Kalau ada pertanyaan siapa dari tujuh presiden Indonesia yang terkenal dekat dan akrab dengan wartawan, jawabnya pasti Presiden Soekarno. Saking dekatnya dengan para “kuli tinta” (sebutan untuk wartawan tempo dulu) itu, Bung Karno sering ikut makan siang atau sekedar minum kopi bersama wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan istana. Bahkan tak segan-segan Bung Karno membetulkan letak dasi atau menegur pakaian “kuli tinta” yang lazimnya kurang rapi, lusuh, dan sembarangan.
Suatu ketika Bung Karno mengajak para wartawan berkeliling kota, melihat patung-patung yang ada di taman-taman kota Jakarta. Ia menjelaskan dengan rinci maksud pembangunan patung tersebut. Misalnya patung Pak Tani di Prapatan Menteng Jakarta Pusat, seperti dituturkan mantan wartawan Kantor Berita Antara Ita Syamsuddi (alm), Bung Karno menilai patung keluarga petani itu terkesan kaku dan kurang indah, karena menyandang senjata. “Saya senang patung petani yang indah dan wajar. Karena merekalah yang menyediakan makanan untuk masyarakat. Mereka bekerja keras, tapi sebagian besar tidak memiliki tanah,” kata Bung Karno (Republika online, 12/5/2015).
Setelah mengunjungi Menteng rombongan menuju Monas. Saat berada di sekitar Monas lewatlah seorang tukang rambutan dan Bung Karno memanggilnya. Setelah menanyakan harganya, Bung Karno membeli 10 ikat sesuai dengan jumlah rombongan wartawan. Ketika hendak membayar sambil merogoh saku celananya, ternyata ia tidak membawa uang. Bung Karno berusaha memanggil stafnya yang berada di mobil lain. Tapi seorang wartawan anggota rombongan telah membayarnya meski Bung Karno berusaha melarangnya dan tukang rambutan pun telanjur pergi. “Nanti Bapak Ganti, Bapak kan ingin mentraktir kalian,” kata Bung Karno.
Akan tetapi Bung Karno sangat marah bila wartawan salah mengutip pidatonya, terutama jika salah menulis dalam kalimat Bahasa Inggris. “Sering saya menjumpai tulisan wartawan Indonesia perlu di-upgrade pengertian dan pengetahuannya, di-upgrade hal technics journalistic-nya, di-upgrade mentalnya. Terutama sekali mental politiknya, sering saya menjumpai kata-kata yang ditulis di dalam surat kabar-surat kabar sekarang ini bahwa nou zeg,” kata Bung Karno seperti yang dilansir Harian Genta edisi 15 Februari 1966, mengutip pernyataan Bung Karno dihadapan wartawan peserta upgrading yang diselenggarakan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Istana Bogor 12 Februari 1966 (Tjipta Lesmana: Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa).
Bung Karno juga bisa marah ketika wartawan foto Antara membuat foto yang menyiarkan rakyat tengah memperebutkan beras yang tercecer di jalan raya. Ia menyatakan kepada Ita Syamsuddin ketidaksenangannya terhadap foto yang dipublikasikan Antara itu. Apalagi pada waktu itu pers asing kerap menyebar propaganda bahwa Indonesia akan menghadapi kelaparan. Menurut Bung Karno, yang dimaksud swasembada pangan bukan berarti beras. Namun juga bahan pangan lainnya seperti jagung, ubi-ubian, singkong, buah-buahan dan sebagainya. Bung Karno menganjurkan rakyat Indonesia jangan hanya tergantung pada nasi. Itu pula sebabnya Bung Karno sering menjamu wartawan dan duta besar negara-negara sahabat termasuk Dubes Amerika Serikat Howard P. Jones dengan menu makanan tradisional Indonesia.
Namun Bung Karno merasa bangga ketika pada tahun 1962 Ketua PWI, yang juga Kepala Kantor Berita Antara, Djawoto melaporkan tentang kesiapan PWI menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia Afrika (KWAA) di Jakarta. Adalah untuk pertama kali dalam sejarah wartawan Indonesia menyelenggarakan event internasional di Jakarta 24 April – 1 Mei 1963, menyusul Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Salah satu keputusan KWAA adalah untuk menyuarakan perjuangan kemerdekaan rakyat Asia Afrika melawan imperialisme dan neo-kolonialisme. Jakarta dipilih menjadi Sekretariat Tetap Persatuan Wartawan Asia Afrika dan Djawoto menjadi Sekjennya (A. Umar Said; KWAA Corong KAA Bandung).
Kesaksian rakyat tentang perhatian dan kedekatan Bung Karno dengan insan pers di tanah air kian nyata ketika Bung Karno bertemu Ketua Partai Katolik I.J. Kasimo (alm), seperti yang diceritakan mantan Anggota DPA Sugiharto (alm) kepada penulis saat mengunjungi Kasimo yang sedang dirawat di Rumah Sakit St. Carolus. Menurut Kasimo, Bung Karno menanyakan mengapa Partai Katolik tidak punya surat kabar. Kasimo belum sempat menjawab, Bung Karno sudah usul agar surat kabar tempat bernaungnya para “kuli tinta” yang akan didirikan itu bernama “Kompas,” yang kemudian terbit perdana pada 28 Juni 1965.
Tapi Bung Karno tertawa “ngakak” ketika diberitahu bahwa salah satu pengasuh Kompas adalah Petrus Kanisius Ojong (Auw Jong Peng Koen) mantan redaktur Mingguan Star Weekly yang belum lama dibredel karena tulisan Ojong yang mengkritik kebijakan luar negeri Indonesia.
(Sejarah-kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email