh negara-negara Arab Teluk memperkuat desain di balik keputusan dan kebijakan tersebut.
Profesor Al-Bouthi lantas menyayangkan adanya sebagian ulama dan umat yang menelan mentah-mentah berbagai umpan dan jebakan musuh tersebut. Termasuk di Indonesia. Menurutnya, dia sudah menemui Presiden Jokowi di Jakarta dan bersepakat untuk bersama-sama membendung bahaya fitnah yang mengancam umat Islam Indonesia secara khusus dan umat Islam dunia secara umum.
(KBA-News-Indonesia/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email