Setelah 50 tahun berlalu, Supersemar masih menyimpan misteri hingga hari ini.
Wahyu Kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, Apakah Di Benarkan???
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau populer disebut Supersemar merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah modern bangsa Indonesia. Peristiwa ini merupakan tonggak lahirnya Orde Baru di bawah kendali almarhum Presiden Soeharto. Almarhum Presiden Soeharto, dalam otobiografinya berjudul: Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, memaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH seputar lahirnya Orde Baru (1989: hal 173-174).
Menurutnya, Supersemar lahir ketika negara sedang dalam keadaan gawat, dimana integritas Presiden, ABRI, dan rakyat berada dalam siatuasi bahaya. Sehingga, perlu diambil tindakan pemulihan keamanan. Surat Perintah 11 Maret 1966 itu bukan merupakan alat untuk mengadakan kudeta terselubung. Supersemar merupakan awal dari perjuangan Orde Baru. Sekali lagi menurut almarhum Presiden Soeharto, Supersemar yang selama ini masih menyimpan misteri dan kontroversi, dinyatakan bukan sebagai kudeta tersembunyi yang sebenarnya merupakan satu perbuatan nyata dan dapat dilihat secara kasat mata.
Seperti Apa Ceritanya?
Tentang sejarah lahirnya Supersemar 1966, berikut adalah paparannya. Pada 1 Oktober 1965 dini hari terjadi penculikan dan pembunuhan beberapa jenderal Angkatan Darat (AD) oleh sekelompok tentara. Peristiwa ini dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 atau Gerakan 1 Oktober 1965. Pembunuhan para jenderal yang keji itu mengejutkan masyarakat Indonesia. Presiden Soekarno mengangkat Letjen Soeharto menjadi Penanggung jawab Pemulihan Kamtibmas dan MenPangad menggantikan Jenderal Ahmad Yani.
Penunjukkan Soeharto sebagai MenPangad diharapkan dapat menekan gelombang aksi ketidakpuasan yang mengecam Soekarno dan peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal, yang diduga ditunggangi personil tentara. Dalam kamus revolusi, menurut Soekarno, “penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal itu hanya riak gelombang kecil dalam samudra revolusi.” Namun, pernyataan ini dipelintir untuk kepentingan perjuangan Orde Baru. Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI sesuai keinginan TNI-AD tetapi justru mempertahakan keberadaan PKI itu mengakibatkan kritik semakin keras lewat berbagai media cetak.
Pada tanggal 11 Maret 1966, gelombang aksi ketidakpuasan terhadap Presiden Soekarno dan kabinetnya semakin membuncah. Pagi-pagi sekali sebelum sidang kabinet dimulai, ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) turun ke jalan di depan Istana. Jumlah demonstran terus bertambah banyak saat sidang kabinet dimulai. Para mahasiswa dan pelajar yang “diduga” ditunggangi pimpinan AD, semakin merangsek masuk Istana Negara.
Merasa kewalahan, beberapa petugas melepaskan tembakan peringatan ke udara. Tidak hanya mahasiswa, Letjen Soeharto menerjunkan sejumlah pasukan gelap tiga kompi RPKAD dari Kostrad pimpinan Kemal Idris. Seragam tentara loreng-loreng, bersenjata lengkap, dan tanpa tanda pengenal diri. Mereka menyebar bersama mahasiswa hingga mengepung Istana Negara. Presiden Soekarno yang ada di dalam mulai terancam jiwanya. Saat sidang kabinet berjalan, Presiden Soekarno sudah mengetahui situasi di luar yang selanjutnya meninggalkan sidang dan terbang ke Istana Bogor. Pimpinan Sidang diserahkan kepada Waperdam II, J. Leimena.
Sejarah Indonesia Modern
Cerita Supersemar adalah sejarah lahirnya rezim Orde Baru sebagai suatu tatanan dari seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang didasarkan kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Latar Belakang Lahirnya SUPERSEMAR ( Surat Pemerintah 11 maret 1966)
Lahirnya rezim Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Supersemar yang merupakan tonggak sejarah Orde Baru. Pemerintahan Presiden Soeharto, yang disebut rezim pemerintah Orde Baru, diawali dari terbitnya Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR(S) pada 11 Maret 1966, kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat. Surat Perintah itu dikenal sebagai Supersemar, yang berisi tiga perintah, yaitu:
Pertama, Mengambil segala tindakan yang dipandang perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya Revolusi. Kedua, Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR(S), demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Ketiga, Melaksanakan dengan pasti segala Ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Surat Perintah Presiden Soekarno itu kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, tanggal 21 Juni 1966, isinya; (1) MPR(S) menerima baik Surat Perintah dimaksud; (2) Masa berlaku Surat Perintah itu berakhir setelah terbentuk MPR hasil pemilihan umum; dan (3) Mempercayakan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memikul tanggung jawab yang dilimpahkan Presiden Soekarno demi kebulatan serta kesatuan bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar mengambil tindakan sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan rakyat, yaitu tiga tuntutan rakyat (tritura). Pada tanggal 12 Maret 1966, sehari setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret, diterbitkan Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormasnya serta dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI. Rakyat menyambut keputusan Presiden itu dengan suka cita; tuntutan rakyat pertama telah terpenuhi.
Keputusan Presiden No. 1/3/1966 itu kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI. Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh wilayah Indonesia bagi PKI dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan Faham Komunis/Marxisme dan Leninisme. Pada 18 Maret 1966, menindak lanjuti Surat Perintah 11 Maret dan Kepres No. 1/3/1966, Letjen TNI Soeharto melakukan tindakan berupa pengamanan terhadap 15 menteri yang terindikasi tersangkut G-30S/PKI tahun 1965.
Tuntutan rakyat kedua telah direalisasikan. Sedang tuntutan ketiga, menurunkan harga-harga sandang pangan serta keperluan hidup rakyat, dilakukan dengan berbagai kebijakan moneter dan ekonomi secara bertahap. Khusus mengenai langkah yang perlu ditempuh dalam merealisasikan perintah “melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi,” serta ditetapkan ketentuan “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” (Markas Besar Angkatan Darat, 6 Mei 2014).
Untuk mengatasi krisis politik yang memanas itu, tiga perwira tinggi TNI-AD menuju Istana Bogor dimana Presiden Soekarno berada. Ketiga perwira tinggi AD itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud. Sebelum berangkat ke Bogor, ketiga perwira itu meminta ijin kepada atasannya, Menteri/Panglima AD Jenderal Soeharto yang merangkap Panglima Komando Pengamanan dan Penertiban (Pangkopkamtib). Waktu itu Soeharto sakit dan harus istirahat di rumah. Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apa ada pesan khusus untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “Sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”
Latar belakang ucapan itu adalah sejak pertemuan tanggal 2 Oktober 1965, setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI, antara Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat menyangkut kunci usaha meredakan pergolakan politik. Menurut Letjen Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan.
Sebaliknya, Presiden Soekarno menyatakan tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nas-A-Kom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan selanjutnya, perbedaan pemikiran itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden Soekarno. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga perwira tinggi AD yang akan berangkat ke Bogor itu mengacu pada kesanggupan tersebut.
Di Istana Bogor, ketiga perwira tinggi AD ini mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno yang didampingi Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi AD bersama Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, diperintahkan membuat konsep surat perintah pada Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dari sini titik kritis muncul.
Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno membubuhkan tandatangan surat perintah yang terkenal dengan sebutan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima AD dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas itu, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada Presiden Soekarno. Mandat Supersemar ini dianggap sebagai tonggak lahirnya rezim Orde Baru.
Tindakan pertama yang dilakukan Letjen Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat Perintah adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung 12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat Indonesia karena dengan demikian salah satu di antara Tritura telah dilaksanan.
Selain itu, Letjen. Soeharto menyerukan pada mahasiswa untuk kembali ke kampus masing-masing. Tindakan berikut adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI atau memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah politik. Demi lancarnya tugas pemerintah itu, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim menjadi Presidium Kabinet. Kelima Menko itu adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid, dan Dr. J. Leimena.
Masih Gelap
Di sisi lain, sebelum keluarnya Supersemar, Presiden Soekarno sedang mengadakan pertemuan dengan partai-partai politik tanggal 10 Maret 1966. Dalam pertemuan itu dibahas masalah demonstran Tritura. Presiden mendesak agar partai-partai mengutuk demonstrasi Tritura, namun partai yang tergabung dalam Front Pancasila tetap menuntut pembubaran PKI. Letjen Soeharto setelah memperoleh Supersemar melakukan tindakan-tindakan berikut:
1. Pada 12 Maret 1966, PKI dengan ormasnya dibubarkan, dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
2. Pada 18 Maret 1966, beberapa menteri yang terlibat G 30 S PKI diamankan.
3. Pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto. Setelah dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto menitik- beratkan pada usaha stabilitas nasional, baik stabilitas politik maupun ekonomi.
4. Hal itu merupakan modal penting dalam usaha pembangunan nasional. Untuk itu, pada 20 Juni-5 Juli 1966 diadakan SU-MPR(S) untuk menentukan langkah yang tepat, guna menciptakan stabilitas nasional di bidang politik dan ekonomi.
5. Sebagai langkah stabilitas bidang politik, MPR(S) mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilu. Menurut rencananya, pemilu diselenggarakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
6. Kemudian memantapkan kehidupan politik dan memperbaiki bidang ekonomi. MPRS mengeluarkan Ketetapan MPR(S) No.XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Ini untuk memenuhi tuntutan Trikora.
7. Tugas membentuk Kabinet Ampera dipercayakan kepada Letnan Jenderal Soeharto. Tugas Kabinet Ampera adalah untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi serta memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang, pangan, dan papan.
8. Disamping itu diusahakan pembenahan bidang ketatanegaraan, sesuai UUD 1945. Pemerintah daerah diberi otonomi agar tercipta stabilitas politik dan ekonomi yang merata.
9. Pada 7-12 Maret 1967 diadakan SI-MPR(S). Dalam sidang diputuskan TAP MPR(S) No XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali TAP MPR(S) No.I/MPRS/1960 tentang manifesto Politik sebagai GBHN.
10. Keputusan lainnya adalah pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto. Dikeluarkan TAP-MPR(S) No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI, dan dilantik pada 12 Maret 1967.
Uraian di atas adalah sekelumit sejarah lahirnya Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada Letjen Soeharto sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Melalui Supersemar ini beralihlah “Wahyu Keprabon” dari Soekarno ke Soeharto meski hingga kini, meminjam bahasanya Asvi Marwan Adam (2014), ceritanya “masih sangat gelap”.
(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email